Part. 14
Hari ini hawanya sangat cocok untuk merebahkan tubuh di kasur yang empuk sembari nonton drama Korea. Namun, ia harus bersekolah dan mengerjakan soal yang membuatnya pusing karena rasa kantuk yang tidak bisa ditahan. Gadis berkuncir itu merebahkan kepalanya dan memejamkan matanya sebentar.
Terdengar suara perempuan memanggil namanya berulang kali. Seketika ia terkejut dan mengangkat kepalanya.
Bukannya menyahut temannya. Rinzy menoleh ke samping laki-laki itu sudah tidak ada, geng Alrzy sudah pulang duluan.
“Dhe, Alren udah pulang dari tadi?”
Dhea mengangguk kecil. “Bahkan satu jam sebelum bel pulang, mereka udah pulang Zy, kecuali Dewa dia paling rajin.”
Dhea merapikan buku dan memasukkan ke dalam ransel. “Oh iya, Zy. Tadi pas lo ketiduran Alren yang bantuin.”
Rinzy yang tengah memasukkan buku mengernyit. “Bantuin gimana maksudnya?”
Dhea yang berdiri kembali terduduk menghadap Rinzy. “Lo hampir di marahin sama guru, lo tau tuh cowok bilang apa?”
“Apa?”
“Dia bilang gini ‘saya yang suru tidur, dia abis kerja rodi’ gitu katanya satu kelas ketawa, Zy. Tapi, untung lo nggak bangun.”
“Sialan, dibilang kerja rodi gue.”
“Kerja rodi ngapain, Zy?”
Rinzy bangkit berdiri seraya memakai ranselnya. “Biasa, Dhe. Lo tau kan gue pembantunya?”
“Itu beneran, Zy?”
“Dahlah males bahas tuh bocil. Betewe lo liat Dewa ke mana?”
“Baru saja keluar pas gue bangunin lo tadi.”
“Gue duluan ya, Dhe. Majikan ngelunjak lama-lama. Bye.”
Rinzy lantas berlari keluar kelas. Saat menuruni anak tangga lantai dua, ia merogoh ponselnya memanggil panggilan telepon beberapa kali, tapi belum dijawab juga.
Sorot matanya terhenti melihat Dewa yang baru saja selesai bercakap-cakap dengan wali kelas—Bu Aini.
“Dewa,” panggil Rinzy. “Liat Alren nggak?”
“Dia udah balik dari tadi.”
“Gue telpon nggak dibales.”
“Dia emang biasa begitu, jarang megang hape, gue coba telpon ya.” Dewa mengambil ponsel dari sakunya.
Tetap saja laki-laki itu tidak menerima panggilan telepon dari sahabatnya itu.
“Gimana?”
“Nggak di angkat.”
“Biasanya dia ke mana?”
“Biasanya ke rumah Givon, kalo nggak rumah gue.”
Melihat reaksi gadis di depannya khawatir membuat Dewa semakin penasaran. Entah, perasaan atau tidak, gadis ini selalu mengikuti Alren ke mana-mana. Dilihat dari tingkah gadis itu membuatnya curiga.
Ia memang sedikit terkejut saat tahu, Rinzy menyukai Alren padahal baru beberapa hari sekolah bahkan langsung menembak Alren.
Apakah gadis itu benar-benar menyukai Alren?
“Kayanya lo sering ngikutin dia ke mana-mana.”
“Ah, i-iya gue kan pembantunya. Kalo dia butuh sesuatu, biasanya gue yang di telpon.”
Dewa mengangguk paham. “Oh, gitu.”
“Gue boleh nebeng nggak? Sampe perempatan deket rumah sakit atau depan perumahan Mekar?”
“Boleh, tapi gue cuma bawa satu helm.”
“Nggak apa-apa.”
“Ayo.”
***
Selepas pulang sekolah seperti biasa Rinzy beres-beres mulai dari menyapu kamarnya dan Alren, ruang tamu dapur dan teras. Bu Yuni juga hanya mampir untuk mencuci pakaian Alren, sebagai pengganti masak.
Ah, benar mulai hari ini lauk yang ia makan, tergantung besar uang saku laki-laki merepotkan. Sejujurnya wanita paruh baya itu mengatakan hanya untuk Alren saja bukan dia. Tetapi untuk mendalami peran, lebih baik ia juga ikut.
Setelah selesai beres-beres dan Bibi Yuni sudah pulang. Rinzy membersihkan diri, kemudian ia belajar sebentar persiapan materi semester depan. Lalu kembali ke rutinitas, sembari terduduk menonton acara TV yang membosan gadis itu terus mengecek ponsel.
Beberapa jam sekali ia menelpon juga mengirimkan pesan singkat pada Alren tapi belum juga dibalas.
Waktu berputar terus hingga ia ketiduran di lantai dengan layar televisi yang menyala. Tepat jam dua belas tengah malam, dering ponsel Rinzy berbunyi cukup keras dan membangunkannya.
Tangannya meraba-raba lantai mencari ponselnya, menerima panggilan itu dan langsung meletakan di atas telinganya.
“Halo, Wa.”
“Rinzy, kalo jam segini Alren belum pulang berarti dia ada balapan. Lo nggak usah nungguin.”
Mendengar itu sontak membuat Rinzy terbangun dan terduduk. Ia menyugar rambutnya, sungguh kenapa laki-laki senang sekali membuat terkejut dan khawatir?
“Dia balapan lagi? Biasa balapan di mana?”
Gadis itu terdiam sejenak mengingat tempat balapan Alren beberapa hari lalu.
“Abis balapan paling jam 2 an dia udah balik.”
“Oke, thanks. Sori juga jadi ganggu malam-malam.”
“Iya, bye.”
***
Kedua motor sport melaju kencang tepat saat menuju garis finish. Motor dengan corak warna sedikit silver itu lebih dulu sampai. Wajah laki-laki itu tersenyum samar dari balik helm full face itu.
Laki-laki itu menepikan motornya, lanjut melepas helmnya. “Gimana? Gue lagi kan yang menang?” Seraya menoleh ke belakang dengan senyuman miring.
Rico—laki-laki yang balap dengannya tadi, anak sekolah menengah kejuruan negeri yang cukup favorit. Teman sekaligus musuh bagi Alren, salah satu pacar Rico saat ini adalah gadis yang sangat menyukainya dulu dan hampir pacaran. Terkadang Alren suka mengejeknya karena menurutnya itu bekas. Itu yang membuat hubungan mereka kurang akur.
Setiap balapan yang mereka lakukan akan ada taruhan didalamnya. Entah itu motor, uang ataupun orang. Kali ini Alren memilih Rinzy sebagai taruhannya, entah kebodohan apa yang berada di otaknya itu.
“Kaya yang tadi gue bilang kita taruhan pembantu gue.”
“Buat apaan gue sama pembantu? Udah pasti nggak cantik dan kaya kan? Bener-benerlah, sat! kalo taruhan.”
Alren menuruni motor sembari memegang helm. “Bisa jadi pembantu pribadi ... bisa buat pemuas? Bebas, terserah lo.”
Rico tertawa renyah. “Gue biasa yang udah pro sat, bukan modelan cupu.”
“Bukannya yang cupu lebih gampang ambil alihnya? Ck, nggak usah banyak nanya, menang juga belum.”
“Terus kalo lo menang?”
“Gue mau lo putusin Nessa dan gue mau lo jauhin dia.”
Rico lantas menuruni motor dan menarik jaket Alren kasar.
“Ba*gsat! Itu cewek gue.”
Alren tersenyum miring menatap tajam wajah Rico yang sudah terbakar amarah.
“Gue tau, itu cewek lo. Tapi, sayang gue masih suka, makanya gue suruh lo putus.”
Bhak.
Satu bogeman lolos, tubuhnya tersungkur ke tanah. Pukulan itu cukup keras hingga membuat sudut bibirnya terluka.
“Sampe lo sentuh cewek gue, abis lo.”
Alren terkekeh kecil seraya bangkit berdiri. “Pacaran tuh saling suka bukan duka, paham nggak njing?!”
Bhak.
Lagi-lagi Alren kembali mendapat pukulan di pipinya. Ia tidak ingin berniat melawan, biarkan apa yang dirasakan gadis itu, ia rasakan juga.
Tepat saat Rico akan menginjaknya. Terdengar suara gadis dengan jaket hoodie berwarna hitam menghampiri mereka.
“Bocil, lo nggak apa-apa?” tanya Rinzy seraya terjongkok melihat keadaan Alren yang sudah babak belur.
“Cewek pulpen, lo kalo nanya yang bener-bener lah,” sahut Alren mencoba berdiri.
“Gue peringatin, kalo lo berurusan sama cewek gue lagi. Nih, cewek mati,” ancam Rico kemudian beranjak pergi begitu saja.
“Lah, sialan. Kenapa jadi gue?” gumam Rinzy seraya membantu Alren berdiri.
“Dia cuma ngancem nggak jelas. Lo ngapain ke sini? Pembantu tuh di rumah bukan di arena balapan.”
“Gue nyariin bocil ilang.”
“Lagian gue nggak betah di rumah kecil gitu.”
“Rumah itu kecil, terus kostnya gue apa? Rumah semut?” gumam Rinzy.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top