Part. 13
Hanya tinggal tunggu satu setengah jam lagi menuju waktu istirahat. Para siswa masih di dalam kelas menanti bel berbunyi nyaring di telinga. Berbeda dengan geng Alrzy yang tengah bersantai di ruangan mereka.
Sang ketua tengah mengisap rokok dengan kaki di atas meja. Satu tangan memegang rokok dan lainnya memegang ponsel.
Samar-samar laki-laki tersenyum tipis seraya mengusap layar ponsel yang terdapat foto anak perempuan berambut pendek dengan poni.
Ingatan waktu kecilnya benar-benar masih terpampang jelas. Ketika ia bermain bersama, hingga mereka berpisah di jendela.
“Kamu tampan jangan nangis, anak kecil.”
“Anak kecil, ini aku punya permen buat kamu.”
“Kalo udah besar, kita ketemu lagi ya, anak kecil.”
Ia yakin gadis kecil beberapa tahu itu sudah menjadi gadis remaja yang manis dan ramah. Sejujurnya Alren sudah lama mencarinya tapi belum juga ketemu. Bahkan ia mencari informasi dari sanak saudara yang ayahnya kenal. Tetapi tidak ada yang tahu. Bahkan ia bisa melupakan rasa kesalnya untuk bertanya banyak hal pada sang ayah
Setidaknya ia ingin bertemu dengan gadis itu sebelum mati. Entahlah, Tuhan berkehendak atau tidak, terkadang ia ingin datang ke gereja dan berdoa. Namun, rasa malu akan dosa yang dilakukan membuatnya merasa tidak pantas.
Alren meletakkan ponselnya dengan kasar di atas meja.
Givon dan Ervin yang tengah bermain game mendadak menoleh pada Alren.
Dewa yang tengah membaca buku pelajaran itu hanya menoleh sekilas.
“Lo kenapa bos?” tanya Ervin dengan kedua mata yang masih terfokus pada layar ponsel. “Hampir lo bikin gue kalah.”
“Lo emang mau kalah, Pin.” Givon menyahut sama seperti Ervin matanya masih fokus menatap layar ponsel.
“Ah, gara-gara lo gue kalah, nyet!” Ervin lantas melempar ponselnya ke meja.
Givon hanya tertawa geli melihat wajah sahabatnya itu. “Mantep juga gue bisa ramal kaya Dilan.”
“Siapa Dilan?”
“Cowoknya Milea.”
“Si monyet, orangnya yang mana aja gue nggak tau. Malah kasi tau ceweknya.”
Givon terkekeh geli. “Betewe, si Paduka sekarang enak cuy udah ada pembantu?”
Alren tersenyum miring. “Iya, berguna buat gue suruh-suruh.”
“Kayanya dia lagi butuh duit, sampe mau jadi pembantu lo,” sahut Ervin.
“Mungkin,” balas Alren seraya mematikan rokok dan membuangnya ke asbak.
“Berarti lo tinggal bareng dia dong?” lanjut Givon penasaran, tepat saat permainan gamenya baru selesai. “Gimana rasanya tinggal bareng tuh cewek?”
“Cerewet banget, njing. Hampir sepanjang hari gue dengerin dia bacot,” jawab Alren lalu menuruni kakinya.
“Keliatan sih agak cerewet,” sahut Ervin.
“Nanti malam sabi lah balapan,” usul Givon menoleh ke tiga temannya. “Lah, gue ngomong malah pada diem.”
Alren mengangguk kecil. “Gas, gue juga males di rumah.”
Dewa melirik sekilas Givon. “Emang lo udah dibolehin sama nyokap lo?”
“Setelah gue analisis,” ujar Givon.
“Anjir analisis apaan lagi, Pon Pon. Kaya orang bener aja lo,” sahut Ervin terkekeh geli.
“Bacot, biar keren kali,” balas Givon.
“Apaan?” Ervin menoleh pada Givon di sebelahnya.
“Sabilah balapan tapi jangan tiap malam.”
“Gue nggak ikut,” lanjut Dewa tanpa menoleh pada temannya.
“Ya elah, nggak usah sering-sering kali,” sambar Givon.
“Boleh, tapi motor gue disita. Gimana kalo gue pake motor lo, Dew?”
“Dewa, bukan Dew,” sahut Dewa dengan wajah datar.
“Ya elah, si Dewi. Iya Dewa,” canda Givon membuat Dewa melempar tatapan tajam seperti ingin memakannya.
Ini semua karena ulah Alren saat SD yang sering memanggilnya Dewi. Beruntunglah ia termasuk tipe yang tidak terlalu peduli, kalau Alren bukan sahabatnya sudah ia tinggalkan sejak dulu.
“Boleh, jangan sampe lecet. Nanti otak lo gue lecetin,” ujar Dewa seraya menutup bukunya.
“Santai, Dew eh maksudnya Wa,” balas Ervin diikuti kekehan.
Seorang gadis berkuncir dengan kertas juga pulpen tengah berjongkok bersandar di dinding koridor lantai empat di ruangan Alren. Sepanjang hari ini Rinzy mengikuti laki-laki tidak ada hal aneh atau membuatnya shock seperti beberapa hari lalu.
Itu bagus untuknya, jadi ia tidak banyak mencatat. Mata pelajaran hari ini saja sudah cukup membuatnya kesal karena harus mencatat. Bahkan jari jemarinya sudah sangat lelah.
Kemudian gadis itu bangkit berdiri menuju ruangan geng Alrzy itu. Niatnya Rinzy hanya ingin menguping percakapan mereka, mungkin saja mereka ada rencana balapan atau lainnya.
Dengan langkah kecil dan pelan Rinzy menuju pintu ruangan itu. Entah perasaannya mengatakan seperti ada yang akan keluar.
Ia sedikit menoleh ke jendela, tepat laki-laki itu akan menuju pintu. Seraya membekap mulutnya sendiri, Rinzy melangkah cepat pergi dari sana.
“Woy, ngapain? Mau ngintip gue?” teriak Alren.
Rinzy mendadak menghentikan langkahnya, dengan cepat memasukkan kertas dan pulpen ke dalam saku roknya. Kemudian berbalik.
“Sekarang pura-pura bolot?!” Dengan kedua tangan di masukan ke dalam saku celana. Laki-laki menghampiri Rinzy. “Ngapain di sini? Lo suka banget sama gue?”
Rinzy memutar bola matanya sembari melipat kedua tangannya depan dada. “Bocil, lo kepedean tingkat monas tau nggak? Gue cuma mau liat-liat aja, nggak boleh?”
“Dua kali lo ke sini, seneng banget ngikutin gue.”
“Terserah lo, deh. Oh iya, gue mau ngomong nih.”
“Apa? Lo mau nembak gue lagi? Gue tolak,” balas Alren membuat Rinzy kesal.
“Gue nembak cuma sekali. Kalo nggak mau ya udah. Santai,” sahut Rinzy terlihat sangat santai.
Alren mengernyit. “Cewek aneh lo.”
“Kata Ibu uang makan lo dari uang saku lo sekarang. Jadi, kalo lo makan di sekolah mahal. Lo nggak bakal makan malam.”
“Anjing! Peraturan dari mana? Bokap gue cuma kasi gocap, makan apaan?”
“Banyak, kalo lo beli di warteg juga masih dapat atau kalo mau irit bisa beli telor sama mie.”
“Nggak, lo pikir gue bisa makan sedikit begitu.”
“Ya, makanya coba dibiasain, bocil.”
“Tuh pelakor, emang sengaja mau buat gue mati.”
“Heh! Itu Mami lo. Jahat banget mulu lo.”
“Mami?”
“Maksud gue nyonya.”
“Sok akrab lo sama pelakor. Jangan terlalu dengerin dia, jijik gue. Minggir!” pungkas Alren seraya menyingkirkan tubuh Rinzy, lantas pergi.
“Bocil, inget. Jangan makan yang mahal,” teriak Rinzy seraya menatap Alren yang semakin menjauh.
***
Istirahat kali ini Rinzy juga temannya Dhea mendapatkan meja cukup jauh dengan meja Alren. Biasanya Rinzy akan minta tolong Dhea untuk makan siang dekat dengan meja Alren agar dia bisa memantau laki-laki itu dari dekat.
Seraya mengunyah roti keju yang dibelinya di minimarket dekat sekolah. Gadis berkuncir itu terus menatap sekelompok manusia yang tengah bercanda gurau berjarak tiga meja darinya.
“Zy, sampe kapan lo liatin Alren?” tanya Dhea setelah meneguk air minum sehabis makan nasi goreng.
“Sampe gue tau dia makan 4 sehat 5, Dhe,” balas Rinzy lalu menyambar sebotol air mineral. “Bocil, ngapain makan yang mahal sih?” batinnya.
“Sweet banget nih, yang lagi jatuh cinta. Nggak di kelas, nggak di kantin. Liatin mulu.” Dhea yang terduduk di hadapannya terkekeh kecil.
“Antara terpaksa sama dipaksa, Dhe.”
“Lo kalo ngomong bikin gue bingung, Zy.”
Rinzy terkekeh. “Sama gue juga.”
Sorot matanya terhenti saat melihat Rinzy yang memakai satu roti tapi belum selesai dari tadi. “Lo makan roti doang? Nggak laper?”
“Lagi mau irit, Dhe.”
“Mau gue beliin sesuatu?”
“Eh, nggak usah. Tapi, kalo dipaksa gue terima, Dhe.” Rinzy tersenyum lebar.
Dhea terkekeh. “Nggak usah malu, Zy. Gue beliin apa?”
“Bubur ayam aja, yang agak murah.”
“Oke, tunggu bentar, Zy,” ujar Dhea sebelum beranjak pergi menuju gerobak berjualan bubur ayam yang sedikit jauh.
“Thanks, Dhea,” jawab Rinzy tersenyum tipis.
Dirasa Dhea sudah pergi, buru-buru Rinzy mengambil ponselnya. Kemudian menelepon laki-laki itu. Namun, hampir tiga kali ia memanggil telepon Alren masih tidak angkat.
“Bocil, bisa-bisanya nih orang bikin gue kepikiran hampir sepanjang hari,” gumam Rinzy kemudian berlanjut mengirim Alren chat.
➖➖➖➖➖➖➖
Bocil duit
“Bocil!”
“Angkat telpon gue!”
“Lo? Cewek pulpen?”
“Bocil, tadi gue telpon angkat!’
“Nggak, males.”
“Gue spam bodo amat.”
“Nggak peduli.”
➖➖➖➖➖➖➖
Akhirnya Rinzy kembali menelpon Alren hampir sepuluh kali tapi tidak di angkat. Tepat pada panggilan ke sebelas, akhirnya laki-laki menyusahkan itu mengangkat panggilan teleponnya.
“Bocil, gue bilang jangan makan yang mahal.”
“Gue laper.”
“Yang murah kan ada.”
“Gue nggak biasa makan yang murah .”
“Heh! Nggak usah sok gaya. Lo itu bukan kaya dulu lagi. Irit apa susahnya, sih?”
“Susah lah anjing! Kalo lo udah biasa.”
“Ck, terus lo makan malam gimana? Makan angin?”
“Lo kan pembantu gue, seharusnya lo yang nggak makan bukan gue.”
“Bodo amat, bocil.”
Rinzy lantas mengakhiri panggilan teleponnya. Dari kejauhan gadis itu melempar tatapan tajam pada Alren. Namun, berbeda dengan laki-laki itu malah tersenyum tipis.
“Baru kali ini, ada yang khawatir sama gue. Cuma karna makan doang.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top