Part. 11
Rinzy menuangkan potongan ayam bakar dari dalam plastik ke piring. Sembari menunggu Alren mandi, gadis itu memutuskan ke warteg terdekat membelikan lauk untuk anak manja itu. Bukannya ia sangat baik, belum lagi satu potong ayam bakar sedang cukup mahal untuk kantungnya.
Tidak lupa ia mengambil dua piring untuk mereka berdua.
"Bocil, lo mandi lama banget," teriak Rinzy seraya membawa dua piring juga satu piring berisi ayam menuju ruang tamu.
Alren keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Eh, lo kasi gue handuk bekas apa gimana? Kasar banget."
"Iya, handuk bekas keset, terus gue cuci buat lo," sahut Rinzy dari ruang tamu.
Alren ternganga setengah. "Anjing! Sengaja lo bikin gue gatal-gatal?"
Terdengar Rinzy tertawa samar-samar. "Percaya amat lo. Ya, nggak lah."
Alren mengarah ke ruang tamu, menoleh gadis itu yang tengah terjongkok di atas tikar sedang. Seraya memisahkan tulang dan daging ayam itu.
"Lo makan lagi? Rakus amat."
Rinzy menengadah. "Buat si bocil ini bukan gue."
"Gue nggak mau makan, nggak higenis. Pasti banyak kuman, bakteri. Buat lo aja."
Rinzy melepas sarung tangan plastik, kemudian menarik tangan Alren terduduk di depannya.
"Lo nggak makan tadi, cuma dua sendok mana kenyang. Di sini kalau malam lo nggak bisa cari makan, kaya di rumah lo itu."
"Lo naro racun kan?"
"Makan aja, sih repot nih bocil." Rinzy bangkit berdiri menuju dapur mengambil nasi.
"Nih, cewek tau dari mana gue suka ayam bakar. Curiga gue, dia stalker."
Rinzy yang mendengar ucapan Alren terkekeh kecil. "Apa gue stalker? Ngarep banget. Emang kalo gue suka sama lo, mesti banget cari tau semuanya?" sahutnya seraya membaca tempat nasi, lantas terduduk di depan Alren.
Sepertinya gadis ini tipe yang tidak main-main dalam perkataan. Bisa-bisanya dia mengatakan suka, tepat di hadapan Alren. Bahkan ia tidak terlihat malu sedikit pun. Malah Alren yang terkejut dengan gadis itu.
"Lo nggak salting depan orang yang lo suka?"
"Salting?" Rinzy terkekeh kecil sembari menyendokkan nasi ke piring Alren. "Hm, nggak tau, sih. Kalo salting itu rasanya kaya deg degan gitu kan ya?"
"Mana gue tau. Gua biasanya bikin cewek salting karna pesona gue bak dewa."
"Untung nggak ada pulpen, kalo ada udah gue getok lo."
Rinzy sudah memulai makan, namun Alren masih menatap makanannya.
"Lo liatin nggak bakal masuk ke mulut sendiri, bocil," ujar Rinzy seraya mengunyah.
"Gue nggak mau, kalo ada racunnya gue mati nanti."
"Kalo ada obat biar bisa bikin lo cepet suka sama gue. Gue udah beli satu truk. Biar overdosis sekalian."
Alren yang tengah meraih segelas air di sebelah piringnya. Seketika terbatuk karena ucapan gadis itu.
Astaga, gadis ini benar-benar membuatnya terkejut.
Buru-buru Rinzy meletakkan piring, ia bangkit berdiri, berpindah ke Alren seraya menepuk pelan punggung laki-laki. "Lo nggak apa-apa?"
Alren menoleh pada gadis itu. "Lepas, lo sengaja biar deket sama gue?"
Rinzy menatap datar laki-laki itu, kemudian memukul punggung Alren dengan kencang.
"Awh, sakit njing!"
"Bodo amat." Rinzy kembali duduk ke tempatnya.
"Ck, malu kan lo?"
"Malu sama bocil? Ya, kali."
"Mendingan gue makan di resto, dari pada ini."
"Kalo lo mati, gue yang tanggung jawab."
"Mati juga?"
"Enggak lah, gue yang kasi kembang nanti."
"Bang-"
Rinzy lantas memasuki daging ayam ke dalam mulut Alren. "Nah, mangap aja susah amat lo."
Alren mengunyah dengan pelan.
"Enak nggak?" tanya Rinzy tersenyum lebar. "Kalo nggak enak lo beli sendiri."
"Ya, lumayan lah."
Rinzy terkekeh. "Bilang enak aja, susah banget bocil." Ia mendorong piring pada Alren.
***
Suara gelak tawa gadis itu hampir memenuhi seisi rumah. Seraya tengkurap ia men-scroll tik tok beberapa video yang lewat hampir membuatnya sakit perut saking lucunya. Sekali-kali memang harus tertawa, hari ini sudah cukup lelah. Apalagi mengurus anak manja Mami Mary, membuatnya sakit kepala.
Alren keluar dari kamarnya dengan hoodie hitam dan topi baseball hitam.
"Lo mau ngelayat? Siapa yang meninggal?" tanya Rinzy kemudian terduduk bersandar ke tembok.
"Iya, ngelayat lo nanti."
"Sialan, bocil. Lo mau ke mana?" Rinzy meletakkan ponsel di atas meja seraya membenarkan ikatan rambutnya.
"Kepo banget lo."
Rinzy menghampirinya. "Mentang-mentang udah di bawain motornya mau kelayapan mulu."
"Di mana kuncinya?" tanya Alren.
Rinzy mengangkat kuncinya depan wajah Alren. "Kuncinya ini bukan?"
"Sini."
"Nggak." Rinzy memasukkan kunci ke dalam saku baju tidurnya. "Mendingan lo istirahat, besok bangun pagi terus berangkat sekolah. Tugas anak SMA gitu. Bukan balapan liar tiap malam."
Alren mengernyit. "Tau dari mana gue sering balapan liar tiap malam? Jangan-jangan lo yang aduin gue ke tuh pelakor."
Gadis itu melipat kedua tangannya depan dada. "Gue rasa, satu sekolah pun tau. Kalo sampe Kakek lo tau gimana ya?"
"Lo cuma pembantu yang diminta bokap buat jadi pelayan gue. Lo nggak berhak ikut campur."
Rinzy tersenyum miring. "Kenapa nggak berhak?"
Alren melangkah mendekati Rinzy, seraya menatap kedua bola mata gadis itu. Bahkan tanpa sadar, punggung gadis itu sudah tersentuh dinginnya dinding.
"Lo pikir gue takut?" ujar Rinzy menantang sembari mendekati wajah Alren.
Hingga napas keduanya saling bertabrakan di wajah masing-masing. Alren tersenyum miring, netranya beralih ke mulut cerewet gadis itu.
Melihat wajah laki-laki di hadapannya itu, mendadak membuatnya sedikit takut. Belum lagi mereka hanya berdua di sini.
Buru-buru Rinzy memundurkan tubuhnya. Namun, dengan cepat Alren menarik pinggang gadis itu.
"Lo mau ngapain?"
"Ngapain lagi kalo abis ini?"
Rinzy meneguk saliva, ia berusaha melepaskan tangan Alren dari pinggangnya. Namun, tenaga laki-laki itu lebih besar darinya.
"Bocil, sakit."
"Dari deket lo cantik juga."
"G-gue emang cantik, bocil." Seraya memalingkan wajahnya.
Perlahan Alren mengikis jarak antara keduanya. Melihat itu cepat-cepat Rinzy menoleh ke arah berlawanan menghindari wajah Alren.
Pelan-pelan tangan Alren menyusup masuk ke kantong baju Rinzy mengambil kunci motornya.
Kemudian berbisik. "Cewek pulpen, gue nggak minat sama lo apalagi napsu." Lalu menjauhkan wajahnya.
Mendengar perkataan itu, Rinzy yang diam-diam sudah mengambil bantal sofa lantas memukul laki-laki dengan keras.
Bhak.
Bhak.
"Bocil kurang ajar! Buat gue takut aja."
Alren terkekeh geli seraya menahan pukulan gadis itu.
"Bye, gue mau pergi." Laki-laki itu langsung beranjak pergi.
Rinzy menyugar rambutnya yang sedikit berantakan.
"Bocil!"
***
"Lo di usir? Kok bisa bos? Kasian banget nasib lo," tanya Givon.
"Gue bilang apa, dari awal dia udah mau usir gue," balas Alren setelah mengesap kopi hitam pesanannya.
"Gue nggak kasi tau soal balapan kemarin," timpal Dewa meletakkan ponselnya di atas meja. "Buat apa gue kasi tau?"
"Wa, jangan boong lo. Terus bokap gue tau dari mana kalo bukan dari lo?" lanjut Alren tidak percaya.
Pasalnya hanya ketiga temannya yang tahu. Bahkan satu sekolah pun tidak ada yang berani mengatakannya hal itu.
Givon dan Ervin menggeleng kecil.
"Mungkin aja, suruhan bokap lo?" sahut Ervin. "Lagian lo balap motor mulu, nyet. Udahlah istirahat, mendingan persiapan UN."
"Buset, lo kesambet apa Pin? Jangan bilang lo ketauan bokap juga," lanjut Givon.
"Iya nyet, bukan bokap. Tapi, tetangga gue. Emang bangsat! Gara-gara dia motor gue disita."
Givon menepuk pundak Ervin. "Sabar, Pon." Seraya terkekeh geli. "Gue juga udah nggak bakal sering ikutan balapan. Nyokap gue sakit."
"Sakit apaan?" tanya Alren.
"Pusing sama pilek doang. Nyokap gue ngancem nggak kasi uang saku sama narik motor. Kalo nggak rawat dia."
"Iya, mendingan kita istirahat dulu. Abis UN baru balapan lagi gimana?" tanya Dewa memberikan usul.
Alren menggeleng. "Kaga lah, gue udah taruhan sama dia."
"Emang lo jadi taruhan siapa?" sahut Givon.
Alren tersenyum tipis. "Cewek pulpen."
Di sisi lain gadis berjaket hoodie dongker dengan gambar anjing kecil dan celana trainingnya berlari menuju kafe sesuai dengan alamat yang diberikan Bibi Yuni. Sesekali ia berhenti sejenak, kemudian berlari lagi. Kalau saja ojek tadi tidak mendadak mogok, ia pasti sudah sampai sejak tadi.
"Bocil, lo bikin gue capek," ujar Rinzy tepat saat sampai di depan kafe itu. Ia mengatur napasnya. "Akhirnya sampai juga."
Sorot matanya terhenti melihat seorang laki-laki baru saja naik motornya.
"Bocil, awas lo!"
Rinzy lantas menghampiri Alren yang sudah siap pergi dengan motor kesayangannya.
Gadis itu langsung menutup jalan Alren, tepat saat laki-laki akan pergi.
"Woy, lo ngapain? Mau mati?!" bentak Alren, lalu membuka kaca helmnya.
"Gue ikut. Lo mau ke mana?" tanya Rinzy berdiri di depan motor.
"Nggak, minggir!"
Dengan cepat gadis itu mematikan mesin motor dan menarik kuncinya.
Alren melotot. "Lo apa-apaan sih, njing?"
"Lo mau gue ikut apa lo pulang nggak pake kunci?"
Alren menuruni motor seraya membuka helmnya.
Rinzy tersenyum miring, mendadak Ide gila terlintas di otaknya.
"Mas, aku mau minta beli jus buah aja di sana. Nggak jadi di sini," tutur Rinzy berakting seraya mengelus perutnya. "Kamu tega banget."
Suara Rinzy yang terdengar cukup besar hingga tukang parkir. Bahkan tukang gorengan sebelah kafe menoleh.
Alren menghampirinya Rinzy seraya berbisik. "Eh, apaan anjir? Nggak jelas."
"Kamu tega banget, ini kan keinginan anak kamu. Bukan aku, terus kalo aku ditinggalin. Aku pulang sama siapa?" sambung Rizny menarik sebelah tangan Alren.
Rinzy yang tengah menikmati perannya hanya terkekeh kecil, wajah Alren yang mulai menahan kesal.
Beberapa pasang mata di sana mulai melihat ke arah mereka berdua.
Melihat reaksi sekitar, Alren buru-buru Manarik tangan Rinzy mendekatinya.
"Sampe gue dikeroyok, abis lo," bisiknya.
Rinzy tersenyum tipis. "Makanya gue ikut."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top