Part. 1
"Kalo gini terus pasti gue yang menang. Lo nggak takut miskin gara-gara gue?" ledek laki-laki berjaket kulit hitam dengan topi baseball hitam ke belakang.
Laki-laki yang masih terduduk di atas motor tersenyum miring. "Gue takut harta nggak habis, bukan kehabisan."
"Gimana kalo kita taruhan adik lo?"
"Mau mati lo?!"
Laki-laki bertopi itu terkekeh. "Santai." Kemudian ia turun dari motornya menghampiri laki-laki berkemeja kotak-kotak itu.
"Gue bakal taruhan pacar gue. Kalo lo menang dari gue dua kali. Gue bakal kasi tuh cewek dan lo bebas apain aja."
"Kalo lo menang?"
"Kalo gue menang? Gue bakal kasi tau nanti."
Laki-laki itu tersenyum miring menepuk sebelah pundak laki-laki itu sembari melewatinya.
Alrenzo Navendra Ignan, biasa disapa Alren itu adalah ketua geng motor bernama Alrzy. Ia juga menjadi salah satu murid yang ditakuti murid-murid SMA Karya. Salah satu sekolah menengah atas terfavorit di Kota yang dijuluki Kota Patriot itu.
Alren mempunyai kekuasaan penuh karena kakeknya adalah pemilik yayasan sekolah itu. Yayasan Kemerdekaan memiliki tiga sekolah salah satu di Bekasi.
"Pak Asep, bukain kek. Bapak tega biarin gue diluar gini?" Alren berteriak ke arah pos penjaga di balik pagar rumah setinggi dua meter itu. "Woy, Pak!"
"Maaf Tuan, Nyonya Mary meminta saya mengunci pukul dua belas tadi. Sekarang sudah pukul dua pagi," tutur pria paruh baya berseragam warna biru dongker.
Alren menendang pagar besi itu dengan keras. "Emang pelakor, anjing! Udah pelakor nggak tau diri!"
"Maaf Tuan."
Laki-laki menatap tajam pria paruh baya itu. "Yang gaji lo itu bokap gue, bukan dia. Lo nurut sama gue bukan dia."
Tanpa merespons perkataan laki-laki muda itu. Pak Asep lantas kembali ke pos dan menelpon Mary.
"Woy Pak! Nggak mau dibuka juga?!" teriak Alren.
Tidak ada jawaban dari Pak satpam. Alren lantas menuju motornya, ia menaiki motor, menyalakan mesin motor dan menggas dengan kencang.
Wanita tidak tahu diri memang selalu membuatnya geram hampir setiap hari. Kalau tahu hidupnya akan hancur begini, seharusnya ia mati sejak tahun lalu.
Wajah cantik tapi kelakuan seperti monster buat apa? Sampai kapanpun Alren tidak akan menganggap Mary sebagai Ibu. Wanita tua itu tidak pantas dipanggil Ibu, rasanya seperti ingin muntah.
"Berenti! Matikan motor kamu!" teriak wanita paruh baya dengan baju tidur berwarna merah menyala. "Kamu mau masuk tidak?!"
Seketika Alren menurunkan gas motornya. "Ck, makin kesini, makin ngatur. Cepet buka!"
Pak Asep membuka gembok pintu gerbang itu lalu mendorong pagar itu.
Alren menutup kaca helm, lantas memasuki halaman rumah. Namun, tepat saat melewati wanita paruh baya itu, ia menggas cukup keras hingga membuat Mary terkejut.
"Ya Tuhan, Alren."
Dibalik helm laki-laki itu hanya tersenyum miring. Bahkan, meski wanita itu sakit hingga mati pun. Ia tidak akan peduli.
***
"Tante, rok abu-abu aku yang gede itu mana? Ini rok aku udah kecil banget. Masa aku pake ini? Kaya cabe," teriak gadis berambut panjang di cepol dari kamarnya.
"Ya, ampun berisik banget. Kamu mau diusir dari kampung?" sahut Martha-Adik Elisa Bunda gadis itu. "Kenapa, Ris?"
"Rok, aku nggak ada yang pas. Ini kekecilan," ujarnya menunjukkan rok abu-abu span yang sudah mengecil.
"Oh, rok itu kirimin dari Ibunya Endra." Martha menunjukkan paper bag dekat meja belajarnya.
"Astaga, Tante. I-ini roknya sependek ini emangnya?"
"Jaman kamu sama jaman sekarang jelas beda. Udah pake aja, mau uang kan? Kerja ini, udah paling bener."
"Bukan gitu, Tante. Tapi, dari jaman SD aku nggak pernah pake rok begini."
"Pilihan kamu, kalo mau batalin."
Gadis itu terduduk di sisi ranjang. "Ya ampun, pejuang cuan gini amat."
"Kerjaan kamu masih gampang gini. Ngeluh mulu."
"Kata siapa aku ngeluh enggak, Tan. Ya kali. Aku siap besok balik lagi ke sekolah."
Gadis itu tersenyum lebar.
Ya, lebih baik begini. Ini sangat mudah baginya. Satu bulan itu lebih dari cukup.
***
Gadis itu tersenyum tipis pada satpam penjaga sekolah tepat saat melewati pos itu. Entah, semangat dari mana hingga dirinya sampai di sekolah tepat setengah tujuh pagi.
Ia menaiki anak tangga menuju lantai tiga sesuai dengan arahan wali kelas-Bu Aini semalam. Kelasnya terletak di tengah dari ujung yang ketiga, bisa dibilang kelasnya di tengah.
"Yang mana, nih? Mana ngga ada kertas isi list nama gitu." Gadis berkuncir itu berjalan seraya menoleh ke kanan melewati tiap pintu kelas.
Bugh.
Seseorang menabrak sebelah bahunya dan pergi begitu saja.
"Bocil siapa, sih? Kurang ajar banget," umpatnya menatap punggung laki-laki itu yang kemudian berbelok ke salah satu kelas.
Gadis itu masih fokus mencari kelas yang dimaksud wali kelasnya itu. "Semoga aja nggak salah."
Rinzy mengetuk pintu beberapa kali sebelum masuk kelas itu.
"Berisik!" teriak laki-laki itu dari meja belakang yang tengah merebahkan kepalanya di atas meja. "Masuk, masuk aja, njing!"
Gadis itu mendadak geram mendengar teriakkan laki-laki itu. "Astaga, plis lah. Ini kenapa gue sekelas sama anak modelan kurang ajar begini, sih?"
Tanpa merespons, gadis itu hanya tersenyum tipis. Ia melangkah ke salah satu kursi belakang barisan kedua dari pojok, tepat sebelah laki-laki itu.
Tiba-tiba laki-laki itu mengangkat kepalanya dan menoleh padanya. "Siapa yang suruh lo duduk di situ?!"
"Iya? Kenapa?"
Laki-laki itu malah bangkit dan berdiri di samping mejanya. Dengan kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana.
"Siapa lo? Beraninya duduk sebelah gue?"
Gadis itu mengulurkan sebelah tangan kanannya. "Rinzy, gue anak pindahan. Lo siapa?"
Laki-laki itu hanya tersenyum miring menatap remeh gadis di depannya ini.
"Lo cocok duduk di lantai." Laki-laki itu mengambil ranselnya dan membuangnya ke bawah. "Duduk di bawah."
Gadis itu bangkit berdiri seraya menggebrak meja.
Brak.
"Gue juga bayar di sini kenapa gue mesti duduk di bawah? Lo siapa?"
Laki-laki itu tersenyum miring memajukan wajahnya dekat dengan gadis itu.
"Gue cucu yang punya yayasan ini. Kenapa?"
Gadis itu lantas memundurkan langkahnya, berbalik dan mengambil tasnya yang dibuang tadi.
Laki-laki itu kembali ke mejanya seraya memerhatikan gadis itu.
Setelah selesai Rinzy kembali terduduk di kursinya tadi. Ia menoleh pada laki-laki yang juga tengah menatapnya.
"Oke, udah ketemu," batinnya.
"Suka lo sama gue? Lo bukan tipe gue," ujarnya tiba-tiba lantas kembali merebahkan kepalanya di atas menoleh ke arah jendela.
Hai, apa kabar?
Jadi, sebelum lanjut ke part-part berikut yang akan aku up nanti. Aku mau ngucapin terima kasih buat yang udah mampir 🥰
Cerita ini bakal beda dari tiga ceritaku sebelumnya, yang rata-rata manis-manis. Ini agak sedikit beda dan mungkin banyak scene kasar yang nggak patut dicontoh. Jadi, ambil sisi positifnya aja yaa
Oke, sampai jumpa di part berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top