S- Sketchbook | Onzai Momotaro

"Momo."

"Apa?"

"Kenapa kau belum punya pacar?"

"Aku kembalikan pertanyaan itu padamu, [Name]." sahut pemuda berambut merah itu sebelum kembali menekuni kegiatannya yang sempat tertunda.

"Souka? Tapi sayangnya, aku sudah tidak jomblo lagi." jawab [Name] bangga. Iris [eye color]nya melirik Momotaro dari sudut mata disertai seringai tersemat di bibir gadis itu.

Untuk sesaat, gerak tangan Momotaro terhenti sebelum kembali menggoreskan pensil di atas SketchBook miliknya begitu mendengar kalimat [Name] beberapa saat yang lalu.

"Kau tidak mau tau siapa laki-laki itu?" tanya [Name] melihat pemuda di sampingnya hanya diam dan terus menekuni kegiatannya.

"Tidak." jawab Momotaro datar.

[Name] mendengus, ia bangkit dari posisi tidurnya di atas rumput dan merapat pada Momotaro yang tengah duduk bersandar di batang pohon seraya terus menggorekan pensil pada buku sketsa pemuda itu.

"Kau ini sedang menggambar apa sih?" tanya [Name] penasaran karena daritadi Momotaro begitu asyik dengan kegiatannya.

"Bukan urusanmu." sahut Momotaro datar seraya menutup buku sketsa miliknya.

Sebuah perempatan muncul di kening gadis bersurai [Hair color] itu, "Kau ini menyebalkan sekali." ujarnya kesal seraya mencubit pipi Momotaro dan menariknya, membuat sang empunya meringis kesakitan.

"Sakit, bodoh." Momotaro melepaskan tangan [Name] dari pipinya dan mendelik pada pemuda itu.

"Itu karena kau menyebalkan. Pantas saja kau belum punya pacar." ujar [Name] tanpa dosa.

"Tidak ada hubungannya." sahut Momotaro datar seraya mengusap pipi kirinya yang terasa panas.

"Tentu saja ada." jawab [Name] kalem, "Mana ada yang mau dengan laki-laki yang menyebalkan, suram dan selalu menggambar setiap waktu sepertimu?"

Momotaro diam tak menjawab, kepala pemuda itu tertunduk hingga rambut merahnya menutupi sebagian wajahnya.

[Name] melirik Momotaro yang terdiam di sampingnya. Apa pemuda itu marah? Apa kata-katanya keterlaluan?

"Mom-..." kalimat [Name] menggantung, begitu pula tangan gadis itu yang tidak jadi menyentuh bahu Momotaro karena temannya itu lebih dulu bangkit dari duduknya begitu bunyi bel terdengar.

"Aku duluan." gumam Momotaro sebelum pemuda itu melangkah meninggalkan taman belakang sekolah tanpa menunggu [Name] yang kini hanya bisa memandang punggungnya dengan perasaan tak menentu.

##############

Entah untuk yang keberapa kali, [Name] menghela napas gusar. Kepalanya sesekali menoleh pada kamar Momotaro yang terletak persis di samping kamarnya.

Rumah mereka memang bersebelahan, begitu pula letak kamar mereka.

Kamar itu terlihat gelap. Apa Momotaro belum pulang? Atau pemuda itu sudah tidur? Berbagai pertanyaan berkeliaran di kepalanya.

Tadi sore, mereka memang tidak pulang bersama karena Momotaro sudah menghilang entah kemana begitu [Name] selesai membereskan barang-barangnya.

"Apa dia marah padaku?" gumam [Name] pada dirinya sendiri. Teleponnya tidak diangkat, dan smsnya juga tidak dibalas oleh Momotaro.

Di tengah kegundahannya, tiba-tiba ponsel [Name] bergetar, membuat sang empunya tersentak kaget. Dengan cepat, gadis cantik itu meraih ponsel di saku hoodienya.

[Name] menghela napas begitu melihat sang penelpon bukanlah orang yang ia harapkan saat ini.

"Moshi-moshi, Tomo-kun." sapa [Name] setelah gadis itu menggeser tombol hijau untuk memjawab panggilan dari pacarnya.

"....."

"Aku sedang belajar." jawab [Name] bohong. Belajar apanya? Dari tadi dia hanya mondar-mandir tidak jelas di dalam kamar.

"......"

"Maaf, mungkin lain kali."

"......"

"Aa, matta ashita."

[Name] melempar ponselnya ke atas kasur begitu panggilan berakhir.

Entah kenapa gadis itu mulai merasa hubungannya dengan Tomohisa begitu hambar, padahal mereka baru jadian dua hari yang lalu.

Seharusnya sekarang ia menikmati waktu kebersamaan dengan Tomohisa yang notabene adalah pacarnya, bukan malah uring-uringan karena tidak ada kabar dari sahabat merahnya itu.

Kepala [Name] menoleh begitu lampu kamar di sebelah rumahnya menyala. Apa Momotaro sudah pulang?

Segera saja [Name] menggeser jendela, kemudian gadis itu melangkah dan berhenti di balkon kamarnya.

"Momo!" panggil [Name], berharap teman sejak kecilnya itu mau keluar untuk menemuinya.

"Momo!" panggil [Name] lagi karena Momotaro tidak keluar dari kamar pemuda itu.

"Mom-..."

'Sreeekkk'

Pintu balkon terbuka sebelum [Name] memanggil nama yang sama untuk ketiga kalinya.

Momotaro ada disana, berdiri dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuh pemuda itu.

"Kau baru pulang?" tanya [Name] yang dijawab dengan sebuah anggukan oleh Momotaro.

"Kenapa sms-ku tidak dibalas?" tanya [Name] lagi.

"Aku tidak punya pulsa." jawab Momotaro tenang, berkebalikan dengan gadis di seberangnya.

"Dan teleponku? Setahuku menjawab telepon tidak menggunakan pulsa."

Momotaro menghela napas mendengar nada sarkastik gadis berambut [hair color] itu. "Aku ada urusan, [Name]."

"Urusan apa?"

Momotaro diam tak menjawab. Dan [Name] cukup tau diri bahwa mungkin itu bukanlah urusannya. Gadis itu lantas berdehem sebelum kembali membuka suara.

"Kau marah padaku?"

"Marah kenapa?"

"Soal tadi siang." ucap [Name], raut penyesalan tampak jelas di wajah gadis itu. "Maaf, mungkin perkataanku memang keterlaluan."

"Tidak apa-apa." sahut Momotaro datar, "Lagipula perkataanmu tidak salah. Aku memang suram dan aneh."

"Aku tidak menganggapmu aneh." sargah [Name], "Kau benar-benar marah padaku ya?"

"Aku tidak marah padamu." sahut Momotaro, "Tidak akan pernah bisa." lanjutnya dengan suara yang amat pelan hingga membuat [Name] mengernyit karena tidak mendengar kalimatnya dengan jelas.

"Kau ap-..."

"Ini sudah malam, besok harus bangun pagi untuk berangkat ke sekolah kan?" potong Momotaro, iris heterokrom-nya menatap [Name] yang kini juga tengah menatapnya.

Perasaan [Name] saja atau memang iris berbeda warna Momotaro kini seolah tengah diliputi berbagai emosi?

"Mom-...."

"Jja ne."

Belum sempat [Name] menyelesaikan kalimatnya, Momotaro sudah berbalik memasuki kamar pemuda itu.

Kenapa selalu memotong perkataanku?! Batin [Name] kesal.

Ada apa dengan temannya itu?

################

Lima menit lagi bel masuk berbunyi, namun Momotaro belum datang juga. Saat berangkat sekolah tadi pun rumah pemuda itu tampak sepi. [Name] kira Momotaro sudah berangkat duluan, tapi begitu ia sampai di sekolah, tidak ada Momotaro di dalam kelas pemuda itu.

"Mikado, apa Momo tidak masuk hari ini?" tanya [Name] pada laki-laki berkacamata yang baru saja datang. Setahunya, Mikado ini adalah salah satu sahabat Momotaro.

"Sepertinya Momotassu memang tidak memberitahumu." desah Mikado membuat [Name] mengangkat sebelah alisnya tidak mengerti.

"Memberitahu apa?"

"Kau tahu orang tua Momotassu tinggal di luar negeri kan?"

[Name] mengangguk sebagai jawaban. Disini Momotaro memang tinggal bersama adik dari ibu pemuda itu. Lantas, kenapa Mikado menanyakan hal yang sudah ia ketahui?

"Kemarin Momotassu mendapat kabar bahwa ayahnya sakit keras dan menyuruhnya untuk pulang. Pesawat yang membawa Momotassu ke Amerika sudah berangkat dini hari tadi."

Seolah tersambar petir di siang bolong, [Name] mematung mendengar penjelasan Mikado. Momotaro pulang ke Amerika? Kenapa ia tidak tahu? Apa ini hal yang Momotaro sembunyikan darinya?

"Ini."

[Name] memandang kosong buku sketsa yang Mikado sodorkan padanya.

Itu adalah milik Momotaro.

"Momotassu memintaku menyerahkannya padamu."

[Name] menerima SketchBook itu dalam diam.

Tak berselang lama bel masuk berbunyi, membuat semua murid memasuki kelas mereka masing-masing.

Mikado memandang iba punggung [Name] yang menjauh kala gadis itu meninggalkan kelasnya. Terlihat jelas kesedihan di balik wajah penuh senyum yang biasa ditampilkan gadis itu.

"Sepertinya dugaanmu salah, Momotassu." gumam Mikado yang hanya didengar oleh dirinya sendiri.

###############

Pelajaran sudah dimulai satu jam yang lalu, namun [Name] memilih bolos dan pergi ke taman belakang sekolah. Gadis bermata [eye color] itu duduk termenung di bawah pohon tempat ia dan Momotaro biasa menghabiskan waktu istirahat bersama.

Kepala gadis itu mendongak, tangannya semakin erat mencengkram SketchBook milik Momotaro.

[Name] tidak tahu bahwa sebenarnya Momotaro memiliki perasaan yang lebih dari sekedar teman padanya. [Name] juga tidak tahu bahwa alasan Momotaro tidak pernah mengijinkannya melihat isi dari SketchBook milik pemuda itu selama ini adalah karena isi buku itu penuh dengan sketsa wajahnya.

Ya, hanya wajah [Name] lah yang memenuhi SketchBook milik Momotaro.

'tes'

[Name] meraba wajahnya saat merasakan ada sesuatu yang hangat di pipi kirinya.

Airmata.

Gadis bermata [eye color] itu menatap kosong tangannya yang basah. Kenapa? Kenapa ia menangis? Kenapa dadanya terasa sesak seolah oksigen ditarik paksa dari tubuhnya? Kenapa ia merasa begitu terluka saat Momotaro pergi meninggalkannya?

Kenapa ia baru menyadari perasaan Momotaro sekarang?

Kenapa air mata baru mengalir sekarang?

Kenapa disaat pemuda itu sudah tak berada di sisinya?

"Bodohnya aku baru menyadari ketika kau sudah pergi meninggalkanku." lirih [Name] seraya mengusap tulisan tangan Momotaro di atas sketsa wajahnya.

"Maafkan aku karena telah lancang mencintaimu, [Name]."

"Bodoh." gumam [Name] penuh dengan rasa sesal.

Terkadang seseorang baru terasa sangat berarti saat dia telah pergi dan tidak akan kembali.

[Name] terlambat menyadari bahwa dirinya juga menyukai Momotaro. Terlambat menyadari bahwa ada rasa yang aneh saat tidak melihat atau mendengar kabar pemuda itu. [Name] takut mengakaui bahwa kehadiran Momotaro saat itu membuatnya nyaman dan itulah hal yang sebenarnya ia inginkan.

Kini Momotaro telah pergi dan membawa dirinya jauh dari [Name]. Pemuda itu tidak membiarkan [Name] ada lagi untuk mengisi hari-harinya. Momotaro hanya membiarkan gadis itu itu menyimpan SketchBook miliknya sebagai kenangan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top