[BAB 8]
Apa yang ada dalam ponsel Lilac sama sekali tidak mencurigakan, galeri fotonya dipenuhi berbagai pemandangan dari setiap tempat yang disinggahinya. Sesuai dengan dugaan Dean bahwa gadis itu hanya pewaris kaya yang sedang berlibur. Riwayat penerbangannya masih tersimpan dan sesuai dengan data yang tercetak pada paspor. Chat yang masuk ke ponselnya tidak banyak, beberapa memang menanyakan keberadaan tapi sisanya hanya chat yang menginformasikan hal-hal sederhana, seperti tagihan bulanan dan promo belanja. Daftar kontaknya tidak ada yang terkesan spesial. Lebih dari satu jam mencermati setiap chat di ponsel tersebut, Dean yakin tidak ada seseorang yang harus ia khawatirkan merebut gadis itu darinya.
Ada beberapa game di ponsel tersebut dan melihat setiap level yang dilalui, jelas Lilac mahir memainkannya, "Sepertinya tidak ada yang tidak bisa gadisku lakukan, Woof."
Woofer hanya berbaring malas-malasan di lantai, Dean melanjutkan pemeriksaannya dengan membuka laptop. Terlebih dahulu menempelkan stiker gelap di web camera, lalu memasang disk berisi program anti-hack yang akan melindungi jaringan internet miliknya. Setelah program tersebut terinstall sempurna, barulah Dean menjelajah setiap folder di laptop Lilac. Gadis itu menulis jurnal perjalanan dan memiliki sebuah blog, Dean mengunjungi situs blog dengan nuansa alam tersebut.
"Blognya secantik dirinya," puji Dean membaca beberapa tulisan Lilac di sana.
Riwayat pencariannya tidak banyak, hanya memuat situs-situs pemesanan tiket pesawat, pemesanan hotel, pemesanan baju dan pencarian tentang destinasi wisata terkenal di Indonesia. Dean menemukan bukti pemesanan kabin yang Lilac lakukan, gadis itu memesan untuk waktu yang lama, selama dua bulan dan telah melunasi tagihannya pada hari pertama.
Jamie memberikan flashdisk berisi rekaman CCTV yang terpasang di luar kabin Lilac. Dean menontonnya dan menyadari Lilac tidak banyak menghabiskan waktu di luar. Setiap pagi gadis itu rutin berolahraga, lari dan mengikuti fasilitas yoga. Tidak ada yang mencurigakan kecuali saat-saat Dean merasa Lilac memandangi arah CCTV yang terpasang.
Petugas pengantar paket datang secara berkala, Lilac selalu tersenyum ketika menerima paket-paketnya. Dean merasa sangat konyol karena cemburu melihat itu. CCTV terakhir memuat Lilac berpenampilan seperti saat Dean temukan, pada pagi hari gadis itu terlihat terburu-buru keluar dari kabin. Ketika muncul kembali ada tas ransel di punggungnya, Lilac memasuki kabin dan tidak terlihat lagi karena gadis itu terdampar di pantai Dean.
Karena menghargai privasi, Dean tidak memasang CCTV di dalam dan beranda kabin yang mengarah langsung ke laut. Hingga tayangan CCTV itu berakhir, Dean masih tidak memiliki jawaban bagaimana Lilac bisa tiba-tiba terdampar ke pulau pribadinya dalam keadaan luka. Jarak dari kabin itu ke pulaunya memang lebih dekat, tapi pengawas khusus yang Dean tempatkan pasti akan langsung mengamankan jika orang asing mencoba mendekat ke pulau. Pengawas khususnya sangat terlatih, gadis selemah Lilac tidak mungkin bisa melumpuhkannya.
"Tidak ada ransel itu di antara barang-barang Lilac, Woof." Dean menyadari satu hal itu.
Memutuskan untuk mengabaikan sejenak, Dean meneruskan penjelajahannya. Ada folder film di laptop tersebut, berisi banyak film action dengan tema peperangan. Dean juga melihat beberapa video simulasi penerbangan dan peperangan udara, lengkap dengan instruksi militer yang terdengar begitu nyata.
"Aku tidak mengharapkan film Disney, tapi film-film ini terlalu kontras untuk jadi favorit Lilac yang lembut dan feminim." Dean menyuarakan pemikirannya.
Ada rekaman video pribadi dan Dean memutarnya, terlihat Lilac mengenakan pakaian panahan khas Jepang. Orang-orang dalam video juga berbicara dalam bahasa Jepang, menunggu-nunggu penampilan gadis itu. Saat tiba gilirannya, Lilac berhasil melesatkan anak panah, mengenai target dan memperoleh nilai sempurna. Orang-orang itu bersorak gembira tapi wajah Lilac tidak mengalami perubahan berarti, seolah sudah biasa bagi dirinya mampu mengenai target tersebut.
Dean tidak tahu apakah harus mencurigai apa yang dilihatnya atau mengabaikannya seperti perihal ransel tadi. Sepanjang sisa malam, Dean hanya memandang gadis dengan ekspresi datar menatap lurus ke kamera. Mata sewarna tembaga itu sungguh tak terbaca, menyiratkan rahasia atau justru bersiap untuk satu rencana.
)o([x])o(
Freya langsung berjingkat bersembunyi di dapur saat melihat rak buku bergeser dan Dean keluar dari sana bersama Woofer. Memikirkan alibinya keluar dari kamar sepagi ini, Freya langsung sengaja melangkah ke depan lemari es, menuangkan air minum.
Seperti dugaannya, suara geraman Woofer dan langkah kaki Dean langsung terdengar mendekat, "Lilac," panggil Dean.
Membuat wajahnya semengantuk mungkin, Freya menoleh dan menguap kecil. "Dari mana? aku terbangun karena haus dan kau tidak ada."
"Aku dari luar, memeriksa sesuatu bersama Woofer."
Freya berpura-pura antusias saat menduga, "Kejutan lain untukku?"
Dean tertawa, "Bukan."
"Sayang sekali," kata Freya lalu menandaskan air minum di gelasnya.
"Ini masih terlalu pagi, sebaiknya kita kembali tidur," kata Dean mengulurkan tangan.
Freya menyambutnya dan kembali ke kamar. Saat sama-sama berbaring, Dean hanya memeluk ringan. Sebenarnya tidak sulit menduga bahwa Dean pasti memeriksa perangkat komunikasinya.
"Kau memikirkan sesuatu?" tanya Freya mencoba memancing.
"Aku baru selesai memeriksa ponsel dan laptopmu."
Freya mendongak, "Ada sesuatu yang aneh?"
"Jika tidak memikirkannya itu tampak biasa tapi aku merasa beberapa hal aneh."
"Apa itu? Aku punya banyak pacar?"
Dean menggeleng, "Daftar kontak lelaki di ponselmu bisa dihitung dengan jari, tidak ada yang akrab atau spesial. Yang paling rajin menghubungi hanya pengacara keluargamu. Dia menanyakan keberadaanmu dan aku mengirimkan balasan standar dari chat sebelumnya."
"Ohh ...," Freya berpura-pura lega.
"Kau merasa menyukai film action? Peperangan?" tanya Dean tiba-tiba.
Freya langsung tahu yang Dean maksud adalah folder kumpulan film yang ada di laptopnya. "Entahlah, tapi aku merasa pesawat tempur di majalah itu sangat keren Dean. Aku pernah meminta majalah serupa padamu."
Dean mengangguk, tanpa ragu berpikir bahwa jawaban itu mengandung kejujuran. "Kau mahir bermain game dan memanah."
"Game? Memanah?"
"Kau punya blog yang berisi catatan perjalananmu. Negara mana saja yang kau kunjungi, detail lokasi wisata dan banyak foto pemandangan menakjubkan yang kau ambil. Sepertinya keahlianmu dengan kamera juga berhubungan dengan ingatan masa lalumu."
Freya berpura-pura memahami, "Begitu ...,"
"Aku merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi—"
"Tapi?"
"Tapi aku tidak bisa menemukan jawaban mengapa kau tiba-tiba terdampar di pantaiku."
Dean langsung menatap mata tembaga milik gadis yang berbaring di sisinya ini, berharap bisa menemukan alasan paling masuk akal, agar menghanguskan sisa-sisa keraguan yang kadang terlintas dalam benaknya.
Freya balas menatap sendu, tahu bahwa Dean akan lemah dengan jenis tatapannya ini. "Aku sungguh berharap bisa membantumu menjawabnya, Dean."
Amnesia memang sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, Dean sadar betul tentang itu. "Well, kita mungkin menemukan jawabannya seiring waktu berjalan," kata Dean menundukkan kepala untuk memberi kecupan kening. Setelahnya beralih untuk mengeratkan pelukan, mengusap lembut punggung Freya dengan tujuan menenangkan. "Tidak ada pria lain yang harus aku khawatirkan, juga tidak ada seseorang yang menunggumu segera kembali. Kita punya banyak waktu bersama-sama." Suara Dean terdengar lega sekaligus bahagia.
Freya hanya menanggapi dengan anggukan kecil dalam pelukan tersebut.
)o([x])o(
Freya menemukan beberapa jenis obat tidur di kotak P3K, ia segera menggerus beberapa butir dan menaburkan obat tersebut dalam sarapan yang dibuatnya untuk Dean. Ada rencana yang harus dijalankannya. Freya juga menaburkan bubuk obat ke dalam mangkuk makanan Woofer, tapi anjing itu sangat sensitif sehingga alih-alih makan, Woofer menyalak ribut.
"Woofer? apa yang terjadi?" tanya Dean saat keluar kamar, rambutnya masih setengah basah dan handuk tergantung di pundaknya.
"Dia mungkin ingin bermain, aku akan membuka pintu depan."
Dean menggeleng, berlutut dengan sebelah kaki untuk memeluk anjingnya, mengusap-usap punggung Woofer. "Tenang Woof, kau sensitif belakangan ini ... sudah bosan dengan makananmu? Mau berbagi makananku?"
Freya langsung gugup jika Woofer menyadari apa yang dicampurkannya ke dalam mangkuk sarapan Dean. "Kau yakin Woofer mau?"
Dean berdiri, "Ya, dia tidak pernah menolak makanan dariku."
Ketika sampai dapur, Freya langsung menyorongkan piring dengan lima potong ayam goreng keemasan. Ayam goreng itu aman dari bubuk obat tidur dan Freya lega mendapati Woofer mulai tenang menikmati suwiran daging yang Dean berikan.
"Biar aku yang menggantikanmu memberinya makan," tawar Freya.
"Kau sudah sarapan?" tanya Dean, melirik meja hanya ada satu piring yang disiapkan.
Freya mengangguk, "Aku lapar sekali jadi mendahuluimu."
"Baiklah kalau begitu." Dean memberikan sisa daging ayam di tangannya. "Buang tulangnya setelah seluruh daging terkelupas."
"Oke ...," kata Freya lalu perlahan mengalihkan perhatian Woofer dengan daging-daging ayam tersebut. Sesekali melirik Dean yang mulai sarapan, Freya sangat gugup ketika Dean menandaskan sarapannya dan tetap berdiri tegak untuk mencuci piring, membereskan peralatan bekas memasak di dapur. Tidak ada tanda-tanda Dean mengantuk karena setelah itu langsung mengajak Woofer bermain di luar. Freya sudah berpikir bahwa rencananya gagal saat mengantar es limun ke halaman.
Dean berbaring di kursi berjemur sementara Woofer berlarian mengejar bola. "Cuacanya bagus, anginnya juga sejuk," katanya sebelum menguap.
Dalam hati Freya merasa lega, bergegas mendekat dan meletakkan es limunnya di meja, "Dan ada es limun segar."
"Dan perempuan cantik," kata Dean menarik Freya berbaring bersamanya. "Ini mendekati kesempurnaan hidup, pulau pribadi, cuaca bersahabat, anjing bersemangat dan perempuan cantik," katanya lagi sebelum menoleh untuk mencium pipi Freya. Gadis itu tertawa dalam rangkulan Dean. Woofer mendekat untuk menyerahkan bola, Freya segera melemparnya jauh agar anjing itu berlari kembali.
"Apa yang kau lakukan di kehidupan sebelumnya hingga mendapatkan semua ini, eh?" canda Freya, bangun dari posisi berbaringnya untuk menatap Dean.
"Kuanggap ini hadiah atas penderitaan masa kecilku," kata Dean meraih gelas es limun dan menyesapnya. Freya mencampurkan sedikit obat tidur juga dalam es limun tersebut.
Saat Dean menguap sekali lagi, Freya mengambil gelas dan mendekatkan wajahnya, "Kuharap ini bukan hadiah yang berlebihan," ucap Freya lalu mencium bibir Dean. Senang menyadari Dean tidak terlalu bersemangat membalasnya. Efek obat itu jelas bekerja, Dean tampak lebih pasrah dan benar-benar terlelap setelah beberapa menit.
Freya menarik kepalanya, meletakkan gelas di meja sebelum memanggil, "Dean ...,"
Woofer menyalak dan berlari mendekat, menyundulkan kepala ke kaki Dean tetapi lelaki itu tidak bereaksi sama sekali, begitu juga saat Freya menaik turunkan tangannya di depan wajah Dean.
"Kupikir kau harus bermain sendirian, Woof," kata Freya lalu meraih bola dan melemparnya sekuat tenaga ke arah pantai. Woofer langsung berlari mengejar bolanya, Freya bergegas memasuki rumah untuk memanfaatkan situasi yang susah payah diciptakannya.
)o([x])o(
Rak buku itu benar-benar tampak seperti rak biasa, Freya mengingat-ingat apa yang berbeda saat kemarin Dean keluar dari dalam rak yang bergeser ini. Seketika Freya mengingat pajangan yang berganti arah, segera didekatinya pajangan itu dan disesuaikan arahnya. Rak buku bergeser dan Freya langsung fokus pada deretan angka untuk memasukkan kode, Freya terkesiap karena menyadari ada sensor di deretan angka tersebut, sensor sidik jari. Freya bergegas mengeluarkan peralatan make up dari tasnya, sebenarnya itu bukan peralatan make up biasa, lebih seperti peralatan pengolah TKP. Freya bergegas mengambil barang yang Dean sentuh lalu memproses sidik jari yang tertinggal. Seperti agen mata-mata terlatih, Freya menempelkan stiker khusus yang tertempel sidik jari Dean. Menggunakan stiker itu untuk menyentuh deretan angka yang Freya yakini adalah kode pembuka pintu. Dean sangat peduli pada Renato, tidak sulit menebak rangkaian kode yang digunakan pria itu.
"Ini adalah apa yang selama ini kucari," gumam Freya memasuki ruangan rahasia itu.
Perangkat komputer yang diceritakan Dean ada di sana dan sembari menyalakannya, Freya menjelajah ke sekeliling ruangan. Freya mencoba tidak terkejut saat menemukan begitu banyak koleksi senjata di salah satu lemari, setelah melapisi tangan dengan kain, Freya mengambil salah satu senjata tersebut dan mengeluarkan contoh pelurunya. Napas Freya tertahan menemukan model peluru yang tidak akan pernah dilupakannya. Freya mengamankan peluru tersebut dan memperhatikan detail senjata yang jelas dibuat khusus untuk sniper bertangan kidal, berusaha tegar saat menemukan inisial yang terukir di popornya; R. Aldern.
Freya ikut mengamankan senjata tersebut dan beralih kembali ke perangkat komputer milik Renato, memang benar perangkat tersebut memiliki sandi berlapis yang terlalu rumit untuk Freya pecahkan sendiri. Mengingat waktunya tidak banyak, Freya mematikan perangkat komputer tersebut dan memilih mengeluarkan internal hardisknya.
Freya memperhatikan ruangan dengan lebih seksama, ada rak dengan deretan folder dokumen di sudut ruangan. Freya bergegas memeriksa satu per satu folder dokumen tersebut, berusaha tetap tenang saat menemukan rincian data pesanan senjata. Freya menggertakkan gigi kuat-kuat saat menyadari itu adalah dokumen pribadi milik Renato. Dean jelas berbohong untuk membela kakaknya, Dean tahu sejak awal kejahatan Renato layak diganjar hukuman terberat.
Freya meneteskan air matanya saat menemukan dokumen tentang detail kegiatan amal yang selama bertahun-tahun dilakukan keluarganya ada dalam salah satu folder, daftar penyumbang dana tetap, beserta nominal yang setiap tahun disalurkan. Terakhir Freya menemukan undangan khusus untuk menghadiri acara galang dana yang berakhir tragis lima tahun lalu. Seluruh bukti ini seharusnya cukup untuk menyeret Renato dan juga Dean, jika terbukti terlibat dalam semua kejahatan kakaknya.
Freya mengambil dokumen-dokumen tersebut dan bergegas keluar ruangan bersama bukti yang berhasil dikumpulkannya. Freya menyusun bukti tersebut di kamar tidur, terpaksa harus mencuri salah satu tas ransel Dean untuk membawanya. Setelah menutup rapat ransel tersebut, Freya menenangkan diri dan berpikir cara tercepat untuk meninggalkan pulau.
Freya terperanjat karena mendengar Woofer menyalak ribut. Mendekati jendela, Freya melihat Jamie setengah berlari menuju kursi berjemur tempat Dean tidur. Memperhatikan tas ransel yang Jamie bawa, Freya tak bisa menunda lagi kepergiannya.
"Tidak ada banyak waktu," kata Freya lalu berganti pakaian dan mengeluarkan communicator khusus yang terkamuflase dalam salah satu kotak kacamata. Freya juga mengatur sebuah peledak berbentuk buku di sudut kamar. Saat bersiap pergi, mata Freya menangkap flower crown yang tergantung bersama gaunnya. Diambilnya flower crown itu, menyimpannya hati-hati dalam tas lalu menerima panggilan dari communicator yang terpasang di telinganya.
"Password." Suara perintah komputer terdengar.
"Agent Kenny, it's Freya. Freya Fabian," kata Freya sejelas mungkin, Kenny menggunakan proteksi suara untuk melindungi komunikasi mereka. Jika komputer tidak mengidentifikasi suara Freya, communicator ini tidak akan menyala lagi.
Untunglah tidak lama kemudian terdengar suara akrab menjawabnya. "Kakak Ya, damn! Ini berapa lama—"
"Mission complete, I need to go," sela Freya cepat, bergegas keluar dari pintu belakang, menyeberangi halaman dan dengan mudah melompati pagarnya untuk memasuki hutan.
"Lokasi terakhir dari ponselmu agak aneh, koordinatnya tidak sesuai dengan peta Indonesia. Pulau itu tidak memiliki nama dan seharusnya tidak berpenghuni," kata Kenny diiringi suara ketikan cepat, adiknya itu pasti berada di depan komputer saat ini.
"Kau bisa melacaknya dari sinyal communicator-ku yang sekarang?"
"Sudah kulakukan. Aku sedang menunggu visual pulau tersebut," kata Kenny masih dengan latar entakan jari pada keyboard yang semakin cepat. "Apa yang terjadi hingga butuh selama ini untuk mengintai? Kau tahu betapa merepotkannya Papa atau Kai? Aku diomeli—"
"Kenny, mengobrolnya nanti saja, saat ini aku memasuki hutan dan butuh informasi arah tercepat untuk keluar dari hutan ini. Atur penjemputanku juga," sela Freya tidak sabar.
Jeda keheningan membentang sebelum Kenny berseru, "Got it! Larilah ke arah barat, pertahankan kecepatanmu sekarang ... helicopter will wait after the forest."
)o([x])o(
Dean tersentak kaget ketika guncangan kuat Jamie membangunkannya. Woofer melompat ke sisi tubuhnya dan menjatuhkan bola mainannya di kursi, bola itu basah begitu pula bulu-bulu Woofer.
"Jay? Apa yang kau lakukan di sini?" Dean langsung bingung saat menegakkan tubuh, rasa kantuknya masih belum terpuaskan.
"Kau tidur seperti orang mati, aku sangat gugup Dean."
"Aku mengantuk sekali, semalam aku tidak cukup tidur memeriksa barang-barang Lilac," kata Dean lalu menoleh ke kanan-kiri. "Di mana Lilac?"
"Aku memperingatkanmu untuk berhati-hati terhadapnya."
"Aku memeriksa semua perangkat komunikasinya, tidak banyak yang harus kucurigai."
"Kau memeriksa CCTV yang kuberikan padamu?"
"Ya, tidak banyak yang dia lakukan dan tidak berarti apa pun."
Jamie menyipitkan mata, "Kau yakin?"
"Tentu saja, dia bahkan tidak bertemu siapa pun yang patut dicurigai. Dia hanya wisatawan yang butuh istirahat, menyendiri."
"Aku ingin bertemu dengannya."
"No."
Jamie mengetatkan rahangnya, "Aku mendapatkan rincian hasil otopsi petugas khusus itu, Dean."
"Lalu? Apa penyebab kematiannya?"
"Lehernya patah, tengkoraknya hancur."
"Dia terjatuh dari suatu tempat."
"Dia diterjang speed boat, ditemukan sampel DNA di salah satu speed boat itu. Lilac punya luka di kakinya dan pengawas ini punya spesialisasi dengan belati, sarung belati kosong ditemukan di pinggangnya. Kau tahu bagaimana ciri luka karena goresan senjata tajam, pikirkan baik-baik." Jamie menyerahkan berkas dari dalam tas.
Tidak sulit mengenali itu adalah beberapa lampiran otopsi fisik seorang pria gempal, struktur kepalanya tak lagi berbentuk, wajahnya juga tak bisa dikenali lagi. Lampiran terakhir adalah baju beserta barang-barang yang melekat pada korban, difoto satu per satu dari setiap sudut. Dean menatap sarung belati terbuat dari kulit khusus yang terdokumentasikan, tak mampu bersikap biasa saat membaca waktu perkiraan kematian yang benar-benar sesuai jika dihubungkan dengan skenario dugaan Jamie. Selain Renato, jika ada orang yang akan Dean dengarkan adalah Jamie. Lelaki itu membuktikan kesetiaannya hingga hari ini dan selalu bisa Dean andalkan.
Berusaha mengendalikan diri, Dean mengingat betapa lemah dan defensifnya gadis yang selama ini tinggal di rumahnya. "Tapi Lilac tidak ingat apa pun. Jika dia berbahaya bagiku, dia tidak mengingatnya."
Jamie menatap tidak percaya atas tanggapan itu, "Kau akan membiarkannya di sini?"
"Aku pernah berniat mengusirnya dan dia sangat ketakutan. Dia sangat defensif, dia tak mau meninggalkan pulau ini jika tanpaku."
"Dean, ini seperti menyimpan bom waktu yang detonatornya tak kau miliki."
"Jay, aku percaya pada Lilac. Kami memiliki kehidupan yang baik bersama-sama."
Jamie terperangah mendengarnya, seketika berseru, "Kau gila, Dean! Dia mungkin memang cantik dan kau sudah menghindari dunia luar selama ini, tapi tak sebanding jika—"
"Stt ... aku tak ingin kau membuatnya tidak nyaman. Lilac mungkin memperhatikan dari dalam rumah." Dean melirik ke pintu rumahnya yang terbuka lebar.
Jamie geleng kepala sebelum membungkuk, "Kita harus bertemu dengannya dan menanyakan tentang ransel ini."
Dean mengenali ransel tersebut, ransel milik Lilac yang terekam di CCTV terakhir. "Apa isinya?"
"Senjata dan kau akan terkejut melihat jenis senjata apa yang dia miliki."
Dean segera membuka ransel tersebut, mengeluarkan dua pistol berperedam, lima kotak peluru. Tangan Dean berkeringat menemukan teropong dan communicator khusus untuk pengintaian jarak jauh. Di salah satu sisi teropong itu terdapat grafis nama yang sama dengan plakat identitas di kalung Lilac. Sudah jelas siapa pemilik seluruh peralatan ini.
"Ini bukan senjata yang akan dijual bebas, Dean ... ini senjata militer," ungkap Jamie dan tidak sulit bagi Dean menemukan ciri khusus senjata resmi negara.
"Dia anggota militer?" tanya Dean bingung, "Untuk apa seorang anggota militer mengintaiku? Aku yakin tidak memiliki aktivitas yang ...," Dean tak melanjutkan kalimatnya, teringat tatapan mata Lilac ketika ia bercerita tentang Renato. Teringat beberapa kejanggalan tentang keseharian mereka, kecerdasan, kecakapan, suara langkah kaki yang kadang tidak didengarnya, gerakan judo saat pertama kali gadis itu menjatuhkannya. Itu bukan gerakan impulsif karena emosi, itu bela diri.
Seketika Dean langsung beranjak memasuki rumah, Jamie membereskan ranselnya lalu membuntuti. Dean berteriak memanggil Lilac dan tak mendapati jawaban, otomatis melangkah ke dalam kamar dan terkejut karena lemarinya terbuka, tanpa perlu memeriksa Dean yakin dirinya kehilangan sesuatu ... juga, seseorang.
"Woofer! Cari dia," teriak Dean dan anjingnya berlari ke pintu belakang.
Dean menatap ransel yang dibawa Jamie, mengambil salah satu senjata, memastikan peluru terpasang sebelum berlari menyusul anjingnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top