[BAB 2]

"Woof, lima menit," gumam Dean saat merasakan jilatan di wajahnya.

Woofer ganti menggigit kaus majikannya, menarik-nariknya hingga Dean tak punya pilihan selain bangun. "Woofer!" tegurnya ketika binatang itu ganti menarik ujung celana olahraganya.

"Woof, aku akan—" omelan Dean terjeda suara benda jatuh dari kamarnya. Ia segera berlari menuju ke sana.

Lampu nakasnya jatuh, pecah, tumbler air minumnya tumpah, senter berkedap-kedip dan seorang gadis jatuh terlungkup dari tempat tidur.

"Apa yang terjadi?" tanya Dean, berhati-hati melangkah melewati pecahan lampu dan membantu membalikkan posisi si gadis yang kepayahan saat akan meninggalkan tempat tidur.

"Senter ini omong kosong dan aku tak tahan berbaring," kata gadis itu kesal dan semakin melotot, "Apa yang kau lihat?" tanyanya sembari menarik ujung kemeja menutupi paha.

Dean mengalihkan tatapan, "Memastikan kakimu tidak terluka, apa yang kau inginkan?"

"Pertama-tama toilet dan aku ingin pakaian dalamku," kata si gadis, wajahnya tidak merona seperti kebanyakan perempuan dalam situasi yang sama.

"Sure," kata Dean lalu membawa gadis itu ke kamar mandi, mendudukkannya di kloset yang tertutup lalu keluar untuk membawakan satu-satunya pakaian dalam perempuan yang ada di rumahnya.

"Aku ingin sikat gigi baru," kata si gadis saat melirik ke wastafel.

Dean keluar lagi dan membawakan apa yang diminta, "Ada lagi?"

"Tinggalkan aku," katanya.

"Seolah aku ingin berada di sini saja," balas Dean saat beranjak keluar, langsung membereskan kekacauan yang ada di kamarnya. Woofer melompat naik ke tempat tidur dan berbaring mengamati majikannya bersih-bersih.

"Pasti nyaman di sana, aku merindukannya juga," kata Dean lalu menghela napas saat membuang semua pecahan lampu. Dean baru akan memanaskan sup ikan ketika terdengar teriakan, diikuti benda-benda berjatuhan.

"Jangan masuk!" larangan itu menghentikan langkah Dean di depan pintu kamar mandi.

"Apa yang terjadi? kau menghancurkan wastafelku?" tanya Dean, Woofer beranjak ke sampingnya, mengendus-endus pintu kamar mandi.

"Tidak ...," suara itu terdengar ragu. "Belum ...," ralatnya tak lama kemudian.

Dean menunggu dalam kecemasan selama kurang lebih sepuluh menit dan saat gadis itu mengizinkannya masuk, semua alat mandi terjatuh dari rak, tumpukan handuknya juga dan rambut gadis itu basah.

"Bau rambutku mengerikan jadi aku memutuskan untuk keramas, tapi menjaga keseimbangan dengan satu kaki sangat sulit dan—"

"Dan kau gadis bodoh yang memilih menghancurkan properti orang lain, alih-alih meminta bantuan," kata Dean sambil berdecak.

"Aku akan membereskannya." Gadis itu mencoba berdiri dan Dean memilih menahan pinggang ramping itu, dengan mudah mengangkatnya keluar kamar mandi. Melintasi kamar dan ruang duduk, Dean membawa gadis itu ke kursi berjemurnya di halaman.

Sebelum si gadis memprotes, Dean memposisikan kepala dan meraih selang air. Mengguyur buih sampo yang masih tersisa di rambut hitam tersebut.

"Oh, ini menyenangkan, terima kasih," ucap si gadis, tampak lega saat rambutnya benar-benar bersih.

"Woofer akan membawakan handukmu, jangan ke mana-mana," kata Dean, lalu kembali ke dalam rumah. Woofer membawakan handuk baru yang masih terbungkus plastik, Dean mengamati gadis itu menerima handuknya dan berterima kasih dengan cara mengusap-usap moncong Woofer. Anjing jantan itu mengibaskan ekornya tanda kesenangan.

"Dasar, kau bahkan tidak sebahagia itu saat kubagi potongan terakhir sirloin steakku," gerutu Dean sebelum benar-benar beranjak membereskan kekacauan di kamar mandi.

Tiga puluh menit kemudian, Dean keluar rumah membawa sarapan. Sembari duduk bersandar, gadis itu sibuk bermain dengan Woofer.

"Dari mana kau dapatkan bola itu?" tanya Dean, meletakkan mangkuk supnya di meja.

"Oh, anjingmu yang memberikannya, dia ingin bermain."

Woofer mendekat lalu menduselkan moncongnya ke kaki kanan Dean, "Hebat! setelah bosan dengannya, kau kembali padaku," kata Dean tertawa saat Woofer tetap mendesaknya.

"Ini untukku? aku lapar sekali," kata si gadis menunjuk mangkuk supnya.

Dean mengangguk, "Makan lah, aku harus membuat Woofer lelah."

Tanpa menunggu lagi, Dean segera berlari ke arah pantai, membuat anjingnya mengejar. Sesekali di antara kegiatannya bermain dengan Woofer, Dean mengamati gadis yang sedang makan. Dean tidak cukup percaya diri untuk mengaku jago memasak, tapi syukurlah gadis itu terlihat lahap menikmati sup ikan buatannya. Butuh lebih dari satu jam sampai Woofer berlari ke dalam rumah, Dean memastikan mangkuk air dan makanan anjingnya cukup sebelum kembali ke halaman.

Si gadis menatap penuh terima kasih saat Dean mengulurkan tumbler berisi air dingin.

"Enak sekali supnya," puji si gadis sesaat sebelum minum.

Dean menarik kursi kayu dan membawanya ke samping meja, menunggu gadis itu selesai minum lalu bertanya, "Bagaimana kepalamu?"

"Pusing, tapi bukan karena memar ini. Aku terus berpikir siapa diriku."

"Hal terakhir yang kau ingat?"

"Air dan anjingmu... lalu kau dan kau lagi."

"Kau tahu ini di mana?"

Gadis itu menatap sekitar lalu membuat tebakan, "Bali?"

"Bukan, apa kau tahu ibukota Amerika?"

"Washington DC."

"Mata uang tertinggi di dunia?"

Terdapat jeda sebelum terdengar jawaban, "KWD."

"Kau tahu mata uang apa itu?"

"Dinar Kuwait."

Dean bersiul, "Kebanyakan orang akan menjawab Euro atau Poundsterling, kau menjawab dengan benar."

"Untuk apa semua pertanyaan itu?"

"Memperkirakan separah apa kau kehilangan ingatan."

"Sepertinya aku tidak kehilangan pengetahuanku."

"Terlalu cepat menyimpulkan, baru dua pertanyaan yang kau jawab."

Gadis itu melipat tangan di depan dada, "Bagaimana kondisiku saat kau menemukanku? barang-barangku?"

"Well, yang tersisa hanya pakaian dalammu. Aku menggunting kaos dan celanamu. Kau tidak bersepatu apalagi membawa barang-barang seperti paspor atau kartu identitas lainnya."

"Kenapa aku membutuhkan paspor? Aku berada di Indonesia."

"Kau yakin ini Indonesia?"

"Kau berbicara dalam bahasa Indonesia, Mister—oh, siapa namamu?"

"Dean."

Gadis itu menyipitkan mata, "Dean? hanya itu, Dean?"

"Hanya itu." Dean mengangguk.

"Oh, oke. Dean...dan aku no name," ucapnya sembari mendesah sedih.

Gadis itu benar-benar frustasi. Jika tak mengingat lukanya, bisa jadi ia akan memukul diri sendiri. Akhirnya Dean mengeluarkan kalung yang selama ini disimpannya.

"Ini milikmu," kata Dean, menyerahkan kalung tersebut.

Si gadis mengamati kalungnya, awalnya biasa saja tapi saat menatap grafir nama di plakat langsung menatap Dean. "Lilac, di tubuhku ada tattoo ini juga. Mungkinkah ini namaku?"

"Mungkin saja," kata Dean lalu memberitahu hasil pencarian pribadinya, "Lilac Forrest, lahir dan tinggal di Inggris dari pasangan Liya dan Luca Forrest, sepertinya ibumu yang merupakan orang Indonesia dan keduanya telah meninggal dunia. Kau diketahui memasuki Indonesia dua bulan yang lalu."

"Di mana tepatnya aku tinggal?"

"Castleton."

"Aku tidak ingat tapi tahu tempatnya, bagian dari East Midlands, Inggris."

"Yeah, Derbyshire ... daerah pedesaan."

"Kau pernah ke sana?"

Dean memilih memandangi lautan, "Anggap saja bukan hanya kau yang punya pengetahuan tentang dunia ini."

"Oh, maaf aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung," kata si gadis lalu menyentuh grafis namanya berulang kali, "A ... apa pekerjaanku?"

"Tidak disebutkan, tapi kau mewarisi beberapa properti di Castleton."

Si gadis mengerjapkan mata ketika menyadari keganjilan informasi yang Dean berikan. "Dari mana kau tahu semua itu? Kehidupanku tidak masuk dalam pengetahuan umum."

Dean mengatupkan rahangnya lalu menghela napas, "Aku mencari tahu tentangmu, tidak banyak yang kutemukan karena kau termasuk warga negara yang taat, tidak ada pelanggaran mengemudi, tidak ada keterlambatan bayar pajak, tidak ada skandal, semuanya normal, kecuali..."

"Kecuali?"

"Kecuali alasan keberadaanmu di Indonesia dan terdampar di pantaiku dalam keadaan cukup parah."

Si gadis mengerjapkan mata dan memandang area tempatnya berada lebih teliti, tidak butuh waktu lama untuk menyadari apa yang dimaksud Dean dengan pantaiku. "Pantaimu? ini... pulaumu? Milikmu secara pribadi?"

"Ya, dan ya," jawab Dean lalu menunjuk rumah besar di belakang mereka, "Rumahku," menunjuk baju yang dikenakan si gadis, "Bajuku," lalu pada Woofer yang keluar dari rumah, "Anjingku."

"Di mana tepatnya pulau ini?" tanya si gadis mengabaikan fakta kepemilikan yang Dean sebutkan.

"Aku tidak mengatakan alamat rumahku pada sembarang orang."

Si gadis mengerutkan kening, tak bisa menahan diri untuk menatap curiga, "Kau yakin bukan kau yang membuatku terluka?"

"What?" Dean jelas tak percaya dengan tuduhan itu.

"Mungkin saja kau penculik dan aku korbanmu, kau bilang aku punya properti di Castleton dan kau... bisa saja hendak menguasainya."

Dean tertawa meremehkan, "Aku bisa menguasainya tanpa harus menculikmu."

"Atau, bisa saja kau ternyata adalah seorang suami tiran dan temperamen, saat sedang menyakitiku kau membuatku kehilangan inga—"

"Wah! Di dunia ini aku paling tidak percaya pada konsep pernikahan, jadi aku jelas bukan seorang suami dan kau, seseksi apa pun dirimu saat ini jelas bukan istriku," sela Dean penuh ketegasan.

Gadis itu terkesiap dan keheningan membentang sesaat. "Aku benar-benar tidak mengerti dan semuanya menjadi sulit kupercayai," kata si gadis sebelum menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Jelas semakin frustasi dengan berbagai prasangka yang muncul di pikirannya.

Woofer melompat ke kursi berjemur itu lalu menduselkan moncongnya ke bahu si gadis, seolah mencoba menghibur. Dean geleng kepala saat si gadis kini memeluk leher anjingnya, menumpahkan kesedihan di sana.

"Merebut simpati anjingku tidak sama dengan merebut simpatiku. Setelah kakimu sembuh, kau harus pergi," kata Dean, membereskan mangkuk dan piring bekas sarapan gadis itu. "Dan omong-omong, kau akan kupanggil Lilac," lanjutnya sebelum beranjak kembali ke rumah.

)o([x])o(

Lilac Forrest tidak sekadar cantik dan seksi, itulah penilaian terbaru Dean setelah menghabiskan seminggu berikutnya bersama perempuan itu. Lilac tahu cara merawat lukanya sendiri, ia pulih dengan cepat dan jelas semakin akrab dengan Woofer. Anjing itu kini lebih sering berada di sekitar Lilac daripada Dean.

Seperti sore ini begitu Lilac selesai memperbarui bebat kakinya, dia langsung sibuk bermain lempar tangkap di halaman. Lilac masih duduk di kursi santai, melemparkan bola ke segala arah dan Woofer mengejar bola itu. Dean seperti biasa, menjadi penonton kebersamaan itu.

Lilac sudah berhenti menggunakan baju Dean, gadis itu dengan masuk akal memberi alasan mengapa Dean harus menyediakan baju-baju dan perlengkapan perempuan lainnya.

"Aku tahu kau tidak nyaman melihatku mengenakan pakaianmu terus-menerus, karena itu kuharap kau berbaik hati menyediakan baju dan perlengkapan perempuan untukku. Tidak perlu yang mahal, aku akan menghargai apa pun pemberianmu."

Lilac Forrest bisa bernegosiasi dengan baik dan hasilnya ada setengah lusin set pakaian dalam, lima celana pendek, dua celana panjang, tiga potong kaos dan dua kemeja lengan panjang. Dean menambahkan ikat rambut, pelembab wajah, lipgloss dan mau tidak mau membelikan setumpuk pembalut juga.

Setiap kali mereka makan malam bersama, Dean mengetes pengetahuan Lilac dan perempuan itu bisa disebut cerdas karena tahu banyak hal. Lilac mengerti siklus pasang surut air laut, menyadari tanda-tanda badai dan membuat api unggun tanpa korek api di halaman rumahnya. Perempuan itu memahami setiap hal yang diberitakan New York Times dan mengenali tokoh-tokoh penting dari berbagai Negara.

"Apa makan malam kita?" tanya Lilac saat Dean memapahnya kembali ke rumah, matahari telah terbenam. Sudah lama Woofer tidak menghabiskan waktu di luar pada malam hari, itu membuat Lilac juga harus kembali ke dalam rumah.

"Tuna goreng dan salad," jawab Dean.

Lilac menghela napas, "Apa kau tidak bisa mengolah sayur selain dijadikan salad?"

"Biasanya aku tak makan sayur."

"Dean, aku ingin es krim."

"What?"

Lilac duduk di kursi makan lalu mengulang permintaannya, "Es krim, kau tahu itu apa."

"Aku tahu itu apa, tapi tidakkah kau merasa semakin merepotkan? Beruntung aku—"

"Kau orang terbaik yang kukenal, Dean," seru Lilac dengan kesungguhan. "Aku tahu telah membuatmu repot dan tentu saja membuatmu terus mengeluarkan uang untukku, tapi aku akan membayarmu saat ingatanku kembali."

"Bagaimana jika ingatanmu tak kembali?"

"Aku tetap akan berusaha membayarmu, aku janji. Kau bisa membuat surat perjanjian atau apa pun, akan kutandatangani."

Dean menghela napas, "Sudahlah, makan apa yang ada saat ini dan akan kulihat apakah bisa mendapatkan es krim untuk stok makanan minggu depan."

"Oh, ku harap kau akan mengajakku berbelanja."

"Aku tidak berbelanja, seseorang akan mengantarkan persediaan makanan seperti saat aku mendapatkan baju-bajumu."

Lilac memandang heran, tentu saja perempuan itu akan heran. Dean memang sudah lama mengasingkan diri dan tidak berniat untuk mengubah gaya hidupnya tersebut.

"Apa topik kita hari ini?" tanya Lilac, perempuan itu cukup peka untuk tidak melanjutkan pertanyaan ketika Dean menunjukkan gelagat keberatan.

"Fashion, para perempuan selalu tertarik dengan itu," kata Dean

Lilac yang biasanya bersemangat pada sesi pengetahuan mereka, kali ini mengerutkan kening dalam-dalam. "Aku tidak merasa tahu soal fashion."

"Benarkah? Tapi setidaknya kau pasti tahu jenis baju yang cocok untuk setiap musim."

Sembari makan, Dean menunjukkan satu per satu gambar dari laptopnya. Lilac memandangi gambar model-model tersebut dan sekenanya menyebutkan jenis pakaian. Lilac tidak banyak tahu soal model pakaian, hanya mengerti secara umum termasuk setelan formal, setelan santai, atau setelan pesta. Uniknya, Lilac tahu perbedaan setelan asli designer dan palsu.

"Ini hanya gambar dan kau bisa tahu tentang keasliannya?" tanya Dean.

"Logonya berbeda, entah kenapa aku yakin itu. Mungkin aku cukup kaya untuk membeli pakaian mahal ini?"

Dean mengingat-ingat jeans dan kaus yang diguntingnya dari tubuh Lilac, saat itu Dean memang memperhatikan merk yang tertera. "Setelan bajumu yang ku gunting memiliki logo ini," kata Dean menunjuk satu logo di layar.

Lilac mengklik logo tersebut, langsung tersambung ke halaman belanja online. "Aku tidak ingat mengenakan baju apa."

Saat Lilac menurunkan kursornya, Dean melihat setelan baju yang dimaksudnya. Harga yang tertera dalam layar tersebut lebih mengejutkannya lagi. "Well, aku menggunting jeans seharga dua ribu dollar dan sebuah turtleneck seharga lima ratus dollar."

"Kau yakin ini baju yang kukenakan?" tanya Lilac.

"Kau mau melihat sampahnya?" tanya balik Dean.

Lilac menggeleng, "Kalau kau memang yakin berarti kau membuatku kehilangan uang sekitar tiga puluh juta."

Dean berdecak lalu bertanya, "Kau pilih mana? Baju itu atau nyawamu?"

"Nyawaku, tentu saja," jawab Lilac dan mengamati laman belanja online tersebut. "Apa yang kira-kira terjadi? Mungkinkah aku lolos dari percobaan penculikan?"

"Selama bukan aku yang menjadi penculik dalam dugaanmu, kau bebas memperkirakan apa pun," komentar Dean lalu meraih laptopnya dan segera mematikannya.

"Tapi aku tak benar-benar mengenalmu," kata Lilac dengan tatapan curiga.

Dean menarik alis tebalnya, "Kau juga tak mengenal dirimu sendiri."

Lilac menelan kebenaran itu dengan getir, tentu saja tak masuk akal terus membuat dugaan atas jati diri orang lain, mengenali diri sendiri saja ia kesulitan.

"Sejauh ini aku cukup memahami perubahan cuaca, pramuka, pembicaraan ekonomi, mengenal tokoh-tokoh dunia, sedikit memahami fashion, ramah terhadap anjing dan percaya diri. Menurutmu apa profesiku?"

Dean menambahkan, "Kau tahu cara merawat luka, tubuhmu bagus, maksudku kau pasti rutin berolahraga, kau cantik. Kukira dibandingkan pekerjaan, kau mungkin saja pewaris berpendidikan, kau sedang liburan kemudian sial dan terdampar, bisa saja sesederhana itu."

"Kalau yang terparah, kau membayangkan aku sebagai siapa?"

"Simpanan mafia yang mencoba melarikan diri."

Lilac langsung melongo, "Mafia?" ulangnya sebelum tertawa.

Dean bergeming, lelaki itu serius dan Lilac buru-buru menghentikan tawanya. "Sorry, tapi aku yakin cukup terhormat untuk tidak terlibat dalam dunia hitam."

Dean menarik senyum kecil dan memandang perempuan yang duduk berhadapan dengannya ini, "Dan aku cukup yakin, jika benar kau seseorang yang cukup terhormat, seharusnya ada laporan tentang kehilanganmu. Lebih dari satu minggu kau tak ada."

"Kau bilang aku sebatang kara? Orang tuaku meninggal."

"Bukan berarti kau tak punya saudara, kerabat, teman, atau barangkali kekasih? Suami? Siapa pun yang mengenalmu seharusnya sudah panik mendapati kau tak bisa dihubungi."

Wajah Lilac langsung terlihat frustasi, "Kadang aku bertanya-tanya apakah semua ini nyata terjadi padaku? Ataukah aku hanya sedang bermimpi dan belum juga terbangun?"

Dean tertawa kecil, "Menurutmu ini tidak nyata?"

"Nyata tidak nyata, karena selain kesulitan memahami diriku, aku kesulitan memahamimu. Kesulitan memahami semua ini," ungkap Lilac lalu meraih gelas dan menandaskan isinya. "Aku siap kembali ke kamar."

Dean membantu tanpa banyak bicara, Woofer mengikuti ke kamar dan Lilac menggerakkan tangan agar anjing itu berbaring di sebelahnya.

"Wah hebat, setelah mencuri kamarku, kau juga mencuri anjingku," kata Dean saat Woofer begitu saja berbaring di samping Lilac.

Perempuan itu tertawa nyaring, "Berhati-hatilah Dean, aku mungkin mencuri segalanya darimu."

Dean geleng kepala lalu berjalan ke pintu, "Malam," katanya dan menutup pintu.

)o([x])o(

Dean tersentak bangun karena suara teriakan perempuan dan Woofer menyalak panik. Ia terburu-buru beranjak menuju kamar, membiarkan Woofer keluar dan Dean mendekati tempat tidur. Lilac jelas mengalami hal buruk, napasnya menderu, kedua tangannya menggenggam sprei, dan ada tangisan tertahan.

"Hei... hei... Lilac, bangun," panggil Dean sembari menepuk pelan wajah yang merengut ketakutan tersebut.

Isakan semakin kuat terdengar, membuat Dean lebih keras berusaha membangunkan.

"Hei... Lilac! Lilac!" seru Dean kali ini mengguncang pelan bahu perempuan itu.

Tubuh lembut itu tersentak, "Tidak akan kumaafkan, tidak akan!" teriaknya lalu menangis kembali dalam tidur.

Dean telah bertahun-tahun mengasingkan diri, hanya sesekali berinteraksi dengan manusia. Jenis interaksinya tentu saja asing dan seperlunya, tidak seperti dengan perempuan yang kini menangis terisak kesakitan. Lilac terlihat menderita, mimpi apa pun itu cukup kuat mempengaruhi kondisi psikisnya. Tubuh Lilac gemetar dan isakan tangisnya semakin memilukan.

" I'm sorry... I'm sorry..." Lilac terus meminta maaf entah pada siapa.

"It's okay, it's fine ... Lilac," ucap Dean mencoba menenangkan.

Lilac merespon tindakan Dean dengan mendekatkan tubuh. Seakan kedekatan bisa menyembuhkan, tangis perempuan itu mereda seiring Dean mengeratkan pelukannya.

Woofer kembali memasuki kamar, Dean merasakan anjingnya memilih berbaring malas di kaki tempat tidur.

"Woof, bangunkan aku setelah lima belas menit," pinta Dean, Woofer menanggapi dengan geraman tertahan dan setelah lima belas menit, anjing itu membiarkan majikannya tetap pulas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top