[BAB 1]
MERIDIAN HARSHAD & LILAC FORREST
Tidak ada kegiatan yang lebih menyenangkan di hari Minggu selain bermalas-malasan dan itulah yang sedang Dean lakukan saat ini. Berbaring di kursi berjemurnya dengan sebotol bir dingin, mendengarkan suara ombak yang bergulung dan berdebur menerpa karang. Burung-burung berterbangan sementara Woofer—anjingnya, berlarian di pantai. Kegiatan sekaligus pemandangan yang telah ia nikmati selama bertahun-tahun dan tak akan pernah bosan.
Dean mengambil botol bir kedua saat Woofer tiba-tiba menerjangnya, bulu anjing itu sedikit basah. "Woah ... easy, buddy," ucap Dean sembari mengusap moncong anjingnya.
Woofer tampak gelisah, kepalanya sibuk menoleh ke pantai dan pemiliknya. Akhirnya Dean bangkit dari kursi, "Apa yang ingin kau tunjukkan?" tanyanya.
Anjing seberat tiga puluh kilogram itu berlari cepat ke arah pantai. Dean mengikuti perlahan, berpikir ada penyu lain yang terdampar. Minggu lalu Woofer membangunkannya dari tidur siang karena itu. Woofer menggonggong keras, menuntut perhatian. "Aku datang, penyelamat penyu," kata Dean, tertawa-tawa menuruni tangga batu menuju pantai.
Woofer menggonggong dan kembali berlari ke arah Dean, kali ini mendorong-dorong kaki Dean dengan moncongnya. Mendekati bongkahan karang terdekat, Dean terkesiap melihat sepasang kaki tanpa sepatu.
"Oh!" ucapnya dan mempercepat langkah. "Shit!" Dean memaki saat melihat keadaan gadis yang terdampar di pantainya ini. Rambutnya hitam, keningnya membiru, jelas mengalami cedera. Sebelah kakinya membutuhkan jahitan karena luka gores yang cukup dalam, darah masih mengalir dari sana, membuat air pantai yang menerpanya berubah warna.
"Woof, shut up!" Dean menegur anjingnya yang terus menggonggong.
Pertama-tama, Dean menyingkap rambut hitam yang menutupi sebagian besar wajah gadis itu. Tidak bisa menahan siulan saat menemukan wajah yang meskipun pucat pasi, tampak sangat rupawan. Ada luka kecil di pipi mulus gadis itu dan di sudut bibir pucatnya.
"Dia masih hidup, tapi tak kan bertahan karena luka di kaki dan kepalanya," kata Dean, anjingnya merespon dengan tatapan sayu.
Dean berdecak, "Menyelamatkannya akan merepotkan kita, Woof."
Woofer mendekat untuk menempelkan moncongnya ke lengan Dean, tanda bahwa binatang itu mencoba memohon padanya. "Ah! kau bahkan tidak tahu siapa dia," gerutu Dean.
"Guk!" Woofer menggonggong pelan.
"Kita akan menghubungi petugas di pulau utama, lalu—"
"Guk! Guk! Guk!" Woofer menyela, Dean terkesiap merasakan sentuhan di lengannya.
Mata cokelat tembaga milik gadis itu menatapnya tajam, "Lilac!" sebutnya sebelum kembali kehilangan kesadaran.
Woofer kembali menyundul-nyundul, membuat Dean akhirnya menghela napas. "Fine, I'll help her," katanya lalu mengangkat tubuh si gadis.
)o([x])o(
"Godness," ucap Dean saat menggunting celana jeans milik gadis yang ditolongnya ini. Betis dan paha yang luar biasa, sepasang kaki jenjang dengan tungkai yang pasti membuat lelaki menerbitkan bayangan kotor di pikirannya.
Woofer mengangkat kepala saat majikannya masih terus mengagumi keindahan kaki tersebut. "Kau tak akan mengerti," kata Dean, membebaskan kaki tersebut dari celana jeans.
Dean menuang cairan untuk membersihkan luka, lebih dahulu menyuntikkan bius sebelum perlahan menjahit luka terbuka di kaki tersebut. "Seperti kaki peselancar atau pemanjat tebing, ototnya luar biasa," kata Dean tidak bisa berhenti memuji kepadatan otot kaki yang tengah dirawatnya ini.
Setelah hampir setengah jam mengurus luka di bagian kaki, Dean ganti memeriksa memar di kepala. "Karena dia sempat tersadar, kukira ini tidak separah dugaanku," kata Dean, menghela napas saat sadar dirinya harus menelanjangi gadis ini, memberinya pakaian kering lalu memindahkannya ke tempat tidur yang lebih nyaman.
"Sudah kubilang menyelamatkannya akan merepotkan," gerutu Dean, meraih gunting dan kaos basah gadis ini yang jadi sasarannya.
"Double shit!" ucap Dean menyadari apa yang tersembunyi di balik kaos hitam yang baru diguntingnya. Mencoba mempertahankan sikap sebagai gentleman, Dean memalingkan wajah saat harus melepaskan sport bra hitam dan celana dalam senada itu. Dengan cepat meraih kemeja bersih dan memakaikannya.
"Well, setidaknya aku sudah mencoba," kata Dean, akhirnya tetap memandang bagian tubuh gadis itu sembari mengancingkan baju. Ada sebuah tato di bagian bawah tulang rusuk, pesawat terbang kecil mengarah pada tato tulisan latin; Lilac di bagian samping tubuhnya. Dean juga melihat sebuah kalung di leher gadis itu, bandul pesawat terbang menghiasi plakat identitas dengan grafir nama 'Lilac Forrest', Dean melepaskan kalung tersebut dan menyimpannya.
Woofer langsung sigap mengikuti saat Dean memindahkan penghuni tambahan ini ke kamar, memberi penyangga untuk kaki yang terluka lalu mulai menyiapkan infus beserta kompresan.
Sepanjang sisa hari, Dean sibuk mengurus gadis itu. Berulang kali mengganti kompres dan memastikan keadaan si gadis.
"Dia mulai demam, Woof," kata Dean saat keluar kamar untuk mengganti air kompresan. Woofer yang menunggu di depan pintu kamar hanya mengangkat kepala sebagai respon.
"Haruskah kita panggil Jamie?" tanya Dean.
Jamie adalah dokter yang bertugas di pulau utama. Butuh setengah jam perjalanan dengan speedboat untuk sampai kemari. Woofer menurunkan kepalanya di lantai dan memejamkan mata.
"Dasar! Kau yang ingin jadi pahlawan, aku yang kerepotan," gerutunya sebelum kembali masuk ke kamar.
)o([x])o(
"Jika malam ini gadis itu tidak bangun juga, kita akan mengirimkannya ke pulau utama," kata Dean setelah tiga hari berlalu dan gadis yang dirawatnya belum juga sadarkan diri. Dean membolak-balik plakat identitas di tangannya, satu-satunya bukti identitas gadis yang ditolongnya.
Namanya Lilac Forrest, sebatang kara dan diketahui memasuki Indonesia sejak dua bulan yang lalu. Gadis itu sepertinya salah satu korban kapal karam yang menghebohkan belum lama ini, kapal itu mengangkut wisatawan dari Bali ke Lombok, kesalahan antisipasi jumlah penumpang membuat kapal itu karam setelah sepuluh menit berlayar.
"Tapi bukankah dia terdampar terlalu jauh?" tanya Dean.
Woofer tidak menanggapi, tetap malas merebahkan kepala di kaki kursi berjemur majikannya.
Dean menggaruk cambang pendek di janggutnya, "Dia sebatang kara, kemungkinan kehilangan barang-barangnya dalam kecelakaan kapal itu." Dean menghela napas lalu memandang anjingnya, "Ini akan semakin merepotkan Woof."
Menjelang tengah malam, Dean mondar-mandir di depan tempat tidurnya. Gadis itu sudah tidak demam, beberapa kali saat Dean tengah membersihkannya juga terasa ada respon gerakan sederhana, tapi entah kenapa belum juga membuka mata.
"Aku akan mengirimkan..." suara Dean menghilang saat mendapati tangan gadis itu mulai bergerak. "Oh, good," kata Dean langsung bergegas mendekat ke samping tempat tidur.
Wajah cantik itu mengerutkan dahi kemudian bergerak ke kanan, ada desis pelan terdengar, seperti baru merasakan sakit, lalu sepasang mata cokelat tembaga kembali menatap Dean. Sebelah alis sempurna itu terangkat, "S...siapa?"
"Penolongmu," jawab Dean lalu sebelum bicara lebih banyak hal, gadis itu sudah kembali memejamkan mata. "Oh sial." Dean segera meraih senter dan berniat memeriksa tingkat kesadaran.
Tangan Dean ditahan saat menyentuh kelopak mata, "P...pusing, kepalaku pusing," ucap gadis itu, dahinya mengernyit dan mendesis kesakitan.
"Memarmu memang cukup parah," kata Dean, membebaskan tangannya lalu meletakkan senter di nakas.
Saat si gadis membuka mata kembali, dia mengamati Dean seperti kolektor memeriksa barang antik, tatapannya penuh perhitungan. "Air ...," pintanya setelah beberapa saat.
Dean meraih tumbler dengan sedotan stainless steel, membantu gadis itu minum. "Kupikir kita bisa mengobrol besok pagi saja," katanya lalu menguap.
"Ng?"
"Kau jelas butuh waktu beristirahat dan aku tidak cukup tidur setelah tiga hari bertahan di sini, merawatmu," kata Dean lalu menunjuk senter di nakas. "Hidupkan senternya kalau butuh sesuatu, kau masih kesulitan berjalan, anjingku berjaga di luar dan aku akan tidur." setelah menjelaskan itu, Dean melangkah ke pintu.
"Tunggu," pinta gadis itu lirih.
Dean menoleh tapi tidak kembali mendekat. "Ya?"
"Kau tidak mengenalku?" tanya gadis itu membuat Dean sendiri heran.
"Kau artis? Penyanyi terkenal? Istri, anak, atau cucu presiden?" tanya balik Dean.
Gadis itu mengerutkan kening sebelum menggeleng, "Aku, oh ... berharap kau mengenalku."
"Kenapa aku harus mengenalmu?" Dean benar-benar tidak mengerti.
"Kurasa ... ng, ini gawat," kata gadis itu sambil memejamkan mata, seolah mencoba berpikir. Dean terus menunggu di tempatnya berdiri tapi gadis itu masih terus bersikap aneh.
"Beristirahatlah," kata Dean
"Aku bilang tunggu," si gadis melarang dengan nada memerintah.
Dean mengurungkan langkah, menggeram kesal, "What?"
Si gadis berkata lirih, "Aku tidak ingat, siapa diriku."
Dean tiba-tiba merasa pendengarannya terganggu, "Apa katamu?"
"Aku tidak ingat siapa diriku," ulang si gadis.
Dean tidak bisa memberikan respon selain menunjukkan dirinya juga bingung dengan pengakuan tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top