All's Well That Ends Well

》· · ──────·本·──────· ·《
.







.









.






.







.






.

Glittering flakes:

The wind is breaking

Frozen moonlight



-Horiuchi Toshimi











.







.








.








.








.

.









.









.








.

"Jatuh cinta itu, rasanya seperti apa?"

Pertanyaan itu berasal dari gadis dengan kulit sepucat porselen yang terduduk di ranjang rumah sakit kepada Mark Lee. Sang lelaki yang sedang meletakan bunga krisan segar yang ia bawa hari ini di atas nakas, menoleh ke arah si gadis.

"Kamu penasaran?"

"Karena pada titik tertentu, mereka rela berkorban demi mereka yang sebut cinta. Demi orang yang mereka cintai," gadis itu berkata lemah. Matanya menatap ke luar jendela, dimana langit sore berangsur berubah warna menjadi biru bercampur jingga. "Perasaan macam apa itu?"

Mark Lee tersenyum getir. Menatap punggungnya yang tertutupi rambut hitam tipis dan kusut. Penyakit menahun yang hinggap ditubuhnya membuatnya setiap hari harus kehilangan helai demi helai rambut cantiknya.

Tapi dia tetap cantik, meski rambutnya tak lagi bergelombang dan lembut seakan sutra.

"Tak perlu memikirkannya sekeras itu. Jatuh cinta terkadang mengabaikan fungsi otak."

"Bukankah itu bodoh?"

Samar-samar terdengar derit ranjang rumah sakit yang beradu dengan lantai. Sinar jingga yang berusaha menebus kaca jendela, menerangi seisi ruangan yang sewarna sendu. "Itulah seni jatuh cinta. Mereka yang mencintai, adalah seorang seniman."

Si gadis menoleh. Matanya yang secoklat kenari bertemu dengan iris mata milik Mark Lee. Menatap dalam, dan sedikit rasa sedih di dalamnya. Binar mata yang semakin habis setiap harinya.

Dia tidak sadar, bagaimana seorang Mark Lee melihatnya adalah wujud dari cinta itu sendiri.

"Kau tahu waktuku tidak lama lagi."

Seperti hujan air dingin yang berjatuhan, menampar Mark Lee dengan pernyataan pedih.

"Aku ingin tahu alasannya, kenapa Tuhan menciptakan langit seperti itu,"

"Kenapa mereka berdua duduk disana, dengan tangan saling bertautan seperti itu,"

"Kenapa mereka melahirkanku, walau meninggalkanku juga sendiri."

Gadis itu terdiam. Kembali menatap sang adam yang juga membisu. "dan alasan keberadaanmu disini. Alasan kamu membawa bunga itu. Alasan kamu... menatapku seperti-"

Seperti seluruh dunia ada didalam matanya.

"Mereka selalu bilang, alasan sebuah keberadaan lebih banyak karena cinta."

Gadis yang tidak tahu arti jatuh cinta. Gadis yang mempertanyakan rasa yang tidak pernah hinggap dihatinya. Gadis yang selalu berkata tidak memiliki waktu panjang.

Gadis yang dicintai Mark Lee, sepanjang hidupnya.

"Rasanya seperti... ketika bersamanya, seolah dipunggungmu tumbuh sayap yang membawamu terbang dan menari, diantara langit sore itu. Tak peduli seberapa lelah kakimu, kamu akan terus menari." Sang adam menjawab getir, bersamaan dengan sehelai kelopak krisan yang jatuh.

"Detak jantung yang berpacu cepat, kamu ingin menghentikannya saat itu juga. Tapi disaat bersamaan, kamu ingin terus merasakannya. Rongga paru-paru yang seolah dipenuhi kupu-kupu bertebrangan,"

Sudut bibir Mark Lee tertarik ke atas. Bila digambarkan, rasanya seperti berwarna kebahagiaan dengan mata kelamnya yang semakin tenggelam dalam tatapan gadis itu. "dan kamu melihat seluruh dunia, di dalam matanya."

Deru nafas Mark Lee terdengar sedikit terburu-buru karena jantungnya yang memompa terlalu cepat. Dia memutus kontak mata, beralih pada luar jendela dengan rona mekar diantara pipinya.

"Sama seperti ketika kamu melihatku?"

"Sama seperti ketika aku melihatmu."

Sang gadis tak bereaksi apapun. Iris mata coklat keruh itu masih menatap lelaki dihadapannya yang berwajah memerah. Wajah yang selalu dilihatnya beberapa tahun terakhir, lelaki yang selalu berwangi laut dengan campuran apel hijau.

Kamar rumah sakit terasa lenggang. Deru nafas Mark Lee belum kembali normal. Angin bulan November yang menyusup diantara sela sela jendela membelai kulit mereka. Sedikit banyak menyadarkan Mark Lee, akan posisinya.

"Jendela mu terbuka sedikit. Kututup ya? Udara dingin tidak cocok untukmu."

"Kenapa khawatir? Aku terbiasa dengan dingin."

Ada getar pada kusen jendela ketika Mark Lee menutupnya. Posisi dia saat ini memunggungi sang gadis. Mati-matian sang adam menahan perih di dada, digantikan dengan dirinya yang mengulas senyum getir menyiksa.

Setelah selama ini, gadis itu tetap tidak tahu bagaimana rasanya dicintai.

Gemuruh dalam dada Mark Lee berteriak ketika dia kembali mendekati ranjang sang gadis. Menatap jiwa cantik yang bunga hidupnya telah layu. Dalam satu tarikan nafas, dia meraih telapak tangan yang berjari kurus dan pucat itu. Menggenggamnya erat sambil sesekali menempelkan bibirnya pada tangan itu.

Menyalurkan hangat sepanjang yang ia bisa.

"Dingin itu baik. Tapi kamu memerlukan kehangatan."

Mark Lee membawa telapak tangan itu pada pipinya yang sejak tadi memanas. Dilihatnya bibir hadis itu bergetar dan dilanjut dengan rasa nyaman yang dirasakannya. Terlihat bagaimana perlahan ibu jarinya mulai bermain di sekitar pipinya.

"Kamu merasakan? Bagaimana hangat itu terasa?"

*

Lelaki itu menyusuri koridor rumah sakit dengan cepat. Dengan nafas terengah-engah dan buku jari yang bergetar karena dia memaksa kakinya berlari menuju rumah sakit. Tak ia hiraukan makian orang-orang maupun dingin yang menusuk tulangnya. Isi kepalanya kacau, dadanya terasa sakit ketika mendengar kabar terbaru dari gadis tercintanya.

Getar menyelimuti dirinya ketika ia menggeser pintu kamarnya. Dia mendapati gadis itu, berbaring dalam keadaan kacau. Tubuh ringkih itu terlihat lemah dengan mata terpejam bersama dengan seorang suster di sebelahnya.

Bercak darah yang membekas pada selimutnya, serta sisa bau anyir yang mengudara.

"Batuk darah dan kesulitan bernafas. Sekarang dia lebih tenang. Tetapi masih lemah." Begitu kata perawat kepada Mark Lee, sekali lagi melirik pada sang pemilik kamar yang sedang bernafas lemah.

Tinggalah mereka berdua sendiri. Kekalutan masih menyelimuti wajah sang adam. Detak jantungnya berangsur normal begitu dirinya meraih telapak tangan gadis itu. Mendekapnya erat dengan kepala tertunduk, menyematkan doa setinggi-tingginya.

Kepada Tuhan,

Dia belum bahagia.

Biarkan aku membuatnya bahagia.

Sekali saja.

Dia cantik, dia indah.

Kucintai dia.

Hentikan waktu untukku dan dia.

Dinding rumah sakit mendengar bisikan tulus Mark Lee. Air mata jatuh di ujung tepi mata. Isak tangis tertahan bersamaan dengan deru nafas dingin yang menyesakkan. Konon, rumah sakit lebih banyak menampung kesedihan dan saksi bisu doa tulus daripada rumah ibadah itu sendiri.

Entah berapa lama Mark Lee hanyut dalam sedekap, langit di luar sudah gelap ketika ia melihat ke arah jendela. Bersamaan dengan kelopak mata sang gadis yang perlahan terbuka, menampilkan sepasang manik keruh yang indah.

Genggaman tangan Mark Lee semakin mengerat, perlahan membelai lembut jemari kurus gadis itu. Sebuah senyum terbit untuknya, melawan kabut dimatanya demi melihat senyum tipis gadis itu.

"Aku masih selamat ya?"

"Karena aku tidak mengijinkanmu pergi."

"Sampai kapan?"

"Selama yang aku bisa."

Suara gadis itu pelan dan lemah. Ada lelah di air wajahnya, bertahun-tahun melawan sakit di seluruh tubuh. Jiwa yang memaksa ingin pergi. Netra sang gadis menatap langit-langit kamarnya, seolah membayangkan bentuk pemakaman yang tepat untuknya.

"Di saat terakhir tadi, kupikir terjadi sesuatu yang aneh." Kata sang gadis. Dia melirik kea rah daun pintu kosong. "Aku seakan melihatmu datang dari sana."

"Aku akan selalu datang untukmu."

"Aku seakan melihatmu, lalu aku tidak mau pergi."

Hening kembali menyelimuti kamar itu. Dengan lembut dia mengelus rambut tipis sang gadis, helai yang semakin berkurang tiap kali ia menemuinya. Matanya menangkap bunga krisan di atas nakas yang tak lagi sesegar terakhir dia lihat. "Karena itu, jangan pergi. Aku akan datang."

"Kupikir aku ingin melihatmu datang." Matanya terpejam, menikmati belaian Mark Lee pada rambutnya. Senyum tipisnya terukir cantik di ujung bibir. "Kalau begitu, berjanji ya?"

Jiwa lemah itu bersuara lembut. Dirasakannya tangan Mark Lee yang dingin, tetapi hatinya sedikit menghangat. Sedangkan sang adam masih nyaman menatapnya, saat ini, dan seterusnya.

"Salju pertama datang. Bersamaku."

*

Salju pertama tahun ini.

Mark Lee datang menemaninya. Selalu.

Tetapi dia tetap pergi.

Lubang hitam yang menggerus dada. Meninggalkan kesunyian dan kehampaan yang tak berujung. Mark Lee bersedekap dalam hening. Kamar itu terasa semakin dingin, tak ada lagi deru nafas lemah dari ranjang yang berdecit itu.

Tak ada air mata lagi yang jatuh dari ujung mata. Tetapi dinding rumah sakit yang bisu itu tahu, raga sang adam terguncang dahsyat. Seolah ada kabut yang melilit dadanya. Bunga krisan mengeluarkan wangi memuakkan.

Salju pertama turun, berwarna kesedihan.

"Aku menunggu salju pertama tahun ini."

"Jangan menunggunya."

"Mereka cantik. Aku ingin menari di bawahnya tumpahan benda putih itu."

"Mereka membawamu pergi."

"Aku berdoa, semoga aku bisa melakukannya suatu saat."

"Bisakah?"

Jantung sang adam serasa ditusuk puluhan jarum. Percakapan beberapa saat lalu masih berputar di kepalanya seakan seruling tak berkesudahan. Habis waktunya, untuk membuat gadis itu bahagia di saat terakhirnya.

"Kamu bahagia?"

Itu hanyalah sebaris pertanyaan sederhana. Tetapi Mark Lee tahu, gadisnya selama ini tidak memiliki kesanggupan menjawab pertanyaan itu. Karena bertahun-tahun, dia tak kunjung bahagia.

"Ya. Karena kamu ada di sini."

Raga tanpa nyawa di atas ranjang itu perlahan meninggalkan kamar yang ditempatinya beberapa tahun terakhir. Tak ada bising yang tak perlu, perawat berkerja tanpa suara. Kini mereka tak perlu lagi membersihkan rambut rontoknya, atau bekas muntahan darah dari gadis itu.

"Aku benar-benar ingin menarikannya bersamamu."

Langkah Mark Lee menyusul ranjang yang membawa gadisnya, lalu beralih ke luar rumah sakit. Berdiri di bawah salju yang seolah menangis berbisik. Gumpalan putih yang membawa gadisnya pergi.

"Mungkin karena akhirnya aku tahu jatuh cinta."

Air mata tak tertahankan lagi. Sedikit demi sedikit terjun dari ujung mata. Pandangannya mengabur bersamaan dengan air yang menumpuk di pelupuk mata. Tanpa sadar kakinya bergerak, melangkah dengan pola berirama.

Mark Lee tersenyum getir. Gadisnya ada di sana. Menarik tangannya di bawah salju turun. Menari bersama, dengan angin dingin seolah senandung pengiring. Tak ada lagi rambut rontoknya, atau mata lelahnya. Bibir itu kembali ranum, seperti semula sebelum kesedihan merenggutnya.

"Akhirnya aku tahu, seperti apa rasanya. Tatapan itu. Debaran itu."

"Kamu tahu, kamu seindah itu."

"Aku ingin merasakannya lagi, dan lagi."

"Aku telah merasakannya begitu lama. Kamu membuatku candu."

"Sebelum semua ini berakhir,"

Senyum getir Mark Lee yang menyesakkan, bayangan gadisnya yang indah itu kini memeluknya. Dapat ia rasakan bagaimana hangatnya pelukan itu kala jiwa masih hidup dalam raganya. Wangi krisan yang manis.

"Aku berjanji,"

"Jangan pergi."

Senyum sang dara yang indah. Bersamaan dengan salju yang semakin menariknya pergi, dia membisikkan perpisahan. Kepada yang tercinta.

"Akan kucintai kau, di kehidupan manapun."

*

.

.




.



.


.

In another life

I promise

you and me




.



.



.




.


》· · ──────·本·──────· ·《


HAIII

another story of mark lee

aaaa

gatau kenapa kalo nulis mark lee tuh ada sedih sedihnyaaa

pengen nulis yg fluffy kenapa susah banget huhu

anywayyy, selamat membaca semuaa dan jangan lupa kritik saran nya yaaa



Tobyosan



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top