2. Lunch Break

hii semuaaa!!

Jangan lupa vote, comment, dan follow wp dan x aku di (at) gemeinschweft agar bisa mengikuti update dari cerita ini.

fyi, aku juga buat thread di twt supaya bisa rekap untuk teman-teman yang bacanya dari twt dan kalau ada konten, aku bisa attach thread tsb. kalian juga bisa kasih review lengkap dari qrt :")

Terima kasih dan selamat membaca!

.





.





.

Central Java, Indonesia
Mid-June 2026

Rayan Hardika Pradana terpaksa meladeni panggilan ayahnya, Andhika Pradana, yang meminta Rayan untuk makan siang bersama. Dengan sengaja, Andhika memilih restoran yang masih satu komplek dengan hotel dan resor mewah di Jawa Tengah. Rayan membutuhkan waktu sembilan puluh menit dari Yogyakarta untuk mencapai lokasi tersebut dari rumah sakit.

"Rayan, bagaimana studi dokter spesialismu?"

Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu tampak mendenyitkan dahi. Baru saja ia duduk di salah satu kursi dan ia sudah disodori pertanyaan tersebut oleh orang nomor satu di negara ini. Jika Rayan membalas dengan pertanyaan 'bagaimana dengan pemerintahan dan kabinetmu?' pada ayahnya, mungkin Rayan tidak akan bisa kembali ke Yogyakarta dan langsung dibawa ke rindam.

"Baik, Ayah," jawab Rayan datar.

Mendengar jawaban singkat anak lelakinya, Andhika merasa lega. Ia tersenyum bersamaan dengan reaksi tenang.

"Ayah senang bisa bertemu denganmu. Terima kasih sudah meluangkan waktu, Rayan." Andhika melanjutkan percakapan.

Akan tetapi, Rayan hanya tertawa sarkastik saat menanggapi ucapan Andhika. "Seperti orang lain saja."

"Kamu lebih sibuk daripada Ayah." Andhika menambahkan, sementara Rayan langsung menggeleng tak setuju.

Bisa tidur setelah selesai jaga malam saja sudah alhamdulillah. Rayan membatin sembari membuka buku menu dan melihat apa saja yang menarik perhatiannya. Seafood, pasta, hingga Indonesian traditional dish tampak membuatnya hampir lapar mata, namun ia bingung ingin memilih apa.

Andhika langsung mengambil buku menu dan mencari main course. "Kamu mau makan apa?" tanya Andhika pada Rayan.

"Pilihkan saja untukku, Yah."

Sebelum kembali menatap buku menu yang ia lihat, Andhika menatap Rayan. Terdapat perasaan prihatin saat melihat Rayan yang, menurut Andhika, tidak berisi dan segar. Andhika bertanya-tanya apakah uang yang diberikannya atau kakek neneknya yang kaya raya itu masih kurang? Atau uang tersebut tidak lari ke Rayan? Lelaki nomor satu di Indonesia tersebut berusaha menahan dirinya dari memikirkan asumsi liar.

Begitu selesai melihat isi buku menu, Andhika langsung menutup buku dengan sampul kulit dan menaruhnya di atas meja. "Ayah pesankan steak. Kamu butuh makanan enak."

Begitu dua porsi steak beserta kentang tumbuk dan salad datang ke meja ayah dan anak tersebut, Andhika dan Rayan langsung memotong steak dengan perlahan. Dapat dideskripsikan dari suapan pertama, steak terasa lembut dan lumer dalam mulutnya. Rayan langsung menilai bahwa daging steak yang digunakan berasal dari sapi Jepang.

Andhika masih menikmati makan siangnya, tetapi ia melirik anak lelakinya yang kembali memotong steak dari piring putih. "Kamu butuh pacaran, Rayan."

Ucapan Andhika langsung membuat Rayan terkejut dan hampir terserak. Di antara semua bahasan tentang dirinya yang bisa dibahas sembari makan steak, ayahnya memilih untuk menyinggung soal asmara—dirinya yang tak kunjung berpacaran dengan gadis lajang manapun.

"Ayah, kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?" tanya Rayan sembari meminum air.

"Kamu tampak flat sekali," respon Andhika dengan perasaan kasihan, "kehidupanmu hanya seputar pendidikan spesialismu."

"Justru karena kehidupanku, saat ini, hanya berputar pada pendidikan spesialisku, maka aku tidak ingin menambah dengan hal lain."

Ucapan Rayan memang tak salah. Rayan masih termasuk baru. Ditambah, Rayan menjalani pendidikan spesialisnya sejak tahun 2025 dan akan membutuhan waktu untuk menyelesaikan pendidikan spesialis dengan prediksi selesai di tahun 2029-2030—Drum roll, secara nekat dan yakin, Rayan mengambil spesialis saraf.

"Maka kamu butuh kehadiran wanita dewasa yang berpengalaman dalam menjalin hubungan." Andhika merespon sembari memotong steak dan memakannya perlahan. "Mmmh, enak sekali!"

"Tidak."

"Apa? Steak-nya enak sekali," bantah Andhika sembari tetap memakan steak dengan perasaan senang.

"Bukan," potong Rayan, "tentu saja steak-nya enak sekali. Maksudku ... aku belum ingin menjalin hubungan dengan wanita muda ...."

Ucapan Rayan berhasil membuat Andhika mendongakkan kepalanya dan memberikan tatapan yang menilai. Mereka saling berpandangan dengan perasaan bercampur aduk. Sembari menghabiskan steak, Andhika mulai teringat dengan ucapan Rayan di masa lalu.

"Rayan, apakah kamu masih mengejar wanita yang sudah menjadi kekasih sahabatmu itu?"

Sebenarnya Rayan tak ingin mengingatnya. Akan tetapi, pada tahun 2024 dan saat ayahnya sedang persiapan pencalonan untuk periode kedua, Rayan pernah meminta tolong kepada Andhika untuk menjodohkan dirinya dengan Sura (the one and only Nayantara Sura dari keluarga diplomat Wiradikarta). Tentu saja Andhika langsung menolak keinginan anak tengahnya itu—selain karena Andhika tidak ingin Sura memiliki mertua dominan seperti Kanista, Andhika merasa bahwa Rayan berusaha mencuri pasangan dari sahabatnya sendiri.

Sebenarnya Andhika lebih khawatir jika waktu itu ia tetap menuruti keinginan Rayan: 1) Rayan kehilangan Fabian, sahabatnya Rayan sejak kuliah di FK UGM, karena Rayan memang tidak memiliki teman, apalagi sahabat yang sebaik Fabian dan 2) Andhika memilih mempertahankan hubungan profesional dengan keluarga Wiradikarta dibandingkan menjadi besan.

"Ayah tidak bisa mengerti dengan jalan pikiranmu." Andhika melanjutkan ucapannya dengan perasaan heran.

"Kenapa?" tanya Rayan yang berusaha untuk mengklarifikasi ucapan ayahnya.

"Dulu kamu meminta Ayah untuk dijodohkan dengan Sura karena kamu menyukainya."

Mendengar dugaan yang terucap dari mulut ayahnya, Rayan hanya bisa menghela nafas dengan perlahan. Tampaknya Rayan sudah menyesal dengan dirinya di masa lalu, yang dengan entengnya, malah meminum air liur sendiri: menyukai anak FISIPOL di saat dirinya memberikan saran kepada Fabian untuk mengencani anak FK.

"Aku sudah tidak mengejar Sura lagi, Ayah." Rayan menanggapi dengan suara pelan.

"Sungguh?"

"Ya, Ayah."

"Jangan macam-macam kamu, Rayan. Ayah tidak akan membantumu." Andhika mulai menasehati anak lelakinya.

"Ayah yang memulai lebih dulu?" Rayan mengkonfrimasi.

"Ayah khawatir."

Rayan pun memilih untuk memutar matanya. "Can we move on from this discussion?"

"Alright. Lagipula sepupumu, Giandra, sudah tak tahan dengan Kanista. Jangan sampai Sura harus terlibat dengan Ibumu. Apalagi Ibumu juga sangat tidak menyukai istrinya Pak Remus."

Lelaki muda itu tampak menghela nafas dengan perasaan berat. "Ibu memang tidak menyukai semua wanita. Bahkan Mba Alya yang menantunya saja diperlakukan seperti orang yang akan mencuri anak lelakinya. Padahal Mba Alya sudah berusaha untuk tidak mencolok dan terlihat polos saat bersama Ibu."

Rayan memang tak salah. Ia melihat sendiri bagaimana ibu sambungnya memperlakukan menantu perempuannya, Alya, dengan cara yang tidak baik. Alya Jusuf adalah istri dari kakaknya, Akbar, dan sudah menikah beberapa tahun, tetapi belum memiliki anak hingga sekarang.

"Tenang saja, Ayah, aku sudah selesai. Maksudnya, aku sudah move on. Aku sudah tidak menyukai Sura lagi. Hanya saja, untuk saat ini, aku belum tertarik untuk mencari pasangan." Rayan melanjutkan ucapannya.

Sang Ayah menyimak dan saling memberikan pandangan kepada Rayan. "Tidak ada salahnya, tapi Ayah harap kamu juga berusaha untuk mengejar wanita single. Jangan mengejar wanita yang begitu dipuja oleh kekasihnya. Kalau bisa, jangan orang Jawa. Ayah sudah cukup memiliki dua menantu orang Jawa."

Mendengar permintaan Andhika, Rayan hanya menaikkan alisnya dengan bingung. Rayan paham betul bahwa ibu sambungnya sangat menyukai orang Jawa—Rayan dan saudarinya berdarah Jawa campuran, tetapi ibu sambungnya orang Jawa yang memasukkan budaya Jawa ke dalam parenting-nya (meskipun Rayan lebih banyak menetap di rumah mamanya dan dibesarkan dengan standar tinggi), Rayan yang begitu santai tinggal di lingkungan yang didominasi oleh orang Jawa, hingga mengidam-idamkan menantu orang Jawa (Mba Alya dan Mas Dion tidak selalu diperlakukan dengan baik).

Padahal mendiang ibu kandungnya Rayan, Hayu Hadiwiryono, perempuan Sunda yang berasal dari keluarga orang kaya lama dan ayahnya seorang menteri terpandang. Andhika memang orang Jawa yang lahir dari ayah seorang Marsekal TNI Angkatan Udara. Sebenarnya Andhika lebih terlihat seperti orang luar Jawa karena hidup berpindah-pindah ke luar pulau dan kuliah di UI. Setelah Andhika dan Hayu menikah, mereka hidup di ibu kota dengan kehidupan yang jauh dari tradisi sembari membesarkan tiga orang anak yang masih kecil—Akbar, Rayan, dan Nilam, hingga Hayu meninggal dunia.

Hanya saja, istri kedua Andhika yang sekarang menjadi Ibu Negara, Kanista Moestadja, berasal dari keluarga Jawa tradisional. Ayahnya (pernah menjadi Dirut Maskapai BUMN) menutur Bahasa Jawa ke keluarga, menerapkan unggah-ungguh, hingga menerapkan hidup sederhana—walau Kanista sendiri tidak menerapkannya. Semua itu Kanista terapkan saat mengurus anak sambungnya yang kehilangan ibu kandung di usia muda.

Kecuali Rayan, ia memilih untuk lebih banyak tinggal bersama neneknya, Frida Hadiwiryono, dan sesekali tinggal bersama orang tuanya di Menteng. Andhika mengerti dan membiarkan anak lelakinya, tetapi Kanista kerap melempar ucapan ironi saat melihat Rayan.

"Berilah kesempatan kepada orang lain, apapun sukunya, untuk menjadi pasanganmu. Jangan terlalu terbebani dengan keinginan ibu yang begitu menginginkan orang Jawa lainnya untuk dinikahkan denganmu."

TBC

Published on January 22, 2025

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top