We Say
"Eh, katanya Pak Yatno gak masuk, loh."
"Yang bener? Ngaco lo."
"Yaelah gak percaya. Beneran gak masuk, tapi keknya ada tugas sih."
"Itu sama aja kita belajar, goblok."
Kedua lelaki di bangku paling belakang itu adalah contoh murid yang ikut membicarakan berita terpanas hari ini. Karena guru sejarah mereka, yang paling jarang jam kosong, tiba-tiba berhalangan hadir. Sungguh keajaiban yang luar biasa.
"Selamat siang anak-anak."
Siswa-siswi kelas 11 IPS 2, langsung duduk di bangku mereka ketika seorang guru laki-laki berkumis tebal masuk ke kelas.
"Kata lo, Pak Yatno gak masuk. Ini orangnya ada di depan, gimana sih?" Murid lelaki bernama David itu menyenggol teman sebangkunya.
"Mana gue tahu? Sabar sih, mungkin dia cuma mau ngasih tugas."
David mendengkus kemudian kembali memandang Pak Yatno. Dia ingin membuktikan, yang dikatakan Sandy tadi benar atau salah.
"Untuk hari ini, saya tidak bisa melanjutkan materi. Ada saudara saya yang kecelakaan, jadi saya harus segera ke rumah sakit. Saya kasih tugas saja, ya? Tolong kalian buat sejarah sebuah tempat di Indonesia. Tugas ini dikerjakan kelompok, cukup dua orang saja. Kalian akan berkelompok urut absen. Jadi, absen nomor satu dengan dua, tiga dengan empat, dan seterusnya. Mengerti?"
"Mengerti, Pak," jawab semua murid serempak.
"Kalau begitu saya pergi dulu. Tugas dikumpul minggu depan. Selamat siang."
Selepas Pak Yatno keluar, siswa siswi di kelas itu bersorak bahagia. Ada beberapa anak yang pergi ke meja guru untuk melihat absen mereka, agar mereka tahu siapa teman kelompoknya.
"Tuh kan, apa gue bilang? Pak Yatno tuh cuma ngasih tugas." Sandy sedikit mengangkat kepalanya sombong.
David hanya mengangguk acuh lalu pergi melihat absennya di meja guru. Dia tak peduli dengan Sandy yang berteriak tak terima karena ditinggalkan ketika sedang bicara.
"Dinda?" David terdiam mengamati nama yang ada di bawah absennya.
"Sama siapa lo?"
David terkejut saat Sandy tiba-tiba berada di sampingnya dan ikut melihat absen.
"Wah, kesempatan bagus, nih."
"Maksudnya?" David mengangkat salah satu alisnya.
"Lo udah suka sama dia sejak kelas sepuluh, 'kan? Gue rasa ini waktu yang pas buat lo bilang perasaan lo." Sandye menepuk pundak David pelan.
"Ngomomg apa sih lo?" David menyingkirkan tangan Sandy dari pundaknya.
"Dikasih saran malah gak mau, yaudah." Sandy pergi ke luar kelas, meninggalkan David begitu saja.
Selepas Sandy pergi, David melirik gadis bermata coklat yang duduk di bangku kedua barisan pertama. Gadis itu sibuk dengan buku sejarah, entah apa yang dia tulis, mungkin tugas tadi. Mendadak David menggelengkan kepalanya. Kenapa dia jadi memikirkan gadis itu? Lebih baik segera mengambil ponsel di tas dan mencari Sandy keluar.
Dengan santai, David melangkah menuju bangkunya. Namun, langkahnya terhenti saat sebuah tangan tiba-tiba menahannya.
"Kita kerjakan tugas ini pulang sekolah. Aku tidak mau menunda-nunda tugas."
David membulatkan matanya. Antara terkejut karena Dinda mendadak menahannya dan terkejut karena ajakan Dinda untuk mengerjakan tugas sejarah pulang sekolah nanti.
"Gak bisa. Gue ada janji sama temen gue. Besok aja kenapa, sih?"
"Kalau mau kelompokan sama aku, nanti ngerjainnya. Kalau enggak yaudah, aku bisa ngerjain sendiri. Siap-siap aja kamu gak dapet nilai." Dinda melepas genggamannya dari David dan kembali beralih pada bukunya.
David berpikir sejenak, lalu berdecak kesal. Gadis ini sepertinya memang penggila pelajaran sejarah. Kenapa dia semangat sekali mengerjakannya? Padahal tugas itu dikumpul minggu depan. Seperti tidak ada hari esok saja.
"Yaudah! Gue ikut kata lo. Di mana kita ngerjainnya?"
"Nanti aku tunjukkan," ucap Dinda tanpa melihat ke arah David.
Karena tidak ada respons lanjutan dari Dinda, David pun memutuskan melanjutkan tujuannya yang tertunda. Jam kosong seperti ini harus dimanfaatkan sebisa mungkin, jadi jangan sampai dia menyesal tidak keluar kelas mengikuti Sandy.
*******
"Kenapa kita ke sini sih? Katanya mau ngerjain tugas," elu David pada gadis yang mengantre di belakangnya.
"Kamu banyak protes. Tinggal ngikutin apa susahnya, sih?"
"Yang namanya kelompok harusnya kerja sama. Ini malah kamu yang ngatur."
"Dari awal aku udah bilang, kalau gak mau ikut yaudah. Aku bisa sendiri."
Kini David diam. Berdebat dengan Dinda ternyata tak ada habisnya. Ini pertama kali mereka mengobrol berdua, kalau di hari biasa mungkin hampir tidak pernah.
Tak lama kendaraan yang akan mengantar mereka tiba. Orang-orang yang telah mengantre lebih dulu memasuki kendaraan itu. Kendaraan seperti kereta, tapi beroda.
Sepanjang jalan, Dinda hanya diam memandang keluar jendela. Melihat beberapa orang berfoto, berolahraga, atau hanya sekadar bercengkerama dengan keluarga. Hingga mereka tiba di pemberhentian penumpang.
Mereka menuruni tangga dan terus berjalan melewati terowongan masih tanpa bicara. Sampai mereka masuk ke dalam monumen nasional.
"Nah, di sini. Apa yang akan kita bahas untuk tugas?" kata Dinda setelah mereka sepenuhnya masuk ke Museum Monas.
"Sepertinya hampir semua sejarah yang di tulis di sini, aku tahu."
David hanya memandang Dinda heran, kenapa dia bisa menghafal semua sejarah di sini? Sepertinya benar, Dinda memang penggila sejarah.
Mereka berjalan perlahan. Sesekali berhenti mengamati kotak kaca yang berisi miniatur kejadian tempo dulu. Dinda bahkan bisa menjelaskannya tanpa membaca keterangan di bawah kotak kaca itu. David merasa seperti dipandu pemandu museum ini.
"Jadi mana yang kita mau tulis?" ujar Dinda tepat di kotak kaca terakhir yang mereka lihat.
"Terserah." David hanya menjawab singkat. Jujur, dia tidak terlalu paham apa yang Dinda jelaskan tadi.
"Ya ampun! Kita sudah melihat semuanya, dan kamu cuma bilang terserah?"
"Hehe, lo yang ngerti, 'kan? Lo pilih aja yang menurut lo bagus."
Dinda kesal dengan jawaban David. Kalau hanya begini, seharusnya keputusan awalnya tadi sudah benar. Tidak perlu mengajak David, cukup dia saja yang mengerjakan.
Dinda keluar museum meninggalkan David yang terdiam tak mengerti. Dinda duduk di anak tangga yang ada tepat di bawah Monas. Berharap ia segera melupakan kekesalannya.
"Lo gak apa-apa? Maafin gue, ya?" Tepukan pelan David pada pundak Dinda membuatnya menoleh sedikit.
"Iya." Dinda hanya menjawab singkat. Mereka duduk berdua di anak tangga itu tanpa bicara.
Semilir angin sore membuat rambut lurus Dinda berkibar pelan. Melihat itu, David segera mengalihkan pandangannya ke jam tangan. Sudah jam setengah lima ternyata, mereka harus segera selesai sebelum hari beranjak malam.
"Dinda, ayo lanjutkan tugasnya. Keburu malam nanti."
"Tapi apa yang mau kita bahas?"
David berpikir sejenak. Sungguh, dia benar-benar tak paham dengan sejarah. Atau mungkin yang lebih tepatnya adalah, dia tak terlalu ingat.
"Gini aja, lo tahu tentang sejarah Monas ini, 'kan? Kita tulis itu aja, gimana?"
Tak butuh waktu lama, Dinda tersenyum dan mengangguk semangat. Melihat mimik muka Dinda, tanpa diduga David turut tersenyum.
"Kalau begitu, ayo mulai sekarang!" Dinda mengeluarkan buku dari tasnya terburu-buru.
"Santai aja kali. Mana, biar gue yang nulis." David mengambil buku dan pulpen dari tangan Dinda.
Dinda membelalakkan mata melihat sikap David. Ternyata, anak yang awalnya dia anggap menyebalkan dan acuh, justru sebaliknya.
"Ayo ceritain."
Dinda mengangguk dan mulai bercerita tentang sejarah Monas yang ia tahu. Saking semangatnya, David sampai harus meminta Dinda mengulang dengan tempo pelan.
"Berhenti dulu, Din. Gue laper. Cari makan, yuk." David menutup bukunya dan langsung menarik Dinda untuk mencari tempat makan.
Setelah beberapa menit mencari, keputusan mereka jatuh pada warung makan yang menjual nasi goreng, pecel lele, soto, dan beberapa minuman dingin. Mereka kembali berbincang ditemani nasi goreng dan teh manis dingin.
"David, kamu tahu gak kenapa Monas dibangun?" tanya Dinda di suapan kelimanya.
"Untuk maskot Indonesia, 'kan?" David menjawab tanpa berpikir panjang.
Bukannya membalas jawaban David, Dinda justru tertawa kecil.
"Kenapa?" David menghentikan makannya dan menatap Dinda bingung.
"Enggak. Bukan hanya itu kali. Menurut yang aku baca, Monas didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan Belanda. Jadi, bukan sekedar maskot," jelas Dinda yang diberi anggukan pelan oleh David.
"Lo tahu banyak tentang sejarah, ya?"
"Begitulah ... bukankah setiap orang seharusnya tahu, apalagi itu sejarah di negeri sendiri."
Ucapan Dinda seolah sindiran bagi David. Entah mengapa dia menjadi iri dengan Dinda, gadis bertubuh kecil setinggi bahunya itu malah lebih mengingat banyak hal dibanding dia. Padahal sejarah sesingkat apa pun dapat dijadikan pelajaran.
Tak terasa azan magrib mulai berkumandang. Ternyata sudah sekitar dua jam mereka ada di kawasan Monas.
"Kita pulang habis magrib sekalian, ya?" usul David. Awalnya Dinda tak setuju, tapi dengan sedikit bujukan, akhirnya dia mau.
"Mau ke puncak gak? Sekalian jalan-jalan." David tersenyum hingga deretan gigi putihnya terlihat.
"Boleh. Belajar terlalu lama juga membosankan." Dinda tertawa, lantas David mengikutinya.
Selesai makan, mereka kembali ke Monas. Seharusnya mereka lelah bolak-balik ke Monas dengan jarak yang tidak bisa dibilang dekat, tapi nyatanya mereka justru menikmati perjalanan tanpa ada rasa lelah yang menyapa.
Antrean di lift menuju puncak Monas sangat ramai. Bahkan Dinda dan David harus menunggu hampir tiga puluh menit hingga akhirnya dapat memasuki lift.
"Wah, aku gak pernah bosen mengagumi pemandangan di sini," tutur Dinda seraya berjalan ke arah kaca besar yang memperlihatkan kota Jakarta. "Kamu pernah ke sini, Vid?" sambung Dinda yang kini telah beralih memandang David.
"Iya. Beberapa kali, gak terlalu sering."
Dinda mengangguk kemudian kembali memandang hamparan kota Jakarta yang bergelimang cahaya lampu.
"Di sini indah. Tempat seindah ini layak menjadi saksi kejadian yang indah pula." Mata Dinda tak lepas dari pemandangan di luar. Rasa takjub terus dia ucapkan dalam hati, bersyukur sekaligus mengagumi kecantikan kota kelahirannya.
"Dinda, menurutmu apa setiap tempat ada sejarahnya?" David berdiri di samping Dinda dan ikut memandang keluar.
"Aku rasa, iya."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita juga membuat sejarah di sini?"
Sontak Dinda menoleh memandang David, begitu pula sebaliknya. Dengan senyum yang mengembang, David meraih tangan Dinda.
"Biarkan tempat ini menjadi saksi bisu saat kamu dan aku menjadi kita."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top