PR Bahasa Indonesia

Jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Bagi sebagian sekolah sudah seharusnya jam masuk sekarang. Tidak seperti siswa lain yang tengah berbincang ataupun masih berkeliaran walaupun lonceng berdering beberapa detik yang lalu.

Kelas Ijal sendiri terlihat beberapa siswa sibuk dengan kegiatannya sendiri, termasuk Ijal yang sedari tadi memerhatikan buku yang dipegangnya. Ijal berbicara sendiri, bukan berarti dia gila ataupun menjadi korban kerasukan makhluk halus, seperti yang tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan siswa sampai sekarang.

Ijal membaca buku dengan suara pelan, hampir tidak dapat didengar siapapun di dekatnya, mungkin agar tidak ada seorangpun menyadari bahwa dia berbicara. Walaupun ada yang memerhatikannya membaca buku. Sebenarnya dia bisa saja memilih perpustakaan sebagai sarana membaca di sana, tetapi jam pelajaran pertama sudah masuk dan tinggal menunggu guru datang.

"Sudah sampai mana kau, Jal."

Salah satu temannya di kelas menepuk pundaknya, sedikit mengejutkan hingga Ijal membelalakkan matanya. Ijal menoleh ke arah temannya dan memerhatikan dengan seksama bahwa itu teman sekelasnya. Ijal masih menganggap temannya itu seorang manusia asing baginya, sebenarnya Ijal termasuk jarang bergaul tetapi masih enak bila diajak berbicara oleh temannya.

"Kampret kau. Lantas kau sendiri bagaimana?" Ijal berbalik bertanya. Dia masih kesal karena dikejutkan mendadak ketika tengah konsentrasi dengan bukunya. Temannya hanya melemparinya dengan senyuman.

"Sudah pasti belum." ujar temannya santai. Kelihatannya dia menganggap perkataan Ijal bukan hal yang serius.

Ijal yang merasa kesal karena membacanya terganggu memberi tanggapam berupa bahasa isyarat yaitu menggerakkan tangannya, seakan temannya itu seekor lalat yang mau menyentuh wajah. Ijal menyuruh temannya itu untuk pergi secepatnya. "Sana. Aku mau menghafal lagi."

"Santai aja, palingan Bu Zubaidah tidak masuk." Temannya menjawab dengan santai dengan diiringi tawa kecil.

Bisa dibilang, temannya merasa yakin jika salah seorang guru yaitu Ibu Zubaidah tidak hadir. Guru bahasa Indonesia itu adalah wanita paruh baya, namun memiliki tatapan tajam, mungkin mirip seperti guru bagian konseling yang biasanya ditakuti siswa-tatapan sama tajamnya- Ijal tidak menghiraukan perkataan temannya dan melanjutkan membaca.

Ijal merasa harus menyelesaikan hafalannya sebelum jam pelajaran Ibu Zubaidah dimulai. Teman-temannya yang lain memang seperti halnya Ijal yaitu membaca buku yang sama, tetapi sebagiannya tengah asyik bercanda ataupun menggoda temannya yang membaca. Terkesan ada pertentangan dengan mematuhi tugas dari Ibu Zubaidah dengan tidak mengerjakan tugasnya.

Kira-kira kejadiannya seminggu yang lalu ketika jam pelajaran Ibu Zubaidah.

Wanita paruh baya itu tengah menjelaskan beberapa kata dari buku yang dibawanya. Sebagian murid seperti biasanya memerhatikan yang diucapkan, walaupun terkesan murid yang duduk paling depan lebih asyik mendengarkan penjelasan, sementara paling belakang tengah bermain-main.

Sebenarnya yang duduk paling depan takut kena marah ketika posisinya kini tepat dihadapan gurunya. Mungkin sudah sewajarnya menganggap hal yang tidak enak, mengobrol dengan teman sementara guru menjelaskan. Ijal tidak duduk di bangku paling depan, dan posisinya sekitar di tengah-tengah.

Mungkin sedikit mendengar yang diucapkan Ibu itu, karena ruang kelas sedikit lebih riuh gara-gara murid yang duduk paling belakang membuat ulah. Sempat ditegur beberapa kali sebelumnya oleh Ibu Zubaidah, namun mereka masih tidak jera dan akhirnya dibiarkan untuk membuat keributan kecil sendiri.

"Kita harus memiliki kesadaran dan sikap berbahasa positif. Kesadaran dan sikap positif itu tercermin melalui cara-cara kita berkomunikasi."

Ibu zubaidah berbicara sesuai dengan tulisan yang ada di dalam buku, sebenarnya anak-anak lain juga memiliki buku yang sama, jadi terasa tidak ada kata-kata yang selain di dalam buku. Bisa dibilang mengikuti setiap kata dari buku tanpa kata sendiri terasa membosankan.

"Jadi seperti apa sikap positif yang tercermin melalui cara-cara komunikasi itu?"

Muncul pertanyaan dan tidak ada di dalam buku. Sepertinya murni menjadi topik tanya jawab untuk membahas isi buku lebih dalam. Murid-murid yang semula ribut terutama di bagian belakang tetiba saja terdiam, seakan takut memberi jawaban. Sepertinya kata-kata buatan sendiri lebih diperhatikan daripada yang ditulis di buku.

" Coba kamu Ijal. Seperti apa cara-cara komunikasi itu." Ibu Zubaidah menunjuk ke arah Ijal yang duduk agak jauh dari bangku depan. Logika yang menarik dari duduk paling depan adalah tidak dapat diberi pertanyaan pertama kali dan bagian belakang menjadi korban pertanyaan pertama karena terkesan ribut. Walaupun Ijal tidak pernah membuat ribut sebelumnya. Ijal terlihat gugup.

"Anu... Itu Ibu guru... Jika ada gosip."

Beberapa murid mengeluarkan gelak tawa dan suasana kelas menjadi pecah dengan riuh tawa. Beberapa siswa ada yang berkata, "Tukang gosip dia, Bu."

Ibu zubaidah dengan tenang tidak mengeluarkan tawa yang keras tetapi menggantinya dengan tersenyum, bisa dipahami jika dia tertawa kelas akan lebih ribut, karena guru adalah panutan bagi beberapa siswa-jika guru tertawa semua tertawa- dalam hal belajar mengajar.

"Benar jika ada gosip, tetapi cara-cara berkomunikasi seperti itu terdapat kecendrungan berpikir negatif. Memang kita memiliki cara sendiri berkomunikasi seperti dalam berkomunikasi dengan teman dekat dan komunikasi lebih akrab bila menggunakan bahasa gaul." ujar Ibu Zubaidah panjang lebar.

Beberapa menit terkesan membosankan ketika mendengar penjelasan guru, apalagi sebagian besar berasal dari tulisan di buku. Beberapa ada yang dikejutkan ketika dilempari pertanyaan terutama yang duduk di barisan belakang, mungkin disebabkan mereka tengah ribut bersama teman di sebelahnya.

Kira kira masih tersisa 10 menit sebelum jam pelajaran Ibu Zubaidah habis, dan digantikan dengan jam pelajaran kedua. Ibu Zubaidah menutup bukunya.

"Baiklah, sebagai nilai tambahan untuk raport, kalian harus menghafal cerita ini tanpa titik dan koma terlewatkan."

Ibu Zubaidah menunjukkan halaman yang dimaksud, agar semuanya mengetahui tugas yang diberikan. Murid-murid seketika bingung dengan tugas yang diberikan. Memang menghafal terlihat lebih rumit tetapi jika tekun membaca berulang-ulang pasti akan hafal. Jika berkata tidak terlewatkan tanda baca yang selalu menemani di setiap kata, cukup lebih rumit dari yang diperkirakan.

"Susah sekali, Bu." ujar Ijal seakan menjadi perwakilan protes dengan tugas yang diberikan. Sudah sewajarnya bila mendapatkan tugas yang sulit akan mendapat keluhan.

"Tidak ada kata apapun yang berkaitan tidak bisa kecuali malas. Jika berlanjut maka persiapkan tidak dapat nilai."

Seolah-olah Ibu Zubaidah berkata dengan bijak tetapi seakan ingin mengintimidasi muridnya dengan tugas yang cukup mengerikan. Pada akhirnya Ijal tidak memiliki pilihan lain untuk diam dan mencoba menghapal.

Seperti itulah kejadian seminggu yang lalu. Ijal yang masuk ke dalam tugas, terpaksa memulai menghafal setiap kata maupun tanda baca, karena sedikit terlewat akan mempengaruhi nilainya di bahasa Indonesia. PR yang menyusahkan baginya.

Beberapa teman sekelasnya terlihat melakukan hal yang sama yaitu menghafal tugas walaupun sudah seminggu terlewat, mungkin mereka ingin meyakinkan diri tidak melewatkan tanda baca terutama Ijal sendiri. Sementara beberapa teman yang lain mempercayai sesuatu yang aneh yaitu guru tidak masuk.

Menjelang ujian akhir biasanya guru akan mengadakan rapat, kemungkinan itu menjadi alasan sebagian teman-teman Ijal agar tidak menghafal. Namun, keberuntungan mereka hanya impian belaka, karena Ibu Zubaidah telah memasuki ruang kelas sembari membawa tas miliknya.

Beberapa teman Ijal terlihat terkejut, dengan kedatangan Ibu Zubaidah. Beberapa diantara mereka yang tengah asyik bermain kejar-kejaran langsung mengambil posisi, mereka seakan menjadi penurut bila guru datang dan segera duduk di bangku masing-masing.

"Ahahah... Gurunya benar-benar datang." ujar di dalam hati Ijal.

Bisa dibayangkan betapa senang hati Ijal melihat teman-teman yang meremehkan PR bahasa Indonesia kali ini. Sesekali Ijal melirik teman yang mengganggunya tadi, benar saja bahwa temannya itu terlihat diam saja. Nampaknya sudah pasrah dengan yang terjadi selanjutnya.

"Mampuslah kau."

Sebenarnya Ijal menyukai momen ketika murid terkena hukuman dari guru, begitu menghibur menurut anggapan Ijal. Bukan hanya Ijal sendiri yang menyukainya bahkan teman-teman yang berpikiran sama, menganggapnya demikian. Seperti itulah sikap sombong telah tumbuh diantara mereka yang mengerjakan tugas dari guru, dan penyesalan yang mengabaikannya.

Ibu Zubaidah meletakkan tasnya diatas meja dan segera duduk di kursinya. Tangannya yang cekatan mengambil buku dari dalam tas, kemudian mempersiapkan pulpennya untuk mencoret sesuatu di dalam buku, sepertinya memberi batasan di setiap kalimat dalam buku.

"Endah," Ujar Ibu Zubaidah memanggil salah satu murid yang duduk paling depan."Catat ini di papan tulis."

Endah salah seorang murid yang sering dimintai untuk menulis. Bukan karena tulisannya bagus dan tidak terlalu jelek, melainkan tidak ada pilihan lain namun Endah tetap mewakili teman-temannya untuk menulis di papan. Entahlah bagaimana dia sanggup untuk menulis kembali di buku, akibat lelahnya menulis di papan.

"Bagaimana dengan tugasnya, Bu."

Ijal memberanikan diri untuk bertanya. Bahkan cukup berani. Teman-temannya melihatnya dengan tatapan tidak senang akan dirinya, seperti tidak tersenyum sedikitpun, termasuk yang tidak melakukan tugas. Mungkin mereka menganggap PR bukanlah sesuatu yang harus diingatkan jika guru termasuk orang pelupa.

"Tugas itu dibatalkan saja. Materi kita masih banyak dan sebentar lagi masuk ujian."

Nampaknya Ibu Zubaidah tidak mempersalahkan lagi tentang PR yang sudah dilaksanakan atau belum. Bisa dibayangkan betapa senangnya mereka yang tidak melaksanakan tugas, dan merasa keberuntungan berada di pihak mereka.

Ijal merasa terkena korban PR tidak masuk akal oleh gurunya dengan harapan palsu akan tugas yang dapat memengaruhi nilai raportnya. Mungkin mempermainkan usahanya selama seminggu penuh yang mencoba menghapal.

"Sebagai gantinya nanti semua catatan kalian dikumpulin ke Ibu, untuk penilaian raportnya." ujar Ibu Zubaidah panjang lebar. "Tulis saja dulu yang di papan tulis ini."

"Iya, Bu." Beberapa murid menyahut pertanda setuju dengan keputusan Ibu Zubaidah.

Ijal tidak mengatakan apapun, bisa saja dia protes karena telah melaksanakan tugas, namun dia memilih diam tanpa berkata apapun lagi. Mungkin dia masih merasa seharusnya bergabung saja dengan murid yang tidak mengerjakan tugas.

"Mengapa mereka diam saja."

Ijal melirik ke arah manapun tetap saja tidak ada yang berbicara tugas selain dirinya kepada Ibu Zubaidah. Ijal tidak ada pilihan lagi selain mengeluarkan bukunya dan mencatat tulisan yang ada di papan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top