Penghitung dosa
Namanya Nora, gadis kecil berusia dua belas tahun yang malang. Takdir tidak berpihak padanya, hidup serba kekurangan di tengah-tengah kemewahan dunia. Kebahagiaan yang sudah tak ada artinya lagi, hanya menjadi hal yang tak berguna.
***
"Berapa ya dosaku hari ini?" Gumam Nora sambil memandangi langit yang kelam di atas sana.
"Andai aku bisa berhitung.... Sayang sekali, selain angka satu dan dua aku tidak tau lagi. Aku tidak tau angka yang bentuknya seperti kursi itu disebut apa, atau yang seperti kecebong itu namanya apa, bahkan yang bentuknya seperti donat pun aku tak tau namanya apa. Huft!" Nora menatap kesal angka-angka yang ada di depannya. Lalu ia melihat jari-jari tangannya, "Bahkan jumlah jari tanganku pun aku tak tau. Aku bisa berbicara, mengenal huruf dari a sampai z tapi kenapa, susah sekali menghafal angka?" Rutuknya kesal.
"Hey nak, sedang apa kau malam-malam ngomong sendiri?" seorang laki-laki berpakaian compang-camping menghampiri Nora dengan wajah lusuhnya. Nora melirik malas, enggan menjawab.
"Bangsat! Ditanya orang tua malah diem aja. Gembel! Kau tak mau menghormatiku karna aku gak berduit? Berpakaian lusuh dan terlihat miskin, huh?" orang asing itu menyerapah Nora, kesal.
Nora beranjak dari duduknya dan menatap sinis lelaki itu, "Dosa paman bertambah banyak. Satu karena berkata kasar, dua karena marah-marah enggak jelas, satu karna berprasangka buruk, dan dua karna mengganggu kenyamanan orang!" Racau Nora yang seketika membuat lelaki itu kicep.
Lelaki itu menatap tanpa makna ke arah Nora, "Puft.... Namanya gembel pasti bego ya? Huahahaha," tawanya tak bisa ditahan lagi, itu membuat Nora semakin naik pitam.
"Dosa paman nambah satu lagi! Hitung sendiri berapa banyaknya sekarang!" Nora kesal, akhirnya dia pergi meninggalkan laki-laki itu yang masih saja tertawa.
***
Pagi-pagi sekali Nora sudah bangun dari tidurnya, kini saatnya beraktivitas.
"Yosh, pagi baru, semangat baru. Satu dua satu dua.... Argh!" Pagi harinya yang indah lenyap, pergi dan menghilang bersama anggka satu dan dua yang tak kunjung berkembang.
Dengan tak bersemangat Nora berjalan menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Mobil, motor, bus, sepeda, bahkan pejalan kaki berhamburan saling berebut jalanan membuat sesak kota.
Nora menatap heran seorang pemuda berpakaian seragam sekolah yang sedang merokok, betapa tidak bersyukurnya dia. Banyak di sekelilingnya yang tidak seberuntung dia tapi perilakunya sangat tidak terpuji, itu dosa namanya!
Nora berjalan mendekati pemuda itu, "Masih pagi kakak udah berdosa! Dosa kakak nambah satu!" Ucapnya tegas sambil menunjuk batang rokok yang sedang dihisap pemuda itu.
Pemuda itu tersedak asap rokok akibat bentakan Nora yang mengejutkan. "Mau apa lu bocah? Ngoceh gak jelas! Bego ya lu, pergi sana," bentaknya sambil membuang puntung rokoknya ke arah Nora.
"Nah kakak dosa lagi! Satu, karena marah enggak jelas, dua, karena berkata kasar, satu, karena buang sampah sembarangan! Dan, dua karena mencelakai orang lain!" Oceh Nora sambil menghitung berapa banyak dosa yang pemuda itu lakukan, hanya jari telunjuk dan jari tengah yang ia gunakan berulang kali.
Pemuda itu diam sejenak....
"Puft! Bego lu sampe DNA ternyata," akhirnya dia pergi meninggalkan Nora yang terlihat kesal, sangat kesal.
"Kalo lu bego, setidaknya jangan liatin kebegoan lu bocah." Lanjutnya dengan wajah merendahkan.
Nora semakin kesal, dia menatap pemuda itu tajam. "Diingetin gak tau terima kasih, dosa kakak nambah!" Rutuknya kesal.
Pemuda itu sudah pergi. Nora menatap pantulan dirinya di jendela kaca sebuah toko, raut mukanya masam. Kenapa hidupnya hanya seperti lelucon bagi orang lain? Apakah dia ditakdirkan menjadi pelawak? Atau badut pertunjukan? Atau manusia lelucon?
Saat itu, ada seseorang yang terus memperhatikan Nora dari kejauhan, dia menghampiri Nora.
"Adek?" Ucapnya setelah berada di belakang Nora. Nora pun terkejut dan membalikkan badannya.
"Eh... iya, ada yang bisa saya bantu?"
"Adek namanya siapa? Kenalin nama kakak, Kak Diana. Tadi kakak liat adek dimarahin sama mas-mas, kenapa ya?" Ucap wanita itu sambil tersenyum ramah.
"Emm, nama saya Nora kak. Tadi saya negur kakak itu malah saya yang dimarahin terus diketawain," adunya kesal.
Kakak itu tersenyum, "Memang kenapa dek?"
"Saya bantu hitung dosanya dia tapi malah diketawain. Soalnya Nora cuma bisa ngitung satu dan dua Kak," cengirnya kikuk.
"Eh? Gimana gitu? Kalo ini tau?" Kak Diana melipat ibu jari dan jari kelingkingnya.
Nora mendengus frustasi, "Tidak kak, itu apa namanya?" Tanyanya lemas.
Kak Diana mengangguk paham dan tersenyum. "Nora mau belajar angka?"
***
Langit sore ini berwarna jingga, siang yang panas akan digantikan malam yang dingin. Dinginnya malam menjadi hal paling menakutkan bagi gelandangan seperti Nora.
Hidup di tengah-tengah kemewahan dunia tapi hidupnya melarat membuat Nora sering berfikir, siapa pencipta kekejian ini? Siapa yang bertanggung jawab memeliharanya?
Manusia yang hidup di dunia keji ini sungguh memuakkan, ada yang hidup enak, ada yang hidup pas-pasan, bahkan ada juga yang hidupnya hina seperti Nora dan gelandangan lainnya. Untung saja oksigen tidak harus beli, jika iya, mungkin Nora sudah mati sejak dulu.
Nora ingin bahagia juga! Memiliki keluarga, saudara, sahabat, teman, bersekolah, bermain, memakai pakaian bagus, tidur di tempat yang hangat, dan menggapai impian, Tapi, sampai hari ini saja Nora masih tak mengerti angka selain satu dan dua.
"Dek Nora?" Seseorang membuyarkan lamunannya.
"Kak Diana!" Ucapnya terkejut, Nora tersenyum senang menyambut kedatangan malaikatnya.
"Hehe... iya dek,
***
Di sinilah Nora sekarang, di dalam rumah mewah milik Kak Diana. Pagi tadi setelah pertemuan singkat mereka, Kak Diana menawarkan sesuatu yang sangat dibutuhkan Nora. Ya, belajar angka. Mengenal angka-angka yang selalu membuatnya penasaran setengah mati.
Kak Diana memenuhi janjinya, untuk membawa Nora ke rumahnya. Rumah besar yang sangat megah. Dinding luar berwarna abu-abu dengan pilar-pilar besar yang kokoh, ditambah lampu-lampu yang berkilauan menerangi rumah megah itu.
Memasuki rumah Kak Diana, Nora kembali terkejut dengan isinya. Kenapa sedikit sekali barang yang ada di sini? Bukannya seharusnya ada banyak barang-barang mahal? Tapi, ini mah seperti gedung serba guna yang kosong.
Nora menatap heran sekelilingnya, Kak Diana tersenyum. "Adek kenapa? Bingung melihat rumah kakak yang kosong?" Tanyanya seakan mengerti pikiran Nora.
"Eh anu kak, iya.... Kenapa rumah sebesar ini isinya cuma sedikit?" Tanyanya polos.
"Hehe iya, Kakak lebih suka begini, lagian Kakak hidup sendiri jadi tak butuh banyak barang."
"Kakak Sendirian? Di rumah sebesar ini?" Tanya Nora heran, ini hampir mustahil.
Diana hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Nora. Dia melangkahkan kakinya ke sebuah ruangan. Nora yang terkejut, buru-buru mengikutinya.
***
Angin berhembus pelan menerpa wajah Nora. Pelan-pelan Nora membuka matanya, dia menajamkan pendengarannya dan berusaha mendengar bisik-bisik angin yang berusaha mengatakan sesuatu. Terdengar seperti ucapan selamat, dia pun tersenyum lebar.
Dunianya berubah setelah bertemu Kak Diana. Kini dia seperti manusia lain yang bisa menikmati hidupnya. Memakai pakaian bagus, makan makanan enak, tidur di ranjang yang nyaman, dan belajar tentang angka. Itulah yang paling menyenangkan baginya, angka-angka dengan berbagai bentuk dan nama terus berputar-putar di luar kepala Nora. Rasanya begitu menakjubkan.
"Nora? Sekarang waktunya belajar." Kak Diana datang menghampiri Nora sambil membawa buku matematika, dia tersenyum ramah.
"Hari ini Kakak cantik sekali," Nora memperhatikan Diana yang memakai baju lengan panjang dan celana pendek dengan rambut di ikat sekenannya, Nora memperhatikan anak rambut Diana yang berantakan diterpa angin.
"Hm... iya, sekarang masuk yuk, dingin."
"Iya kak.... Hari ini kita belajar apa?"
"Matematika, sampai kapanpun kita hanya akan belajar matematika."
"Wkwk iya ya kak. Nora suka matematika!" Seru Nora sambil mengikuti langkah Diana.
***
"Nora sudah?"
"Eh? Iya Kak? Kenapa?" Nora terkejut mendengar pertanyaan Diana.
"Sudah selesai soalnya? Kamu bisa?"
"Hmm...." Nora menunduk lemas, dia frustasi dengan soal-soal yang ada di depannya. Sudah hampir satu jam Nora mengerjakan soal tingkat SD itu, tapi kenapa? Tak satu pun dapat dijawabnya.
"Kenapa? Nora enggak bisa? Bagian mana yang sulit?" Kak Diana duduk di samping Nora.
"Nora paham apa itu pengurangan, penambahan, bagi-bagian, kali-kalian. Tapi masalahnya, Nora lupa angka itu namanya apa, urutannya pun Nora lupa. Jadi susah ngerjainnya." Nora tertunduk pasrah, merutuki dirinya yang bodoh.
"Kamu yakin? Baru kemarin Kakak ajari kamu mengenal angka, sudah lupa? Ini sudah keberapa kamu lupa soal angka? Harus berapa banyak lagi Kakak ulang pelajaran itu? Gimana kamu bisa pintar?"
"Iya kak...." Jawabnya lemas.
"Kenapa kamu bodoh sekali!"
Eh? Bo-bodoh? Iya memang dia bodoh, tapi Kak Diana? Kak Diana menyebutnya bodoh?
"Bu-bukan gitu maksud Kakak, lupain kata-kata Kakak ya." Diana melihat perubahan ekspresi anak kecil di sampingnya, seharusnya dia lebih sabar menghadapi Nora.
"Iya kak, Nora emang bodoh. Nora terlalu bodoh untuk belajar hal sepele kaya gitu. Nora gak akan mampu, Nora berhenti aja! Nora mau jadi gelandangan lagi!" Air matanya tak tertahankan, bukan hanya Kak Diana yang frustasi, Nora juga! Dia jauh lebih frustasi, karena sebanyak apapun dia belajar dan sekeras apapun dia berusaha mengingat. Otaknya tak akan mampu, hanya untuk menghafal angka selain satu dan dua.
"Nora sampai sini aja kak, udah sebulanan ngajarin Nora yang enggak berkembang sama sekali, itu pasti capek banget. Nora nyerah Kak." Ucapnya sambil bangkit dan beranjak pergi.
"Dan... Kakak ngelakuin banyak dosa! Satu, karna Kakak bentak anak kecil kaya aku. Dua, karna kakak ngomong kasar. Satu, kar-" Nora berhenti sejenak, "Ah sudahlah, masa bodo sama angka-angka sialan itu!" Nora menatap kesal pantulan wajahnya di lantai, dia tak berubah sama sekali, tetap saja bodoh!
***
Sebenarnya matematika itu mudah, apalagi soalnya. Tapi, kadang soalnya mudah dan jawabannya malah susah. Bahkan mustahil untuk dikerjakan.
Dalam matematika kita hanya mengenal sepuluh angka dari nol sampai sembilan. Itu-itu saja sebenarnya. Tinggal angka itu ditambah, atau dikurang, atau dibagi, atau hanya dikalikan saja.
Itu yang dasar, jika kita sudah sampai ke materi matematika tingkat lanjut, bukan hanya angka saja. Kita akan menemukan huruf yang disatukan dengan angka, atau tanda-tanda aneh seperti 'kurang dari' (<) atau 'lebih dari' (>), bahkan ada tanda yang mengaku bahwa dia memiliki makna 'tak terbatas' yaitu seperti angka delapan yang ditidurkan.
Pada akhirnya, matematika itu tetaplah sulit! Walaupun rumus yang ada di dalamnya tidak akan pernah berubah, tapi itu terlalu banyak untuk dihafal. Juga, penggabungan antara tanda, angka, dan huruf yang kompleks membuat matematika semakin sulit.
Sudah sebanyak itu Nora mencoba memahami matematika dan angka yang ada di dalamnya. Tapi, takdir berkata lain. Selama berjam-jam ia mencoba menghafalkan angka-angka tetapi hanya dalam hitungan menit saja dia sudah lupa dengan semua yang dipelajarinya.
Dia menyerah saja, lebih baik kembali ke kehidupannya sebagai lelucon dari pada harus melakukan hal yang sia-sia di sini.
Nora kembali menatap nanar rumah besar di depannya, kini semuanya sudah berakhir. Tak ada lagi baju bagus, makanan enak, atau tempat tidur nyaman.
"Nora, sampai saat ini kamu sudah berdosa sebanyak tiga puluh satu ribu sembilan ratus sebilan puluh delapan!" Gumamnya pada diri sendiri.
"Andai, aku bisa menemukan orang tuaku, andai aku ingat di mana rumahku, adai penyakit ini tidak menyerangku! Alzheimer ini menyiksaku!"
-END-
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top