GAPAI IMPIANMU
Aulia Permata, Ani Prameswari, Dito Sebastian
Life Style, Impian, Metropop, School Life
Aulia menatap luar jendela yang berada di sebelahnya. Gadis ini suka memilih tempat duduk yang berdekatan dengan jendela, agar dia bisa mengintip sang kakak kelas yang dikaguminya daripada mendengarkan dongengan guru di depan kelas. Aneh, memang hal tersebut alasan yang tak tepat. Tapi, baginya ini adalah hal yang mengasyikkan. Selain itu, ia dapat mencari udara segar alami dari angin yang masuk melalui jendela yang terbuka.
Bu Ani masih mendongeng tanpa menatap murid. Beberapa di antaranya ada yang mencatat hal penting, mencoret-coret kertas-membuat gambar anime dan mendengarkan dengan saksama. Tak lebih dari lima belas murid yang mencatat hal penting.
"Memang terlihat sederhana, tetapi dengan membaca kita bisa berpeluang menjadi penulis, karena kunci untuk menjadi penulis adalah membaca. Bukan berarti plagiat di sini. Kita harusnya bisa mencontoh penulis yang dimulai dari hal yang...." Ucapan Bu Ani terhenti, tatkala ia melihat Aulia yang termenung menatap luar jendela. Buku penunjangnya ia letakkan kasar. Seiring dengan hal tersebut, semua siswa menjadi antusias padanya.
Semua siswa menatap matanya yang menajam ke arah Aulia. Vina-teman sebangku Aulia menyikut lengan kiri Aulia. Ia mengedipkan mata, memberi kode jika Aulia harus memperhatikan Bu Ani.
"Ada apa Ibu. Apa sekarang saatnya saya harus membacakan contoh cerpen sekarang?" Aulia berkata dengan hati-hati. Kedua tangannya gemetar dingin.
"Apa kamu ada masalah, sehingga tak memperhatikan Ibu sama sekali dari tadi?" Bu Aulia bertanya dengan nada menginterogasi.
"Maksud Ibu, saya gak ada masalah kok," tukas Aulia dengan nada lembut.
"Kamu tahu, nilai ulanganmu tak lebih baik dari Rio, siswa yang beberapa kali mendapat nilai terendah. Tapi, Ibu salut padanya. Dia bisa bangkit dari nilai buruknya."
"Saya mengakuinya jika saya sekarang tak lebih baik darinya, tapi Ibu takkan mengerti mengapa saya menjadi seperti ini. Maaf jika saya sedikit kasar terhadap Ibu. Jika Ibu terus menjelekkan saya, silakan karena itu kenyataannya." Mata Aulia sedikit berkaca-kaca, namun ia menahan. Ia berusaha tegar menghadapinya. Kenyataan yang dilihatnya gurunya selalu saja merendahkannya walau kenyataannya benar. Tak seharusnya Bu Aulia berkata demikian.
"Aulia, nanti sehabis pelajaran Ibu, kamu temui Ibu sebentar di kelas sebelah." Bu Ani mengerti, perkataannya tak dapat dilupakan oleh Aulia namun ia tak ada maksud untuk mengejek dan membandingkan dengan Rio.
"Baiklah, kita lanjutkan pembahasan Ibu kali ini. Jadi menulis dimulai dari hati. Setiap penulis mempunyai gaya kepenulisannya sendiri. Tak perlu menjadi orang lain, walau kalian melihat profesi penulis itu terlihat sepele, namun sebenarnya mereka harus mempelajari banyak hal. Penulis hebat saja dulu pernah naskahnya tak diterima oleh penerbit. Apalagi kita yang tak ada apa-apa dibandingkan mereka. Sekarang Ibu ingin kalian membuat cerpen seperti yang telah Ibu bahas di awal tadi, setelahnya kalian harus mempresentasikan apa kelebihan cerpen kalian dibanding dengan yang lainnya. Kita akhiri pelajaran kali ini, jangan lupa pertemuan selanjutnya semua harus sudah selesai."
"Siap, Bu," jawab semua siswa serentak dengan nada yang terkesan semangat.
"Aulia, mari ikut dengan Ibu." Bu Ani berjalan mendahului Aulia dengan suara high heelsnya yang mengisi keheningan kelas.
*
"Maaf, Ibu tadi tak ada maksud membandingkanmu dengan Rio. Ibu hanya ingin melihat perubahan dari diri kamu." Tatapan Bu Ani sangat hangat pada Ani sembari mengusap halus bahu Aulia.
Kini Aulia tahu jika Bu Ani tak ada maksud terbukti dari perkataannya yang tulus dan tatapan matanya yang mungkin jarang diberikan pada siswa lain.
"Tapi, percuma saja karena saya tak suka. Saya tak bisa memaksakan sesuatu yang saya tidak suka." Air mata Aulia terjatuh, ia merasa lemah sekarang.
"Pasti ada sesuatu yang membuatmu tak menyukai pelajaran ini. Katakanlah. Ibu yakin, sebenarnya kau anak yang pandai hanya kau kurang menyadarinya!" ucap Bu Ina lembut. Saat itulah Aulia tak berani menatap Bu Aulia karena ia malu telah berprasangka buruk.
"Ayahku membenci dunia kepenulisan karena baginya itu tak penting bahkan tak lebih hebat dari CEO perusahaan. Maka dari itu, ayahku menyuruhku agar menjadi CEO perusahaan. Ayahku melarangku menjadi penulis. Tapi itu benar, aku memang membenci menulis karena membuang waktu saja. Lihatlah benar apa perkataan ayahku. CEO lebih baik daripada penulis. Selain dipandang tinggi dari penulis, CEO juga keren. Aku saja membaca beberapa halaman sudah menjenuhkan. Bahkan apa pentingnya membaca cerita yang hanya bisa membuat orang terbawa suasana senang tapi kenyataan hidupmu masih saja menyedihkan. Membuat lelah dan jenuh saja."
"Menyedihkan sekali Ibu mendengar perkataanmu. Miris sekali. Menurutku penulis itu lebih hebat dari CEO karena dia bisa berkreasi melalui imajinasinya. Penulis juga harus riset, jadi jangan remehkan penulis. Karena banyak orang yang hanya bisa berbicara tanpa melakukannya. Menulis juga bisa menghilangkan suasana burukmu. Jika kau tak percaya coba kau lakukan. Ibu tak akan memaksamu, namun kau pasti punya keinginan untuk melakukannya. Aku yakin kesengsaraan yang dialami penulis karena naskah yang belum diterima. Bahkan ditolak, padahal ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Dengan menulis tanpa menggambarkan nuansa dan karakter tokoh, biarkan pembaca menikmatinya. Kalau kau berpikiran pembaca bodoh karena mudah terbawa suasana cerita itu salah. Karena kau hanya melihat cerita dengan ending yang bahagia. Kalau kau memahami lebih, kau mengerti bahwa ada beragam."
Aulia mendengarkan dan mencoba mencerna perkataan Bu Ani. Menurutnya ada benarnya perkataan guru di depannya ini.
"Apakah aku bisa lebih kreatif dalam menulis?" tanya Aulia penasaran.
Hening menyelimuti keduanya beberapa detik. Bu Ani menatap dalam Aulia dengan tatapan yakin. Kedua telapak tangannya memegang telapak tangan Aulia. Bu Ani mengusapnya lembut.
"Aku yakin kau bisa."
Saat itulah sang kakak kelas, Dito tak sengaja lewat di depan kelas kosong dan menguping pembicaraan keduanya. Dito tersenyum. Saat itulah, Vino yang melihat Dito menepuk pundaknya pelan.
"Woy, ngapain lo senyum sendiri?"
"Diem Vin, lo mau tahu aja. Sono lo." Dito mengibaskan tangan kanannya pada Vino.
"Terserah lo dah, gue mau pergi dulu."
Aku tahu kau orang baik, hanya karena orangtuamu yang selalu mengekang membuatmu merasa tersakiti. Kamu juga berhak memutuskan semuanya sendiri asal tak salah ara, batin Dito. Setelahnya, Dito pergi.
Aulia sedikit tersipu malu ingin mengatakan sesuatu pada Bu Ani.
"Apakah aku bisa menuangkan rasa cintaku pada sebuah tulisan?" tanya Aulia.
"Tentu. Kalau kakak kelas, Dito menyukaimu dengan tulisanmu. Berarti kau sukses membuatnya jatuh cinta." Ejek Bu Ani, diikuti dengan kekehannya.
"Kenapa kak Dito sebagai contohnya?" Ani menaikkan sebelah alisnya.
"Karena Ibu lihat dia sepertinya diam-diam mengagumimu." Bu Ani tertawa.
"Pipimu memerah. Kau salah tingkah? Atau kau memang mengagumi juga?"
"Gaklah, Bu." Aulia bersikeras pada Bu Ani.
Setelah penjelasan tadi membuat Aulia sedikit berubah, bahkan ia mulai mengerti terhadap kepenulisan,
*
Hari-hari Aulia dipenuhi dengan rasa penasaran akan kepenulisan. Ia ingin membuktikan apa yang dibilang Bu Ani itu benar. Ia iseng membaca novel, dan juga tak jarang ia belajar menulis. Ia terapkan apa yang dibilang Bu Ani.
"Benar juga, banyak juga ya cerita yang membuat kita merubah suasana hati. Tapi, aku masih lelah jika membaca banyak halaman."
Saat itulah, ia mencoba membaca novel yang lain. Ia tak sadar telah membaca banyak halaman.
"Hari sudah malam, kau belum tidur, nak?" Pak Kardi mengambil paksa novel yang dibaca anaknya.
"Pak, kembalikan. Itu penghilang suasana hatiku yang buruk." Aulia mencoba meraih novel yang digenggam erat pada telapak tangan Pak Kardi.
"Sudah kubilang berkali, ini membodohimu, nak. Lebih baik kau belajar menjadi CEO yang baik agar bisa membuat orangtuamu bahagia. Jika kau ingin sukses, tinggalkan ini!" ancam Pak Kardi.
Pak Kardi ke luar kamar Aulia. Aulia hanya bisa diam tak ingin membela diri daripada membuat keramaian di malam yang sunyi. Ia mencari cara lain dengan mengumpulkan uang jajannya untuk membeli novel, menulis dalam diam dan juga membuktikan pada ayahnya jika ia mampu.
'Anak itu sudah dibilang susah. Apa hebatnya menjadi penulis?' monolog Pak Kardi pada dirinya sendiri.
Sementara di dalam kamarnya, Aulia hanya bisa meratapi nasibnya.
'Kenapa ayah tak berubah. Padahal, aku mulai suka dengan menulis. Bahkan ini pekerjaan yang baik. Tapi banyak di luar sana yang mendukungku. Bahkan aku harus bisa memotivasi diriku,' monolog Aulia pada dirinya sendiri.
Ia menulis tanpa mengeluh, karena ia menulis dengan hati. Bahkan jika ia dikritik karena karyanya tak sesuai ekspektasinya, ia siap. Ia tak iri dengan yang lebih baik darinya karena ia yakin orang tersebut awalnya tak bisa, sama seperti dirinya. Ia kini memiliki keinginan yang kuat.
*
Hari telah tiba. Saatnya pengumpulan tugas cerpen. Ia telah berubah cukup cepat. Tugas cerpen telah tertata rapi di depan meja Bu Ani. Saat ini yang Aulia rasakan adalah rasa khawatirnya yang berlebihan, Rasa antusiasnya melebih pada menulis. Bahkan ia telah belajar kepenulisan. Ia tak ingin sok dalam hal ini, hanya ia ingin mengubah ayahnya agar percaya dengan dunia kepenulisan yang selama ini dianggap jelek.
"Ibu akan melihat dari siswa yang selalu mendapat nilai rendah dalam tugas menulis," ucap Bu Ani sembari mencari nama Aulia.
Bu Ani mengamati setiap kata demi kata ketikan Aulia. Ia bingung dengan cerita yang dibuat Aulia terkesan aneh, namun kelamaan Bu Ani malah menikmati hasil ketikan Aulia. Cerpen tersebut dibuat dari hati. Bu Ani bisa mengetahui mana yang dibuat dengan terpaksa dan tidak. Ia melirik sekilas pada Aulia yang sifatnya mulai berubah.
Kelas hening, hanya suara-suara lirih para siswa. Yang lain terlihat biasa dan santai, ada beberapa yang antusias dengan cerpen, namun Aulia tak ingin bergabung berbicara. Ia hanya diam dan ingin komentar yang diberikan dari Bu Ani terhadap cerpennya.
"Aulia, cerpen kamu ini sangat disayangkan sekali. Menurut Ibu, punya kamu ini biasa."
Aulia menghadapi hal tersebut dengan senyuman. Ia bahkan tak marah karena memang kenyataannya seperti itu.
"Gak apa. Saya terima," ucapnya.
"Tapi akhir ceritanya keren sekali. Kau berbakat dalam hal ini." Bu Ani tersenyum pada Aulia. Ia senang punya murid seperti Aulia.
"Benarkah? Terimakasih. Ini juga karena dukungan dari Ibu." Aulia menghampiri Bu Ani, dan memeluk hangat Bu Ani. Ia tersenyum dalam pelukannya.
SELESAI
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top