Balasan MTK

Di kelas VII-C, aku membaca novel Nevermoor: Calling of Morrigan Crow. Mengabaikan teman-teman yang selalu ribut sendiri.

"Ya ampun. Kasihan Morrigan. Di kotanya sudah dianggap anak kutukan apalagi keluarganya yang mengabaikannya." Aku menggeram, melihat penduduk-penduduk yang menghina Morrigan di mana-mana.

Perasaan marah dan simpati mencampur di dalam hatiku menjadi satu. Untuk pelampiasan, aku membuat cerita baru di Wattpad.

Pertama sampul, nanti aku buat sendiri. Kira-kira konsepnya begini:

Seorang perempuan, duduk kesepian di bangkunya. Namun, ada buku tulis terbuka dipegang oleh kedua tangannya. Rambut hitam, dan memakai seragam batik biru muda, ditambah rok putih. Kaos kaki putih dan sepatu hitam polos. Latarnya adalah kelas dengan cat putih.

Sudah aku gambarkan desain perempuannya di buku gambar, aku tambahkan bunga-bunga sakura berguguran di kelasnya. Judulnya adalah: Flower's Math. Aku tulis di atas gadis itu, tepatnya di dinding putih yang di bawahnya ada tiga jendela.

"Oy, Eri! Pak Yoshi sudah datang!" seru Nanami—ketua kelas dan juga teman sebangku denganku.

Pemuda yang usianya mencapai dua puluhan memasuki kelas VII-C dan berdiri di samping meja guru. Memakai baju sasirangan hijau dengan celana biru malam dan sepatu hitam polos.

"Assalamualaikum Warrahmatullahi Hiwabarakatuh."

"Waalaikummussalam Warrahmatullahi Hiwabarakatuh," salam semua murid, lalu ke-25 murid duduk di bangkunya masing-masing.

"Buka LKS-nya, halaman lima. Hari ini kita membahas aljabar. Ada yang ingin membacakannya?" Pak Yoshi menatap murid-muridnya yang diam.

Salah satu anak laki-laki mengangkat tangan kanannya, "Saya, Pak."

"Silakan, Adnan," ucap Pak Yoshi mengawasi murid-muridnya untuk mengantisipasi tidak ada keributan di kelasnya.

"Dalam bahasa Arab, "al-jabr" adalah pengumpulan bagian yang rusak. Dalam bentuk paling umum, aljabar adalah ilmu yang mempelajari simbol-simbol matematika dan aturan untuk memanipulasi simbol-simbol matematika," tutur Adnan penuh kelembutan, membuat semua orang yang mendengar terdiam.

Pak Yoshi mengangkat tangan kirinya, perintah agar Adnan berhenti membaca. Tangan kanannya, menunjuk diriku, mengharuskan lanjut membaca.

Aku berdeham, "Salah satu bagian dari bidang matematika yang luas, bersama-sama dengan teori bilangan, geometri dan analisis. Selain itu, aljabar meliputi segala sesuatu dari dasar pemecahan persamaan untuk mempelajari abstraksi seperti grup, gelanggang, dan medan. Semakin banyak bagian-bagian dasar dari aljabar disebut aljabar elementer, sementara bagian aljabar yang lebih abstrak disebut aljabar modern."

"Eri, sudah. Sampai di sini, ada pertanyaan?" tanya Pak Yoshi, tetap fokus pada LKS matematika yang dipegangnya.

"Pak Yoshi, Adnan bermain HP di laci meja," adu Nanami menunjuk Adnan yang terkejut, karena sedaritadi memainkan HP terlalu fokus hingga melupakan di sekitarnya.

Aku memegang pensil terlalu erat, membuat tangan kiriku sakit. Inilah sebabnya, aku tidak punya banyak teman di kelas. Itu pun, hanya dua-tiga teman saja. "Nanami, bisa kamu diam tidak! Aku sudah muak mendengarkan penganduanmu kepada seluruh guru di SMP Langit Madagaskar. Aku sarankan, gunakan mulutmu untuk hal yang positif atau diam saja!"

"Adnan! Nanami! Eri! Harap hentikan pertengkaran ini! Setelah ini, ikuti saya ke ruangan BK. Kita bicarakan ini bersama Ibu Inta." Pak Yoshi memukul meja guru dengan penggaris kayu yang dipegang olehnya.

Aku, Adnan dan Nanami terdiam. Keheningan melanda kelas hingga embusan napas dari Pak Yoshi terdengar. "Anak-anak, waktu saya sudah habis. Silakan istirahat. Ingat, makan makanan yang mengandung sayur-sayuran. Minum banyak air putih. Ini untuk kesehatan dan kepintaran di otak kalian."

***

"Ibu tidak mengerti. Kenapa Adnan bisa membawa HP di sekolah? Bukannya peraturan di sini melarang membawanya ke sini? Eri, kenapa berbicara sambil berteriak? Kamu 'kan bisa menegur temanmu pelan-pelan tetapi dengan nada tegas? Nanami, padahal kamu adalah ketua kelas sekaligus contoh di kelas. Kenapa kebiasan mengandumu itu tidak pernah hilang?" tanya Ibu Inta memencet pelipisnya berkali-kali, pertama kali menghadapi tiga anak yang jarang melanggar pelaturan.

"Maaf, saya hanya ingin menjelaskan. Dulu sekali, saya ingin memberikan saran kepada Pak Yoshi, untuk mengubah cara mengajarnya. Saya tahu, ini tidak sopan. Namun, selama ini saya tidak mengerti pelajaran Matematika karena penjelasan Pak Yoshi yang terlalu bertele-tele. Kali ini, saya berjanji tidak akan bawa headphone lagi.

Ibu Inta melirik Pak Yoshi, meminta kejelasan. Pak Yoshi menepuk bahu kanan Adnan, "Skariel Adnan Ahmad."

Aku lihat, badan Adnan bergetar dan mengeluarkan keringat dingin. Saat Pak Yoshi memanggil nama lengkap muridnya, artinya siap harus mendengar ceramah panjang lebar.

"Adnan, terima kasih sudah memberitahukan pendapat kepada saya. Saya berjanji akan mengubah cara mengajarnya. Namun, jangan ulangi perbuatanmu seperti ini. Lebih baik memberitahu, jangan memendam sendiri, mengerti?" Pak Yoshi tersenyum kecil, mulutnya yang 'bulat' saat tersenyum benar-benar lucu bagiku.

Aku harus meminta maaf, sebelum Nanami mulai berulah lagi. Setsuna Nanami adalah teman sekaligus pesaingku dalam pelajaran matematika. Tidak jarang, aku sering bertengkar dengannya karena selalu mendebatkan hal-hal sepele.

"Ibu Inta, saya mohon maaf. Bicara dengan kencang. Tadi, saya kesal mendengar pengaduan Nanami kepada Pak Yoshi. Saya sudah menahan kesabaran apabila Nanami selalu mengadu kepada semua guru, jika ada kejadian tidak mengenakan di kelas," jelasku, melirik Nanami yang memain-mainkan kakinya sendiri.

"Emosi memang tidak baik untuk keadaan fisik dan mental kamu. Kesabaran memang indah, tetapi satu-dua kali kamu bisa marah asalkan tidak merugikan kedua pihak. Kamu mengerti, Nak?" Ibu Inta mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan, membuatku ingin menunduk malu.

"Iya, Ibu Inta." Kuangguk-angguk kepala, mengerti akan penjelasan yang harus aku taati.

"Nanami, bisa jelaskan kenapa kelakuanmu tadi di kelas?" pinta Ibu Inta, tangannya sudah berhenti mengusap kepalaku. Mencoba serius dan siap mendengarkan.

"Saya tidak tahu apa salahnya pengaduan kepada orang lain. Padahal cuma sekali-sekali, teh." Nanami memasang wajah cemberutnya, membuat Ibu Inta menjitak kepala Nanami.

"Nanami, dengarkan. Mengadu kepada guru itu tidak apa-apa, asal jangan terlalu berlebihan. Tetap saja, itu akan membuat Pak Yoshi dan Eri marah. Kali ini, hukuman kalian bertiga adalah mengumpulkan beberapa tugas matematika dari Pak Yoshi, dan kerjakan secara berkelompok. Silakan keluar dari ruangan saya!" Ibu Inta sudah menghabiskan kesabarannya, membuat hawa di ruangan BK panas.

Aku, Adnan, Nanami dan Pak Yoshi berlari keluar tanpa menutup pintu. Kami bisa mendengar teriakan kemarahan Ibu Intan dari jarak satu meter. Jarang-jarang, kami mendengar teriakan langka bertahun-tahun lalu.

***

"Assalamualaikum Warrahmatullahi Hiwabarakatuh. Mama!" salamku, berjalan ke ruang tamu. Bersama Adnan dan Nanami di belakangku. Untuk mengerjakan tugas kelompok matematika dari Pak Yoshi. Katanya, tugas itu sudah harus dikumpulkan hari Senin ini.

"Waalaikumsalam, ada kawan-kawannya Eri. Mari, silakan masuk. Tante siapkan camilan dulu. Tunggu sebentar." Mama menghilang dari pandangan, sedang menuju ke dapur untuk menyiapkan camilan untuk Nanami dan Adnan.

Aku, Nanami, Adnan duduk di lantai yang berlapisan karpet hijau batik, dan mengeluarkan buku paket pemberian Pak Yoshi. Warna tulisan sampulnya biru langit. Matematika: Materi dan Pembahasan. Ini sudah seperti mau belajar UKK saja.

Di ruang tamu, kami tidak bicara. Bukan karena tidak ada topik, melainkan karena fokus mencatat materi tentang aljabar dan geometri. Tidak semudah dikira, aku harus membuat rangkuman dari buku paket Matematika: Materi dan Pembahasan sebanyak halaman dua puluh.

"Ah, bosan. Main ToD, yuk," ajak Nanami mencoba meramaikan suasana.

Aku mengangguk-angguk. Sekali bermain untuk mengistirahatkan diri tidak apa-apa. "Oke, kita istirahat selama lima belas menit."

Adnan menutup buku tulis dan pensil di atasnya. Merengangkan otot-otot lengan sejenak. Lalu, melamun hal-hal di luar sana, sudah kebiasaannya di dalam kelas.

Aku petik jariku di depan wajahnya, "Jangan melamun, main ToD saja."

Nanami menatap Adnan tajam, sama sekali tidak menyukai kebiasaan sahabatnya sedari pertemuannya dengan Adnan dulu.

Aku menatap Nanami dan Adnan bergantian. "Oke, Adnan. Truth or Dare?"

"Dare." Adnan mengambil buku tulisnya, lalu menulis pikiran-pikirannya jika sudah bergerembuk di otaknya.

"Kita berbalas puisi. Harus ada tema matematika di dalamnya. Terserah mau kayak gimana." Ide untuk satu puisi membuatku memasang seringai kecil.

"Ikut juga ya, boleh?" Nanami memasang 'tatapan manis'-nya untuk membuatku luluh.

Nanami, selalu ada cara tersendiri untuk membuatku luluh seketika. Ya, kadang aku berhasil mempertahankan diri dari 'tatapan manis'nya pada saat-saat tertentu saja.

"Iya," jawabku singkat.

"Kita balas puisi di chat grup kita bertiga, ja." Adnan mengambil HP dari tas kuning dengan gambar lemon -lemon di sekelilingnya.

Aku tersenyum miring, kedua tangan ini ingin melakukan sesuatu kepada kepala Adnan.

Aku mengambil HP dari saku rok biru tua sekolah tadi. Iya, seharian, aku belum mengganti seragam dengan baju rumahan dari tadi. Hehehe, kebiasaan dari kecil.

Membuka Whatsapp, lalu masuk ke dalam grup chat kami bertiga. Aku, Adnan dan Nanami. Untuk tugas menyangkut bahasa Indonesia.

Selain matematika, kami sering diskusi tentang tugas atau sastra dari bahasa Indonesia. Membantu satu sama lain jika ada kesusahan membuat karya prosa seperti cerpen, dan sebagainya. Dimulailah, balasan puisi matematika satu sama lain.

Aku: Puisi pertama,

Aritmetika sosial, harga jual

Harga beli

Membeli jiwa kandungan anakku

Untuk melihat anugerah Allah SWT

P. S. Nanami, kamu duluan.

Nanami: Hore! Oke, ini dia! Bersiap-siaplah.

Anugerah sama dengan karunia

Sama-sama bersyukur

Syukur kepada Allah SWT

Atas karunia-Nya kepada kita

Hehe, bagaimana?

He, lagak sombong? Baiklah, kalau gitu aku menuliskan:

Aku: Puitis sih, tapi kok, diksinya biasa-biasa saja toh. Kenapa, ya?

Nanami: Diksi itu apa? Aku tidak tahu apa itu. Beritahu dong.

Aku: Malas beritahu, cari sendiri, lah. Adnan, selanjutnya kamu.

Adnan: Puisi ketiga,

Aljabar X dan Y

X-nya untuk diriku

Y-nya untuk Tuhanku,

Allah SWT

Nanami: Aku! Aku! Eri yang terakhir!

Namun, menurut kalian. Sambung tidak puisinya?

Adnan: Iya juga, ya. Ah, bagaimana kalau kita sambung paragraf? Jadi, kita buat satu kalimat. Terserah seperti apa, asalkan berhubungan dengan matematika. Mau?

Aku: Ikut!

Nanami: Kuy, daripada yang seperti tadi.

Diam-diam di dalam otakku, ada satu ide gila, mungkin akan mengejutkan Adnan dan Nanami. Karena, setahuku Nanami juga sudah memiliki rasa kepada Adnan. Mungkin, ada saatnya ia akan menyatakan perasaannya. Aku harus melakukannya dengan cepat.

Aku: Aku duluan,

Seorang gadis duduk di atas bukit, menatap senja untuk merenungkan pelajaran dari pengalaman hari ini.

Adnan:

Di belakangnya, pohon cemara yang diterbangkan angin. Tersembunyi laki-laki di sisi belakang batangnya.

Nanami: Kenapa jadi puitis sih?

Mencoba mengendalikan detakan kencangnya jantung. Menghirup oksigen, ia berjalan ke arah gadis.

Aku: Kepo banget sih, cari sendiri. Suatu saat, kamu harus rasakan sendiri perasaan mendapat ilmu baru.

Gadis menoleh ke belakang. Sudah menduga yang mengawasinya dari tadi. Ia menanyakan namanya kepada laki-laki.

Adnan: Sudah-sudah, fokus pada paragraf.

Laki-laki memperkenalkan dirinya, "Handren Irenfis."

Terlihat penampilannya seperti orang Eropa. Mata hijau tuanya, kulit putih, dan ada loga Jerman-nya di nada bicaranya.

Nanami: Kamu menyukai Adnan, Eri?

Aku tahu semenjak lama. Bahwa ada pesaingku selama ini.

Apa! Nanami sudah mengetahuinya? Aku menjadi tidak dapat giliran menulis paragrafnya gara-gara dia.

Aku: Iya, memangnya kenapa?

Nanami: ..., aku keluar ya dari grup ini. Bilang ke Tante, aku ada urusan di rumah. Urusan tugas kelompok ini aku serahkan kepada kalian semua. Maafkan atas kelakuanku kemarin, Eri, Adnan.

Lalu, ada tanda biru, bertuliskan Nanami keluar. Aku bengong melihat pesan terakhir Nanami, hingga tidak menyadari ia sudah keluar dari rumahku. Aku menoleh ke belakang, ingin mencegah tetapi ditahan oleh tangan kiri Adnan, "Hei!"

"Biarkan saja, mungkin kita harus membiarkannya. Aku rasa, Nanami menyembunyikan sesuatu dari kita." Adnan melepas genggaman tangannya, memalingkan wajahnya ke arah lain. Agak merasa malu.

Tahun demi tahun telah berlalu, kami bertiga telah lulus SMP Langit Madagaskar, dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Namun, pertemuan pasti ada perpisahan. Yang datang membawa kabar atas meninggalnya Nanami adalah suaminya, Rogero Induani.

Air mata menetes ke pipi, memerihkan mata, memang tidak sebanding dengan keadaan duka cita yang harus segera pergi secepatnya. Rogero memberikan kertas putih, "Dari Nanami untuk kalian."

Lalu, Rogero pergi dari Taman Langit Madagaskar, berlari pulang dengan isakan penuh sesak di dalam dadanya. Aku dan Adnan membaca kertas yang telah ditulis sebulan yang lalu. Berisi puisi matematika dan paragraf yang kami ciptakan bersama di Whatsapp. Sudah lengkap dan beberapa sepatah kata.

Halo, Adnan dan Eri,

Maafkan aku belum memberitahu penyakitku yang mematikan ini kepada kalian. Juga maafkan sekali lagi atas kelakuan sikap mengaduku ini. Sudah kebiasaan, hehe. Oh iya, selamat ya Adnan dan Eri yang sudah bertunangan, hehe. Juga buah buku pertama novel tentang kita bertiga.

Jika kalian membaca ini, berarti aku sudah bahagia di sana, terima kasih untuk semuanya. Aku sudah tahu semua ini dari adik sepupuku, Ardita Nasehara. Yang merupakan editor dari buku kalian. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top