AALove2~3
"Kalau kamu merasa lebih nyaman tanpa aku tak apa, Sisi, aku bebasin kamu sekarang!"
Digo menatap Sisi dengan tatapan meredup. Dada Sisi rasanya nyeri mendengar kata bebas tetapi tak bisa mengatakan apapun.
Sesungguhnya Sisi merasa bersalah karna sikapnya membuat semua jadi kacau.
"Kita instrospeksi diri masing-masing dulu," Digo melanjutkan ucapannya.
"Mungkin selama ini aku yang terlalu egois hingga membuat kamu merasa terkekang," lanjut Digo lagi.
"Mungkin kamu lebih nyaman bersama dengan teman-temanmu itu, kamu yang ngerasain," Digo masih dengan suaranya yang lirih.
"Jadi maksud kamu kitaaa..." Sisi tak bisa melanjutkan ucapannya karna tiba-tiba saja dadanya sesak.
"Kita nggak kenapa-kenapa, cuma harus sama-sama merenung aja, kalau kebebasan yang berarti buat kamu aku bisa apa?"
Sebenarnya Sisi bukannya ingin dibebaskan Digo. Tetapi perasaannya justru tak enak dan menganggap Digo yang ingin bebas tanpanya lagi. Kalau Digo ingin bebas darinya kenapa ia harus menghalangi?
"Jika tanpa aku lagi membuatmu lebih merasa nyaman, tak apa..." Sisi berkata lirih.
Dan Digo merasa Sisi benar-benar sudah tak butuh dia lagi sampai berkata seperti itu dan tak menolak ucapannya.
*****
~Sisi Point Of View~
Aku memandang Digo tanpa kata bahkan kalau bisa tanpa napas. Digo pergi dan tanpa aku cegah bukan berarti aku terima dengan ucapannya.
Aku justru merasa dia yang ingin terbebas dariku. Terbebas dari aku yang tak bisa diaturnya. Dari cewek yang sama sekali tak merasa berarti untuknya.
"Kalau kamu merasa lebih nyaman tanpa aku tak apa, Sisi, aku bebasin kamu sekarang!"
Aku merenungi ucapannya. Membebaskan aku dari apa? Mungkin Digo sudah jenuh dengan sikapku. Sikap mudah terpengaruh. Sikap tak bisa diatur. Sikap memaksakan diri tak mau menuruti apa katanya. Dan aku terpengaruh ucapan Meica. Meica? Mengerikan. Kenapa aku selalu dipertemukan dengan orang-orang yang punya kelainan mental? Menyukai sesama jenis itu penyakit. Harusnya suatu penyakit bisa disembuhkan. Tergantung dengan dirinya sendiri.
Untung saja Meica gerak cepat sehingga langsung ketahuan belangnya, kalau tidak, apa jadinya? Dia akan terlalu lama mempengaruhiku. Bukan hanya merusak hubunganku dengan Digo tetapi juga bisa-bisa merubah perasaanku. Ah tidak, sebenarnya perasaanku tak mungkin begitu saja berubah. Aku mencintai Digo, dan rasa ini membuatku selalu jatuh kedalam cintanya.
Hanya Digo yang bisa membuat aku kembali percaya diri menatap dunia. Dia yang membangunkan aku dari keterpurukan. Dia mau selalu berdiri disampingku apapun yang terjadi. Harusnya tanpa dia aku tak berarti sama sepertinya yang selalu membuat aku berarti. Digo selalu berkata hanya setia dan jaga hati yang dia pegang. Komitmen itu yang selalu dia ucapkan. Setia dan Jaga hati.
"Maafin aku Digo!"
Meskipun aku sempat merasa diatas angin karna aku tahu dia teramat sangat menyayangiku, tapi aku kian menyadari akupun sama. Sangat menyayangi dan tak ingin dilepaskannya.
"Mama sudah sering bilang, jangan terlalu percaya sama orang lain, Sisi..." komentar mama membuat aku kepikiran.
Aku memang sering sekali mudah melupakan kalau pernah disakiti orang lain.
"Jangan suka curhat sana-sini," ucap mama lagi. "Nanti kalau Digo marah baru kamu nyesel, Si."
'Digo sudah marah ini, mah,' bisikku dalam hati.
Rasa egoisku yang tinggi yang menyebabkan ucapanku pada Digo bernada tak membutuhkannya. Aku juga tak mau jika Digo tak membutuhkan aku lagi aku paksa untuk tetap disampingku. Tapi benarkah aku rela?
Sehari tak ada kabar rasanya dua ratus tahun. Biasanya setiap kami berjauhan handphone tak berhenti mengeluarkan bunyi notifikasi chatt. Kalau tidak aku ya dia yang mulai duluan. Dan sudah dua hari ini sepi. Sabtu dan terutama hari Minggu. Hari yang biasanya sering kami habiskan bersama.
Nonton. Makan. Jalan-jalan. Atau dirumah saja tetaplah terasa menyenangkan bila berdua dengannya.
"Digo, apa kamu nggak kangen sama aku?" Aku berbisik lirih sambil melihat layar handphoneku.
"Hmmm, Sisi...Sisi, heran sama kamu, udah berulang kali mama ingatkan, jangan sampai Digo negur kamu, selama ini Digo lebih banyak tindakannya daripada negur kamu, kalau udah negur pasti kamu udah kebangetan!"
Mama ceramahin aku melulu dari tadi. Kalau berantem sama Digo pasti aku yang disalahin. Coba kalau sama umi Digo, pasti aku deh yang dibelain. Kayak waktu itu, Digo dijewer umi gara-gara nakut-nakutin aku sama kucing. Pura-pura mau ngangkut kucing yang lewat lalu seakan mau melemparkannya padaku. Aku kan geli sama kucing. Dia tahu itu. Sengaja bikin aku histeris dan marah-marah.
"Digooo, kenapa jahil banget sih? Kasiankan baby-nya umi!"
Umi memeluk aku dengan sebelah tangannya sementara tangan yang lain menjewer kuping Digo. Digo malah terkekeh geli.
"Abis dia lucu umi, sama doraemon suka masa sama kucing beneran malah geli!" Kekehnya menyebalkan.
"Iyakan kucing doraemon nggak ada bulunya!" sahutku keki.
"Kalau disuruh milih, nyium kucing atau nyium tangan aku, kamu pilih mana hayo?"
"Ya pilih nyium tangan kamu laahhh, geli masa cium kucing?"
"Nih tangan aku cium!" Digo mengulurkan tangannya kewajahku dan aku menghindarinya semakin merapat pada umi.
"Digooo..." aku melirik umi yang berteriak dan melotot pada Digo.
"Lohh, katanya mending nyium tangan aku??"
"Tangan kamu bekas megang kucing, sanaa cuciiii, bulunya bisa nempelll..." teriakku dengan suara manja yang akut. Digo malah tertawa panjang sambil masuk kedapur mencuci tangannya.
"Digoo, Digooo, jahilnyaa nggak ketulungan, kasian princessnya umii," umi memelukku dengan kedua tangannya, aku menyandarkan tubuhku didadanya yang hangat.
"Ah, jadi kangen umi..." aku berguman pelan mengingat kejadian yang membuatku rindu pada uminya Digo.
"Kangen umi apa kangen Digo?" tanya Mama menyahut sambil mengerling.
"Mama ini, udah disebutin kangen umi juga, malah nanya kangen siapa," tukasku sambil mengerucutkan bibir.
"Nggak percaya nggak kangen sama anaknya umi," ucap mama lagi.
"Mama kali yang kangen sama dia, iyakan?"
"Ya kangen sama calon mantu kesayangan mama!"
Calon mantu? Entahlah ma, apa akan jadi mantu beneran? Sekarang aja dia nggak peduliin aku. Dia nggak ada menghubungi aku sampai sekarang. Apa dia benar-benar sudah tidak peduli lagi? Tiba-tiba saja perasaanku kacau. Benarkah aku akan kehilangannya? Digo benar-benar ingin membebaskan aku dalam arti kami tak saling mengikat dan melepas komitmen?
Ah, dadaku tiba-tiba berdenyut ngilu.
Jika benar dan yakin melepasku sangat berarti bagi Digo aku bisa apa? Apakah dia sudah memikirkannya dengan matang sebelum pergi meninggalkan aku? Mana janjinya untuk tetap memegang janji setia dan jaga hati? Apakah dia sudah menyerah padahal ini baru permulaan?
"Memangnya mama yakin Digo akan jadi menantu, mama?"
"Kalau kalian ingin sampai ketitik itu maka berusahalah," ucap mama.
"Tapi Digo sepertinya udah nggak peduli sama aku, Ma," sahutku dengan nada menyesal.
"Instrospeksi diri, Sisi, jangan terpaku hanya pada saat dia tak peduli tapi kenapa dia jadi tidak peduli?"
"Berarti aku yang salah, ma?"
"Bukan berarti juga salah sepenuhnya."
"Rasanya aku nyerah, ma!"
"Jika ingin mencapai sesuatu dalam hidup, tentu harus berusaha untuk mencapainya daripada harus menyerah dengan situasi, Sisi..."
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Jangan abaikan tentang sesuatu yang sesungguhnya berharga bagi kamu, jangan sampai kamu menyesal sampai sesuatu yang kamu harapkan benar-benar tidak bisa dicapai karna keegoisan," ucap mama lagi.
Aku terdiam mendengar ucapan mama. Sebegitu besarnyakah dampak dari egois pada kesuksesan seseorang dalam meraih sesuatu. Sesuatu yang disebut cinta dan sejati.
Tiba-tiba aku begitu merindukan Digo. Merindukan kebersamaan yang sebenarnya dipenuhi dengan cinta. Masalah kami hanya mengakui kesalahan tetapi tak bisa merasakan maksud dari kesalahan itu untuk menguji seberapa kuat cinta kami bertahan.
Memang biasanya setelah jauh dan pergi maka akan terasa seseorang itu sangat berarti. Lihatlah sekarang, aku merindukan perhatiannya. Biasanya setiap hari saling berkabar bila jauh.
Lagi apa?
Udah makan?
Jangan makan permen lolipop
Jangan makan yang pedes-pedes
Jangan minum-minuman bersoda
Ah, aku merindukan dirinya meskipun hanya lewat sebaris tulisan dilayar handphone.
"Digo, aku belum makan, pingin disuruh-suruh sama kamu, pingin dimarahi karna nggak mau makan dan minum air putih yang banyak!"
*****
~Digo Point Of View~
"Jika tanpa aku lagi membuatmu lebih merasa nyaman, tak apa..."
Kalimat Sisi rasanya membuatku tak enak hati. Mungkin memang dia ingin bebas melakukan apa saja tanpa aku yang mengekangnya. Aku bisa apa? Bukan menyerah pada keadaan, tetapi ini untuk kebaikan. Daripada Sisi merasa terganggu dengan sikapku lebih baik aku yang mengalah untuk memberikan ruang padanya agar dapat berpikir.
Mungkin baginya aku ini apa? Seorang pria muda usia tanpa pasti sebagai jodohnya atau tidak kelak. Kalau sekarang ini terlalu dituruti, mungkin baginya hanya membuang waktu saja. Sudahlah.
Aku bukan tak menyayanginya lagi. Aku masih sangat menyayangi bahkan saat ini merindukannya. Tapi apa harus aku memaksakan diri agar dia memahami arti dia buat aku dan apa yang kuharapkan dari hubungan kami ini?
Selama ini aku ingin selalu membahagiakannya. Apa yang dia minta akan aku berikan. Apa aku rela sekarang dia aku bebaskan?
Sebenarnya tidak. Aku hanya ingin kami sama-sama berpikir. Menghilangkan rasa egois dan mengesampingkan kepentingan masing-masing untuk kepentingan kedepannya.
Aku seorang pria. Suatu saat akan bertanggung jawab pada keluarga. Saat ini hanya harus berjuang untuk masa depan. Dan aku rasa komitmen Setia dan Jaga Hati kami harusnya tetap akan terus berjalan sampai finish.
"Digoooo, jangan bobo malem-malem..."
"Iyaaaa......."
"Jangan centil-centil sama cewek lainn..."
"Enggakkk..."
"Apa?? Enggak."
"Iya, enggak centil, mbemmm...."
"Jangan telat makannya nanti kamu sakitttt."
Masih terngiang ucapan-ucapan manjanya ditelingaku. Aku tak mungkin bisa melupakannya. Aku menyandarkan tubuhku di Sofa dan mataku menabrak deretan sepatu-sepatu dan sandalku yang tersusun rapi ditempatnya. Semua itu Sisi yang merapikan dan menyusun. Dia paling suka mengomel melihat barang-barangku berantakan kesana kemari apalagi semenjak tinggal sendiri dirumah baru bersama Jabar.
"Ayo turuuun..." ucap Sisi meminta aku turun dari mobil ketika kami stop disebuah mini market.
"Bentaran aku nyari sepatu dulu,"
"Nggak usah pake sepatu, kita cuman turun bentaran nyari es krim, pake sendal ajaa..."
"Aku pake sendal jepit ini, masaa...,"
"Ituu sendal bagusan ada dibelakang,"
"Ambilinnnn," Aku berteriak sambil masih mencari-cari siapa tau dibawah jok ada sendal bagus.
"Iya bentarrr, punya laki kok jorok amat sih sepatu, sendal, kaos kaki, beserakan kayak giniiii!" Sisi terdengar mengomel sambil membuka bagasi dimana sepatu dan sendal juga kaos kakiku berserakan disana. Aku cuma cengengesan.
"Beli tempat sepatu, ncit, masa dibiarin gini sih," protes Sisi melihat isi bagasiku.
Ah, aku merindukan omelannya. Merindukan kalimat yang keluar dari bibirnya dengan manja. Biar bagaimanapun, rasa ini takkan pernah berakhir. Aku menutup mata dan berharap ada bayangannya dimataku.
"Aku kangen kamu, Mbem..."
********************************
Banjarmasin, 23 Juli 2016
#Selamat malam minggu
Watty paling bisa bikin aku badmood, udah 1000 kata lebih nggak kesimpan balik lagi ke 600, dilihat direvisi enggak ada keluar satupun, aduhh untung selesai ini part 3 meskipun lamaa dan yaa begini jadinya.
Thanks ya, teman teman semangatnya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top