AALove2~11

~ Digo Point Of View~

Bukan hanya tak sabar ingin menikah dan menjadi satu dalam sebuah ikatan yang suci. Bukan juga karna pikiran ingin terus memeluk Sisi semalaman sampai Sisi sesak napas. Bukan pula tak kuat menahan hasrat karna aku tak pernah terpikir hawa napsu saja. Tetapi aku hanya ingin mengikat hubungan ini dengan harapan cinta yang disatukan tak dapat dipisahkan oleh manusia karna Tuhan lebih kuasa.

"Saya terima nikahnya Sisi Radhisa binti Imam Radhitya dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai."

Berulang-ulang kalimat ijab kabul itu aku ucapkan untuk melatih lidahku agar pada saat akad nikah terdengar lancar dan tegas. Aku sudah yakin akan meminangnya menjadi pendamping hidupku. Aku akan menjadi orang yang bertanggung jawab padanya, melindungi, memanjakan dan membahagiakannya. Catat janjiku.

Allah memberikan jalan padaku untuk segera mengikrarkan kami sebagai suami dan istri dibalik berbagai kejadian. Kegagalan panen tambakku tak serta merta membuat aku mundur menggenggamnya. Meskipun terpaksa harus mendahului jadwal pernikahan Jabar dan Nesha.

Mundur adalah harapan para pembenci, sedangkan para penyayang pastilah mendoakan dan berharap yang terbaik. Tentu lebih baik membahagiakan dan melegakan hati para penyayang dari pada harus terpaku para pembenci yang tak memahami perasaan kami. Paham artinya pembenci? Tentu saja pembenci itu aku sebutkan bagi orang-orang yang tak suka dan tak ingin kami bersama lalu hidup bahagia selamanya. Sedangkan penyayang, aku sebut bagi orang-orang yang menyayangi dan berharap yang terbaik untuk hidup kami kelak.

"Kamu serius pingin segera nikahin aku, ncit?" tanya Sisi dihari terakhir kami bertemu karna setelah itu kami tak boleh bertemu sebelum akad nikah. Terbayang rasa rindu yang ada didalam hatiku dan rasa tegang menunggu saat ijab kabul itu tiba.

"Duarius malah," sahutku dan menatap matanya yang sepertinya bingung dan ragu menatapku.

"Jangan bercanda," tukasnya manja.

"Iya, aku serius, janji suci pernikahan itu sakral, nggak mungkin aku main-main!" Sahutku sambil menyisihkan rambutnya.

"Bukan karna apa-apa nih?" tanyanya dengan nada tak yakin.

"Apa-apa gimana? Kamu kan pikirannya negatif mulu, mbem," jawabku sambil memencet pipinya.

"Siapa tau kamu cuma buktiin sama orang-orang sirik itu, bukan karna kamu cinta sama aku," balasnya.

"Justru karna aku cinta aku buktiin dengan nikahin kamu," sahutku lagi membuatnya terdiam.

"Apa kabar Une? Kenapa kamu nggak pernah cerita ada pengagum rahasia?"

"Aku nggak nganggap dikaguminya itu istimewa, baik sama semua orangkan wajar apalagi dia baik sama kita, masalah niat aku mah nggak tau, tapi setiap saat aku waspada dan tak mudah terpengaruh dengan ketidak wajaran!"

"Jadi benar dia ada hati sama kamu?"

Aku menggedikkan bahu. Entahlah. Tak paham dengan Une. Kenapa dia? Tak salahkah sampai harus segitunya menghalangi pernikahanku? Menghalangiku untuk bahagia? Begitukah caranya mencinta?
Tapi biarkan saja itu hanya menjadi cerita yang tinggal cerita. Sepandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga.

"Dan bersyukur Tuhan masih berpihak pada cinta kita, mbem," aku meraih bahu dan mengusapnya.

"Yakin dia takkan mengganggu lagi?"

"Mengganggu suami orang adalah sikap paling bodoh seorang wanita apalagi dia berhijab, ups," aku menutup mulutku yang refleks dipukul Sisi.

"Jangan menghujat orang, nanti kamu dibully kalau ada yang dengar," tukas Sisi.

"Takut banget sih dibully, kamukan nanya, aku cuman jawab," sahutku. Akukan cuma menjawab tanyanya. Wajar aku berpendapat seperti itu. Benarkan yang aku katakan? Wanita pengganggu suami orang itu bodoh meskipun suami yang diganggu juga bodoh kalau mau menanggapi. Harusnya Sisi yang berpendapat seperti itu, mana ada wanita yang mau suaminya diganggu dan si suami mau juga diganggu?

"Iya maafff, habisnyaaa..." Sisi menggantung kalimatnya yang bernada menyesal menatapku.

"Apa? Kamu takut apa sih?" tanyaku menangkup pipinya.

"Akukan tidak lebih pintar dari yang kamu sebutin tadi dan aku..."

Mulai lagi pasti. Sampai kapan Sisi sensitif dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebaikan? Pasti dia merasa rendah diri. Kurang sempurna. Memiliki kekurangan yang sangat kurang dibanding wanita yang lain. Merasa tak memiliki sesuatu yang paling berharga.

"Bisa nggak kamu nggak terus-terusan mengutuk diri kamu sendiri?" Aku menarik pinggangnya dan menatap wajahnya begitu dekat. Kedua tangannya berada didadaku dan balas menatapku dengan tatapan sendu.

"Janji kamu nggak akan ngungkit-ngungkit?"

Untuk kesekian kalinya dia ingin aku berjanji. Dan untuk kesekian kalinya juga aku berjanji.

"Boleh aku minta kamu juga berjanji?" tanyaku dengan suara lirih tepat didepan hidungnya.

"Apa?" bisiknya balas bertanya.

"Jangan pernah lagi merasa rendah diri dan mengingat-ingat yang menurut kamu itu kekurangan kamu, bisa?"

Dia memandangku sesaat dan mengedipkan kedua matanya lalu mengangguk.

"Iya, aku berusaha, seperti aku berusaha untuk menerima kekuranganmu," tuturnya.

Dan aku yang balas mengedipkan kedua mataku lalu mengangguk. Aku menundukkan wajahku hingga keningku menyentuh keningnya dan hidungku menyentuh hidungnya.

"I love you, Sisi!"

"I love you too, Digo!"

Dan bibirkupun menyentuh singkat bibirnya dengan nafas yang saling berhembus hangat menyapu bibir disela degupan jantung yang membuat pernapasan kami terasa tersengal seperti habis lari 10meter.

*****

Pernikahan tinggal seminggu lagi. Rasanya semakin tak sabar. Aku dan Sisi takkan bertemu sampai hari pernikahan kami. Orangtua kami bilang berbahaya karna jika kami berduaan yang ketiga pasti setan. Lagipula calon pengantin tidak boleh kemana-mana. Dirumah saja. Dipingit. Dizaman modern ini sebenarnya tradisi dipingit tak selalu dijalankan apalagi kedua mempelai orang yang sibuk. Buat aku sendiri tak dipingit-pingit banget sih tapi seperlunya saja kalau mau keluar rumah kecuali ke Tambak.

Sisi sekarang pasti sedang perawatan. Aku yakin dipesta pernikahan kami dia akan sangat cantik. Baju pernikahan yang kami beli disebuah rumah pengantin yang menyediakan baju pengantin sudah siap pakai masing-masing sudah berada ditangan kami. Kemarin cuma ada yang dikecilkan karna Sisi inginnya pas dibadannya begitu juga aku.

"Aku lagi luluran, ncit," ucapnya diujung telpon.

"Hmm lagi luluran pasti nanti kamu tambah bersih dan wangi," sahutku.

"Iya dong, wangi banget tauu," sahutnya dengan suara renyahnya yang bisa sedikit membunuh rinduku.

"Kangen kamu, mbem," ucapku membuat dia tertawa pendek.

"Aku juga, ncit, pipi aku kangen diuyelin," sahutnya membuat aku teringat wajah mulusnya yang sering aku usap, aku pencet, aku uyel gemas.

"Aku juga kangen lihat bibir," kataku lagi.

"Emang cuma dilihat, Pak, biasanya?"

"Diapain ya?" Aku jadi tertawa membalas tanyanya.

"Nggak tauu tuh," Sisi ikut tertawa.

"Nanti aku apa-apain semalaman deh," celetukku.

"Idihhh, napsu amat, pak!" Sahutnya lagi. Aku tertawa dengan canda kami yang tak jelas tapi membuat hasrat ingin bertemu dengannya semakin menggunung.

"Udah ah omesnya, nggak nahann," teriaknya. Kalau saja dia tidak sedang luluran aku udah minta video call.

"Ya udah, lanjutin lulurannysa, bilang sama yang ngelulurin jangan keras-keras nanti lecet," kataku akhirnya.

"Iyaaaa, eh aku besok juga mau ke salon, manicure padicure," katanya lagi.

"Nggak usah ke salon, suruh tukang manicurenya aja kerumah," larangku. Apa-apaan sih, katanya nggak boleh keluar kenapa dia bisa-bisanya mau ke salon?

"Sekalian mau kirim undangan sama mama, ncit!"

"Bisa nggak dengarin aku? Nggak boleh!" tukasku tetap melarang meskipun dia bilang bersama mamanya.

"Ya udah, nanti aku bilang mama dilarang sama calon menantu idamannya," balas Sisi lagi membuat aku tersenyum menang.

"Ya, belajar patuh sama laki sih, mbem."

"Iya ncit iyaa, ini bini yang patuh kok," ucapnya.

Aku menutup telpon dan memandang layar handphoneku. Sebenarnya kalau kami sedang teleponan kadar lupa diri kami terhadap waktu tuh sangat menjadi-jadi. Tapi biar bagaimanapun juga telpon harus ditutup karna aku harus mengerjakan pekerjaanku di tambak agar segera selesai.

"Tunggu aku didepan penghulu dan kita akan bersama-sama selamanya, Mbem......"

*********************************
Banjarmasin, 26 Agustus 2016

Tak ada lagi kata yang bisa aku tulis buat kalian teman-teman, kecuali hanya Terima Kasih, Terima Kasih dan Terima Kasih untuk semangat dan dukungannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: