Bucin Mode: Precious (1/2)
Precious
Oleh: Alicia U.
June, 2016
Dear Diary
.
.
Kau ingat kakakku Ryuu? Kakakku yang bertalenta menyanyi. Sejak kecil dia bercita-cita menjadi seorang bintang dan menghasilkan banyak uang. Katanya jika uangnya sudah banyak, Kakak akan melunasi semua hutang keluarga. Lalu kami akan hidup dalam kedamaian, berdua.
Dia satu-satunya orang yang mengerti aku. Bahkan di sekolah, aku tidak punya teman. Aku cenderung pemalu dan menutup diri, tidak seperti Kakak yang selalu bersinar dimanapun dia berada. Hanya Kakak satu-satunya teman yang memahamiku.
Entah mengapa seiring berjalannya waktu aku merasa Kakak berubah. Dia jadi semakin tinggi, tubuhnya terbentuk, suaranya semakin merdu, pokoknya Kakak semakin keren. Bukan berarti Kakak tidak keren sebelum ini. Aku semakin bangga memiliki kakak sepertinya. Shinomiya Arisa, adik dari Shinomiya Ryuu si penyanyi bersuara emas dari Jepang. Terdengar keren bukan?
Aku bahagia kakak meraih impiannya sebagai bintang. Tapi, aku juga tidak menyukainya. Kakak terlalu sibuk sampai semakin jarang pulang ke rumah. Aku jadi merindukan masa-masa disaat Kakak masih menjadi orang biasa.
Aku muak mendengar temen-teman sekelasku membicarakannya. Ingin sekali aku berkata kalau dia itu kakakku, tapi.. Sudah kukatakan bukan? Aku terlalu malu.
Maka jika Kakak pulang ke rumah, aku akan sangat senang. Sebab sejak Ibu meninggal karena kecelakaan, dirumah hanya ada aku seorang. Tentu aku senang jika Kakak pulang. Tapi tidak untuk hari itu. Aku... Sangat mengingat jelas kejadiannya,
"Selamat datang kembali!" Aku segera berlari ke pintu depan begitu mendengar suaranya. Lebih tepatnya sih, aku berlari ke pelukannya.
Kakak menangkapku, dia mengangkat tubuhku ke udara seraya berputar dengan titik poros.
"Arisa! Kau sudah besar tahu." Omelnya menurunkanku.
"Biar saja," aku tidak mau melepaskannya, masih melingkarkan kedua lenganku di leher Kakak, "Tidak ada yang melihat ini, blee." Lidahku menjulur jahil.
"Dasar." Kakak mendengus halus seraya menyamakan tinggi denganku. "Yaah.. Bagaimanapun kau tetap adik kecil kakak." Ia menepuk-nepuk pucuk kepalaku.
"Arisa, Kakak ingin kamu bertemu dengan seseorang." Kata Kakak. "Sebenarnya sudah lama aku ingin membawanya kesini. Tapi baru bisa sekarang."
Tumben sekali Kakak membawa seseorang ke rumah. "Siapa, Kak?" Aku memandangnya penasaran.
Kakak tersenyum, "Pacar Kakak." Kakak menghampiri pintu depan. Dia membukanya lebar hingga nampak sosok seorang gadis cantik yang berdiri dibaliknya.
Gadis itu tersenyum lembut. "Halo, Arisa." Ia menyapaku. Kakak membiarkannya masuk mendekatiku. Satu tangannya menjulur berharap jabatan tangan dariku.
Aku... Cukup terkejut. Kata-kataku menghilang, bahkan aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. "Arisa?" Suaraka Kakak membangunkanku. Rupanya aku melamun, tadi.
"Namanya Aya. Berteman baik, ya." Kakak memperkenalkan gadis itu. Wajahnya berseri-seri, seolah sedang bahagia. Dan itu karena... Kak Aya...
Sudut bibirku mengangkat membentuk sebuah senyuman. "Ya. Salam kenal Kak." Aku menjabat tangannya.
Sejak saat itu, aku tahu kenapa Kalak sering sekali menelpon selama berjam-jam saat libur. Bahkan Kakak sering keluar rumah sendirian. Rupanya Kakak pergi berkencan. Senin sampai sabtu jadwal Kakak padat, sehingga waktunya bersama sang kekasih sangat sempit. Bahkan waktu untuk keluarga juga, jadi semakin sempit. Tidakkah Kakak tahu? Aku sudah cukup kesepian beberapa tahun ini, dan sekarang akan jadi semakin sepi.
Aku bukannya tidak suka pada Kak Aya. Hanya, perasaanku tidak enak mengenainya. Aku merasa suatu hari dia akan menyimpan Kakakku untuknya sendiri.
Rasa kebencian baru terbentuk setelah kejadian hari Minggu yang cerah ini. Kakak dan aku akan pergi berkencan. Kami memilih taman bermain, yaitu tempat favorit kami sewaktu kecil. Meski kami belum pernah masuk ke sana dan hanya berandai-andai.
"Kau gugup, Arisa?" Bisik Kakak menggodaku. Dia duduk di sebelahku, sementara kami sedang ada di bis menuju taman bermain.
Seperti biasa kakak mengenakan syal dan topi untuk menyembunyikan identitasnya. Bisa gawat jika ada fans yang mengenalinya kemudian mengganggu kencan kami. Sedangkan aku... Kakak membawaku ke salon. Rambutku dicat. Pokoknya kata Kakak, aku harus tampil berbeda hari ini.
Aku menggeleng halus. "Tidak. Aku sudah sering melihat tempat itu di televisi. Aku tidak gugup."
Kakak menyeringai. "Bukan itu. Kau sedang jalan sama artis, loh."
Ku pukul tubuh Kakak dengan punggung tanganku —main-main. "Tapi artis itu, kakaknya Shinomiya Arisa." Sudut bibirku mengangkat, mengikutinya menyeringai.
Kakak terkekeh pelan, menutupi mulutnya dengan punggung tangan. "Ya, ya. Hari ini ayo kita bersenang-senang, ya? Arisa."
"Um!" Sahutku bersemangat.
Meski begitu, ketika sampai di lokasi tiba-tiba saja mentalku menciut. Padahal kami baru tiba di loket. Disini terlalu banyak orang. Aku... Takut keramaian. Yang kulakukan hanya bersembunyi di balik punggung Kakak.
"Kenapa kau, Arisa?" Kakak tersenyum, atau tepatnya berusaha menahan tawa melihat tingkahku. "Sini, pegang tanganku biar tak terpisah."
Duh, Kakak. Aku merasa seperti anak kecil. Tapi... Harus kuakui... Dengan begini aku tidak terlalu khawatir.
Akhirnya kami berjalan menyusuri taman bermain sambil berpegangan tangan.
Pertama kami naik wahana kora-kora disana. Lalu naik jet coaster, setelahnya naik niagara hingga kami bayah kuyup. Setelah mengeringkan diri kami makan siang di kafe yang ada di sana dengan memakan sup hangat. Mungkin ini hari terbaik yang pernah terjadi padaku.
Keseruan tidak berhenti di situ. Kami terus main sampai sore menjelang. Ketika itu kami sedang beristirahat sambil makan eskrim di bangku taman. Kami berpegangan tangan seperti saat kami kecil. Rasanya seperti nostalgia. Sudahblama kami tidak pergi bersama.
Bzzzzzzzzzt..... Bzzzzzt...
Saku celana Kakak bergetar. Kakak mengeluarkan ponsel dari dalamnya, kemudian wajahnya menunjukkan ekspresi bingung ketika menatap layarnya.
"Sebentar ya Arisa. Kakak harus menelpon seseorang." Ucap Kakak. Seetelah aku mengangguk, barulah Kakak pergi menjauh untuk menghubungi seseorang.
Siapa sih yang ditelpon Kakak? Dia membelakangiku, jadi aku tidak bisa membaca gerak bibirnya. Nampaknya hal yang serius. Perbincangan itu berlangsung sekitar tiga menit, kemudian Kakak kembali padaku dengan wajah resah.
"Siapa yang menelpon?" Aku bertanya saking penasarannya.
Kakak menjawab, "Aya." Ia kembali duduk menungguku menghabiskan eskrim.
"Ada apa dengan Kak Aya?" Tanyaku lagi, masih tak puas.
Kakak menolehkan kepalanya menatapku. Dia mencoba tersenyum, "Dia salah paham. Ada temannya yang bilang kalau Kakak sedang selingkuh. Dia marah pada Kakak."
Oh, kenapa begitu tiba-tiba? Kenapa Kakak tersenyum seperti itu?
"Apa... Itu aku?"
Kakak tidak merespon apa awalnya. Tapi akhirnya dia mengangguk pelan.
"Maaf ya. Hari ini kita sudahi saja. Lagi pula hari seentar lagi gelap—"
"Tunggu sebentar! Biarkan aku bicara pada Kak Aya. Biar aku jelaskan apa yang terjadi. Kak Aya pasti mau mendengarkan!"
"Tidak usah." Kakak menggeleng halus. "Arisa tidak perlu melakukannya. Biar Kakak saja yang jelaskan padanya nanti."
"Tapi Kak—"
"—Ayo cepat habiskan eskrimmu. Nanti keburu malam di jalan, gimana? Besok kamu sekolah kan?"
Uh... Kakak tidak mau mendengarkanku. Kalaupun aku melawan, hasilnya akan nihil. Percuma aku berdebat dengannya. Kutatap eskrimku lelat-lekat. Ah.. Ia meleleh.
Kami tiba di rumah pukul enam sore. Kakak pergi ke teras dan terus mencoba menghubungi Kak Aya. Uh.. Sudah sejam lebih Kakak beerada di luar. Dia nampak frustasi, dan itu membuatku geram. Kenapa Kak Aya tidak mau mengangkat telponnya? Apa sulitnya mendegarkan penjelasan Kakak. Duh, mana berani kakakku selingkuh? Kakakku itu lelaki baik-baik.
Aku pergi ke dalam kamar dan mengurung diri. Besok, aku harus menemuinya. Bagaimanapuj caranya, kami harus bertemu! Aku tidak bisa melihat Kakak seperti itu.
Dimana ya baiknya aku menemuinya? Apartemen? Kampus? Atau.. Cafe? Ah, aku tidak punya banyak uang. Well, aku rasa apartemen akan menjadi tempat yang cocok. Baiklah, sepulang sekolah aku menunggunya pulang kampus.
Aku pasti akan menghukumnya. Itu pasti!
***
Ryuu membulatkan matanya. Dia baru saja selesai membaca buku yang ia temukan di kamar adiknya, Arisa. Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya, perasaan horror memenuhi benaknya. Apa yang akan dilakukan sang adik pada kekasihnya? Cepat-cepat ia berlari meninggalkan ruangan itu, menuju lokasi dua orang gadis yang ia cintai.
Ryuu takut, kejadian beberapa tahun yang lalu terulang. Yaitu saat ia dan ibunya disiksa sang ayah, Arisa menusuk kepala ayahnya dengan obeng sampai menembus tengkorak.
Yang Arisa tahu ayahnya kabur dari rumah, meninggalkan keluarganya. Padahal, ayahnya sudah mati dibunuh oleh tangan putrinya sendiri.
Arisa, memanglah bukan anak biasa, dia luar biasa harus ditangani dengan hati-hati. Psikopat? Bisa jadi. Pernah beberapa kali mereka ingin membawanya ke psikiater, namun, mereka —Ryuu dan ibunya, terlalu sayang pada Arisa. Lagi pula Arisa tidak terlalu berbahaya, jika bisa ditangani dengan benar.
***
[Arisa's PoV]
Sejam.. Dua jam.. Beruntungnya aku tidak perlu berdiri di depan apartemennya selama itu. Ketika aku sampai, kebetulan Kak Aya sedang ada di tempat.
Kutekan bel pintu dan beberapa detik kemudian munculah sosoknya. Kak Aya dengan piamanya. "Oh, Arisa?" Dia nampak tterkejut melihatku.
"Halo Kak Aya. Boleh aku masuk?" Sapaku tersenyum ramah. Sok ramah lebih tepatnya.
"Oh, tentu. Masuklah." Dengan mudah ia membawaku masuk, tanpa curiga sedikit pun. Dia membimbingku ke ruang tamu. Aku duduk di sofa bersamanya.
"Aku kaget, kau... tahu dari mana tempat tinggalku?" Tanya Kak Aya membuka percakapan.
"Kakak pernah menunjuk bangunan ini waktu kami jalan-jalan. Katanya Kak Aya tinggal di sini. Mgomong-ngomong... disini sunyi, sama seperti rumahku." Balasku.
Kak Aya tersenyum, "Iya, soalnya aku tinggal sendiri."
Sendiri? Masa? Lalu... Sontak terbayang hal yang tidak-tidak di kepalaku. Soal Kak Aya dan Kakak. Ah, cepat-cepat aku menghapus pemikiran itu. Memikirkannya saja membuatku geram.
"Uwaah... Kak Aya berani sekali. Aku masih tidak bisa sendirian di rumah, apa lagi kalau malam dan Ibu tidak pulang. Menyedihkan pokoknya!"
"Ahaha, kau bisa saja, Arisa. Aku tidak seberani itu. Eh, aku ambilkan minum ya?" Kak Aya hendak beranjak pergi, namun aku mencegahnya.
"Tidak usah, aku tidak akan lama kok. Cuma mau bicara sebentar." Akhirnya Kak Aya kembali duduk.
"Memangnya Arisa mau bicara apa?"
"Soal kemarin loh, Kak... Kakakku sebenarnya_—"
"Aah.." Kak Aya menyelaku. "Soal itu. Aku pikir tidak ada yang perlu dibahas lagi. Jangan bilang Ryuu yang menyuruhmu ke sini untuk membujukku? Cih.. Benar-benar deh." Kak Aya memutar bola matanya risih. Duh, sulit sekali sih?
"Tapi Kak, apa Kak Aya sudah tahu kejadian yang sebenarnya?"
"Ya, jangan dijelaskan lagi aku lelah mendengarnya." Kak Aya menyandarkan tubuhnya di senderan kursi. Satu kaki ia pangku diatas kaki yang lainnya, dan kedua tangannya ia silang di depan dada.
"Arisa dengar, aku hanya... sudah lelah dengan Ryuu. Kami akan berpisah sebentar lagi."
"Heee?! Tapi kenapa? Kakakku itu orang yang baik, kakakku mencintaimu loh."
"Tapi aku sudah tidak, Arisa. Dan bagiku ini adalah jalan terbaik." Kak Aya mendesah halus. "Sudah kuduga aku tidak akan kuat kalau pacaran dengan orang sepertinya. Ryuu terlalu bersinar, akan banyak gadis yang bergelantungan padanya."
Kak Aya mulai mengeluh-eluh. Kakak ini lah, Kakak itu lah. Jika aku jadi dia, aku tidak akan pernah mau menyia-nyiakan orang seperti Kakak.
Aku sudah tidak tahan lagi. Firasatku sudah benar dengan gadis ini. Aku tahu jika dia tidak serius dengan Kakak. Dia... pasti hanya inginkan popularitas! Atau hal menggelikkan lainnya untuk ia banggakan.
SLAPP!
Tanganku menampar wajahnya. Wajah cantik yang pernah dikecup kakakku. Duh, benar benar tak tahu diri manusia ini.
"Kenapa kau menamparku?!" Kak Aya menatapku penuh amarah dan kebingungan.
Kedua tanganku mengepal. "Kau tahu? Kakakku itu sangat mencintaimu. Wanita yang bahkan menurutku tidak pantas untuknya. Aku bingung, apa sih yang kakakku lihat darimu? Seharusnya kau bersyukur ia mau pacaran denganmu." Mulutku berbicara sendiri. Ah, aku sudah tidak tahan untuk menahannya.
"Arisa, kau..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top