Bucin Mode: My Only Heroine

My Only Heroine
Cerita: Alicia U. | Puisi: Chintya Yulian (Chintya_cy)

Laksana Romeo dan Juliet, akulah sang Romeo, dan kaulah sang Juliet. Kita berdua saling mencinta, tetapi terhalang oleh restu dan tradisi.

Kaulah heroin dalam hidupku
Terlarang dan memabukkan
Menjadi candu dalam hidupku

Tanpamu dunia terasa hampa
Rasa lapar dan dahaga
Menuntut lebih dan memaksa

Terperangkap dalam lubang dosa
Terjerat dan terikat
Semua karena coba-coba
Diriku sakau karena cinta

Selamatkan aku dari segala candu
Berikanlah agar puas inginku
Atau rehabilitasilah aku

Heroin...
Heroin...
Aku ingin heroinku.

Ingatkah kau heroineku? Kita pertama bertemu di perkemahan musim panas kampus enam tahun lalu, saat pertama kita menempuh pendidikan sarjana kedokteran. Sebuah pertemuan romantis bagai kisah dongeng. Kita berdua sama-sama masih muda, baru lulus SMA, tetapi hati telah berkata mantap bahwa inilah-jodohku.

Alfiana Trisnawati, rupamu bersinar bak kejora di langit malam, membuat semua mata tertuju padamu. Kaupun menjadi bulan-bulanan kaum adam. Sejak saat itulah aku mulai tergila-gila padamu. Jika aku pecandu, maka kaulah heroinku. Kau mungkin akan marah jika kuibaratkan heroin, dan memperbaikinya menjadi heroine. Tokoh wanita utama dalam kisah cintaku. Ya, itulah dirimu.

Waktu yang bergulir kian mengakrabkan kita. Perlahan menjadi teman, kemudian sahabat, dan pada akhirnya ... sepasang kekasih.

Hubungan kita menurutku berjalan baik, meski sekali dua kali sempat cekcok. Tapi hal itu wajar terjadi dalam suatu hubungan, kan? Dari pertengkaran kecil itulah kita semakin memahami satu sama lain.

Namun, ketika kumantapkan diri untuk meminangmu ....

"Tidak boleh!" tegas ayahmu, Pak Sidney. Ia melotot menatapku. Sejak kuucapkan nama keluargaku, keramahannya tertepis pergi. "Sadarkah kau, Nak? Siapa kami ini?"

Aku menggeleng bingung.

"Kami saingan bisnis keluargamu. Sejak dua puluh tahun lalu, aku dan orangtuamu sudah sepakat tidak akan saling mencampuri urusan pihak lawan. Dan sekarang kau mau melamar Alfi? Lelucon macam apa ini?"

"Papa," panggilmu cemas. Pak Sidney mulai bernapas berat, kesulitan mencari oksigen. Aku turut cemas juga.

"Pe-pergi kamu! Dan Alfi ... jangan bertemu laki-laki ini lagi!"

Sejak saat itu, kita tidak pernah bisa bertemu, hanya surat-menyurat yang dilakukan secara rahasia-rahasia, tetapi itu tidaklah memuaskan dahaga akan sosokmu. Kau tahu? Aku sangat frustasi. Kau itu sudah seperti duniaku, mentariku, napasku, kau segalanya bagiku. Lalu kemudian, kau menghilang bagai ditelan bumi. Bisa kau bayangkan? Seorang manusia hidup tanpa mentari dan udara, maka ia tidak akan bertahan lama. Duniaku luruh lantah.

Chintya, kakakku nampak sedih kerap kali beliau mendapatiku. "Lupakan. Apalah kuasa bila restu tak dapat," nasihatnya, "masih banyak gadis lain yang orangtuanya mau menerimamu. Seperti Shita, misalnya."

Shita Sukmaningsih. Putri dari relasi bisnis ayahku. Sebenarnya orangtua kami sudah berencana hendak menjodohkan kami di usia matang. Tetapi, aku terlalu mencintaimu. Tiada satu gadispun yang bisa menggantikan posisimu di hidupku!

Ya, aku terlanjur mencintaimu. Rasa ini terlalu meluap hingga rindupun terasa sangat menyiksa. Aku harus melihatmu, bertatap muka denganmu, sebelum kegilaan ini semakin menjadi-jadi.

Tetapi, setelah sekian lama tak mendapat surat balasan darimu, aku setuju untuk menemui Shita kemarin sore. Gadis yang lebih muda dariku dua tahun itu tersenyum sipu dibalik balutan kebaya putih. Sang ibu, Nyonya Liza melenggang di samping putrinya dengan bangga, kemudian bertukar salam dengan ibuku. Kau tahu apa yang beliau tanyakan padaku? "Nak, menurutmu bagaimana dengan kebaya yang Ibu pilihkan untuk makan malam pertunangan kalian?"

Bibirku membungkam setiap kata tolakan yang telah tertampung dalam rongga mulutku. Hanya sebuah sunggingan senyum kecut, tiada yang lain kuperlihatkan. Bukan berarti aku menyukai ataupun menyetujui pertunangan ini, hanya tak enak hati pada kakakku yang terus menatapku pilu.

"Cobalah membuka diri pada keluarga Shita. Setidaknya biarkan Ayah dan Ibu mengira bahwa kau baik-baik saja," pesan kak Chintya terngiang di kepalaku. Namun, aku tak dapat mewujudkan itu. Berulang kali aku coba terlihat senang di depan Shita, hatiku tergores kian dalam. Karena hatiku sudah terisi penuh olehmu. Kehadirannya membuatku merasa berdosa.

Akhirnya aku jujur pada kedua orangtuaku, bahwa aku tidak bisa menikahi Shita. Sebab tiada satupun yang kucintai selain kau. Hanya kau. Apalah arti sebuah rumah tangga jika mempelainya tidak saling mencintai. Apalah arti sebuah pasangan yang hanya menunjukan cinta palsu? Apalah arti dari mencinta jika dipaksakan? Bukankah hal yang dipaksakan tidak akan berakhir baik? Meskipun ditentang, aku lebih baik tidak menikah seumur hidupku daripada harus menikahi seseorang yang tak kucintai.

Alfi ... ketahuilah bahwa meski kulakukan hal itu, aku tetap tak bisa melupakanmu. Kau yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan dengan lelaki pilihan ayahmu. Seseorang yang kompeten di mata semua orang, dan hanya doa yang dapat kupanjatkan. Semoga kau bahagia dengannya.

Dari seseorang yang selalu mencintaimu, Nata.

***

Tetesan-tetesan air mata membekas pada lembaran surat dalam genggamanku. Tangisku memecah ruang sepi bilik tidurku. Pilu, sesak rasanya hati. Sejujurnya aku masih belum bisa melupakan seseorang yang pernah mengisi relung hatiku tersebut, sekarangpun masih begitu.

Aku ingin bertemu denganmu. Meski sekali saja, tak apa .... Meski sekarang aku sudah mengenakan gaun putih nan cantik. Beberapa saat lagi aku akan melangsungkan akad nikah, dan aku sungguh menyesal. Seandainya saja kuterima surat itu lebih awal, pasti aku akan segera berlari ke tempatmu. Dan ya, itulah yang akan kulakukan.

Pada saat itu Papa datang menepuk bahuku. Aku mendongkak dan mendapati beliau menatapku khawatir. "Ada apa, Nak? Mengapa kau menangis?"

Kuseka sisa cairan yang membasahi wajah, kemudian bertutur, "Pa, Alfi tidak bisa melangsungkan akad nikah ini. Alfi tidak mencintai calon suami Alfi."

Papa menyernyit juga marah. "Kenapa kau berkata seperti itu? Sudah terlambat untuk menghentikan pernikahan."

"Tetapi, Alfi sama sekali tidak mencintainya. Yang Alfi cinta hanya Nata—"

"—Nata, Nata, Nata terus! Laki-laki itu bahkan sekarang pengagguran. Predikat dokternya tak ia gunakan. Mau menafkahimu bagaimana? Pikir! Lalu kau mau membuat Papa melanggar janji yang tidak akan mencampuri urusan keluarganya? Begitu?" Papa membentak.

Aku berdiri sama marahnya. "Papa terlalu mengurusi masalah lama. Alfi dan Nata sudah saling menyayangi sejak lama. Dan jika Alfi dapat membuktikan seberapa besar rasa sayang Alfi pada Nata, Alfi yakin orangtua Nata mau menerima Alfi.

"Dan itulah yang akan Alfi lakukan sekarang. Tolong Papa mengerti. Pernikahan Alfi tidak akan berakhir baik dengan cinta yang dipaksakan!" setelah berteriak seperti itu, aku berlari menghambur ke luar kamar, menerobos sekumpulan orang yang melihatku kebingungan. Aku tidak peduli. Terdengar juga Papa yang berteriak agar siapa saja menghentikanku. Namun, kulepas sepatu hak yang menghambat langkahku kemudian berlari menuju garasi.

Kunyalakan mesin yang lama tak kusentuh, sebuah mobil sedan kesayanganku. Sebelum seseorang berhasil menghentikan langkahku, gas kuinjak segera meninggalkan kediaman. Tujuannya ialah satu: rumah Nata.

Pikiranku sungguh berkecamuk, aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Memang salahku yang lama tidak membalas surat Nata. Memang salahku yang memutuskan untuk menghilang dari kehidupan Nata. Dan akan menjadi salahku jika Nata tidak mewarnai hidupnya. Tetapi setelah kubaca surat terakhirnya, pikiranku berubah. Kusadari bila keputusanku bodoh. Menghilang bukanlah satu-satunya solusi. Kuharap saat kutemui Nata, semua belum terlambat.

***

Chintya mengetuk pintu kamar sang adik yang terus mendekam frustasi di dalamnya. Ia tersenyum lemah. "Nata," panggilnya. Lelaki berambut panjang tak terurus di pojok ruangan sana mendongkak pada sang kakak.

Chintya menghampiri adiknya sambil menahan tangis. Menyedihkan, menyedihkan sekali kondisi adiknya ini. Ia rangkul tubuh kurus lelaki itu, mengusap punggungnya lembut. "Nata, seseorang ingin menemuimu."

Nata menyernyit pada sang kakak. "Jika itu Shita, aku tidak mau menemuinya," ucapnya.

Tetapi Chintya menggeleng.

"Siapa Shita? Apa dia perempuan yang membuatmu jadi menyedihkan seperti ini?" Suara itu bukanlah suara Chintya, melainkan seseorang yang berdiri di ambang pintu, Alfi. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis yang hampir saja pecah ketika melihat kondisi pemilik ruangan redup tersebut. "Katakan padaku, Nata. Jika benar, maka akan kupatahkan lehernya."

"A-Alfi?" kedua mata Nata membelalak, terkejut mendapati sosok yang selalu menghantuinya kini nyata berada di depan matanya.

"Aku tidak mengenalmu, apa benar kau Nata? Nata yang kukenal ialah seseorang yang keren, yang dewasa, yang teguh dan ceria. Bukan seseorang yang menyedihkan, lembek, dan cengeng seperti ini!" Alfi memekik sembari menghampiri sosok Nata.

Chintya yang kemudian menahan tawa, perlahan menjauh dan pergi secara diam-diam. Sementara itu Alfi menyambar tangan Nata, menggenggamnya dengan sangat kuat. "Nata, maaf. Maaf aku menghilang. Maaf aku mengabaikan semua suratmu. Awalnya aku berpikir, jika memang kita tak bisa bersatu, mungkin menghilang dari hidupmu adalah satu-satunya cara agar kau bisa melupakanku, lalu berbahagia dengan orang lain. Tetapi, setelah membaca suratmu, aku sadar bahwa yang aku lakukan adalah salah. Aku tak menyangka bahwa akhirnya kau akan jadi seperti ini. aku sungguh minta maaf.

"Cinta yang dipaksakan tidak akan berakhir baik, kau mengatakan hal itu padaku di surat. Oleh sebab itu aku meninggalkan panggung akadku hari ini. Karena sejujurnya aku tidak mencintai lelaki itu. Karena sejujurnya aku masih sangat menyayangimu.

"Jadi tolonglah, Nata. Maukah kau ... kembali padaku? Kembali seperti dulu?" Tangis tak terbendung lagi. Tetesan-tetesan cairan bening itu kembali berjatuhan dari pelupuk mata Alfi.

Nata yang menyaksikan hal ini mengerjap, seakan tengah menyadarkan diri dari delusi. Apakah ini nyata? Apakah benar Alfi, sang pujaan hati benar ada di hadapannya?

"Al ... fi ...," akhirnya belah bibirnya mau membuka. Jemarinya menjulur, menghapus pergi air mata yang tertinggal di wajah jelita Alfi. Wajah yang tak henti membuatnya mabuk kepayang akan cinta yang begitu meluap-luap. Ini bukan mimpi, ini nyata, Nata.

"Jika aku kembali ke dunia kedokteran, dan menghasilkan uang yang banyak ... tak ada jaminan jika aku akan menjadi suami yang baik, tapi maukah kau memupuk hidup bersamaku?"

Alfi mengangguk pelan. "Perjalanan kita mungkin masih panjang. Namun, mari perbaiki perang dingin keluarga kita bersama. Dengan cinta kasih yang kita bagi."

Laksana Romeo dan Juliet, kita berdua saling mencinta, tetapi terhalang oleh restu dan tradisi. Bedanya adalah, ketika aku berada di ujung keputusasaan, kau datang bak lentera yang menerangi gelap gulitaku. Berdua, menulis ulang cerita dan mendamba happy ending. Ini barulah permulaan kisah di mana sang Romeo dan sang Juliet hidup bahagia selamanya.

—Tamat—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top