Bucin Mode: Kau

KAU

Oleh: Alicia U.


"Kau milikku. Ketika pria lain memandangmu, meski pun mereka tidak menanyaimu, harus kaukatakan jika kau telah memiliki kekasih" –Teen Top.

Kamu duduk dan bercanda gurau di sebuah meja bundar bersama teman-temanmu, sedangkan aku hanya memperhatikan dari sudut ruangan. Oh, kamu terlihat sangat menikmati waktumu. Kapan terakhir kali kita seperti itu? Hei, kamu terlalu sering bermain dengan teman-temanmu. Kapan kamu mau meluangkan waktu untukku? Apa kamu tahu, aku merindukan setiap waktu yang kita habiskan bersama.

Semua mata tertuju padamu, sayang. Apa kamu sadar? Laki-laki di meja ujung sana. Laki-laki dengan martini di meja bar. Laki-laki yang berdiri di depan pintu masuk. Laki-laki yang melayani wanita asing di meja sebelahmu. Bahkan bartender dan waiter, semua terpesona oleh citramu.

Sebotol arak menemani malam pengintaianku. Kamu duduk tepat di arah jam satu, diapit Jovan dan kak Amel. Percakapan kalian terlihat semakin menarik. Bahkan kalian terlihat memiliki permainan kecil. Kak Ray dan Jovan berlomba menghabiskan segelas minuman alkohol sementara kamu dan kak Amel bersorak menyemangati. Satu hal yang ada di pikiranku, apa itu aman? Apa mereka tidak akan mabuk?

Kalian tertawa bersama. Oh, menyenangkan melihatmu tertawa lepas. Hanya hal itu yang dapat menghiburku saat ini. Hingga... Aku melihatnya, loh. Aku melihatnya dengan jelas! Kamu duduk memangku satu kakimu. Akibatnya rokmu sedikit tersibak ke atas. Kak Ray —yang duduk di arah jam sembilanmu— bahkan menggosokkan kakinya di betismu. Aah... Si mesum itu. Belum lagi Jovan yang menempatkan satu tanggannya di atas pangkuanmu. Ia mengusap-usapkan tangan kotornya di tubuhmu! Kenapa kamu diam saja?!

Amarahku sudah tak tertahankan lagi, rasanya aku ingin meledak. Saat itu muncul seorang pria dan duduk di samping kak Amel. Amarahku kembali mereda —sementara sebab lelaki-lelaki hina itu menyingkir darimu. Kalian berkenalan dengan pemuda yang nampak akrab dengan kak Ray. Beberapa menit kemudian ia mengajak kak Amel pergi, entah kemana. Aku tidak dapat mendengar percakapan kalian dengan jarak itu. Yang aku lakukan hanya menatap.

Semenit, dua menit, berlalu sudah dan kak Amel belum kembali. Tak lama kalian meninggalkan posisi kalian dengan raut khawatir, terutama kamu. Aku ikut bergegas mengikuti kalian yang berjalan menuju koridor pintu keluar.

Koridor itu diterangi cahaya remang-remang dan berbalut karpet merah. Rasanya aku mau muntah. Di setiap sudutnya diisi sepasang insan yang tengah bercumbu. Layaknya hewan liar, tak tahu tempat, dan tak tahu malu. Menjijikkan sekali manusia-manusia itu. Bagaimana kamu bisa tahan dengan pemandangan seperti ini, sayang. Tidakkah kamu ingin melakukannya juga?

Kemudian... Tiba lah di area parkir. Langit sudah gelap, dan kalian berdiri kebingungan. Habis ini mau kemana? Kamu asik mengotak atik ponselmu sementara kedua pemuda lainnya beradu isyarat —meski terlihat seperti bercanda. Ah, andai aku mengerti bahasa tubuh mereka. Namun satu hal yang pasti, ada pancaran nafsu dari mata mereka.

Kedua orang itu —Jovan dan kak Ray— membimbingmu berjalan. Diam-diam aku mengikuti kalian hingga tiba di sebuah gang sempit yang biasa digunakan untuk tempat menumpuk sampah bar. Jovan dan Kak Ray mendorongmu masuk ke lubang gelap itu. Oh, Ya Tuhan, tidak! Aku berlari menyusulmu masuk ke dalam gang itu.

Tubuhmu dilemparkan membentur tembok hingga jatuh ke tanah. Kamu ketakutan, aku tahu. Pemandangan yang aku lihat berikutnya, lebih tidak mengenakkan. Jovan dan kak Ray memblokade jalan hingga kamu tidak bisa bergerak. Kedua tangan dan kakimu dilumpuhkan dengan cara dipegangi. Satu tangan Jovan dan kak Ray mulai menyingkap rok dan melepas kancing kemejamu. Tangan mereka menjelajah ke setiap inci tubuhmu.

Sebuah letusan gunung berapi yang sekian lama aku pendam akhirnya menghamburkan lavanya ke luar. Mereka menyentuhmu, dan tidak boleh dilanjutkan! Dengan tenang aku mengambil sepotong besi karatan di atas tumpukkan kantung sampah. Tanpa ragu aku melayangkan tongkat tersebut pada kepala kak Ray kemudian Jovan. Meski Jovan sempat menghindar dan hanya memperolehh giresan di pelipisnya.

"Daniel!" Suaramu lirih memanggil namaku. Ya, seperti itu, sayang. Panggil namaku dan buat permohonan. Kedua remaja di atasmu terbelalak ketika aku menghampiri kalian. Kak Ray bahkan sampai berlari hendak kabur, namun tongkatku berhasil mengenai kepalanga lagi hingga dia pingsan.

Sekarang tersisa Jovan. Ia meronta dan bergeliat melepaskann diri dari cengkramanku. Jovan sangat tersiksa sekarang, meski begitu kamu tetap menghkawatirkannya.

Stab! "Aaahhhh!" Jovan menggeram hebat. Ya, wajar, sebab aku telah menusukkan ujung besi runcingku ke matanya.

"Daniel!" di sudut matamu pun sudah menetes buliran-buliran air mata. Kamu menyekanya. Dia berteriak sangat kencang sampai menangis. Menyedihkan pria ini. Bagaikan cacing yang tertaburi garam, Jovan masih tak menyerah berusaha lepas dariku.

Aku semakin geram. Kutarik kembali besi yang menusuk bola matanya. Tubuh Jovan kubanting jatuh mengadap tanah. Punggung dan tangannya ku duduki hingga ia tak dapat bergerak dengan bebas. Ujung besi di tanganku lumayan tajam. Tapi apakah dapat menembus badannya?

Aku angkat besi itu tinggi-tinggi ke udara dengan sisi runcing menghadap ke tanah. Jovan dan kamu sudah histeris, takut sesuatu yang buruk lainnya terjadi pada Jovan. Meminta tolong? Percuma. Di sini sepi dan gelap. Tidak ada yang akan menyadari kita. Mau kamu berteriak sekuat apa pun, suaramu akan kalah oleh suara gemuruh mesin AC.

Pada akhirnya aku menancapkan besi itu pada pundak kanan atas Jovan. Pakaian Jovan robek, hingga ke kulit punggungnya yang putih. Sekali lagi kalian berdua histeris namun aku tidak mempedulikan kalian. Darah segar berkucuran keluar dari sela-sela lubang luka yang aku buat.

Besi itu aku cengkram dengan sekuat tenaga kemudian menariknya secara diagonal ke arah kanan bawah. Darah-darah itu berterbangan memenuhi pakaian dan sedikit wajahku. Garis itu terus aku tarik hingga satu lengannya putus. Begitu juga yang aku lakukan untuk lengan Jovan yang satu lagi. Kamu cuma bisa menangis sambil menutup mulutmu. Sementara itu, suara Jovan sudah tak terdengar lagi. Dia mati kehabisan darah.

Rambut hitamnya ku jambak hingga memberikan akses bagiku untuk menggorok lehernya. Gebuah garis panjang aku ukir di sana membentang dari kiri ke kanan mengikuti pola horizontal. Hanya memastikan jika ia benar-benar mati. Lagi lagi darahnya bercipratan, kali ini ke tanah. Tanpa sadar aku sudah berada di tengah-tengah kolam darah.

Kemudian aku menyingkir darinya dan kembali menghadapmu. Kamu bergetar bukan main, sayang. Pipimu dibasahi air mata nan tidak berhenti mengalir bak air terjun. Wajahmu pucat pasi -terlihat dari cahaya remang yang tersisa. Kamu menatapku ketakutan.

"Sebelumnya aku sudah sering peringatkan padamu kan, sayang? Hati-hati terhadap teman laki-lakimu. Tapi kamu tidak mendengarkanku.... Mengapa kamu memiliki begitu banyak teman laki-laki? Itu merepotkan. Sangat merepotkan." Aku melangkah mendekatimu sementara kamu mundur-mundur mengambil jarak denganku. "Mau kemana?"

"Tidak, Daniel. Jangan dekat-dekat denganku!" Tubuhmu sudah mentok di dinding, dan ujung sepatu kita sudah bertemu.

"Aku selalu mencintaimu. Kamu bagaikan narkoba dan aku pecandunya. Aku selalu berkata seperti itu berharap kamu bisa sadar. Sayang.. kamu itu cantik menggoda luar dalam. Seisi kampus mengagumimu, tapi kenapa kamu tidak percaya dengan fakta itu?"

"Daniel, please... Hiks... Jangan lakukan ini." Kamu masih saja menangis.

"Jangan menangis, sayang. Tunggu sebentar, ya. Setelah ini kita pulang." Dengan hati-hati aku seka air mata di wajahmu sebelum aku kembali bangkit, kali ini menghampiri tubuh kak Ray. Jika saja kamu tidak menahan kakiku, saat itu kepala kak Ray pasti sudah berlubang.

"Tidak! Daniel, please... Biarkan dia!" Rontamu mencengkram kakiku semakin kuat. Kamu mendongkak menatapku, memperlihatkan wajah menangismu.

Kenapa kamu mengatakan hal seperti itu? Kenapa kamu masih peduli dengan orang seperti dia? Atau.. "Atau jangan-jangan kamu menyukainya?" Kedua manikmu membulat setelah mendengar pertanyaanku. Sinar purnama memantul di sana, ah... cantiknya matamu itu.

"Please... Maafkan kak Ray. Kamu sudah memukulnya sangat kuat, apalagi yang mau kamu lakukan?" Suaramu bergetar. Kenapa sempat-sempatnya kamu mengkhawatirkan manusia hina itu?

"Aku tidak suka kamu peduli dengan laki-laki lain. Aku tidak suka mereka berinteraksi denganmu. Aku tidak suka mereka tergoda olehmu. Aku muak, sayang. Aku merasa tidak ada seorang pun yang menganggap aku ini kekasihmu. Dan aku lelah melihatmu bermain dengan teman laki-laki." Ku mengeratkan genggamanku pada besi nan berlumuran darah Jovan seraya mengangkatnya tinggi-tinggi. Isak tangismu semakin menjadi-jadi, apa kamu membayangkan sesuatu yang horror?

"Ini demi kebaikan hubungan kita, sayang. Akan kulakukan dengan cepat jadi kamu tidak akan merasakan sakit."

"Dan—"

Bugh!

"—niel... I love... you..."

Jadi begitulah ceritanya. Sejak saat itu kamu tidak pernah meninggalkanku sedetikpun. Ya, aku yang duduk di sofa bersamamu ini, di dalam kamar bercat putih nan kosong. Hanya ada satu tempat tidur, sofa, lemari, dan jendela besar ber-gordyn satin putih.

Kubelai wajah tanpa ekspresi yang kaupamerkan. Kala itu sensasi dingin kurasakan, membuatku tersadar akan kenyataan. Sesaat aku lupa jika kamu itu memang telah menjadi dingin dan kaku. Kamu bahkan membisu. Ini efek cairan formalin yang kugunakan untuk menenggelamkanmu di bak, kan? Boneka manisku tersayang.

"Bagaimana jika bulan depan kita pindah ke St. Francisco? Kebetulan aku mendapat pekerjaan di sana, hm?" perlahan kudekap tubuhmu.

Suasana menghening sejenak, aku menanti jawabanmu, sayang. Tentu hal itu mustahil, kedua belah bibirmu sudah menempel rapat, enggan membuka meski hanya satu mili. Aku menghela nafas dalam.

"Kadang aku berharap kamu tidak bisu. Aku ingin menghabiskan malam mengobrol bersamamu sambil berbaring di atas kasur. Lalu kamu akan tertidur di pelukanku, kemudian aku akan menyelimuti tubuhmu dengan selimut hangat sebelum ikut tertidur juga." Sekali lagi aku menghela napas.

"Coba saja jika dulu kamu sering mengingatkan orang-orang jika kamu sudah punya kekasih. Hm... Tapi tidak apa. Yang penting sekarang kita bisa bersama... selamanya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top