Bucin Mode: Hujan dan Alstroemeria

Hujan dan Alstroemeria

Oleh: Alicia U.


Hujan sudah berlangsung cukup lama. Sejam? Dua jam? Atau lebih? Selama itu pula aku duduk termenung di pinggir jendela memandangi keindahan rintikan air yang menyambar kaca sambil membungkus secangkir kopi hangat dengan kedua tanganku. Suara gemericik hujan ketika menghantam permukaan bumi terdengar bagai melodi menyedihkan di telingaku. Serabut-serabut kelabu memenuhi langit, menghalangi cahaya sang surya yang menyilaukan. Suasananya sangat nostalgik, membuatku teringat akan dirinya, seseorang yang hidup dalam bayang hujan.

"Apaan sih!?" pekikku. Saat itu segerombolan anak perempuan tengah menyudutkanku di gudang gimnasium sekolah. Tidak ada yang dapat menolong, sebagian besar penghuni sekolah sudah meninggalkan bangunan ini.

Aku mengamuk seperti bukan diriku. Membalas mereka yang melempariku dengan bola basket balik. Mereka yang membuat kemeja putihku kotor serta mememarkan wajahku. Aku menindas mereka balik.

"Berhenti ... berhenti!" Aku ingat saat aku berteriak dalam benak meminta agar aku menghentikan tindakan kejam. Para penindasku berteriak ketakutan dan berlari kocar-kacir setelah terkena hujaman bola dariku. Mereka menghilang beberapa saat kemudian, dan tanpa sadar salah satu sudut mataku mengeluarkan cairan bening. Wajah menyeramkanku menangis.

Memang sudah biasa bagiku, Flora, ditindas. Sudah bagaikan sasaran empuk untuk melampiaskan amarah, mereka terus menindasku atas perilaku yang tidak kuketahui. Menuduhku menggoda kekasihnya, terlalu dekat dengan anak cowok, atau menantang pimpinan geng sekolah, dan masih banyak lagi.

Saat itu pertama kalinya kami bertemu. Dia ... yang bernama sama denganku. Dia yang melindungiku dari dunia luar. Dia yang berhati sekokoh baja dan berpendirian seteguh pohon kelapa. Dia yang disegani dan dihormati semua orang. Dia ... yang hanya muncul dikala hujan.

Hujan ... begitulah aku memperumpamakan segala ujian dan kesusahan dalam hidupku. Mereka datang bergerombol menghujam bumi tanpa belas kasihan, merasuk ke dalam tanah tanpa peduli bumi akan kesakitan atau tidak. Tak jarang hujan menyebabkan banjir dan longsor sebab tak adanya penyangga dan peresap pada bidang wilayah bumi tersebut. Seperti itulah hidupku, kian terkikis dan tenggelam sebab tak adanya penyangga dan peresap, seseorang yang bersedia meringankan bebanku menghadapi hujan dalam hidupku ini.

Setelah beberapa kali mengalami pingsan saat hujan turun, aku sadar bahwa aku bukanlah aku. Aku tahu sesuatu tengah bersemayam di dalam tubuhku dan menggunakannya tanpa izin. Dia yang membuatku tidak dapat berkehendak terhadap tubuhku hingga hujan menghanyutkan segala keresahanku.

Tentu aku takut pada awalnya. Aku pikir aku sudah mati dan melihat bagaimana api kebencian mengambil alih tubuhku. Namun, aku salah. Aku nyatanya masih hidup hingga sekarang. Ia buat aku takut mati, meski hidupku adalah yang terburuk sepanjang sejarah.

Tetapi seiring waktu aku mengerti, bahwa sebenarnya dia hanya menyambut undanganku. Dialah jawaban dari segala doaku. Dialah tiket emas untuk melarikan diri dari dunia yang selalu kejam terhadapku. Dia melindungiku dari perlakuan kejam para penindas, dan aku sangat berterima kasih kepadanya.

"Flo," panggil Kakak membuyarkan lamunanku. Aku mengadah menatapnya, tanpa ekspresi. Kakak lelakiku menyeringai sambil menatap nanar padaku. "Kau siapa? Adiku Flo, atau Als?" tanyanya dengan pertanyaan yang rutin kudengar dikala hari berhujan.

"Flo. Flora," jawabku singkat, padat, dan jelas.

Als ... adalah suatu nama yang diberikan Kakak kepadanya, sosok kuatku. Als dari kata Alstromeria yaitu nama bunga yang bermakna kekuatan. Bunga yang kuat. Flo yang kuat. Tahu mengapa dikatakan 'kuat'? Sebab Kakak bilang bahwa aku seperti monster, lebih blak-blakan, lebih tegar, dan sangat ditakuti orang. Suatu sisi yang yang sangat berbeda denganku bagaikan terdapat orang lain di dalam jiwaku.

Kakak mengangguk memulutkan kata 'oh'. "Bagus kalau begitu. Flo, aku ingin kau bertemu dengan temanku," katanya membuatku bertanya-tanya. Siapa? Tumben sekali ia ingin mengenalkanku dengan temannya. Kakak menuntunku menuju ruang tamu. Di sana duduk seorang pria tua dengan setelan rapih serta kacamata tebal. Ia nampak seperti profesor yang tengah menyeruput hikmat kopinya. Saat kumasuki ruangan itu, pandangannya melirik padaku sambil meletakan kembali cangkirnya dan menyambutku dengan senyuman.

"Flora, lama tidak bertemu," sapa pria gendut itu. dia berkata seolah kami sudah pernah bertemu sebelumnya, sungguh aneh.

Aku duduk di seberangnya dengan Kakak di sisiku. Pandanganku mengobservasi pria di hadapanku demi mencari petunjuk untuk membangkitkan kenanganku. Benarkah kami pernah bertemu sebelum ini?

"Kau pasti lupa, ya? Aku Profesor Andrew, psikolog di kantor kakakmu. Kemarin lusa kita bertemu, tetapi ... sepertinya bukan kau yang kutemui saat itu, ya?" kata Profesor dan aku mengerjap. Pantas saja aku tidak ingat dengan orang ini, ternyata yang ia temui adalah Als, bukan aku. Mulutku bungkam seolah ada lem diantaranya. Sulit sekali hendak mengucap salam.

"Baiklah, aku akan menjelaskan kembali," Profesor kembali membuka mulutnya. "Jadi Flo, singkatnya kau ini memiliki kepribadian lebih dari satu. Kau mengidap sindrom bipolar."

Lucunya saat dikabari begitu, aku tidak terkejut maupun syok. Hanya bergeming dengan ekspresi datar.

"Kepribadianmu, Als, dia sangat mendominasi hingga banyak orang lebih mengenal Als dibanding kau. Biasanya penderita bipolar memiliki pemicu dan alasan mengapa ia sampai menderita sindromnya. Aku yakin kau juga punya. Dan aku hendak membantumu menghilangkan sindrommu, sebab akan berbahaya jika terus dibiarkan. Pada kasusmu, hujan adalah pemicunya. Namun, apa maksud terciptanya kepribadianmu itu?"

Aku menggeleng. Pada saat itu petir bergemuruh di luar sana, membuatku terkejut hingga melompat dari kursiku. Jantungku berdegup kencang, rasanya seperti mau copot, seperti hendak mati saja! "Namanya bukan Als, tetapi Flora," ujarku dan Profesor mengangguk.

Aku belum selesai bicara tentu saja, aku melanjutkan, "Aku lahir dari sebuah rasa takut, frusasi yang hampir membunuhnya. Hal-hal yang ia takuti, benci, dan ingin dihindari. Akulah tempatnya bersandar. Dan Anda bilang hujan pemicu? Anda salah."

Tunggu sebentar, itu bukan aku! Kami bertukar lagi?!

Aku menunjuk diriku sendiri dengan telunjuk. "Anak ini begini sebab kalian tidak peduli kepadanya. Kalian mengabaikannya. Gadis malang yang tertindas dan sering merasa ingin bunuh diri. Hanya aku yang membelanya. Dan aku tentu melindunginya, terutama dari bedebah yang ingin bereksperimen dengan mental kami sepertimu, Kakek Tua."

"Flo, jaga bicaramu," tegur Kakak namun kuabaikan begitu saja.

"Tolong aku, seseorang, siapapun, keluarkan aku dari kegilaan ini! Begitu teriaknya hingga aku bosan mendengar. Kala ia terkejut ketakutan, ia akan bertukar tempat denganku."

"Dimana Flo?" tanya Kakak.

"Tentu saja sedang mengamati, tetapi tubuhnya sangat lemas sehingga tidak mampu digunakan," jawabku.

"Mengapa kau begitu tahu?" tanya Profesor.

"Karena aku selangkah lebih tahu dibanding dia," jawabku lagi.

"Dia selalu ... beranggapan bahwa ia tidak berguna, hidupnya sangat sengasara sebagai yatim piatu dan seorang KAKAK yang sibuk dengan urusannya. Tiada teman yang tulus menemani, hanya aku kekuatannya, temannya. Dan aku bertindak tegas demi melindungi kami. Sehingga kami dapat bertahan di dunia luar yang menjijikan."

"Flo, aku sungguh ingin membantumu sembuh. Kau harus menjalani pengobatan psikoterapi dan menerima dirimu apa adanya!" bujuk Profesor.

"Kami saling menerima satu-sama lain," bantahku. "Aku menerima sisi lemah dan sisi kuatku. Meski berbeda namun kami tetaplah orang yang sama, Flora."

"Tetapi jika kalian terpisah seperti itu sungguh akan merepotkan kepribadian yang asli. Ingatan kalian sudah tidak menyatu, kan? Jika tidak segera ditangani, bisa-bisa—"

"Diam! Kau tahu apa, hah?" Ja-jangan membentaknya, Flo! "Flo tidak akan menghilang, mau bertaruh? Lagipula, aku jauh lebih mengerti diriku daripada kalian!"

"Flo—"

"LEBIH BAIK KAU PERGI, SANA, KAKEK TUA!"

Oh, tidak. Aku tidak bermaksud seperti itu, sungguh! Profesor berdiri dari kursinya dengan wajah masam. Ia ambil segala bawaannya dan melangkah menuju pintu keluar. Kakak mengejarnya tetapi Profesor tidak mau berhenti.

Sesaat setelah ia menutup pintu di belakangnya, kuhembuskan napas panjang. Melelahkan rasanya. Maka kusenderkan punggungku mengambil posisi rileks. "Sudah aman, Flo," aku berbisik pada diriku sendiri. Tubuhku terasa ringan, kupejamkan mataku.

"Flo," Ah, Kakak kembali. Kubuka lagi kedua mataku ketika sudah kutemukan ketenangan diri. Kakak duduk di sebelahku kembali dan melemparkan pandangan serius.

"Kakak, tolong jangan salahkan Als. Dia hanya melindungiku," jujurku menjelaskan.

Kakak menghela napas, menenangkan diri. Segera setelahnya ia memelukku. Suara bergetar, "Maafkan Kakak. Semua itu sebab Kakak, kau jadi seperti ini. Kakak tidak menyangka kau kesepian, bahkan Kakak tidak bisa melindungimu dengan baik hingga kau harus melindungi dirimu sendiri."

Aku pikir Kakak sedang menahan tangis. Sial, air mataku jadi bercucuran.'Katakan dengan jujur, Flo,' Als ... aku dapat mendengar suaranya di kepalaku. Tangisku menjadi-jadi.

"Aku takut ... akan segala hal di luar sana. Aku takut terhadap hidupku sendiri. Aku takut akan diriku sendiri. Tetapi Als kuat. Dia sangat percaya diri dan ia lebih mahir menjalani kehidupan daripada aku. Dialah yang memayungiku dari hujaman persoalan kehidupan. Jadi Kak, tolong jangan membencinya. Karena tanpanya aku pasti sudah basah kuyup."

Masalah datang bagai hujan yang menghujam bumi. Bertubi-tubi. Terkadang berintensitas tinggi, terkadang rendah. Terkadang hanya gerimis, terkadang hujan es. Yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hayalah sebuah payung atau tempat bernaung. Namun, manusia merupakan mahluk yang kreatif, sehingga ketika nihilnya hal tersebut, manusia itu akan membuat pernaungannya sendiri. Dan di sanalah Als tercipta sebagai pernaunganku.

"Aku sudah membantumu. Jadi, mulai sekarang bernaunglah kepada kakakmu juga, Flo. Lambat laun kau akan menjadi kuat dan segera melupalanku. Dirimu yang kelak 'kan melebur."

—TAMAT— 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top