Bucin Mode: Ariana
Ariana
Oleh: Alicia U.
Cinta itu butuh pengorbanan. Cinta juga dapat membuatmu kehilangan akal hingga rela melakukan apapun demi orang yang kau kasihi. Serta, cinta itu datang secara diam-diam, tidak dapat diprediksi. Ariana lah yang mengajariku semua itu. Dia adalah putri dari kerajaan sebelah, kerajaan yang sudah berseteru selama lebih dari seratus tahun dengan kerajaan yang aku pimpin. Ariana adalah gadis yang spesial, ia mampu meluluhkan seorang raja berhati dingin sepertiku.
Hubungan antara kerajaan kami memang terkenal dengan konflik yang kian tidak memadam, tetapi pada generasi kepemimpinanku, kami memutuskan untuk berdamai. Itu sebabnya Ariana berada di istanaku. Kami akan menguatkan persatuan kami dengan sebuah ikatan suci yang disebut pernikahan. Tepatnya bulan depan, bertepatan awal musim panas.
Pernikahan kami sama sekali tidak berlandaskan cinta. Semua ini hanya formalitas belaka, demi perdamaian rakyat kami. Tetapi Ariana selalu menunjukan perhatian penuh padaku, tidak peduli sedingin apa sikapku padanya. Dia sering membawakanku makanan dan selimut saat aku bekerja hingga larut malam, membawaku untuk menghirup udara segar di taman saat aku mulai bosan, serta menemaniku kala stres membuat kepala penat. Dia bilang ingin berteman denganku, dan di sinilah kami sekarang: sepasang sahabat.
Belakangan ini aku merasa seperti orang sakit. Jantung berdebar, kikuk di depan, aliran darahku terasa mendidih kala beradu pandang dengan Ariana, dan perasaan mual pun muncul. Aku panggil tabib terhebat kerajaan, tetapi tidak ada diagnosa aneh padaku. Beliau hanya berpesan agar aku mengurangi konsumsi kopi dan banyak beristirahat.
Ariana mendengar kabar ini, ia berkunjung ke kamar peristirahatanku dengan membawa buah-buahan yang dia petik sendiri dari pohon secara diam-diam. Seorang putri memanjat pohon... aku tidak tahu hilang kemana rasa malu Ariana. Apa sebab ia terbiasa di medan perang, hingga kepribadiannya menjadi setengah lelaki begitu?
Ariana nampak sangat cemas, tetapi saat aku ceritakan semua keluhanku pada Ariana, dia malah tertawa. "Ya ampun... gejalanya seperti seseorang yang sedang jatuh cinta. Jantung berdebar kala pandangan bertemu dengannya. Getaran aneh menjalar di sekujur tubuh saat bersentuhan dengannya. Merasa ingin dibutuhkan dan melindunginya seumur hidup. Dan masih banyak lagi ciri-cirinya. Kata orang cinta tidak dapat diprediksi kedatangannya, padahal dia selalu memberikan tanda-tanda. Ah... romantis!"
Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri, membuatku sedikit geli. "Ariana, kau terlalu banyak membaca novel romansa."
"Yang aku katakan itu benar, loh. Kau sudah pernah jatuh cinta sebelumnya, Christo?" tanya Ariana ceplas-ceplos, dibalas gelengan kepala olehku. Gadis itu mendengus. "Pantas saja.... Ngomong-ngomong siapa wanita yang kau taksir?"
Seketika mulutku bungkam. "Bagaimana kau bisa tidak tahu, Ariana? Padahal kau lah yang paling banyak berinteraksi denganku."
Ariana melepas senyum tipis. "Aku tidak mau berharap, makanya tidak mau menebak."
"Itu Kau. Aku pikir perasaanku mulai tumbuh padamu, lebih dari sekedar teman."
Ariana tidak merespon 'ya, aku juga sama.' Seperti yang diharapkan. Ia mengulas senyum serta menyayukan pandangan, seolah ia menyembunyikan sebuah kesedihan. Apa dia tidak menyukaiku?
"Aku setuju menikahimu demi kelangsungan perdamayan rakyat kita. Tetapi aku tidak yakin apakah perasaanku akan tumbuh sama seperti perasaanmu untuku. Yang jelas, aku berjanji akan melindungimu dengan segenap hati." kata Ariana.
Aku pikir, Ariana sudah sangatlah cocok menjadi pendampingku. Memang ia kurang feminim, tetapi kemampuannya dalam bersosialisasi dan merakyat tidak patut dipertanyakan lagi. Selain itu dia juga dijuluki Putri Medan Perang. Aku dengar ia cukup mahir dan kuat di medan perang. Dia menjadi gadis paling ditakuti di kerajaannya. Di lain sisi dia cukup lembut hingga mampu meluluhkan hati bagai gunung es yang kumiliki. Ariana adalah gadis ynag baik, begitulah yang aku pikirkan.
Namun, suatu malam seseorang menyelinap ke dalam kamarku. Beruntung, pendengaranku selalu waspada meski sedang beristirahat. Saat suara langkah kakinya berhenti tepat di dekatku, aku menggapai pedang yang aku sembunyikan di bawah selimut. Tetapi belum sempat aku menarik pedangku dari sarungnya, sebilah pisau terhunus tepat menyentuh kulit leherku. Pisau itu adalah milik seseorang yang melompat tepat ke atasku. Ia membuatku tetap berbaring. Dan betapa terkejutnya saat aku melihat wajah si pelaku. Penghianat yang mencoba membunuhku itu adalah Ariana.
"Aku tidak bisa..." tetesan-tetesan air mata mulai berjatuhan ke permukaan wajahku. Ariana menangis terisak. Seketika genggamannya pada pisau melemah, bergetar, kesempatan ini kumanfaatkan untuk memutar balikan keadaan.
"Aku pikir kita teman, aku tidak menyangka kau menghianatiku seperti ini. Aku bahkan jatuh cinta padamu. Lalu kebaikan serta kasih sayang yang kau bagi untukku selama ini apa? Kebohongan?" Tanganku merebut pisau di tangan Ariana kemudian menarik gadis itu agar terguling ke atas lembutnya matras tidurku. Kini akulah yang mengacungkan pisau ke lehernya. Kini akulah yang berada di atas.
"Kau tahu Ariana? Dadaku terasa sesak dan sakit. Kenapa kau melakukan semua ini?" lirihku.
Ariana memandangku dengan tatapan sedih. Ia bahkan tidak melawan sedikitpun. "Christo, beritahu aku cara agar aku tidak perlu membunuhmu. Ayahku ingin aku mengambil kembali permata yang tertanam di tubuhmu. Permata itu adalah pusaka kerajaan kami."
"Permata ini milik kerajaanmu? Apa buktinya? Kalian hanya menuduh kami mencuri pusaka kalian tanpa ada bukti."
"Permata itu sama dengan permata yang ada lukisan raja terdahulu di kerajaan kami. Permata yang diletakan pada makam sang Raja. Tetapi mengapa ada padamu? Tidak kah kau merasa aneh?"
"Itu tidak cukup untuk menjadi bukti."
"Aku... tidak memiliki alasan lain. Sungguh, aku berdebat dengan Ayahku di surat. Aku tidak ingin membunuhmu... tetapi Ayah berkata, jika aku tidak membunuhmu hingga tengah malam maka aku akan dibuang dari kerajaanku sendiri dan perang akan terus berlanjut. Rein bahkan akan dikirim untuk membunuh kita!" tangisan Ariana semakin menjadi-jadi.
Jangan menangis wahai tunanganku. Itu malah membuat sayatan yang lebih besar di hatiku. Dengan ibu jari, aku hapus jejak air matanya. "Jika kau mau mengeluarkan permata itu, kau harus membedahku terlebih dahulu."
Aku serahkan pisau itu pada Ariana, dan kutuntun tangannya menyentuh bagian uluh hatiku. Tarik ke atas, mengikuti jalur tulang rusuk. "Dari uluh hati lalu lurus ke bagian dada. Agak serong ke kiri, kau akan menemukan permata itu di sekitar situ. Tetapi ketahuilah, aku akan segera mati setelah permata itu dicabut. Ambilah dan bawa pulang." bisikku.
"Christo... jangan. Lebih baik kau bunuh aku yang telah gagal melindungimu dan rakyatku." Ariana bersih keras menolak.
Dan pada saat itu seorang penjaga mengetuk pintu kamarku. Mengganggu momen saja! Maka kusuruh ia pergi. Tetapi penjaga itu bersih kukuh untuk memeriksa kamarku.
Tanpa pikir panjang lagi, aku tarik tubuh Ariana agar bangun menuju balkon. Bertepatan pada saat itu si Penjaga mendobrak masuk ke dalam kamarku. Secara refleks aku menarik Ariana terjun dari lantai dua. Terima kasih sebab ketahanan tubuh kami yang terlatih di medan perang. Saat melompat tadi kami mendarat dulu di pohon sebelum akhirnya mendarat di tanah.
"Penculik! Putri Ariana menculik Yang Mulia Raja!" pekik si Penjaga membuat seisi istana gempar di tengah malam. Api berkobar dimana-mana. Semua orang yang secara diam-diam kami lewati berkata bahwa Ariana lah yang membakar istana. Tetapi Ariana sendiri bersumpah bahwa bukan dia pelakunya.
Aku berniat memulangkan Ariana pada kerajaannya meski Ariana menolak. Ia berkata bahwa ia akan langsung diadili saat tiba di sana. Aku sungguh marah padanya. "Kau bilang ayahmu mencintaimu? Maka ia pasti akan selalu memaafkanmu. Bukannya itu yang kau katakan soal cinta? Aku saja mau memaafkan."
Ariana tidak menjawab. Maka aku hentikan langkahku dan berdiri menghadapnya. Pandangan kami bertemu, serta dari sorot matanya memancarkan keputus-asaan. "Aku benar-benar mencintaimu. Oleh sebab itu aku memaafkanmu." ucapku.
Ariana tersenyum getir.
"Sekarang, pilihlah." aku arahkan kembali ujung pisau Ariana pada leherku. "Kau mau mengambil permatanya dan kembali ke kerajaanmu, atau kau mau hidup menjadi permasyuriku? Aku berjanji akan membereskan kesalah-pahaman ini jika kau bersedia menjadi pendamping hidupku."
Ariana menggeleng halus. "Aku tidak bisa menjadi pendampingmu. Aku tidak memiliki sedikitpun kepercayaan para menteri dan rakyatmu. Apalagi setelah kejadian ini. Aku juga tidak bisa membunuhmu, maka aku tidak bisa pulang ke rumah. Jadi satu-satunya jalan terbaik adalah..." perlahan mata pisau di leherku berpindah pada leher Ariana. "Aku mati saja. Lagipula jika aku mati, mereka tidak akan risau lagi. Kekacauan ini akan mereda. Katakan saja jika aku memang berniat membunuhmu, tetapi kau berhasil memutar-balikan keadaan dan membunuhku duluan." ia tersenyum getir.
"Terkadang cinta membutuhkan pengorbanan. Dan inilah pengorbananku untukmu. Ternyata kita memang tidak dapat memprediksi kapan datangnya cinta. Entah sejak kapan aku mulai mencintaimu, Christo. Tetapi kita tidak akan pernah bisa bersama."
Tepat pada saat itu, seorang penjaga berhasil menemukan kami. Dia membuat fokusku teralih dari Ariana. Saat aku sadar, Ariana sudah menancapkan pisau itu pada lehernya. Aku berteriak panik. Tubuh Ariana jatuh ke tanah bagai bunga yang layu. Ingin kudekap tubuh itu jika saja para penjaga tidak memisahkan kami.
Ariana menghembuskan napas terakhirnya tepat di depan mataku. Darah menyeruak menjadi kubangan yang mengelilingi seputaran bahunya. Pisau itu masih menancap di sana, dan jejak air mata di wajahnya memantulkan cahaya bulan yang tengah bersinar benderang di malam hari ini. Menyedihkan, tetapi ekspresi yang tertempel di wajah Ariana justru memvisualisasikan kebahagiaan.
"Cinta itu butuh pengorbanan." Sebagaimana Ariana menukar nyawanya demi meredakan kerisauan penghuni istanaku.
"Cinta juga dapat membuatmu kehilangan akal hingga rela melakukan apapun demi orang yang kau kasihi." Sebagaimana besarnya cinta Ariana pada rakyatnya, ia memilih menikahi orang asing sepertiku. Dan sebagaimana aku rela memberikan nyawaku demi pengakuan Raja Arkheo, ayahnya. Tetapi Ariana justru bunuh diri demi menyelamatkanku.
"Serta, cinta itu datang secara diam-diam, tidak dapat diprediksi." Seperti kami berdua yang tidak sadar telah terjerumus dalam benang cinta. Padahal Ariana datang ke istanaku demi menghakimi nyawaku. Tetapi bagai terkena karma, kami berdua justru saling terpikat.
Ariana lah yang mengajariku semua itu. Dia adalah putri dari kerajaan sebelah, kerajaan yang sudah berseteru selama lebih dari seratus tahun dengan kerajaan yang aku pimpin. Ariana adalah gadis yang spesial, ia mampu meluluhkan seorang raja berhati dingin sepertiku, sekaligus membuat lubang kehampaan yang besar di tengahnya.
"Selamat tinggal, Ariana."
—TAMAT—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top