Bucin Mode: Aku Bukan Hantu

Aku Bukan Hantu

Oleh: Alicia U.


St. Elmo, Colorado, 1874. Tepat di tepi hutan, terdapat sebuah mansion tua yang berdiri kokoh. Mansion Gray namanya, sebab dinding mansion berwarna abu-abu. Ada rumor yang beredar di desa, jika mansion itu berhantu, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa ada vampir bersemayam di sana.

Di kala malam lampu rumah itu tidak pernah mati, seolah ada seseorang yang tinggal di dalamnya, tetapi pada siang hari mansion itu sangat bergeming seolah tidak ada kehidupan. Kerap kali, orang yang tidak sengaja melewat mendapati sosok wanita bergaun putih, berambut panjang sedang berjalan di koridor mansion itu.

Beberapa pemburu vampir yang pernah menyelinap masuk ke mansion itu pun kerap kali menghilang seakan ditelan bumi. Hal itu sangat membuat warga resah. Akibatnya tidak ada seorang pun yang berani melewati mansion itu pada malam hari. Semua menjauhi tempat tersebut.

Suatu hari di masa remajaku, aku mendapat tantangan gila dari temanku. Aku ditantang untuk menyelinap masuk ke dalam mansion berhantu itu. Awalnya aku tidak ingin menerima tantangan tersebut, tetapi apa mau dikata? Rasa aroganku yang tidak mau kalah dalam permainan Truth or Dare ini terlalu mendominasi. Lagipula itu hanya mansion tua yang penuh dengan omong kosong. Aku tidak percaya pada hantu.

Tepat tengah hari, kupecahkan salah satu jendelanya untuk kupanjat. Anehnya di dalam sini bagaikan terdapat kehidupan. Aku menjelajah ke setiap ruangan sambil terkagum-kagum akan arsitekturnya. Siapa sangka bahwa di dalam sini sangat bersih dan rapih?

Dan di sanalah aku bertemu dengan Eve Yargeht. Gadis yang disangka hantu mansion Gray oleh penduduk. Dia ini, asli manusia, loh. Usianya juga tidak jauh berbeda denganku.

Eve tinggal sendirian di dalam mansion tersebut, mengisolasi diri dari sinar matahari. Katanya sih, ia memiliki fobia pada cahaya siang hari tersebut. Aneh, kan? itu sebabnya ia selalu beraktivitas di malam hari. Karena hanya pada saat itulah sinar matahari tidak terlihat.

Aku teringat saat pertama kali kami bertemu, aku tidak sengaja membuka tirai pada siang hari. Eve seketika menjauh, mencari tempat yang teduh dan memeluk dirinya sendiri yang gemetar. Saat kuhampiri, wajahnya sangat pucat dan napasnya tersenggal-sengal. Tubuhnya kejang tak karuan, dan ia menggumamkan kalimat-kalimat seperti, "Tidak apa-apa, Eve, kau aman," atau, "Kau tidak akan mati, kau tidak akan mati."

Sejak saat itulah aku mengetahui bahwa Eve ternyata fobia terhadap cahaya matahari atau yang kerennya disebut dengan nama heliophobia. Sangat masuk akal mengapa gadis itu selalu mengurung diri di dalam mansion.

Eve membiarkan rumahnya terlihat menyeramkan agar dijauhi oleh orang-orang. Eve trauma sebab sempat akan dibunuh karena dikira vampir, dan orang-orang yang berusaha membunuhnya itu kini terbaring di bawah tanah halaman belakang. aku tidak dapat menyalahkan Eve meski awalnya sempat terkejut. Bagaimanapun juga Eve hanya berusaha melindungi diri.

Ketika ditanya keberadaan orangtuanya, Eve mengatakan bahwa mereka sedang berada dalam perjalanan bisnis di luar negri. Ia tidak tahu kapan mereka pulang, tetapi ia sangat menantikan waktu berkumpul dengan keluarganya. Dan ia ceritakan alasan mengapa ia sampai bisa mengidap fobia yang unik itu.

"Aku telah dibiasakan berada di tempat teduh sejak kecil, maka ketika pertama kali menatap matahari siang, mataku seperti terbakar. Kulitku juga terasa sangat pedih. Sejak saat itu aku mulai membenci matahari. Seolah bola cahaya raksasa itu hendak menyakitiku," jelas Eve.

Eve hidup serba mandiri, mulai dari membuat lilin, berternak, berkebun, semua ia lakukan di lahan rahasia di tengah mansion. Dan jika harus pergi ke pasar, ia hanya akan pergi ke pasar malam. Aku seperti melihat sebuah miniatur aplikasi sistem perekonomian negara.

Merasa kasihan padanya, aku pun sering mengunjunginya. Seiring waktu kami menjadi dekat dan berteman baik. Aku juga mulai membaca buku, mencari cara mengobati fobia Eve. Aku ingin ia sembuh dan dapat beraktivitas seperti manusia biasa. Jika tidak terkena sinar matahari, itu akan sangat mengganggu kesehatannya.

Suatu ketika, terjadi sebuah wabah di desa, dimana semua hewan ternak mati mendadak. Warga desa menuding Lady Gray yang melakukan semua itu saat rapat desa. Aku juga mendengar bahwa mereka akan menginvestigasi mansion tersebut. Dan jika mereka menemukan bukti kuat, mereka akan membakar tempat tersebut sebagai tempat terkutuk.

Kumasuki mansion Gray melalui pintu dapur yang tidak pernah dikunci agar aku dapat mengunjungi Eve kapanpun aku mau. Aku mulai berlari panik mencari keberadaan gadis yang dijuluki sebagai Lady Gray tersebut. Bagaimanapun juga aku harus membawa Eve pergi dari mansion ini. Tempat ini sudah tidak aman lagi. Beruntung aku segera menemukannya!

"Eve, aku punya kabar buruk," ujarku, "kita harus segera meninggalkan mansion in—" Ah! Baru saja aku hendak memperingatkan Eve, pintu depan mendapat gedoran keras.

"Satu! Dua! Tiga!" terdengar aba-aba dari sisi lain pintu, disusul dengan gedoran lagi. seolah ada yang hendak mendobrak pintu raksasa mansion ini. Segera kubawa gadis itu ke ruangan sebelah. Di sana terdapat jendela, aku mengintip ke luar. Sekerumunan orang berkumpul di depan sana seraya membawa obor dan garpu taman, serta beberapa senjata lainnya. Mereka berniat membakar tempat ini sekarang!

Suara pintu terbanting terdengar begitu kencang, sepertinya mereka berhasil mendobrak masuk. Eve menggenggam tanganku erat, ia nampak ketakutan. Eve sempat bertanya mengapa orang-orang itu datang, dan kujelaskan keadaan serta situasi yang ada. Eve semakin panik apalagi saat kuajak untuk kabur.

Aku sempat melupakan bahwa Eve fobia pada sinar matahari. Melarikan diri di siang hari seperti ini akan sangat buruk untuknya. Tetapi, ia bisa mati jika terus di sini.

"Aku tidak bisa meninggalkan mansion ini, apapun yang terjadi. Jika mereka hendak mengeksekusiku berikut tempat ini, maka biarlah begitu," Eve ... ia membuatku geram kembali!

Pada saat itulah seorang pria sepertiga abad berhasil menemukan kami, cepat sekali sampainya. Pria gemuk itu berteriak agar didengar kawanannya yang lain, "Ketemu! Vampir itu di sini!" suaranya bergema di ruangan, membuat sekujur tubuhku merinding tersambar petir imajiner. Secara refleks kusembunyikan sang Lady Gray di belakang punggungku. "Apa yang kau lakukan, Nak? Menyingkir!" titahnya geram, bersamaan itu pula warga lain datang.

"Eve bukan vampir, ia manusia sama seperti kita!" ucapku lantang, berusaha berdebat dengan para pengamuk. Namun suaraku tidak didengar sedikitpun, sebaliknya mereka malah menuduhku sudah diperdaya oleh Eve.

Usahaku tidak berakhir hingga di sana. Sebelum mereka menangkap dan memaksaku berpisah dengan Eve, aku membuka jendela di belakangku serta membawa Eve melompatinya. Aku tidak peduli kala Eve memanggili namaku. Lagipula fobia bila dimanjakan, takan sembuh.

Namun teriakan terakhirnya mampu menghentikan langkahku. "Adam!"

Betapa terpakunya aku kala mendapati asap tipis yang mengepul di sekeliling Eve. Ia seperti terbakar oleh terik matahari. Perlahan kulit wajahnya menampakan retakan seperti porcelain yang hanya menunggu waktu hingga hancur berkeping-keping. Aku berdiri mematung, cengkramanku melonggar dari pergelangan tangannya, sementara masa telah mengepung kami. Apa yang terjadi?

"Nona Eve!" seorang pria tua menghampiri kami. Masa bergeming akan kedatangannya. Janggut serta rambutnya telah memutih, tubuhnya bungkuk, berjalan pun menggunakan tongkat sebagai alat bantunya. Tidak seorangpun mencegahnya mendekati Eve, seolah percaya dengan keputusan si kakek. "Nona, masih kah Anda mengenali saya? Victorius, pelayan Anda," katanya.

Kupandangi gadis di sampingku, ia menitihkan air mata. "Victorius teman kecilku, apa yang terjadi padamu? Mengapa kau ... menjadi tua?"

Aku semakin bungkam, dan kerumunan orang berdesus kaget. Berbisik bahwa Eve benar-benar hantu, vampir, mahluk terkutuk, dan lain sebagainya.

Kakek bernama Victorius itu menghampiri kami. Ia dekap tubuh mungil Eve dengan kedua tangannya yang bergetar. "Inilah kenyataannya, Nona. Anda tidak seharusnya berada di sini. Ini bukan dunia Anda lagi."

Tunggu sebentar ... "Apa?!" berkat suara lantangku, kedua majikan-pelayan itu menatapku. "Apa maksudnya semua ini?!" emosiku meluap, merasa bingung dan diperdaya.

Namun dengan sabar kakek itu menjawab, "Nona Eve seharusnya sudah pergi sejak lama. Beliau meninggal akibat komplikasi Xeroderma Pigmentosum puluhan tahun lalu."

Aku tercengang. Lalu maksudnya ... Eve itu hantu?

"Aku ... sudah mati?" Eve bergumam. Ia menatap lekat manik milik kawan lamanya.

"Pergilah dengan tenang, Nona. Ke tempat kedua orangtua Anda berada. Mereka pasti sangat merindukan kehadiran Anda," kata Victorius. "Mereka juga menyusul kepergian Anda pada kecelakaan beberapa tahun kemudian."

"Tidak ...," kedua tangan Eve mencengkram kuat lengan baju Victorius. Ia menggeleng seolah menolak cerita pria tua itu. "Aku belum mati! Ayah dan Ibu juga sama! Mereka akan pulang suatu hari nanti!" kemudian kedua maniknya menatap sosokku. Harus kuakui bahwa tubuhku bergetar saat melihat refleksi tubuhku di sepasang bola mata hitam itu.

"Adam, bantu aku! tolonglah ...." Meski ia memelas seperti itu padaku, aku tidak dapat melontarkan sepatah katapun. Otakku terlalu jejal untuk menalarkan semua ini. "Adam ...."

"Maafkan aku, Eve ...,"

Victorius mencengkram pergelangan tangan Eve agar mendapatkan kembali perhatiannya. "Sudah waktunya. Kasihan Tuan dan Nyonya Yargeht menunggu lama putrinya."

Sang Lady Gray meneteskan kembali air matanya. Ia mendorong pelan tangan Victorius agar melepaskannya. Setelah selesai, ia berjalan kepadaku. Aku, yang tidak bisa menggerakkan kedua kakiku untuk kabur. Tubuhnya semakin transparan, kakinya sudah terkikis habis hingga tembus pandang. Tangannya yang pucat membelai wajahku. Ia memberikanku tatapan yang amat menyayat hati. "Adam,—"

Perlahan tubuh Eve terkikis menjadi asap, memuai dan menghilang di udara. Hal itu membuat siapa saja yang menyaksikannya tercengang disertai bergidik ngeri sesaat setelahnya. Kami baru saja melihat fenomena supranatural terjadi di depan mata kami!

Dan begitulah aku paham. Eve Yargeht ternyata bukan mengidap fobia, ia memiliki ketakutan berlebih terhadap paparan sinar matahari karena ia bukan mahluk dunia siang—manusia. Sebuah kisah klasik konyol dan mengerikan yang terus kuceritakan kepada anak dan cucuku. Begitu juga cerita ini menjadi urban legend di desa.

Namun, kalimat terakhirnya masih saja mengganjal pikiranku. Sebuah kalimat yang samar di pendengaran. Bahkan mungkin hanya aku yang mendengar kalimat tersebut. "Adam, terima kasih. Kau priaku tersayang. Jiwaku akan selalu menyertaimu, selalu."

—TAMAT—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top