8. Keluarga

"Aku ingin membuatnya puas sebelum benar-benar menyerah. Aku tidak tahu kenapa takdir membuat kita melakukan ini. Aku ingin tahu, apa yang ingin Dia lakukan padaku saat aku benar-benar menuruti kata hatiku."

Sasuke terkejut pada apa yang baru saja Naruto kemukakan. Iya baru saja mendengar alasan terdalam yang selama ini ingin ia ketahui, tentang kenapa Naruto kokoh ingin mempertahankan pernikahan mereka.

"Bila Dia benar-benar metakdirkan kita bersama, apa yang akan kau lakukan?" tanya Sasuke asal.

"Kenapa kau mengatakan sesuatu yang tidak mungkin?" Naruto balik bertanya.

"Ini hanya perumpamaan, bila saja aku dan kau bisa—"

"Sasuke." Naruto memotongnya langsung. "Bila kau masih ingin bersama Sakura, jangan pernah berandai-andai yang tak mungkin kau lakukan. Dan jangan menyuguhkan harapan kosong itu padaku."

Pernyataan itu membungkam Sasuke. Hingga tercipta hening yang canggung di antara mereka.

"Ok. Aku rasa aku harus masuk rumah. Para orang tua mulai mengintip."

Sasuke mendongakan kepala ingin tahu. Benar saja, empat kepala menyepul di balik pintu gerbang kayu yang rapat, berusaha mengintip apa yang terjadi di dalam mobil.

Naruto mengemasi barang-barangnya, lalu Sasuke dengan genteel membukakan pintu untuk Naruto.

"Sampai jumpa waktu pemotretan," ujar Sasuke setelah mereka telah bersama di depan pintu gerbang.

"Sampai jumpa. Hati-hati di jalan."

"Saya pamit dulu." Sasuke membungkuk pada arah pintu yang kini terlihat hampir menutup.

Semua orang terkejut dan ada yang suara keras yang terjadi, sepertinya seseorang ada yang terkantuk pintu. Mereka membuka pintu dengan kikuk, lalu memberikan balasan yang sama.

"Iya, hati-hati saat di jalan."

Sasuke berbalik dan masuk dalam mobilnya.

Ia menyalakan mobilnya, lalu segera mengemudi pergi dari kediaman Uzumaki.

Matanya mungkin fokus ke jalan, namun tidak dengan pikirannya. Ia merasa malu denga napa yang tadi ia katakana pada Naruto. Apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan hingga meminta Naruto membayangkan kami berdua bisa bersama. Sedangkan ia masih mempertahankan Sakura.

"Sadarlah Sasuke!" Ia memukuli kepalanya sendiri.

Apa ia ingin menjadi si brensek yang memberi harapan pada dua wanita sekaligus.

Naruto benar. Ia harus kembali pada rencana awal mereka. Ia tidak boleh bimbang hanya karena Naruto terlihat sangat-sangat cantik hari ini, atau matanya yang indah sekali hari ini, atau sikapnya yang sangat elegan, atau pribadinya yang dewasa, atau dia yang sangat mengerti Sasuke, luar dalam.

"Aku sungguh gila hari ini."

Sasuke melakukan manuver dengan membelokkan mobilnya menuju rumah Sakura. Ia merasa bersenang-senang sedikit dengan Sakura mungkin akan meluruskan pikirannya yang sedikit melenceng saat ini.

***

Tidak boleh Kyoto, tidak boleh di Sinjuku, tidak boleh di Tokyo, Hokaido, dan semua tempat wisata di jepang. Semua tempat indah tidak diperbolehan oleh Sakura, untuk dijadikan lokasi praweeding untuk Naruto dan Sasuke.

"Pokoknya, aku tidak mau kalian melakukan pemotretan di semua tempat indah di Jepang. Karena aku yang akan berfoto dengan Sasuke saat kami menikah nanti di tempat-tempat itu. Carilah daerah-daerah biasa, kalau bisa daerah kumuh untuk foto-fotomu," itulah wajengan yang diberikan oleh Sakura sebelum keberangkatan mereka.

Mereka kini sedang perjalanan menuju tempat yang akhirnya menjadi tempat pemotretan mereka. Yaitu kampung halaman Naruto sendiri, di pedalaman desa yang Sasuke sendiri tidak tahu itu di mana. Sangat terpencil dan pelosok Jepang.

Sakura tidak dapat ikut dalam rencana kali ini, karena orang tuanya akan pulang ke Tokyo setelah sekian lama tinggal di Inggris.

Walau begitu, selama perjalanan, koneksi telephon antara mereka berdua tidak pernah putus. Sakura tidak mengijinkan Sasuke berbicara dengan Naruto dalam mobil, sehingga Sasuke harus selalu berbincang via videocall dengan Sakura.

Namun hal itu tidak bertahan lama ketika mereka telah mencapai daerah pesawahan yang luas, sinyal tiba-tiba hilang dan panggilan pun berakhir.

Sasuke ngela napasnya setelah mematikan ponselnya.

"Maaf, di desaku masih susah sinyal. Ada, tapi harus pergi ke tempat tinggi."

"Tidak. Aku bersyukur tidak ada sinyal. V-call menurutku sangat merepotkan."

Naruto mengangkat alisnya tidak percaya.

"Kalau itu merepotkan bagimu, kenapa tidak kau katakan langsung?" tanya Naruto.

"Kau tahu bagaimana Sakura," jawab Sasuke, polos.

"Kalau kau bisa begitu pengertian pada Sakura, kenapa Sakura tidak dapat melakukan hal yang sama?"

Sasuke langsung tersekat dan tidak dapat menjawab pertanyaan Naruto untuknya.

Naruto tersenyum dalam kemenangannya. Di tengah kehenigan itu, Naruto akhirnya menemukan seseuatu yang dapat ia jadikan bahan.

"Di rumahku ada Kakek, Nenek, Bibi Masako, Paman Hayato, dan anak laki-laki mereka, Satoshi. Aku sempat tinggal di rumah itu selama tiga tahun saat usiaku lima tahun. Masa paling menyenangkan bagiku. Kakek adalah orang paling keren bagiku. Ia adalah orang yang ramah dan sayang pada seluruh keluarganya. Nenek adalah orang yang sangat penyabar. Paman dan bibi pun juga sangat baik pada kami. Kau akan betah di rumah kami," penjelasan Naruto.

"Kita hanya dua hari di sana," ujar Sasuke.

"Tidak apa, itu sudah cukup," jawab Naruto, penuh percaya diri.

Mereka tidak lagi ingin berbicara. Bukan karena canggung. Hanya ingin memikmati perjalanan mereka saat ini. Keheningan yang menentramkan.

Mereka telah melewati sawah yang seolah tiada ujung, hingga bukit kecil yang penuh dengan tumbuhan rimbun. Lalu beberapa rumah mulai muncul walau masih jarang.

"Sebentar lagi, pelankan laju," aba-aba Naruto.

Mereka berhenti pada sebuah rumah dengan pagar tinggi tanpa pintu khas rumah pedesaan. Depan rumah terdapat sawah yang luas dan terlihat gunung di ujungnya. Sauasana damai dan udara yang sejuk menyambut mereka sesaat setelah membuka pintu mobil.

"Naruto!" panggil seorang anak remaja usia 15 tahun dari halaman rumah. Dan segera menyambut Naruto dan Sasuke di depan rumah.

"Kau tambah tinggi lagi." Naruto mengusap rambut si remaja pria tanggung di depannya dengan gemas.

Anak itu menjawabnya lewat senyuman malu-malu.

"Ayo, aku bantu bawa barang-barang kalian," ujarnya antusias.

Sasuke bergerak cepat dengan membuka bagasi mobil dan mengeluarkan dua koper milik mereka.

"Siapa namamu?" tanya Sasuke pada Si Remaja.

"Satoshi, Kirinuma Satoshi."

Sasuke mengawasi ada yang tergantung pada leher Satoshi. Sebuah kamera tua yang cukup terawatt.

"Kau suka memotret?" tanya Sasuke.

"Iya. Tapi aku hanya punya kamera tua ini," jawabnya malu-malu.

"Mungkin kau bisa membantu kami juga. Nanti kalau hasilnya bagus, aku akan membelikan kamera bagus."

"Benarkah?" tanya Satoshi penuh antusiasme.

"Tentu saja."

"Kau janji ya!" Matanya berbinar-binar senang, dan dijawab Sasuke lewat anggukan singkat.

Sasuke merasa anak laki-laki di depannya sangat manis. Ia sangat sopan dan membantu mengangkat barang mereka tanpa di suruh. Sedang pada usia-usia itu banyak anak yang tidak peduli pada sekitarnya.

"Kalian sudah tiba."

Seorang lelaki tua dengan wajah yang ramah keluar dari dalam rumah.

"Ayo masuk dulu. Nenek! Naruto sudah datang dengan cucu menantu." Ia berteriak pada orang di dalam rumah.

Sasuke berdeham syok dengan panggilan yang disematkan untuknya.

"Mari, silahkan masuk. Anggap rumahmu sendiri. Satoshi, bantu kakakmu," lanjutnya.

"Iya, Kek."

Setelah mereka bersih-bersih badan dan menaruh barang-barang di kamar Naruto. Kakek memanggil kami ke ruang keluarga.

Semua orang kini duduk di ruang keluarga. Fokus seluruh ruangan kini telah tertuju pada Naruto dan Sasuke seolah keduanya tengah disidang.

"Kakek, Nenek, Bibi, Paman, Satoshi, perkenalkan, ini Uchiha Sasuke, calon suamiku," kata Naruto sedikit canggung.

Sasuke menata hatinya sejenak, sebelum memperkenalkan diri.

"Perkenalkan, namaku Uchiha Sasuke. Salam kenal." Lalu dalam posisi duduk seiza-nya, Sasuke menunduk untuk memberikan penghormatan. Suasananya sungguh sangat hidmat dan tegang.

Nenek tersenyum pada mereka, Kakek walau tidak berekspresi, wajahnya terlihat ceria, Satoshi berada di pojok ruangan menguatak-atik kameranya, bibi mengelap air mata bahagia, dan suaminya pun tersenyum senang dengan kedatangan Sasuke di sini. Semua terlihat ramah dan bahagia.

"Kau tidak perlu sungkan. Tenang saja," ujar Kakek menenagkan.

"Iya, Kakek," jawab Sasuke kaku.

"Kapan kalian akan melakukan foto-fotonya?" tanya Nenek.

"Nanti sore. Tapi kami belum menentukan tempatnya," jawab Naruto singkat.

"Kau bisa cari di manapun di sini. Desa ini menyimpan keindahan di sudut mana pun," kata Kakek, menyemangati.

"Iya, Kakek," jawab Sasuke.

"Dia sangat tegang Naruto. Kau harus menenangkannya sedikit," ujar Paman. "Ajak saja dia ke sawah nanti siang, tunjukan di mana letak sawah luas milik paman padanya."

"Baik paman," jawab Naruto, ternyata sama teganganya.

"Heh, kau juga sama saja. Aku berangkat dulu ya. Semoga kau betah."

Paman meninggalkan ruangan dan bibi juga nenek meneruskan pekerjaan di dapur.

"Mau ke hamparan luas padang rumput di belakang rumah?" Naruto menawari Sasuke untuk mencari suasana yang baru, untuk menghilangkan ketegangan di hati mereka.

"Ok."

Mereka akhirnya berjalan ke belakang rumah. Melewati kebun kecil berisi sayuran segar dan bunga-bunga yang sedang mekar, sampai di hamparan luas dengan pemandangan sawah yang berada di bawah bukit tempat rumah ini dibagun. Sungguh indah dengan angin sepoi-sepoi yang membuat hati terasa nyaman.

"Indah bukan?" tanya Naruto.

Sasuke masih berjalan menuju sebuah batu besar di tengah hamparan rumput di atas bukit itu, dan mengajak Naruto untuk duduk di atasnya.

"Keluargamu sangat besar bukan?" tanya Sasuke, setelah nayaman di posisi mereka.

"Itu hanya Sebagian kecil."

"Berarti ada lebih banyak lagi." Sasuke terheran-heran.

"Tentu saja. Nenek punya enam anak, tiga laki-laki dan tiga permpuan. Semua telah berumah tangga dan punya keturunan. Pastinya sangat besar," jawab Naruto, yang pasti membuat Sasuke tercungang mendengarnya.

"Lalu kau?" tanya balik Naruto.

"Ayahku."

"Lalu?"

"Aku."

"Tidak ada yang lain?" Kini giliran Naruto yang dibuat heran.

"Tidak. Ibu telah meninggal. Tidak ada keluarga yang tersisa." Sasuke terdengar menyedihkan di sana.

Lalu terdengar suara pesan masuk dari dalam ponsel Sasuke. Ia membuka dan melihatnya. Itu dari Sakura, sekitar dua jam yang lalu. Karena kendala sinyal, maka pesan itu baru terkirim saat ini.

'Kenapa kau mematikan ponselmu? Kau ingin bersenang-senang bersamanya? Lalukan semaumu. Aku tidak peduli lagi.'

Sasuke ingin menjawab, namun ia urungkan setelah memandang sinyal yang seolah tengah main petak umpet denganya. Hilang dan muncul dengan begitu mudahnya.

"Tidak apa-apa. Menurutku, keluarga itu tidak harus besar. Yang paling penting banyak cinta di dalamnya. Hingga kau bisa bebas bernapas, tanpa menjadi palsu," kata Naruto, mencoba menghibur Sasuke.

Sesunggunya Sasuke sudah terbiasa dengan kondisi keluarganya saat ini. Namun yang lebih membuatnya sedih adalah calon istri masa depannya—Sakura—yang sungguh membuatnya tertekan.

"Atau yang dapat mengerti diri kita apa adanya. Tidak menuntut kita untuk menjadi yang dia inginkan," sambatnya.

Naruto tersenyum maklum, sedikit paham tentang konteks yang Sasuke kemukakan.

"Ketika kau mencintai dengan tulus, tanpa diminta, kau akan mengubah dirimu lebih baik tiap harinya. Bila itu tidak kunjung cukup baginya, maka dia bukanlah yang tepat bagimu," petuah Naruto.

Sasuke menerimanya dengan sedikit tidak percaya. Kata-kata bijak itu berasal dari Naruto. Sedikit meremehkan juga.

"Apa kau juga akan melukan hal yang sama?" tantangnya.

"Apa?"

"Mengubah dirimu." Ia tersenyum licik.

"Tergantung, pada permintaannya. Kalau itu tidak masuk akal, atau menyakiti diriku sendiri. Aku tidak akan melakukannya," jawab Naruto ragu-ragu.

Naruto akhirnya memakan umpan. Sasuke pun tidak menyianyiakan kesempatan itu. Ia berdiri, lalu berlutut di hadapan Naruto. Mengarahkan tanganya ke wajah Naruto dengan hati-hati.

Naruto yang melihat jarak wajah mereka yang begitu dekat dan tangan Sasuke yang hampir mencapai pipinya, reflek memejamkan mata.

Namun setelah sekian lama menunggu pebuh kecanggungan, tidak ada ciuman yang mendarat di bibirnya. Ia pun akhirnya membuka mata, dan mendapati Sasuke yang secara perlahan-lahan melepas kacamata Naruto.

Mata mereka saling bertatapan.

Sasuke memandang wajah cantik Naruto dengan terpesona. Begitu pula sebaliknya.

"Apa ini menyakitimu?" tanya Sasuke. Bahkan harum napas Sasuke mampu tercium hidung Naruto saat ini

Bersambung ....

Maaf lama nggak up date. Ini untuk yang sudah menunggu lama. Makasih ....

Ini sudah panjang banget lho. Vote dan coment yang banyak ya....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top