7. Kedewasaan
"Hah?" dua orang yang mengatakan hal yang sama.
"Kau benar-benar tahu, aku menyukaimu?" Fuji menyela ucapan Naruto dalam ketakutan yang tertahan.
Di saat yang sama, Sasuke rupanya sudah berdiri di pintu depan mereka, dalam ekspresi terkejut yang tak pernah Naruto lihat sebelumnya. Lalu entah kenapa, wajah Sasuke beransur-ansur memerah, rahanganya mengeras, dan otot pelipisnya mencuat. Seolah-olah entah benar atau salah, kemarahan sedang menyelimutinya.
"Naruto!" panggil Sasuke setengah membentak. "Aku mengambilkanmu minum." Sasuke menyerahkan minuman itu dengan sedikit kasar, hingga memercik dan mengenai tangan Naruto.
Naruto yang merasa Sasuke tidak dalam emosi yang baik, hanya dapat sabar dan berucap, "Makasih."
"Naruto, bisakah kau meninggalkan kami sebentar?!" Itu adalah perintah.
Naruto paham, lalu ia melirik Fuji sebentar. Ia tidak paham kenapa suasana tiba-tiba memanas di antara ke dua sabahabat tersebut. Namun ini bukan urusannya. Maka dari itu ia memutuskan untuk pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa.
Mengetahui Naruto telah jauh dari jangkauan, akhirnya Sasuke memulai perdebatan mereka.
"Apa benar yang kau katakan tadi?" tanya Sasuke mencoba mengendalikan diri.
"Itu hanya masa lalu, Sasuke," kilah Fuji.
"Lalu untuk apa kau mengungkit masalah perasaanmu dulu, pada tunanganku? Dan mau kau kemanakan Yamane?" Sasuke menyebut nama pacar Fuji, mengingatkan akan keberadaannya.
"Mak-maksudku. Dulu. Dulu saat SMA. Aku menyukainya. Sekarang, itu hanya masa lalu," Fuji terbata-bata. Ketakutan dan kecemasan jelas tercetak di wajahnya.
Sasuke berjalan melewati Fuji, mendekat ke arah pembatas balkon. Ia memukul-mukul ringan tangannya ke pembatas berbahan beton keras itu, seolah menimbang-nimbang, mencoba menahan agar tidak ia gunakan untuk memukul yang lain.
"Bagaimana mungkin itu terjadi. Kau selalu menjelek-jelekannya di depanku."
"Hehehe ... itu hanya bercanda Sasuke."
"Lalu semua cerita tentang kamar mandi, dan penguntit," ungkit Sasuke.
Fuji mengalihkan pandangan, malu.
"Kau membuatku membencinya." Sasuke mendesis marah.
"Aku-aku," ia menelan ludah. "Tidak bermaksud."
Sasuke telah berada di puncak kesabaran, namun ia ingat bahwa yang ada di hadapannya adalah sahabatnya sendiri.
"Kita telah berteman begitu lama. Kenapa tidak mengatakannya secara baik-baik dan mungkin aku akan memberikan ..." Sasuke tak sanggup mengatakannya. "Lupakan!"
Fuji menganalisis situasi yang sedang mereka alami. Ini harusnya tidak menjadi sebesar ini. Ini hanya masa lalu.
"Karena kau tidak tahu betapa bersinarnya Naruto di mataku waktu itu. Hingga aku tidak ingin kau melihat sinar itu sama sepertiku. Sedangkan ia bersinar hanya untukmu," jujur Fuji. Ia pasrah dan akan menerima segela konsekuensi yang akan ia terima dari perkataannya.
Ia menyadari sesuatu, dan ingin Sasuke juga menyadarinya.
"Aku pikir kita teman," ujar Sasuke, frustrasi.
"Sasuke. Maafkan aku. Lagi pula kau tidak tertarik padanya."
Sasuke balik badan, dan langsung memandang Fuji marah. "Tidak tertarik?! Tidak tertarik kau bilang? Kau membuatku membencinya. Kau membuatku membenci orang yang tidak bersalah apa-apa padaku. Salah apa dia, harus menanggung kebencian dariku sekian tahun hanya karena cerita-cerita busukmu tentangnya?"
Berbalik dari emosi Sasuke, kini Fuji terlihat lebih tenang dan mampu berpikir rasional.
"Kita pernah muda Sasuke. Kau tahu, ada banyak kesalahan-kesalahan yang lebih fatal yang pernah kita lakukan. Semua kelakuanku pada saat itu, aku sungguh tidak bermaksud. Itu hanya cerita lama. Kulihat kalian sudah berbaikan. Lagi pula kau akan segera menikah dengannya bukan? Lalu di mana masalahnya?"
"Pergilah Fuji. Kalau kau bukan temanku. Kau mungkin tidak akan baik-baik saja saat ini. Pulanglah, dan jangan tunjukan dirimu untuk sementara ini di hadapanku." Kesedihan Sasuke memuncak, dan ia mengkambinghitamkan semua pada Fuji. Ia menyesal pada semua yang ia lakukan pada Naruto, dan merasa malu telah memperlakukannya dengan kejam selama ini.
Fuji merasa bersalah, tapi juga merasa iba dengan sifat Sasuke yang tiba-tiba menjadi kekanakan.
"Baiklah. Namun sebelum aku pergi. Aku ingin menegaskan sesuatu."
"Aku tahu, pernikaahan kalian tidak benar-benar nyata. Sakura masih ada di antara kalian. Namun dari pertengkaran kita ini, aku harap kau mulai memikirkan di posisi mana kau menempatkan Naruto, dalam hatimu."
Fuji menepuk pundak Sasuke untuk menyemangati, lalu pergi, meninggalkan pertanyaan yang tak sanggup Sasuke jawab untuk saat ini. Ia tidak paham dengan apa yang Fuji ingin sampaikan padanya.
Tidak ingin tinggal diam dan meninggalkan Naruto sendirian lagi, Sasuke segera berlari dan mencarinya dalam pesta. Namun beberapa kali putaran, bahakan ruangan-ruangan berbeda termasuk kamar mandi, Wanita itu tidak kunjung ketemu. Ia mencari seperti orang gila. Ia bahkan mengabaikan Sakura yang mencoba merayunya.
Lalu Sasuke ingat, ada satu tempat yang belum ia kunjungi, namun tempat itu tidak mereka sewa sebagai bagian dari pesta ini.
"Naruto." Panggil Sasuke, pada Naruto yang sedang duduk di samping kolam renang yang gelap dan sepi. Hak tingginya ia lepas dan diletakan di sampingnya. Ia mencelupkan kaki hingga lututnya dalam air, memainkanya sambil menikmati sensasi dingin air kolam.
"Sasuke," jawab Naruto, menegaskan keberadaannya.
"Aku mencarimu dalam pesta." Sasuke mengulurkan tangannya untuk membantu Naruto berdiri.
Naruto menerima uluran tangan Sasuke segera. Hingga dapat berdiri di atas kakinya sendiri. Lalu segera memasang lagi sepatunya.
Sasuke terkejut dengan kondisi tangan Naruto yang sedingin es. Ia segera melepas jasnya dan memasangkannya pada tubuh mungil di depannya. Ia tidak pernah menyadari tubuh Naruto sekecil ini hingga saat ini. Naruto selama ini selalu menggunakan pakaian longgar, kini mengenakan pakaian pesta yang ketat dan tipis, membuatnya terlihat seksi, namun juga rapuh di saat yang sama.
"Kenapa kau tidak mengatakan kalau kau kedinginan? Tanganmu seperti es, dan kau malah main air!"
"Bolehkah aku pulang?" tanya Naruto tiba-tiba.
Sasuke hanya diam, melihat wajah cantik Naruto dengan percikan cahaya biru yang berasal dari air kolam.
Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari Sasuke, Naruto malanjutkan kalimatnya sendiri.
"Kalau boleh, aku akan memanggil taksi," tambahnya.
"Tidak-tidak. Maafkan aku. Aku akan mengantarkanmu," ujar Sasuke, merasa bersalah karena tidak fokus.
"Tidak, tidak perlu. Ini pesta orang tuamu. Kau harusnya ada di sini. Aku hanya ingin pamitan padamu. Dan aku minta maaf karena tidak bisa merasa nyaman pada keramaian ini."
Sasuke mengambil tangan Naruto sekali lagi untuk menuntunnya menuju mobil. Tangan Naruto yang sangat dingin, membuat Sasuke enggan melepaskan genggamannya. Hingga mereka telah mencapai mobil, membukakan pintu mobil, dan membiarkannya masuk dalam mobil.
Sasuke pun masuk dan mulai menyalakan mobil. Serta menyalakan penghangat untuk Naruto.
Mobil meluncur untuk meninggalakan hotel tempat pesta. Ditemani kekakuan dari kedua orang yang kini duduk bersebelahan, namun tanpa sedikitpun ucapan.
"Maafkan aku." Sasuke memulai percakapan.
"Hm?" tanya Naruto, bingung.
"Maafkan aku."
"Untuk?"
"Perlakuanku selama ini padamu," pengakuannya.
"Kenapa?" Naruto heran. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Sasuke tiba-tiba insyaf. "Kenapa tiba-tiba minta maaf?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ... aku bingung harus mulai dari mana."
Naruto ingat insiden pertemuannya dengan Fuji tadi. Mungkin Sasuke telah mengetahui kebenarannya dari Fuji.
"Mungkin mulai dari caramu menilai seseorang hanya dari rumor," kesimpulan Naruto.
Sasuke menelan ludah takut sekaligus malu dengan tindakannya selama ini.
"Mempercayai hingga dewasa, dan tidak memberikan kesempatan bagi seseorang untuk membuktikan bahwa dia tidaklah seperti bayanganmu."
"Aku salah," jawab Sasuke merasa bersalah.
"Fuji, aku tidak menyukainya. Dia teman yang baik bagi ... anggotanya. Tapi tidak bagi yang lain."
"Dia tidak seburuk itu," jawab Sasuke, tidak terima.
"Iya. Dia hanya buruk padaku."
"Kenapa kau berpikir begitu?" tanya Sasuke, tidak paham. Jelas-jelas Fuji menyatakan cinta padanya.
"Bukankah kau sudah mendengar apa yang ia katakana tadi. Dia menjelek-jelekan aku di depanmu."
"Tapi dia juga punya alasan melakukan itu."
"Tentu, karena dia membenciku," tukas Naruto, jengekel.
Sasuke terdiam sesaat.
"Iya. Fuji membencimu. Aku juga baru tahu tadi." Sasuke berbohong. Sasuke senang Naruto tidak mendengar pernyataan Fuji tadi.
"Jadi boleh kita mulai dari awal lagi?" lanjut Sasuke.
"Caranya?"
"Kita perbaiki hubungan kita." Sasuke antusias.
"Teman?" selidik Naruto.
"I-iya ...." Melihat ekspresi tidak setuju Naruto, Sasuke sedikit ragu untuk melanjutkan.
Naruto tersenyum kecut.
"Kau tahu itu tidak akan berhasil bukan? Hubungan kita terlalu rumit." Naruto masih memandang lurus ke depan, namun jari-jemarinya sibuk mengetuk-ngetuk pinggiran pintu mobil. Sambil menimbang-nimbang pernyataan yang akan ia lontarkan selanjutnya.
"Aku mencintaimu, Sasuke. Diantara cinta ini tidak mungkin ada yang namanya pertemanan atau persahabatan. Lupakan keinginanmu. Dan kita berjalan saja, sesuai rencana awal."
"Bagaimana bisa?! Bagaimana bisa kau mencintai dengan cara ini? Kau bahkan tidak keberatan kita akan bercerai nanti." tukas Sasuke tidak terima. Apa Naruto tidak ingin berjuang untuk mendapat apa yang dia inginkan?
"Seandainya aku bisa. Aku pun ingin tidak melakukan ini. Tapi siapa yang bisa mengendalikan rasa cinta? Ia datang dan pergi dengan sesuka hati. Yang selalu aku sesali, itu tidak kunjung pergi hingga saat ini. Jadi biarkan saja ia kecewa sedalam mungkin hingga tak punya kesempatan lagi untuk ingin Kembali," jawab Naruto santai.
"Kau ingin membunuhnya dengan pernikahan kita?" kesimpulan Sasuke, entah kenapa ia merasa tersakiti oleh kata-katanya sendiri.
"Iya." Diluar dugaan, Naruto mengangguk setuju pada pernyataan itu.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top