|Momok dr. Siyam|
Gadis yang memangku dagu kembali menguap tanpa menutup mulut. Sesekali ia membenahi letak kacamata lalu menggaruk tengkuk. Tampangnya sungguh ogah-ogahan dalam menyalin materi yang disampaikan melalui microphone.
Aula dengan kapasitas dua ratus mahasiswa itu terisi penuh. Tiga pendingin ruangan di kiri dan kanan cukup untuk mengusik fokus barisan paling belakang. Bangun dan datang terlambat membuat mereka tidak memiliki pilihan lain.
Alice kembali mendengkus. Penjelasan dokter tidak ada yang masuk ke otaknya. Kantuk yang menyerang plus jarak nan begitu jauh benar-benar perpaduan yang mantap. Lelah, ia pun menenggelamkan wajahnya di balik buku tebal.
"Lo kenapa, sih, Lis?"
"Ngantuk. Semalam begadang gara-gara ngelarin bahan kajian di ortom," keluhnya dengan mata tertutup.
"Ya udah, tidur, gih. Lola aja TA."
"Ck, geblek."
Gadis yang menggeleng takjub itu lekas melonggarkan ikat rambutnya. Ia benar-benar memejamkan mata dan menyamankan posisi. Toh, tidak ada yang memperhatikan keberadaannya.
Semester empat baru saja dimulai. Namun, Alice sudah dihajar dengan tiga blok superganas dari pagi hingga sore. Tanggung jawab sebagai pengurus organisasi pun turut menambah beban di otak, pundak, serta batinnya. Kalau saja beasiswa yang ia terima tidak menuntut nilai dan keaktifan yang apik, Alice tentu tidak mau repot-repot.
Setelah berjam-jam berkutat dengan perkuliahan dr. Siyam, ia dan dua kawannya pergi ke kantin untuk mencari amunisi. Sudah pasti bubur ayam Paklik Kardi-lah tujuan mereka.
"Dokter muda kalau jelasin enak, ya. Lebih detail, gak kayak profesor sebelah," ucap Maya sambil meletakkan buku paket dan ransel di atas kursi.
Alice yang bolak-balik membawa pesanan itu duduk dengan kesal. "Kalau ganteng aja kenceng lo."
"Ye, kan, beneran gitu, Lis."
"Tapi kata kakak tingkat, beliau pelit nilai. Dapet B aja syukur." April tidak mau kalah.
"Sumpah?" seru Alice tak percaya.
"Iya. Mungkin karena penjelasannya enak, jadi kudu ada bayaran yang setimpal juga. Sekali ekspektasi gak kebayar, ya ambyar."
Salah satu penganut bubur diaduk itu menelan ludah. Mampus, batinnya. Alice segera menenggak es jeruk yang ia beli di kedai yang sama hingga separuh gelas. Sayang, degup jantungnya tetap tak keruan. Sampai-sampai keringat pun berdatangan di kedua telapak tangan.
"Lo jangan nakut-nakutin gitu dong, Pril. Beasiswa gue apa kabar kalau dapet C?"
"Gue gak ngibul, Lis. Kalau gak percaya, survei aja sana."
"Sial, mana gue gak begitu paham lagi sama materinya."
Alice mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan lalu membenturkan dahinya ke meja. Maya dan April yang melihat hal itu hanya bisa menggeleng. Mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pulang seperti mereka tidak ingin sok tahu, apalagi ikut campur.
"Tenang, Lis. Lo, kan, pinter. Pasti bisa ngejar ketertinggalan, kok. UTB masih dua minggu lagi."
"Kampret, malah diingetin. Kalau belum beres beneran bisa end game, nih."
April terkekeh hingga hampir terjungkal. Geram, Alice berkali-kali memukul kepalanya menggunakan sendok. Namun, seketika ia berhenti saat ponselnya terus bergetar. Pesan yang muncul di notifikasi lekas membuatnya menyudahi suapan.
"Bayarin, ya. Gue ke sekret dulu."
Tanpa mendengar respons sahabatnya, Alice meraih tas dan amplop cokelat besar yang ia bawa dari indekos. Langkahnya tergesa-gesa berkat suara Maya yang kian melengking. Ia pun tertawa sambil mengangkat jempol.
Jarak dari kantin ke Student Center Kampus II tidaklah jauh. Tempat ini memang tidak begitu besar karena hanya dihuni bersama Fakultas Kesehatan, sedangkan fakultas lain ada di Kampus I dan III.
Gadis itu lantas memperlambat langkah saat harus menaiki tangga. Memang sial, gedung ini tidak memiliki lift seperti gedung perkuliahan yang lain. Sesampainya di lantai tiga, Alice lekas menghela napas lega.
"Siang, Bang," sapanya tanpa mengetuk pintu.
"Akhirnya nyampek juga. Gimana? Udah selesai?"
"Beres, kok."
Gadis berkulit putih yang bermandikan keringat itu menyerahkan amplop berisi sepuluh lembar materi diskusi ke ketua bidang keilmuan. Ia kemudian duduk bersandar pada dinding dan menatap langit-langit. Pikirannya kosong, entah ke mana.
"Lo kenapa? Stres gara-gara ginian?" tanya sang senior.
"Enggak, Bang. Lagi mikir aja. Kuliah padet banget. Bisa-bisa Alice gak aktif lagi di sini."
"Terus lo mau ngapain? Nyari ilmu di kelas doang itu gak cukup," tegur gadis yang sibuk mengetik di depan laptop.
Kesal, Alice bangkit dan duduk di sebelah mereka. "Tadi ketemu neuropsikiatri ngeri sendiri, Mbak. Kata temen, dr. Siyam pelit banget."
"Emang iya. Gue dulu dapet B."
"Bang Jo dapet B? Terus Alice dapat apa, dong?"
Gadis itu semakin gila. Matanya bahkan berkaca-kaca seakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia lekas bersandar pada bahu kakak tingkat di sampingnya tanpa permisi.
"Santai aja, temen Mbak kemarin dapat A, kok."
"Hah, serius? Caranya?"
"Nanya langsung aja, ntar gue kenalin."
Senyum yang terpendam sejak beberapa jam lalu itu kian mengembang. Alice segera berterima kasih, meski belum mendapatkan apa-apa. Setidaknya, hari ini ia bisa tidur dengan tenang.
Π
Suara game yang muncul dari ponsel anak bertopi di ujung kamar kian mengganggu. Sudah tiga kali ia ditegur pasien lain untuk mengecilkan volume. Bosan, Redi lekas mengambil earphone dan memakainya.
"Selamat siang."
Meski samar, laki-laki itu tetap mendengarnya dan refleks menoleh. Hah, dokter dan kumpulan anteknya sudah datang, keluhnya dalam hati. Belum ingin berurusan, Redi pun berbaring dan memiringkan tubuh, membelakangi dokter yang sedang memeriksa sekaligus melakukan bed side teaching.
Satu per satu pasien telah diinterogasi. Tentu, sebentar lagi gilirannya, mengingat kamar ini hanya berisi enam orang. Namun, Redi tetap bergeming di balik selimut tipis yang menutup sampai kepala.
"Siang, Redi. Gimana kabarnya hari ini?"
Sang empunya nama berpura-pura tidur. Permainan di depannya lebih seru untuk diselami.
"Keluhan terakhir apa, Ners?" tanya sang dokter pada perawat di samping, sedangkan lima mahasiswa di belakangnya bersiap untuk mencatat.
"Selera makannya berkurang, Dok. Pasien semakin susah melakukan pergerakan, perutnya bengkak dan keras saat disentuh."
Dokter berambut minimalis itu menoleh dan menautkan tangannya di belakang punggung. "Redi ini pasien neuroblastoma. Menurut kalian, gejala tadi tanda apa dan mengapa pasien bisa demikian?"
Seorang gadis yang memakai jas laboratorium mendekat dan mengangkat tangan. "Em, dari paparan itu, menurut saya gejala letak tumor yang ada di perut, Dok."
Kening Redi lekas bertaut saat mendengar ke-soktahu-an gadis yang menurutnya masih di umur 20-an tersebut. Ia semakin geram sebab mulut itu tak berhentinya menyampaikan spekulasi yang begitu ngawur dan dibuat-buat, seakan ingin menunjukkan betapa pintarnya ia dibanding yang lain. Semakin kesal, Redi sampai mencengkeram seprai dan menggigit bibir.
"Kakak semester berapa, sih?" tanyanya lirih.
"Iya?"
Redi segera menyibak selimut lalu bangkit, mencari suara yang mendidihkan kepalanya. Namun, tidak ada tatapan mata yang bisa ia terjemahkan. Dokter dan perawat yang mendampingi mahasiswa-mahasiswa itu pun ikut menunggu.
Tanpa basa-basi, ia kembali mengoceh, "Kakak mahasiswa, kan? Semester berapa? Atau udah lulus dan lagi koas?"
"Tiga kakak ini koas, saya semester empat dan yang satunya semester enam."
Waw, Redi berdecak kagum. Ia menyeringai saat sosok yang dicari sangat percaya diri dalam mengungkap identitasnya. Ia lantas bertepuk tangan dan mengangguk-angguk.
"Keren, keren. Semester empat udah bisa sotoy kayak gini."
"Maaf?"
Laki-laki yang duduk bersila sambil menopang dagu itu tersenyum. Matanya fokus membaca name tag yang tersemat di jas gadis tersebut. Redi berusaha menahan tawa sambil membenahi beanie hat hitam favoritnya.
"Untung perjalanan Kakak masih jauh, ya. Kalau calon dokter kayak begini, bisa mati muda pasiennya."
Tak terima, gadis itu mengepalkan tangannya. "Maksud Anda apa, ya?"
Dokter dan perawat yang ada di sana tak berkutik--tidak berusaha menengahi--begitu pula mahasiswa dan pasien lain. Mereka tenggelam dalam suasana intens yang menarik. Aksi saling tatap antara dua insan berbeda umur dan posisi itu cukup asyik untuk diikuti.
"Emang kurang jelas, ya? Kan keluhannya semakin susah bergerak, yang menjurus ke kanker di tulang belakang. Gejala di perut itu muncul karena metastasis. Gitu aja gak ngerti."
Kalimat terakhir Redi sangatlah menampar hingga perawat yang memegang laporan menyentuh pundaknya untuk berhenti. Namun, anak itu lekas menyingkirkannya dan meletakkan telunjuk di depan bibir. Sekali berbicara, ia tidak mau diinterupsi. Penghuni kamar yang telah terbiasa dengan situasi ini hanya bisa tertawa kecil.
"Besok belajar yang lebih giat, ya ..., Dokter Alicia Viranda."
Redi melakukan hi5 pada dokter yang masih tersenyum. Kemudian kembali tidur dan memakai earphone. Ia sedikit melirik saat kumpulan manusia berjas putih itu keluar ruangan. Punggung terakhir yang lenyap dari pandangan meninggalkan bekas yang cukup mengusik alam pikir.
Ia pun mendengkus dan mengangkat ponsel tinggi-tinggi. Permainan yang terabaikan itu berakhir dengan kekalahan. Sontak, raut wajah gadis yang berkaca-kaca setelah mendengar ucapannya itu mengisi layar. Redi buru-buru menelan ludah dan mengalihkan pandangan.
"Menarik, sih, tapi terlalu ambis."
Rien's Dictionary:
Bed Side Teaching: pembelajaran yang dilakukan langsung di depan pasien
Blok: sistem perkuliahan yang diterapkan di fakultas bidang kesehatan, seperti kedokteran.
Metastasis: penyebaran kanker dari situs awal ke tempat lain di dalam tubuh
Neuroblastoma: kanker yang bermula dari neuroblast atau sel-sel saraf yang belum matang
Neuropsikiatri: cabang kedokteran yang mempelajari gangguan jiwa yang diakibatkan penyakit dalam sistem saraf
Ortom: organisasi otonom
TA: titip absen
UTB: ujian tengah blok
~ 3 Juni 2021 ~
Pemanasan dulu 😎
Sabar, ya, Lis. Masih awal.
Kamu juga sabar, ya, Ganteng. Nungguin aku gak lama, kok 🙈
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top