|Ketemu Lagi|

Tiga gadis yang telah menanggalkan jas laboratorium tergopoh-gopoh saat melihat lambaian tangan di pojok kanan. Live music yang ada di pusat kafe menyamarkan teriakan mereka. Meski tergesa, langkah kaki tetap berhati-hati sebab suasana tempat ini sedikit remang. Lampu kuning yang menggantung di atas setiap meja tidak begitu membantu.

"Alice!"

Sang empunya nama tersenyum kilas. Setelah sampai, ia lekas menghela napas lalu menyalami ketiga kakak tingkatnya. Maya dan April yang mengikuti di belakang turut melakukan hal yang sama. Alice segera duduk dan meletakkan ransel yang beratnya hampir dua kilo.

"Udah lama, Bang, Mbak?" tanyanya setelah menelan ludah.

"Gak, kok. Pesen apa? Bang Jo yang bayarin."

"Pinter memang lo, Rim."

"Sekali-sekali, Bang."

Alice berkedip manja saat dua senior satu organisasi itu mendebatkan barang gratisan. Ia tersenyum lebar saat mata Jo bertemu dengannya. Walau sedikit mendesah, laki-laki itu tetap mengangguk dan mempersilakan Alice serta kawan-kawannya untuk memilih minuman mereka.

"Makasih, Bang."

Setelah memesan dua greentea latte dan satu cappucino float, Alice mengeluarkan catatan kecil dan pulpen kapsul dari kantong tas. Ia telah siap menulis segala macam rentetan tip yang akan ia dengar. Gadis itu lantas memandang Rima, kakak tingkat yang hendak mengenalkannya dengan sosok berkacamata kotak yang menyeduh kopi hitam. Sungguh selera yang unik untuk seorang perempuan di umur 20-an.

"Ok, kenalan dulu, ya. Ini teman Mbak yang dapat A di neuropsikiatri dulu, Lis, namanya Cici."

"Halo, Kak." Dengan kikuk, Alice mengulurkan tangannya.

Gadis yang mengusap rambutnya hingga ke belakang itu lantas menyambut tangan Alice dan tersenyum manis. Seperti biasa, Maya dan April turut berkenalan serta bersalaman. Malam ini, misi mereka hanya menemani sekaligus menyimak obrolan sahabatnya.

"Rima udah cerita apa aja sama lo?" tanya Cici to the point.

Alice tak segera menjawab sebab pelayan kafe tiba-tiba menyebut nama pesanan seraya meletakkannya di atas meja. Sebelum berbasa-basi, ia lekas mengambil alih cangkir tersebut lalu minum terlebih dulu. Berjam-jam mengikuti pleno tanpa setetes air sedikit pun membuat kerongkongannya kering.

"Maaf, Kak, haus." Gadis yang mengucir rambutnya di kedua sisi itu mengusap mulut menggunakan tisu. "Mbak Rima belum cerita apa-apa. Cuma bilang kalau Kakak dapat A. Boleh cerita gak, Kak? Alice pengin dapat nilai bagus di matkul ini. B+ minimal."

"Kalau mau dapat A dari dr. Siyam, lo kudu kunjungan ke klinik miliknya. Dulu, sih, gue direkomin sama senior. Kalau lo, atau kalian mau juga, gue bisa calling ners di sana buat bantu ngajuin."

Alice, Maya dan April saling pandang. Terdengar mudah, tetapi membingungkan. Mereka lantas menopang dagu dan kompak menatap Cici tanpa jeda.

"Kunjungan gimana maksudnya, Kak?"

"Gue gak bisa bilang banyak, Lis. Karena sejauh ini, nasib tiap mahasiswa beda-beda. Apa yang gue alami dan kakak tingkat yang rekomin gue aja beda. Bisa jadi lo entar beda juga."

Dahi Alice seketika berkerut. Kunjungan macam apa ini? Otaknya seakan tak bisa mencerna. Ia kembali meminum secangkir greentea hingga tinggal 3/4. Maya dan April sama-sama mengatakan 'tidak' saat mendengar ketidakpastian tersebut. Mereka malas membuang waktu dengan hal yang terlihat main-main.

"Intinya, masalah bakal ngapain itu biar perawat di sana yang jelasin, daripada gue sotoy, kan?" sambung Cici saat menyadari tiga juniornya bungkam.

Alice menggaruk kepalanya. Ia benar-benar dilema. Di satu sisi, ia malas dengan dunia luar yang tidak diwajibkan oleh pihak kampus. Terlebih jika kegiatan non fakultas tersebut masih abu-abu seperti ini. Namun, di sisi lain, ia tidak mau menyerah begitu saja karena beasiswanya yang menjadi taruhan.

"Coba aja dulu." Jo ikut meyakinkan.

"Emang datang ke sana buat nanya-nanya dulu gak apa-apa, Kak?" tanya Alice serius.

"Gak masalah, kok."

Kali ini Alice menatap Jo dan Rima bergantian. Ia butuh pertimbangan. Seperti yang ia duga, sejoli itu hanya mengangkat alis seraya tersenyum. Alice pun mengembuskan napas panjang kemudian mengangguk. Memang pilihan apa yang dia miliki saat ini, selain mengiakan segalanya?

"Oke, Kak."

Beberapa hari berikutnya--mengingat jam kuliah semester empat dan enam tidaklah sama, Alice kembali menemui Cici. Kali ini ia datang sendiri dan menunggu di parkiran fakultas kedokteran. Berkali-kali ia melihat arloji di pergelangan tangan kanan, memastikan jarum jam telah menunjukkan pukul yang tepat. Namun, seniornya belum juga muncul.

"Kak Cici mana, ya? Masak dokternya molor?" monolog Alice saat kaki mulai pegal berdiri.

Gadis itu lekas berjongkok, bersandar pada mading yang ada di tengah tempat parkir. Ia mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan ke kedua sahabatnya. Jujur, Alice masih kesal karena dibiarkan menjelajah sendiri di antah berantah. Ia benar-benar tidak percaya, dua gadis yang sejak semester pertama membuntutinya itu menyerahkan segala keingintahuan mereka pada Alice.

"Ish, panas!" keluhnya sembari mengipasi wajah.

"Sori, Lis. Lama, ya?"

Mendengar namanya disebut, Alice lekas mendongak dan mengucap syukur. "Akhirnya, Kak Cici. Enggak, kok, Kak. Gak lama."

Bohong sekali. Alice telah menanti selama hampir setengah jam. Namun, ia tidak ingin Cici merasa bersalah.

"Ya udah, langsung ke sana aja, yuk."

Alice menurut. Ia mengikuti langkah Cici menuju motor bebeknya. Setelah mengenakan helm, mereka melenggang meninggalkan kampus. Tidak memakan banyak waktu, keduanya tiba di tujuan setelah 15 menit menyusuri lalu lintas yang sedang bersahabat.

Gadis yang merapikan rambut menggunakan sela-sela jarinya itu terbelalak. Bahkan mulutnya sontak terbuka. Tidak lebar, memang, tetapi tetap terlihat konyol. Alice berkedip linglung saat mendapati dirinya tengah di tempat perawatan pasien kanker.

"Lis?"

Pemilik nama tersebut masih sibuk menelan ludah. Tempat ini tidak pernah terbersit dalam benaknya. Alice lekas menggeleng dan menghampiri Cici.

"Ini tempatnya, Kak?"

"Iya, kenapa?"

"Alice pikir bakal ke RSJ atau hal-hal yang nyinggung neuropsikiatri gitu."

Cici tersenyum lalu menyentuh pundak adik tingkatnya. "Nanti lo bakal tahu sendiri. Masuk, yuk."

Alice mengangguk. Ia lekas memasuki pekarangan bangunan kuno. Halaman yang memiliki pohon besar, dua ayunan dan tiga kursi panjang itu cukup luas. Gedung bercat putih dan bertiang kayu itu tampak 11/12 dengan latar film horor. Membayangkan saja membuat Alice bergidik merinding.

Langkah mereka sontak berhenti saat seorang remaja yang mengenakan hoodie dan beanie hat berdiri di ambang pintu. Alice menajamkan penglihatan saat anak bertubuh kurus serta berkulit pucat tersebut menatapnya kaget. Detik berikutnya, seringai remeh yang disertai tawa itu membuat memori Alice tercerahkan.

"Lo!" seru mereka kompak.

Cici terperanjat saat Alice berteriak sambil menunjuk anak yang ia duga merupakan salah satu pasien di sini. Gadis itu segera menarik tangan Alice untuk kembali melangkah. Namun, yang diajak tetap bergeming dengan hidung kembang kempis.

"Wah, takdir banget. Gak di RS pun, gue ketemu sama calon dokter abal-abal lagi."

Kalimat itu membuat Alice sontak mencengkeram paha. Mulutnya terkunci sebab Cici terus menarik, bahkan seolah menyeretnya untuk masuk ruangan, meninggalkan pasien kanker super-resek tempo lalu.

"Awas lo," ucapnya pelan sambil mengangkat kepalan tangan.

Fix, tanpa banyak pertimbangan, Alice tidak akan mengiakan segala tawaran untuk mengunjungi tempat ini (lagi). Persetan dengan jaminan nilai A. Ia akan mendapatkannya tanpa harus bersusah payah alias berurusan dengan cowok tengil plus ngeselin tersebut.

Untuk yang satu ini, Alice benar-benar berdoa pada Tuhan. Semoga nasib baik masih bersamanya.

Π

Redi ogah-ogahan saat menyantap makan siangnya. Lidahnya semakin hambar. Ia sangat tidak nafsu. Namun, tubuhnya perlu diisi sebelum dijejali berbagai pil dan cairan kemoterapi.

Seorang perawat pun menghampirinya sambil membawa nampan. Meski tempat lain masih banyak yang kosong, ia memilih untuk duduk di depan anak yang tengah memainkan nasi dan sayurnya.

"Kenapa? Gak mood, ya?"

"Enggak, kok, Ners Sukma." Redi menggeleng lalu menyuapkan separuh sendok. "Mungkin karena baru makan di sini, jadi rasanya asing."

"Jadi penasaran, kenapa akhirnya kamu setuju dirawat, Red?" heran perawat sekaligus ibu dua anak tersebut.

"Mama yang minta. Katanya lebih tenang kalau Redi tinggal di sini."

Ners Sukma langsung mengangguk, tidak ingin bertanya lagi. Ibu Redi memang salah satu petugas medis di sini. Berhubung tempat ini serupa dengan panti, jam kerja pun seakan 24 jam. Mungkin wanita itu lebih nyaman jika sang anak tinggal di dekatnya.

"Eh, kamu kenal sama mahasiswa tadi? Ners liat kalian sempet ngobrol di depan."

Redi hampir tersedak saat ditanya demikian. Kenal? Tentu saja tidak. Ngobrol dengan gadis ambisius yang sok pintar itu? Hah, boro-boro. Mengingat mukanya saja Redi sudah menghela napas panjang.

"Enggak, Ners. Mana mungkin kenal. Mau ketemu di mana juga," kilahnya.

"Ya, barangkali. Dia mahasiswanya dr. Siyam. Tadi nanya-nanya masalah relawan di sini."

Sudah Redi duga, kedatangan mahasiswa di semester genap pasti ada hubungannya dengan pemilik sekaligus pendiri tempat ini. Ia pun mengangguk dan sedikit berpura-pura antusias.

"Iya? Terus jadi, gak?"

Ners Sukma menggeleng, "Belum tahu. Katanya, masih mikir-mikir dulu."

"Kalau jadi, Redi siap menjadi tutor plus tour guide dia, Ners."

Wanita yang telah menyelesaikan separuh piringnya itu berhenti mengunyah kemudian tersenyum. Ia sedikit tertawa saat Redi mengatakan kalimat tersebut dengan bangga. Ners Sukma lekas meraih tangan Redi dan menepuk-nepuknya.

"Iyain, deh. Ners dan dr. Siyam udah percaya seribu persen sama kamu."

Senyum Redi merekah. Seketika nafsunya meningkat. Ia lekas melahap makanannya sambil membayangkan wajah gadis yang tampak dua-tiga tahun lebih tua darinya itu.

Yes, gue berdoa, sebentar lagi kita bisa bermain-main di sini.

Rien's Dictionary:

RSJ: rumah sakit jiwa

~5 Juni 2021~

Sibuk ngedit, sibuk revisian 😎

Kalau ada istilah asing yang pengin dimasukin kamus, komen aja, ya.

Enjoy 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top