- • Welcome to Wonderland • -
Negeri Ajaib tidak seindah yang dijelaskan di dalam buku. Seharusnya Esme sudah tahu tentang itu sejak awal.
Entah sudah berapa banyak buku-buku fiksi yang diadaptasi menjadi film dan berakhir jauh dari ekspektasinya. Esme mengira "kecelakaan" semacam itu terjadi karena kurang riset. Mungkin memang perlu ada lokasi sungguhan yang dideskripsikan dalam buku, agar orang-orang tidak salah kaprah dan membuat pembaca kecewa, dan malah menggagalkan produksi mereka.
Namun, hari ini Esme ditampar fakta pahit; bahwa turun ke bawah tanah untuk melihat Negeri Ajaib secara langsung rupanya tidak lantas membuat buku dan dunia aslinya akan terlihat sama.
Entah karena si penulis kurang melakukan riset, atau mungkin dunia khayalannya yang memberontak.
Memang benar ada makhluk-makhluk yang tidak bisa disamakan dengan manusia biasa, tetapi yang menjadi perhatian gadis itu kali ini adalah suasana yang tersebar di sekitar. Dalam radius yang tidak kecil, hawa yang tersebar rasanya dingin, beku, dan suram. Langit tak sebiru yang dideskripsikan Lewis Carroll. Awan-awan kelabu bergemul di atas, berdesak-desakan. Sekarang gadis itu mulai bertanya-tanya apakah salju yang akan turun atau malah tetesan air hujan.
Mungkin karena musim dingin.
Tadinya Esme berpikir demikian, sebelum tiba-tiba hawa ganjil tak bersahabat menyapu tengkuk lehernya.
Belum selesai pemikiran aneh-anehnya berputar di kepala, Esme kembali dikejutkan—atau disadarkan, karena mungkin sejak tadi dia melamun—dengan keberadaan seorang gadis manis berpotongan rambut pendek tak kalah manis.
Ada sebuah bando putih melintang di kepalanya, yang jelas terlihat kontras karena warna rambutnya jauh lebih gelap: hampir persis sama dengan warna arang, bedanya yang ini sedikit lebih terang. Simbol keriting hitam kecil pada tulang pipi sebelah kirinya membuat Esme mati-matian menahan diri untuk tidak mengernyit. Dia yakin pernah melihat bentuk itu dalam kartu remi.
Apa itu? Tato?
"Selamat datang di Negeri Ajaib! Senang melihatmu tiba!"
Kalau memang begini rasanya dilambungkan tinggi-tinggi ke langit, maka itulah yang mampu Esme deskripsikan. Kalimat itu memiliki kesan seolah-olah kedatangannya sudah dinanti-nanti sejak lama.
Padahal mereka belum pernah bertemu, dan Esme bahkan sangsi bahwa gadis di depannya juga berasal dari London. Karena tanpa bantuan cermin pun Esme tahu bahwa tipe wajahnya dengan wajah si gadis berambut pendek sudah jelas berbeda.
Meskipun begitu, gadis ini—yang tiba-tiba berlari menghambur padanya tanpa takut tergelincir di atas es—dan tiga orang di belakangnya muncul dari dalam sebuah bangunan megah hanya untuk menyambutnya.
Rasanya aneh.
Rasanya ... menggelitik.
"Kau baik-baik saja?"
Esme tersentak. Mata si gadis manis yang tak lebih besar dari matanya tengah menatap Esme lekat-lekat.
"Oh, tatapan itu—aku tahu rasanya. Pasti kau merasa aneh, bukan? Suatu hari muncul seseorang bersetelan rapi yang menawarkanmu ini-itu, lalu tanpa sadar kau sudah terhasut olehnya. Dan saat kau memejamkan mata lalu membukanya lagi, kakimu sudah memijak tanah sebuah negeri yang sebelumnya hanya bisa kau lihat di buku dongeng," celoteh si gadis. Matanya yang sewarna kopi susu berusaha diam-diam melirik pemuda tak bertopi tinggi yang berdiri di belakang Esme. "Apalagi kalau pemuda yang mendatangimu adalah yang itu. Rasanya pasti menyebalkan, ya?"
Esme mengangkat alisnya tinggi-tinggi, dan tanpa ragu dia mengangguk dua kali. Siapa pun yang berani mengejek Ruviane bersamanya adalah ciri-ciri sekutu yang hebat.
"Setuju. Dia menyebalkan."
Ruviane merengut di belakang bahunya. "Hei."
"Oh!" Gadis itu tergelak. Suasana dingin nan janggal mendadak tersingkirkan sekilas, berubah menjadi lebih hidup dalam hitungan detik yang singkat.
Esme menatap langit yang mendadak cerah sebentar di atas kepalanya. Kedua alisnya bertaut keheranan karena jelas sekali awan-awan kelabu itu bergeser dan hanya menampakkan matahari kepada mereka.
Tak lama kemudian awan-awan itu bergerak lagi, menghalangi sinar matahari, dan langit kembali kelabu.
Lalu perlu Esme tekankan, bahwa matanya sungguh-sungguh melihat awan bergeser membuka, kemudian bergeser menutup. Konsepnya persis sama dengan tirai. Bukan bergeser lalu diganti dengan awan lain karena ditiup angin.
Memang benar Esme sering mengantuk ketika pelajaran ilmu alam, tetapi gadis itu berani bersumpah bahwa dia tidak selugu itu untuk menganggap awan yang sama bergeser ke tempat semula adalah hal yang bisa dijelaskan secara ilmiah.
[Gadis di depanmu itu adalah Alice musim panas dua tahun belakangan ini.] Esme melirik ke balik bahunya, mendapati Ruviane tengah mengarahkan pandangan ke langit, kemudian turun ke arah si gadis berambut pendek manis yang kini tengah menoleh ke balik bahunya; menghadap persis ke arah seorang pria berambut putih yang mengenakan setelan sama dengan Ruviane. [Itulah kenapa langit cerah memihaknya, walaupun di musim ini pengaruhnya tidak terlalu besar karena kau yang mendominasi.]
Esme berkedip. Masih salah fokus dengan rambut putih Ruviane yang kalah jumlah dari yang hitam. Yah, lagipula salju di tengah cerahnya matahari memang terlihat aneh, jawab Esme di dalam hati sembari menurunkan pandangan, menyaksikan gelagat si gadis manis.
"Cal, aku boleh berteman dengannya, 'kan?"
Pria berambut putih di sana menghela napas keras seraya memjiat pangkal hidung. Sekilas air wajahnya menunjukkan tanda-tanda lelah, tetapi dalam sekejap ekspresinya berubah menjadi lebih ramah.
"Tidak ada yang bisa mencegahmu, kurasa," dia menjawab.
Si gadis manis sontak tersenyum lebar nan puas sambil bertepuk tangan.
"Baiklah," katanya cerah ceria. "Namaku Anya McDough, tapi kau cukup memanggilku Anya saja. Senang bertemu denganmu, um ...?"
Esme berdeham kecil, berusaha mengembalikan suara sebelum menjawab.
"Esme," dia membalas singkat saja. "Senang bertemu denganmu juga, Anya."
"Esme, ya?" Anya menelengkan kepala. "Itu saja namamu?"
"Oh." Esme bersemu malu. "Esmephia Sonata. Tapi tolong, panggil aku Esme saja sudah cukup."
Cengiran Anya timbul bak lampu yang baru dinyalakan. "Dimengerti, Bu."
Esme menarik senyum kecil nan sopan. Bergantian dia tatap sosok Anya dengan pemuda berambut putih di sana.
Entah si gadis yang terlalu muda atau jangan-jangan si pemuda yang memang lebih tua, visual mereka di mata Esme mirip seperti seorang keponakan dan paman favoritnya.
Oh, tentu saja dalam sekejap Esme paham bahwa pemuda itu adalah penanggung jawab Anya. Sama seperti hubungannya dengan Ruviane.
Apa namanya tadi? Sarden?
"PFFTT—!"
Esme terlonjak, si gadis berambut pendek ikut-ikutan—keduanya terperanjat begitu Ruviane tersedak dan bergegas memunggungi mereka dengan mulut terkatup tangan dan bahu bergetar.
Esme melotot. Baru sadar bahwa isi pikirannya sampai kepada si pemuda bertopi tinggi yang kini kehilangan topinya.
Tatkala tatapan mereka bertemu, mata safir Esme memicing tajam; memberikan peringatan kepada si netra semerah batu rubi yang memiliki genangan air mata lantaran menahan tawa histeris.
Ruviane kemudian berdeham. Berdiri lebih tegap dan sopan dari yang sebelumnya.
"Dengan segala hormat, maaf karena telah menyela pembicaraan kalian, tapi Nona Sonata pasti sangat kelelahan dan butuh istirahat sebelum beradaptasi dengan dunia ini. Oleh karena itu, aku akan membawanya ke dalam." Ruviane menuturkan, dan sebelum siapa pun balas menyela ucapannya dia buru-buru menambahkan, "Ke ruanganku, tentu saja. Isabel pasti sudah menyeduh teh, menyiapkan bantalan di atas sofa, dan juga menebarkan selimut tebal untuk membuatnya merasa hangat."
Esme melengos. Sebelumnya dia tidak merasa selelah itu sampai Ruviane menyebutkan bantal dan selimut.
Tidak seperti Esme yang lega mendengar kata "istirahat", Anya justru melengos kecewa. Bibir mungilnya bahkan cemberut terang-terangan. "Tapi—"
"Dia benar, Anya." Pemuda berambut putih akhirnya angkat suara. "Biarkan mereka beristirahat. Kau tahu rasanya."
Selama tiga detak jantung penuh gadis itu menatap si pemuda berambut putih tanpa berkedip. Begitu nyaris genap sampai detakan keempat, barulah Anya menghela napas lalu mengambil satu langkah ke belakang. Sebuah gestur kecil yang menandakan bahwa dia siap melepas teman barunya dan mengizinkan mereka undur diri.
Esme tercenung melihat gerakan Anya yang anggun di balik mantel jubah tebal. Namun, dengan cepat Esme tersadar lagi begitu Ruviane mendekat ke sisinya sambil menawarkan lengan.
"Ayo?"
Tidak bisa—dan tidak ingin—menolak demi alasan tata krama, akhirnya Esme pasrah berpegangan pada lengan kokoh Warden-nya, dan berakhir mengangguk kecil sebagai bentuk pamit kepada si gadis bertato di pipi.
Diam-diam Esme mencuri pandang ke balik bahunya; Anya dan pemuda itu tampak berbincang, kemudian si pemuda menawarkan lengan dan si gadis bertato di pipi itu langsung menyambut lengan prianya dengan sumringah. Setelah itu mereka berjalan beriringan menjauhi kerumunan kecil ini, entah ke mana.
Tepat sebelum Esme menarik napas untuk bersiap melewati pintu masuk, langkah kaki Ruviane justru berhenti.
Maka gadis itu turut berhenti, mengangkat pandangannya, memperhatikan Ruviane mengangguk sopan kepada seorang wanita lainnya yang sejak tadi hanya diam menonton.
Esme mengangkat alis. Ruviane yang biasanya tengil di sana-sini mendadak kalem dan santun adalah sebuah pemandangan baru dan ... sakral.
Bak angsa putih di atas kolam susu, wanita itu balas mengangguk, poninya meluruh sedikit, kemudian dia tersenyum. Senyumannya selembut sutra, semanis gula, sehangat mentari terbit di ufuk timur.
Bila Esme adalah juri kontes kecantikan dan keanggunan, dia tidak akan ragu untuk menjadikan wanita ini sebagai pemenang utama selama beberapa periode berturut-turut.
"Selamat datang. Kalian pasti lelah sekali, ya," ucapnya lembut. "Halo, Nona Sonata. Namaku Aletta Yumiya, satu dari beberapa teman barumu di sini. Senang bertemu denganmu."
Esme berdiri tegap. Berusaha untuk tidak terang-terangan bergidik karena suara wanita itu pun membuat telinganya meringis geli.
"Senang bertemu denganmu juga, Nyonya Yumiya."
"Oh, ya ampun." Senyumannya semakin merekah. "Aletta saja sudah cukup. Tidak perlu embel-embel lainnya lagi."
Esme mengulum senyum. Sel-sel kepalanya berusaha mengirimkan sinyal komunikasi ke kepala Ruviane. Dia berkata yang sebenarnya atau hanya sekadar basa-basi untuk beramah-tamah?
[Dia serius, tapi kusarankan untuk tetap menghormatinya.] Ruviane menoleh sekilas kepada Esme seraya memberikan tepukan halus yang singkat pula pada jemari nonanya.
"Terima kasih, Nyonya," balas Ruviane. "Agak mengejutkan melihat Anda ikut keluar menyambut kami yang tiba-tiba muncul. Dalam keadaan berantakan pula."
"Ruv, kau terlalu kaku." Wanita itu tertawa. Anting-antingnya berkilauan saat kepalanya miring ke satu sisi. "Kalau begitu beristirahatlah. Masih ada beberapa jam sebelum makan malam. Semoga dengan adanya nona ini di sini, kau akhirnya ikut keluar untuk makan malam. Sudah lama sekali sejak kau melakukannya, bukan?"
Esme melirik pemuda di sampingnya; Ruviane terkekeh.
"Akan kucoba," katanya. Lalu dia menoleh ke satu sisi. "Melv, bisa bantu aku?"
Sosok pemuda yang satu lagi—yang sejak tadi belum bersuara sama sekali—tersentak di tempat sebelum mengambil langkah mendekat. Sama seperti pemuda berjas lainnya, dia juga mengenakan topi tinggi berwarna hitam. Satu-satunya yang membedakan hanyalah tipe rambutnya; mencuat-cuat nakal seolah berusaha lolos dari kurungan topi.
"Ya, apa?"
"Pinjamkan aku topimu."
"... Ya?"
Ruviane berdecak lidah. "Topimu."
"Ya, aku dengar itu. Untuk apa?"
"Menurutmu untuk apa?"
Pemuda itu—Melv mungkin adalah namanya—mendecak-decakkan lidah sejenak. Tampak menimbang-nimbang pilihan terbaik, atau mungkin sedang bimbang akan merelakan topi tinggi cantiknya kepada orang lain atau tidak.
Meskipun pada akhirnya dia tetap melepas topinya dengan enggan.
Sejenak Esme merenung. Atas dasar apa orang ini mudah menurut padamu? Hubungan pribadi? Tingkat jabatan? Korban perundungan dan keisenganmu selama bertahun-tahun lamanya?
Ruviane menarik senyum miring. [Percayalah, Nona, aku tidak seburuk itu.]
Ketika Melv mengangkat topinya, Esme menahan diri untuk tidak bersiul dan menyebutnya sebagai korban sambaran listrik. Rambut Melv yang sewarna dengan topi dan jas yang dia kenakan itu ternyata memang mencuat nakal.
"Entahlah, Ruv. Rambutmu bagus dan kau tahu itu. Kenapa harus menyembunyikannya lagi?" Melv menyodorkan topinya. Mata emasnya bertemu dengan mata Esme, dan dalam sekejap tatapannya berubah menjadi sorot meminta dukungan. "Iya, 'kan? Rambutnya bagus, 'kan?"
Esme berkedip. Agak tidak menyangka atas apa yang dia lihat.
Padahal dia mengira bahwa sifat para Warden mirip-mirip; sama-sama kalem, sama-sama bersahaja.
Nahas, karakter si Melv ini langsung menghancurkan ekspektasinya dalam sekejap.
"Yah ...," Gadis itu melirik, mencoba untuk fokus kepada rambut Ruviane saja, tetapi tatapan merah rubi pemuda itu mengganggu konsentrasinya. "Aku tidak menyangkal, sih," katanya kemudian.
Melv melakukan dua hal secara bersamaan: mendengkus dan bersedekap. "Dua lawan satu, Ruv. Kembalikan topiku."
"Tidak sampai aku kembali ke ruangan. Kau tidak tahu rasanya ketika para orang tua bau tanah itu membicarakan hal yang sama berulang kali hanya karena rambut." Ruviane menggerutu seraya mengenakan topi tinggi Melv. Tiba-tiba saja dia mengernyit begitu tangannya dekat dengan hidung. Wajahnya berubah masam. "Ugh, catnip."
Esme mengangkat alis, penasaran. Keluhan Ruviane secara otomatis menyambungkan kabel-kabel informasi dadakan di kepalanya. Kalau Alice saja bisa berbeda-beda, berarti para pemuda bersetelan ini pun sama, bukan?
Masih dengan alis yang terangkat, Esme menoleh ke arah Melv, menatap lurus ke netra emasnya. "Kau kucing?"
Sesuai dugaan, pemuda itu tersentak kaget. "Apa—bagaimana ...?"
"Yah, memangnya apa lagi alasan sebuah tumbuhan diberi nama catnip?" Bukan main, Esme tidak tahu harus merasa bangga atau justru merasa heran kenapa pemuda bernama Melv itu sampai repot-repot terkejut segala. "Atau jangan-jangan kau merasa bahwa identitasmu tidak akan terkuak semudah ini?"
Ruviane menyeringai. "Kuperingatkan kau, nonaku yang ini suka menggigit."
Melv cemberut di sebelahnya. "Setidaknya aku tidak wangi bunga sepertimu." Dia bersungut-sungut.
"Oh, ya? Memangnya kenapa kalau aku wangi bunga?"
"Itu tidak jantan, kelinci manis."
"Dengan wangiku yang 'tidak jantan', aku berhasil membuat kalian tidur nyenyak. Dan jangan kaupikir aku tidak tahu kalau catnip juga memiliki bunga, dasar kucing bolot."
Mengabaikan perdebatan tak berguna mereka, Aletta menggelengkan kepala tak habis pikir lalu bertanya kepada Esme, "Pasti melelahkan, ya, berhadapan dengan pria tidak peka?"
Tanpa ragu, Esme mengangguk kuat-kuat.
- • -
Esme memang belum pernah mencoba masuk ke wilayah Istana Buckingham seumur hidupnya, tetapi dia berani bertaruh bahwa lorong Istana Putih—demikian kata Ruviane—secara de facto tampak lebih berkilau.
Oh, ya, tentu saja karena ada kandungan magis di dalamnya.
Hampir seluruh interior yang tersebar di sepenjuru lorong berwarna putih. Esme sampai harus sering-sering berkedip agar tidak pusing. Sosok tinggi tegap Ruviane yang berjalan memimpin secara otomatis tampak mencolok karena warna setelannya.
Selama dalam perjalanan, Esme menutup mulutnya rapat-rapat atas permintaan Ruviane. Tidak lama, kata Ruviane, cukup sampai tiba di pemberhentian kita.
Esme tidak mengalihkan pandangannya dari ukiran-ukiran magis yang menghiasi tepi pintu putih ganda nan tinggi. Di antara ukiran-ukiran mengakar itu, ada satu yang membuat siapa pun diam terpaku—satu ukiran besar membentuk bulan sabit 'tengkurap' pada permukaan pintu itu. Pada bagian tengah ukiran bulan sabit yang mengungkung itu, terpahat profil kelinci dari telinganya yang tinggi tegak sampai kakinya yang mungil.
Tanpa suara, Esme menoleh ke pintu-pintu lain yang tadi mereka lewati. Jaraknya berjauhan antar satu pintu ke pintu lain (hampir satu lorong untuk satu pintu), tetapi netra safirnya percaya diri dengan apa yang dilihat: ukiran rumit membentuk bulan sabit tengkurap yang sama dan pahatan jenis hewan yang berbeda.
Sebelumnya dia memperhatikan Melv mendekati salah satu pintu yang bentuk pahatan hewannya lain dari apa yang Esme lihat di depan Ruviane sekarang. Selama belum dipelototi Ruviane, pemuda kucing-kucingan itu membiarkan Esme menyaksikan keajaiban lain pada pintu ruangannya: ukiran dan pahatan magis pada permukaan pintu mengeluarkan cahaya kehijauan yang lembut—meski hanya sekejap mata—tatkala Melv menyentuh kenopnya.
Lalu sekarang, dengan berdirinya Ruviane di pintu yang satu ini; dengan identitas yang Esme ketahui bentuknya persis sama dengan jenis hewan yang terpahat di pintu, mudah saja menyimpulkan siapakah pemilik ruangan-ruangan yang pintunya super anggun ini.
Tentu saja para Warden, bukan?
"Hei, Ruv."
"Ya?"
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Aku sudah mendengar kasarnya dari kepalamu, tapi silakan."
Berputar pelan satu kali, Esme memindai hiasan dinding yang melekat dan sama putihnya dengan salju. "Kalau Warden memiliki ruangan masing-masing, apa itu berarti para Alice mendapatkan privilese yang sama?"
"Oh, ya, tentu. Hanya saja dalam satu kondisi." Ruviane menyentuh gagang pintu sekilas, dan pahatan di tengah pintu serta merta berpendar kebiruan. "Para Alice mendapatkan ruangannya masing-masing setelah berhadapan dengan ratu atau para petinggi—dan dengan senang hati aku akan menyarankan lebih baik bertemu langsung dengan ratu. Bila kau bertanya kenapa, itu karena apabila pemegang kekuasaan tertinggi di istana sudah melihatmu dan mengumumkan kedatanganmu secara resmi, tandanya kau bukan lagi orang asing."
"Dan apa perbedaan antara para Alice dengan orang asing?"
Ruviane tersenyum. Telunjuk kokohnya yang ramping menunjuk bagian tulang pipi kiri, tak jauh di bawah pinggir mata. "Apa yang kau lihat pada pipi Anya tadi, kau akan mendapatkannya juga," katanya tenang.
Pendar cahaya pada permukaan pintu memudar begitu Ruviane mendorong kenop sehingga pintu terayun membuka. Pemuda itu lantas mundur selangkah, membungkuk kecil atas dasar gestur sopan santun saat mempersilakan Esme masuk lebih dulu.
"Silakan."
Langkah kaki Esme melambat. Kepalanya macet. Tiba-tiba kesulitan menyaring poin-poin yang harus dia lakukan sebagai seorang tamu. Terlebih lagi ketika matanya beradu tatap dengan tumpukan bantal dan selimut di atas sofa, serta teko dan cangkir teh di atas mejanya; rasa-rasanya Esme ingin melupakan fakta bahwa dia pendatang dari dunia lain dan ingin bersegera merebah di sana.
Isi ruangan Warden rupanya tidak sespesial yang gadis itu kira. Dekorasinya hampir tidak ada dan letak segala properti di dalamnya tidak jauh berbeda dari yang dia lihat dalam film-film fiksi sejarah berlatarkan kerajaan. Satu-satunya yang menarik perhatian Esme hanyalah keberadaan satu topi tinggi yang terletak di tengah-tengah meja kayu kokoh nan mengilap.
Ruviane berjalan mendekati meja itu. Netra rubinya terus menatap, menatap, dan menatap hingga akhirnya dia menyentuh sekilas topi tinggi itu sebelum kembali melangkah ke sofa dan duduk di atasnya.
Di belakang meja dan kursi kerja yang Esme duga hanya digunakan untuk keperluan resmi, terbentanglah jendela berkaca jernih yang tingginya nyaris mencapai langit-langit. Ada tirai putih di kedua sisi. Gemerlap lampu di luar jendela menjadi sajian panorama utama seiring matahari perlahan condong ke barat.
Pemandangan yang terhampar di dataran luar sana memang seputih dinding istana, tetapi Esme masih bisa melihat cahaya-cahaya yang berkilauan dengan cantik di bawah bayang-bayang senja—dan itu justru membuat kedua alis cantiknya menukik, nyaris bertaut.
Seumur-umur Esme membaca dan mengulas kembali kisah Petualangan Alice di Negeri Ajaib, dia tidak pernah melihat ada banyak rumah dan pertokoan sebagaimana daerah kerajaan lainnya. Memang benar jauh di sana terlihat samar-samar akan gelapnya hutan, tetapi pemandangan "rumah warga" adalah hal yang pertama kali Esme lihat di Negeri Ajaib.
Entah bagaimana, Negeri Ajaib yang dia kunjungi rasanya tidak seaneh yang tertulis di buku.
Atau mungkin belum, salah satu sel otaknya menyela, karena kau baru sampai di tempat ini, wajar kalau pemikiranmu begitu.
"Silakan mendekat ke sini kalau kau sudah puas menatap jendela, Nona Sonata."
Esme menoleh hanya untuk menemukan sosok Ruviane telah duduk di sofa. Penuh keanggunan menuangkan likuid panas dari teko menuju ke dua cangkir di atas meja. Likuid cokelat-keemasan meluncur, asap putih mengepul, aroma kamomil menguar di sepenjuru ruangan.
"Benar-benar kesukaanmu, ya." Esme bergumam seraya duduk di sofa seberang Ruviane. Kedua netra safirnya terus menatap cangkir teh di atas meja yang memisahkan mereka. "Kalau ternyata kau senang berendam dengan air campuran bunga kamomil, aku tidak akan heran."
Satu cangkir disodorkan, Esme menerimanya.
Ruviane merapikan posisi teko sebelum menyahut, "Aku mengizinkanmu, kok, kalau kau ingin mencoba berendam dengan bunga kamomil juga."
"Trims."
"Bukan masalah. Aku ini dermawan." Ruviane menarik cangkirnya mendekat, kemudian membiarkan jarinya menelusuri ukiran cangkir. "Dan kalau kau merasa bosan, katakan saja padaku."
"Kalau aku merasa bosan, memangnya kau akan melakukan apa?" Esme menatap genangan teh yang memanjakan mata. "Kau yang bilang sendiri kalau statusku masih berupa orang asing di sini. Bisa-bisa aku ditangkap penjaga dan dijebloskan ke penjara bawah tanah kalau salah masuk lorong sedikit saja."
Ruviane tersenyum miring dalam duduknya. "Selalu ada tempat untuk orang asing, Nona Sonata."
"Oh, ya?" sahut Esme sarkastis. "Di manakah tempat untuk orang asing itu, wahai Tuan Warden yang terhormat?"
"Tidak akan ada jawaban untukmu selama kau belum mengeluh suntuk dan bosan."
Netra safir Esme mengerling jengkel. Yang benar saja.
Menolak perpanjangan durasi sesi adu mulut, Esme bergegas meletakkan kembali cangkir teh di atas meja sebelum punggungnya bersandar pada sofa. Diraih olehnya selimut rajut tebal yang terlipat dan tergeletak di sebelahnya. Lalu, bak tersambar petir di siang bolong, Esme melotot dikejutkan teksturnya. Mepala gadis itu mendadak rusak begitu tangannya bertemu dengan permukaan selimut yang amat sangat lembut seolah tanpa cacat.
Saking lembutnya, Esme khawatir selimut itu akan meleleh bak marshmallow di atas api begitu dia menggunakannya.
Di bawah tatapan Ruviane yang tengah meraih cangkir teh; menghirup uapnya yang beraroma menenangkan, gadis bermata safir itu gemetaran memindahkan buntalan selimut lembut dan bantal maha empuk ke atas pangkuan.
Harta karun! Hati kecil Esme menjerit. Ini harta karun!
Di balik cangkir, Ruviane mendengkus pelan. Tidak jelas apa yang sedang dipikirkannya, tetapi Esme bisa merasakan percikan-percikan mengejek dari caranya tersenyum.
Sebelum Esme menyerang dengan kata-kata, pemuda itu lebih dulu menurunkan cangkir dan meletakkannya di tempat semula, lalu berkata, "Kalau kau memang tidak tertarik untuk berkeliling istana sambil mengendap-endap sekarang juga, lebih baik kau beristirahat."
Setelah itu Ruviane bangkit berdiri untuk merapikan jas dan menyambar topi baru dari meja kayu licin di dekat jendela. "Masih ada waktu sebelum jam makan malam. Aku akan mencoba berbicara dengan seseorang agar kau mendapatkan ruanganmu malam ini juga. Oh, juga agar kau bisa ikut jamuan makan malam nanti, bila kau ingin," katanya.
Gadis itu merenung. "Yang penting makanannya, sih."
"Bagus. Akan kuusahakan."
Esme mendongak, mengikuti arah ke mana pun Ruviane bergerak. "Tapi kau akan kembali ke sini, 'kan?"
"Tentu saja." Ruviane mengangkat satu alis. "Ini ruanganku. Ke mana lagi aku harus kembali?"
Barangkali ini akan terdengar sedikit dramatis, tetapi respons santai nan pasti dari mulut Ruviane membuat hati Esme terasa lebih ringan. Keyakinannya untuk pergi tidur meskipun tidak ada si pemuda bertopi tinggi perlahan lebih kuat.
Tadinya gadis itu menolak tidur di Negeri Ajaib sampai nanti dia kembali ke dunia asalnya, karena Esme tidak ingin apa yang terjadi kepada si gadis pirang kecil di dalam dongeng turut menimpanya juga. Hati kecilnya belum siap dihantam kenyataan bahwa yang terjadi seharian ini hanyalah khayalan semata.
Serindu apa pun Esme dengan keluarganya, dia masih belum berkeinginan untuk langsung pergi.
Kalau memang ini mimpi, hatinya berbisik, tolong jangan berakhir terlalu cepat.
- • -
Itu tadi.
Sekarang lain perkara.
Karena sekarang Esmephia Sonata tidak tahu di mana dia berada, tetapi gadis itu tahu—dari suasana yang tidak menyenangkan—bahwa kini dia terjebak di dalam mimpi.
Lain dari yang dia lihat sebelumnya, kini hujan salju mengguyur tanpa ampun. Tumpukan salju menenggelamkan sepatu bot yang dikenakannya hingga mata kaki. Esme mengenakan mantel tebal yang benar-benar tebal. Bahannya lembut dan hangat.
Sejauh mata memandang hanya ada pohon pinus yang berdiri tegak mengepung. Daun-daunnya memutih karena berlapis salju. Esme mencoba menyipitkan mata ketika merasakan jarak pandangnya terbatas, tetapi hasilnya sia-sia. Hanya sampai tiga lapis pohon, setelah itu yang tersisa hanyalah kegelapan. Satu-satunya bagian yang diterangi cahaya hanyalah tempatnya berdiri.
Gelap, dingin, sendirian.
Esme membuka mulut, mencoba mengatakan "halo", tetapi tidak ada suara yang keluar.
Panik, gadis itu menarik napas panjang, mencoba memanggil nama orang-orang yang dia kenal, dan yang menjawab panggilan bisunya tetaplah keheningan.
Tepat saat langit bergemuruh, kepalanya menurunkan titah, Lari! Namun, tidak ada satu pun dari kakinya yang mampu menjalankan perintah sang otak. Ketebalan salju di bawah kakinya seolah menelan dan membekukan.
Begitu Esme mengangkat kepalanya lagi, dia dikejutkan oleh sebuah batu berpahat abstrak. Berdiri agak miring, tidak jauh di depannya, tetapi masih tidak teraih. Ukiran di atas permukaan batu itu menarik atensi Esme.
Ukiran akar merambat.
Membentuk bulan sabit yang menengadah.
Dan sebuah simbol kartu remi di tengahnya.
Esme terkesiap begitu batu itu bersinar. Cahaya muncul dari bagian bawah ukiran batu, merambat lambat dengan biru yang menyala. Gerakannya pelan dan pasti.
Begitu sinar kebiruan itu mencapai setengah batu, sebuah sinar lain muncul dari bagian atas ukiran. Awalnya tampak hitam karena begitu pekat, tetapi lama-kelamaan berubah menjadi merah gelap, kemudian menjadi terang—semerah darah segar. Entah berkat efek gravitasi atau apa, cahaya merah itu bergerak lebih cepat dan lebih terang. Seolah-olah dia hendak mencegat cahaya biru naik ke puncak ukiran.
Esme mengernyit. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain diam berdiri di tempat, menyaksikan kedua warna mulai bertemu, langit menggelap, hujan salju melebat, dan beku kian menggigit. Angin berembus seiring kedua cahaya berwarna terang itu perlahan tercampur.
Bertemu di tengah, kedua bagian warna mulai menggelap. Tidak jelas lagi mana yang biru dan mana yang merah. Cahayanya meredup tanpa alasan. Kemudian langit bergemuruh, hujan salju menggila.
Esme menunduk dalam-dalam, memeluk diri erat-erat demi mengusir dingin. Bibirnya bergetar. Gigi-giginya bergemeletuk. Tanpa suara dia meringis karena wajahnya terasa beku dan dadanya tiba-tiba terasa nyeri. Entah apakah ini karma karena dia pernah besar kepala tentang tanggal lahirnya yang jatuh pada puncak musim dingin atau bukan, yang jelas Esme kedinginan. Embusan napasnya berupa gumpalan asap putih tebal dan sekarang dia merindukan masakan ibunya.
Dingin.
Tungkai-tungkai kaki Esme goyah. Gadis itu jatuh berlutut, melesak di antara tumpukan salju. Siap disantap badai salju.
Sekujur tubuhnya sakit. Setiap kali dia mengentakkan napas, rasanya dingin dan nyeri. Bagai ditusuk kepingan es runcing berkali-kali.
Aku ingin pulang. Mata safir Esme memanas, dan semakin memanas seiring keinginannya bertambah kuat. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang.
Gadis itu terus menundukkan kepala.
Terus merapal keinginannya.
Sampai kemudian sensasi hangat yang lembut mendarat di kepalanya.
Perlahan-lahan Esme mengangkat kepala. Poni pirangnya yang panjang langsung jatuh meluruh sampai menghalangi wajah. Tak lama kemudian, seseorang menyingkap poninya dengan lembut. Sentuhan hangat itu muncul lagi, kali ini mendarat di keningnya, dan dalam sekejap menyapu bersih kerutan di sana.
Begitu kedua kelopak mata Esme benar-benar bergerak membuka, pemandangan yang terbentang di depan matanya tidak lagi pepohonan, batu ajaib, dan tumpukan salju. Semua panorama itu menghilang bak ilusi, digantikan oleh perapian yang menyala, serta bahu dan dada bidang yang berlapis kemeja putih. Pada salah satu bahunya, tersampir sebuah jas yang gelapnya lebih-lebih daripada langit malam.
Ah, sekarang Esme ingat.
Setelah Ruviane pergi keluar, dia memutuskan untuk berbaring di sofa, menghajar bantal empuk dengan kepalanya, juga membentangkan selimut tebal sampai menutupi jari kakinya.
Sesaat yang lalu, Esme tidur bergelung dengan hangat menghadap perapian dan langit masih dihiasi semburat jingga.
Dan sekarang dia terbangun ketika warna langit hampir tidak ada bedanya dengan dasar laut.
Tadinya Esme ingin segera membangkitkan insting bertahan hidup—duduk tegak dan langsung menghajar orang mencurigakan di depannya tepat di wajah—tetapi saat dia membaui aroma kamomil yang menenangkan, instingnya kembali tenang.
Ruviane.
Matanya bergerak naik, dan barulah dia menemukannya—manik semerah batu rubi, yang kilatnya tampak samar di tengah ruangan temaram, tengah menatapnya lurus-lurus.
Dalam pengaruh kantuk berat dan ruangan hangat yang remang-remang, Esme hanya diam, balas menatap dengan sayu. Kepalanya berat dan dia sedang memproses yang mana mimpi dan yang mana realita. Gadis itu bahkan tidak menolak usapan lembut Ruviane di bawah kelopak matanya yang basah.
"Mimpi buruk?" Ruviane bertanya pelan—dan Esme ingin menangis saking leganya karena mendengar suara seseorang bicara padanya.
"Dingin." Esme tersedak. Betapa lega hatinya ketika jarinya yang beku bisa merasakan hangatnya tangan Ruviane. Pelan-pelan dia menghela napas, merasakan adanya nyeri samar-samar di balik dada.
Esme tidak bisa melihat detail ekspresi yang terpampang di atas wajah seorang Warden di hadapannya sekarang. Yang dia tahu hanyalah mata Ruviane menelisik wajahnya sekali lagi sebelum akhirnya pemuda itu menarik napas dan menarik tangannya dari Esme.
"Akan kutambah kayu bakarnya." Ruviane berdiri, mengusap lembut kedua mata nonanya dengan telapak tangan sampai tertutup. "Tidurlah lagi. Hari masih gelap."
Esme berkedip pelan di bawah telapak tangan Ruviane. Tidak peduli apakah bulu matanya terasa menggelitik atau tidak. "Setelah ini ... apa kau akan pergi lagi?" tanyanya lirih.
Kayu bakar bergemeretak di perapian.
"Tidak."
"Wah, ada jeda di sana."
"Tidak, Nona." Ruviane menekankan. "Aku di sini. Tidak ke mana-mana. Kalau kau sedikit mendongak, kau akan menemukanku duduk di sofa sebelah."
Esme terkekeh. "Oke ...," katanya pelan. "Oke. Aku tidur."
"Baiklah."
"Yeah."
"Selamat tidur."
"Kau juga."
Setelahnya Esme memejamkan mata lagi, menarik napas panjang, dan mengembuskannya perlahan. Kesadarannya kembali terjun seiring Ruviane mengangkat telapak tangan dari matanya dan aroma kamomil datang mendekap dengan hangat.[]
NOTES:
#FunFactsCorner
#ALICE #01
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top