- • Sonata Siblings • -
'Alice,' tegur kakaknya seraya mendorong kaki Alice menjauh karena wajahnya nyaris tersepak kaki adiknya yang sedang duduk di atas pohon. 'Bisakah kau diam dan menyimak?'
'Oh, maafkan aku.' Alice menggoyangkan kakinya lagi, lalu kembali duduk bersandar merangkai mahkota bunga di atas ranting pohon yang tebal. 'Tapi aku tidak tertarik memberi perhatian sebuah buku yang tidak memiliki satu pun gambar di dalamnya.'
'Di dunia ini, ada banyak buku yang bagus tanpa gambar.' Sang kakak berucap.
'Di dunia ini, mungkin. Tapi di duniaku, buku-buku tidak akan berisi apa pun kecuali gambar,' kata Alice.
'Duniamu? Huh. Omong-kosong.'
'Omong kosong?' Alice terkesiap. Mahkota bunganya jatuh. Namun, dia tidak peduli dan langsung duduk dari posisi malas-malasan itu dan menggendong kucingnya.
'Itu dia, Dinah!' Dia berseru. 'Jika aku memiliki duniaku sendiri, semuanya akan menjadi omong kosong. Tidak ada yang menjadi "tidak ada apa-apa", karena semuanya akan menjadi "apa-apa". Dan sebaliknya apa yang ada, akan menjadi tidak ada. Dan apa yang tidak akan terjadi, maka akan terjadi. Kau paham?'¹
- • -
"Dan itulah yang membuat kegilaannya dimulai. Dunia itu ciptaannya sendiri. Omong kosong belaka. Itulah kenapa di akhir buku Alice ditemukan sedang tertidur."
Esme bertopang dagu. Kehilangan separuh minat untuk membalik ke halaman berikutnya karena akhirnya dia paham apa yang melatarbelakangi dunia imajinasi itu. Netra safirnya bergulir ke atas begitu laki-laki di depannya bertepuk tangan. Tampak puas mendengar penuturannya.
Kemudian laki-laki itu bertanya, "Bagaimana versi Disney?"
"Aku lebih suka versi asli," jawab Esme. "Tapi harus kuakui, dialog yang tadi itu mengesankan."
Sambil menghela napas guna menghalau dingin, Esme menutup buku dongeng di hadapannya itu. Puas hati menarik gelas kertas yang masih mengepulkan asap dari tangan laki-laki yang duduk di seberangnya, lalu menukarnya dengan buku bersampul licin di tangannya.
"Kau yang bayar."
Laki-laki di depannya mendengkus geli. "Silakan."
Oh, siapa pun akan paham kalau gadis itu sedang berbangga diri.
Senyum jemawa Esme timbul sebelum menyesap isi gelas kertas, kemudian berganti menjadi lengkungan cemberut yang tidak enak dipandang setelah tahu apa yang dia minum. Kebanggaan dirinya lenyap begitu saja.
"Rasanya sudah berkali-kali aku bilang benci kopi," ketusnya.
"Umur 16 tahun itu gerbang kedewasaan." Si anak laki-laki bertopang dagu. "Sebentar lagi kau pasti bakal mencintai kopi sampai lupa karbohidrat. Aku berani jamin."
Tidak akan. Masih cemberut, Esme meletakkan kembali gelas kertas berisi kopinya ke atas meja.
"Kenapa tiba-tiba menculikku hanya untuk sebuah buku? Buku dongeng anak-anak, pula," tanya Esme. Agak resah ketika orang-orang memandanginya ketika lewat. "Apa ini teka-teki yang harus kupecahkan sebelum berangkat? Kalau aku tidak bisa memecahkan teka-tekinya, apa itu artinya aku tidak boleh pergi dari sini?"
"Apa maksudmu? Itu hadiah dariku. Agar kau tidak lupa kalau kau orang Inggris. Sebuah negeri yang penuh dengan dongeng menakjubkan, bukan?"
Esme melengos. Tidak peduli dan tidak minat untuk peduli.
Laki-laki sepantaran dengannya itu pun tampak tidak peduli dengan reaksi Esme. Didorong olehnya buku dongeng itu mendekati si gadis pirang di seberang meja. Senyum bangga si anak laki-laki timbul sekilas.
"Seharusnya kau berterima kasih padaku," tukasnya penuh percaya diri.
Netra safir Esme bergulir jengkel. Akhirnya dia terima buku itu ke pangkuannya.
"Terima kasih," katanya tak ikhlas.
"Yap." Anak itu menjawab, melipat kedua tangan ke belakang kepala. "Memangnya kenapa kalau tetap tinggal di sini? Krisis ekonomi? Yah, biaya tinggal di Brooklyn per tahunnya memang tambah gila. Tapi keluargamu bukan golongan bawah, 'kan?"
Esme mengangkat bahu. "Mungkin bukan."
"Lalu kenapa kau memutuskan untuk pindah? Hari ini juga? Di malam tahun baru? Aku heran kenapa kau tidak coba untuk hidup sendiri. Tinggal di apartemen tanpa orang tua tidak seburuk itu, kau tahu?"
Cerewet. Esme meneguk kopinya, berdecak lidah pelan-pelan. Spontan merengut tidak suka. "Gulanya kurang banyak."
Kawan sebayanya angkat bahu. "Aku sudah memberikan sebanyak yang kubisa tanpa menghilangkan rasa kopi."
Gadis itu merengut. Hanya orang dengan kepekaan tumpul yang tidak memahami bahwa Esme tidak ingin menjawab, dan anak laki-laki di depannya ini bukanlah salah satunya.
Sekali lagi Esme meneguk kopi, sekali lagi pula dia cemberut menahan pahit.
"Esme."
"Hm?"
"Kau tidak mau menjawab satu pun pertanyaanku?"
Kali ini Esme benar-benar mendorong gelas kopinya menjauh. Tidak tahan lagi kalau memang orang di depannya adalah tipe yang teguh dengan pendirian.
"Begini, Tuan Juan Geoffrey." Esme menggosok-gosokkan telapak tangannya. Mulai kedinginan. "Ada beberapa hal yang namanya rahasia. Apabila kukatakan rahasia itu padamu, namanya bukan lagi rahasia. Kau mengerti?"
Juan, anak itu, bertopang dagu. Bergumam-gumam, tersenyum—tanpa menjawab pertanyaan Esme dengan ya atau tidak.
Hanya dengan melihat posenya itu, sekarang Esme tahu kenapa banyak anak perempuan di sekolahnya yang genit sering mengajak Juan untuk pergi ke kolam renang bersama. Atau sekadar pergi berburu street food di akhir pekan sampai rela berdesakan di lautan manusia.
Juan Geoffrey adalah tipe laki-laki yang bisa menjadi sasaran empuk Peter, si kakak yang sama-sama pirang dan bermata biru walau warna pirangnya tidak seemas rambut Esme. Juan terbilang hobi berjalan keluar setiap akhir pekan, tidak peduli siapa lawan mainnya, juga tidak peduli seberapa lama mereka mengajaknya bermain. Benar-benar tipe laki-laki yang harus dibasmi Peter dalam kehidupan adiknya.
Esme sama sekali tidak keberatan. Bilapun sang kakak ingin membasminya hingga tumpas, dia membolehkan dengan amat senang hati.
Tipenya memanglah laki-laki yang bebas, tetapi tidak sebebas Juan.
"Karena aksenmu, ya?"
Esme menunduk. Pura-pura sibuk dengan sepatu.
"Atau karena rambutmu?"
Akhirnya gadis itu mengangkat wajah, langsung berkata tegas, "Aku ingin pulang. Peter pasti mencariku."
Senyum ramah tamah Juan lenyap. Seraya bersandar pelan-pelan, dia berdecak lidah.
"Tidak sabaran," gumamnya.
Mata safir Esme melirik laki-laki di depannya tanpa minat. Bukan sekali-dua kali Juan berdecak lidah tanda jengkel padanya. Anak itu bisa melakukannya kapan pun dia ingin. Esme tidak pernah keberatan dengan caranya menunjukkan ketidaksukaan secara terang-terangan. Baginya, tepat kepada inti lebih baik daripada banyak bermanis mulut.
Berdalih tidak ingin ditahan lebih lama, Esme menaikkan sanggulnya ke dalam baret dan bangkit berdiri lebih dulu. Sorot matanya mengatakan dengan jelas, Kalau kau tidak ingin ikut, maka aku duluan.
Telepati itu sampai pada Juan. Tanpa berlama-lama lagi anak itu berdiri. Tak lupa mengambil gelas kopi Esme dan menyodorkannya kepada gadis pirang itu.
Tentu, Esme menolak hanya dengan mengangkat telapak tangan. Setelah angkat bahu, Juan langsung meneguk sisanya hingga tandas.
Di tengah keramaian Brooklyn yang tidak pernah pudar; di jam-jam terakhir sebelum penerbangannya ke London, Esme malah terjebak bersama seorang bocah yang sering menemaninya jalan pagi ke sekolah. Alih-alih terharu karena diberikan kunjungan kecil sebelum berangkat, gadis itu malah suntuk. Yang dia inginkan saat ini hanyalah bergegas menarik kopernya ke bagasi mobil dan melesat ke bandara tanpa ada yang menginterupsi.
Apalagi yang menginterupsi kepergiannya tidak benar-benar tulus memberi kalimat perpisahan yang positif.
Beberapa tahun setelah kedatangannya ke sebuah negara di mana Patung Liberti berdiri, akhirnya Esme tahu bahwa ada sebutan yang kurang menyenangkan untuk manusia berambut pirang seperti dirinya. Hal ini dia ketahui sejak Juan dan teman-teman satu kelas mengajaknya untuk pergi menonton film di bioskop.
Ada pemeran wanita pendukung di sana. Rambutnya pirang walau tidak terlihat seemas rambut Esme, dan matanya pun biru walau tidak seberkilau warna safir di mata gadis itu. Aktingnya bagus, karakternya menjadi gadis manis baik-baik. Tidak hobi main otot atau rajin parkour seperti wanita berambut non-pirang di film itu.
Esme mengapresiasi perannya: elegan, cerdik, condong menggunakan kemampuan akal dan karisma yang dia miliki. Namun, tentu saja tokoh pendukung yang satu itu tidak begitu ditonjolkan kemampuannya di dalam film. Lebih kepada karakternya yang penggila fesyen dan amat mencintai kecantikan. Juga memiliki sifat manis dan solidaritas yang tinggi walau egonya lumayan merepotkan. Cukup realistis, bila Esme boleh bilang.
Namun, komentar orang rupanya lain suara dengan Esme. Pirang bodoh, kata mereka.
Di mata masyarakat, tokoh pendukung berambut pirang yang tidak bisa berkelahi atau kurang berpartisipasi dalam adegan akan lebih cocok disebut beban.
Berambut pirang, tidak lihai angkat senjata, hanya bisa diam menunggu walau faktanya yang mereka lakukan itu masuk akal; semua itu menjadikan mereka sebagai karakter yang kurang dicintai.
Bahkan setelah keluar dari bioskop, percakapan itu masih berlangsung.
Esme lebih sering menutup mulutnya sejak saat itu. Tersenyum di luar dan menyumpah di dalam. Cukuplah dia dijadikan bahan bercandaan karena aksen Britania yang tidak pernah bisa dia ubah walau bertahun-tahun jauh dari London. Jangan sampai hidupnya tambah suram karena rambut pirangnya dijadikan bahan bercandaan juga.
Pada dasarnya, semua orang di dunia punya satu kesamaan, pikir Esme. Minoritas akan tetap kalah dari mayoritas walaupun memiliki pendukung.
"Aku bakal merindukanmu."
Esme mengerjap. Tertampar ke realita. Baru sadar bahwa dia masih bersama laki-laki yang menyodorkannya segelas kopi.
"Sori." Gadis itu mengernyit. "Apa?"
Suara Juan pelan—amat pelan. Gadis manapun yang mendengarnya akan mengira bahwa dia mengatakannya dengan sangat tulus (bahkan bisa jadi sudah menaruh perasaan). Bagaimana caranya menatap Esme, salah tingkah ke sepatu, bernapas berat hingga kepulan asap keluar menembus udara dingin; semua itu mampu membuat gadis manapun luluh.
Nahas, Esme tidak peduli. Dia memang sama seperti gadis modis lainnya, tetapi masuk ke kategori pengecualian bila berkaitan dengan Juan. Dia lebih suka menatap keramaian di depannya daripada mendengar omong kosong Juan yang kesekian hari ini.
Dia tatap Juan yang angkat bahu. "Tanpa kuulang pun sebenarnya kau mendengarnya."
"Nah, kerinduanmu itu akan jadi sia-sia," ucap Esme lugas.
"Hei." Juan menyenggol bahu gadis di sampingnya. Berusaha untuk tidak terang-terangan menunjukkan sakit hatinya. "Kenapa begitu, hm? Anak-anak yang lain juga pasti merindukanmu, merindukan aksenmu, merindukan fesyenmu, juga merindukan namamu. Semua orang mengira keluargamu pastilah pencinta musik klasik. Betul begitu?"
Esme menoleh, menarik senyum. Cukup satu detik, tidak perlu lama-lama. Senyum itu pun langsung lenyap begitu saja.
"Terima kasih. Tapi kalian tidak perlu repot-repot merindukan si pirang bodoh ini," katanya manis. "Dan, kebetulan, aku juga tidak ingin diingat oleh kalian."
Sore itu ramai, tetapi rasanya mendadak hening di antara mereka.
Bila memang ada namanya tatapan canggung, maka itulah nama yang tepat untuk mendeskripsikan cara Juan menatap Esme saat ini. Sekilas dia berdeham. Tidak lagi mengangkat topik sampai mereka tiba di depan gedung apartemen tempat Esme dan kakaknya tinggal.
Suara klakson yang familier menjerit di tengah cerianya orang-orang di sore hari. Tanpa melihat dengan teliti pun Esme tahu siapa orang yang menekan klakson jeep merah di depan sana.
Gadis itu menoleh. Ringan hati memberikan senyum lebar kepada Juan yang masih agak canggung di dekatnya. Kali ini, lucunya, terlihat lebih tulus. Barangkali karena dia tidak sabar ingin pergi.
"Aku pergi," katanya. "Selamat tinggal, Ju."
Juan menatapnya, mengusap tengkuk, lantas mengangguk mengiakan. "Hati-hati di jalan."
Sekali lagi Esme tersenyum. Tanpa memberikan pelukan atau kecup ringan di pipi sebagai tanda perpisahan, dia langkahkan kakinya dengan perasaan ringan menuju jeep merah. Girang tidak sabar meninggalkan kota yang terus asing di matanya walau sudah bertahun-tahun menetap.
Memang tidak ada yang seindah tanah kelahiran sendiri, pikirnya.
Penuh semangat dia buka pintu mobil. Tersenyum lebar begitu bersitatap dengan pemuda yang lebih tua lima tahun darinya. Walaupun ujung-ujungnya malah disapa balik dengan senyum tak ikhlas.
Peter membuka mulut. Esme bersiap mendengar pertanyaan paling tidak masuk akal.
"Puas kencannya?"
Amit-amit. Esme menyumpah, menunduk, melompat naik ke dalam jeep.
Begitu punggungnya bertemu dengan sandaran jok, dia buang napas berat sedalam-dalamnya. Khidmat merasakan hawa mobil kakaknya yang berbeda dari yang lain.
Oh, jangan tanya betapa puasnya dia melepas topi baret, melepas sanggul kecilnya dan membiarkan helaian pirang terjun menyelimuti bahu. Bentuk gelombangnya cantik bukan main. Tampak bebas menghirup udara segar setelah bertahun-tahun disembunyikan dengan cara apapun asalkan tidak dengan mengganti warna.
Rasanya bagaikan keluar dari air.
Selama beberapa detik, yang Esme lakukan adalah menarik dan membuang napas, sambil sesekali memeriksa barang bawaannya di jok belakang.
"Peter."
"Hm?"
"Ada air?" tanyanya, mendadak merasa serat di tenggorokan. "Tadi Juan memberiku kopi."
Peter mengernyit sampai rela melepas tatapan dari layar ponsel untuk menatap wajah adiknya. Masih sambil mengernyit, dia menyerahkan botol air mineral yang rupanya ada di sisi pintu. "Dia memberimu kopi?"
"Tidak perlu kuulangi pun kau dengar dengan jelas."
"Padahal di awal kalian bertemu pun kau sudah bilang dengan jelas." Peter bergumam, menatap layar ponselnya lagi. "Dasar anak tolol."
"Nah." Esme menerima botol, kemudian menenggak isinya banyak-banyak. Puas hati karena si kakak memihak padanya. "Sekarang aku penasaran apa jangan-jangan itu salah satu caranya untuk mengusirku dari sini ... oh, foto siapa itu? Ibu?"
"Ya, dari Ayah," jawab Peter. "Ada satu kamar kosong di sana. Di sebelah gudang. Ibu langsung menjadikannya ruang kerja."
Esme merebut ponsel kakaknya. Dalam diam menatap foto di sana. Kotak-kotak dus—yang dia tebak isinya pastilah tumpukan pakaian hasil desain ibunya—mulai disusun di tepi. Bahkan dari sebuah gambar pun Esme tahu ruangan itu cukup luas untuk sebuah studio kecil-kecilan.
Secara mengejutkan, Clara—ibunya—juga membawa manekin yang penuh dengan coretan. Esme ingat betul, dulu dia adalah salah satu pembuat coretan di sana.
Kepindahannya ke London saat ini memiliki beberapa faktor, salah satunya adalah perihal butik yang dulu menjadi tempat kerja Clara.
Ibunya itu tidak cukup puas dengan apa yang ada di Amerika. Model pakaian yang dia buat masih kental akan budaya Inggris. Esme dengar ceritanya; atasan Clara mengkritik dengan cara yang kurang halus, sehingga wanita itu memutuskan untuk berhenti dengan dalih tidak nyaman. Secara kebetulan, James dipanggil kembali ke London karena masa dinasnya di Brooklyn sudah berakhir.
Esme ingat, Clara bukanlah satu-satunya anggota keluarga Sonata yang menyukai fesyen hingga menjadikannya ladang nafkah. Masih ada bibinya yang membuka butik di London dan neneknya yang masih kuat menggoreskan pensil untuk membuat desain.
Uniknya, mereka tinggal di sebuah rumah besar. Seolah-olah memang sudah berniat membangun bisnis keluarga. Di sanalah Esme dan keluarganya akan turut menetap. Berkumpul bersama kakek, nenek, bahkan sampai sepupu.
Di sana pula ada Feodora, sepupu favoritnya yang berselisih dua tahun lebih tua darinya.
"Kapan mereka sampai?"
"Sekitar tengah malam, tapi aku baru membaca pesannya siang." Pemuda pirang itu menyipitkan mata safirnya ketika bersiap tancap gas. "Pasang sabuk pengaman, Esme."
Tanpa diberitahu dua kali, gadis itu menurut. Dia kembalikan ponsel Peter setelah puas menatap foto kiriman James di sana.
"Aku ingin cepat-cepat sampai."
"Ada apa, anak kecil?" Mobil mulai melaju. "Segitu tidak betahnya di sini?"
Esme menatap pemandangan di luar kaca mobil. "Hanya sedikit bersemangat untuk bertemu Feo. Aku benar-benar merindukannya."
"Ah, si maniak sepatu." Peter manggut-manggut. "Kutebak dia sudah menyiapkan sepasang untukmu."
Tawa Esme pecah. Ada desiran hangat di dalam dadanya begitu mengingat sepupu femininnya yang pasti berganti sepatu setiap berpindah destinasi.
Tidak buruk bagi Esme. Walau tidak semaniak Feodora, dia juga amat menyukai sepatu.
"Berganti sepatu setiap bulan asyik juga," kata Esme. "Mungkin suatu saat nanti aku akan terkenal di sekolah yang baru—terkenal sering ganti-ganti sepatu."
Peter melirik, mendengkus geli ketika melihat Esme sama sekali tidak khawatir dan malah terlihat puas bukan main.
"Terdengar bagus," katanya.
"Oh, tentu saja. Yang bicara ini Esmephia Sonata."
"Ya, ya, ya."
"Hei?" Esme menoleh, duduk lasak melipat kaki sampai lututnya menabrak dasbor. "Jarang sekali kau begini. Ada apa dengan kepalamu? Kena sambar petir di kamar mandi? Atau kebanyakan minum mentang-mentang usiamu sudah legal?"
Peter berdecak lidah. "Mana ada sopir yang minum-minum sebelum berangkat. Kau ingin tewas?"
"Tewas dengan hati damai pun aku rela."
"Hei, mulut."
Esme nyengir. Mengusak rambut dengan kedua tangan, lalu bergerak-gerak menyamankan diri di atas jok.
Dari dalam mobil, dia tatap sepanjang jalan, terfokus pada pemandangan gedung dan pohon hias yang berbaris rapi. Orang-orang berlalu lalang. Tenggelam dalam mantel tebal, syal, dan kupluk rajut. Berjalan berimpitan, memastikan diri tetap hangat. Tas-tas belanja dijinjing, lampu-lampu hias mulai menyala unik. Warna-warni dari ujung ke ujung, mengingatkan orang-orang bahwa malam tahun baru terhitung beberapa jam lagi.
Meski terhalang kaca mobil, Esme tahu ada banyak sorakan girang di luar sana. Seorang ibu menenteng anaknya, seorang ayah menggendong anaknya duduk di atas bahu, gadis-gadis bergandengan tangan dengan segelas minuman hangat, para laki-laki beradu tinju bersahabat dengan sebayanya; sama seperti yang Esme rasakan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya.
Bukan main, malam tahun baru memang paling dinanti-nanti remaja seperti dirinya. Berkumpul dan menginap di rumah teman pastilah menyenangkan. Atau kedatangan paman, bibi, dan sepupu-sepupu yang datang dari jauh. Kemudian mereka akan berbondong-bondong ke tengah kota, rela jalan berdempetan demi bisa berada di tengah kepadatan New York, menghitung mundur ditemani lampu-lampu mewah yang tidak akan pernah padam sampai Ball Drop dimulai.
Ah, betapa indahnya kenangan bagus.
Suara penyiar radio mengisi keheningan. Tak henti-henti mencerocoskan keramaian masyarakat menyiapkan pesta malam tahun baru. Secara tidak langsung, suara dari radio itu memastikan kedua Sonata bersaudara itu masih hidup dan tidak mati ditelan sepi.
Esme mengembuskan napas. Iseng membuat kaca mobil Peter berembun dan mengukir bentuk abstrak dengan telunjuknya.
"Peter," panggilnya begitu mobil mulai bergerak pelan-pelan akibat kemacetan yang mulai merayap. "Ingin main taruhan?"
"Apa?"
"Yang merindukan tempat ini dalam kurun waktu seminggu harus merelakan jatah camilannya."
"Nah. Aku akan kalah." Peter membungkuk ke depan. Diam-diam merutuk tentang seharusnya mereka berangkat lebih siang. "Ada banyak hal yang belum bisa sepenuhnya kulepas di sini. Jadi, yah ...."
"Hm." Esme bersedekap, menoleh dan menatap kakaknya dengan senyum miring. "Gadis brunette bernama Jessica, misalnya?"
Peter melotot. Esme terkikik, lalu meledak dalam tawa jahanam begitu Peter tanpa pamrih mendorong adiknya sendiri sampai tergencet ke sisi mobil. Bahkan buku dongeng di pangkuan Esme sampai terjun karenanya.
"Jangan bilang pada Ibu," desis Peter.
"Oh, aku sudah melakukan itu sejak tahun kemarin." Esme mengangkat bahu begitu Peter menembakkan tatapan horor padanya. "Aku sudah mengirimkan fotonya, diam-diam mengirimkan catatan suara berisi suaranya yang manis dan kuat bagai madu, mengirim video saat kita bertiga merayakan malam Natal kemarin, dan bahkan memberitahunya bahwa kalian sudah berciu—"
"Demi Tuhan!" Pemuda pirang itu menusuk pinggang Esme sampai si empunya pinggang terlonjak dengan ledakan tawa. "Diam. Kau. Dasar. Anak. Kecil."
"Nanti malam aku 17 tahun, dasar anak besar!" Esme berkelit, melayangkan tamparan nyaring ke tangan Peter. Dia lantas menarik napas panjang, berusaha menghentikan tawanya tatkala melihat mobil di depan mereka sudah bergerak lebih maju. "Peter! Mobilnya!"
Seraya meninggalkan cibiran, Peter kembali memegang setir. Pelan-pelan menginjak pedal gas hingga mobil kembali melaju membelah jalan Brooklyn yang tampaknya tidak pernah absen untuk padat sehari saja.
"Suatu hari nanti," tekad Peter, "aku akan menjadi orang pertama yang memberitahu Ibu saat aku melihatmu berciuman dengan pacar masa depanmu."
"Nah, Bung." Esme melambaikan tangannya dengan santai. "Kalau itu memang terjadi, aku akan bilang pada pacarku untuk menciumku di tempat yang amat sangat jauh dari kalian. Atau bahkan di tempat yang tidak pernah ada sebelumnya."
Peter tertawa hina. "Omong kosong."
"Oh, aku hidup untuk omong kosong," elak Esme dengan mudah, lalu pandangannya teralihkan oleh suara notifikasi dari ponsel yang bergetar di saku celananya.
Sang kakak meliriknya. Sejenak diam menanti sebelum bertanya, "Siapa?"
"Bibi Elena," jawab Esme sembari mengetikkan pesan balasan. "Dia bilang hati-hati di jalan, selamat tahun baru, dan selamat ulang tahun."
Elena punya satu kebiasaan: mengingat sesuatu pada jam-jam sebelumnya, lalu terlupa di saat waktunya tiba. Inilah yang sedikit merepotkan sekaligus menjadi kenangan lucu—karena mayoritas rencana kejutan gagal karena ulahnya.
"Wow." Peter terkikik. Tak kuasa menahan senyum karena dia juga merasakan hal serupa pada ulang tahunnya beberapa waktu yang lalu. "Bagaimana rasanya selamat ulang tahun pada beberapa jam lebih awal?"
Pemuda itu kira dia akan melihat Esme senyum-senyum sendiri mengingat kebiasaan bibinya yang satu itu. Namun, yang dia lihat hanyalah seorang gadis tengah tersenyum kecut dengan sorot mata tajam.
"Bagaimana, ya?" Esme terkekeh pahit. "Masih jauh lebih baik daripada Ibu, mungkin?"
Senyum Peter lenyap, rasa sesalnya timbul. Salah langkah, Peter. Salah langkah.
"Hei, Dik."
Gadis pirang itu menoleh.
"Aku tahu kau bisa," ucap Peter tulus seraya mengangkat tinju. "Calon remaja 17 tahun harus mulai sekuat baja, kau tahu?"
Esme mendengkus, menyambut tinju Peter dengan tinjunya. "Akan kucoba."
"Bagus. Omong-omong, aku tidak ingin kalah dari Bibi El. Jadi, selamat ulang tahun dalam kurun waktu delapan jam lagi, anak kecil. Aku akan mengucapkannya lagi besok. Dan selamat menempa pahit-asamnya kehidupan di usia 17 tahun."
"Oh, nanti aku akan pamer kalau berhasil mendapatkan yang manis." Esme terkikik sampai netra safirnya menyipit. "Trims, Peter."
"Kapan pun, adikku. Kapan pun."[]
NOTES:
¹Dialog Alice & Kakaknya
Alice's Adventure in Wonderland (sering disingkat Alice in Wonderland) punya banyak versi revisi dari waktu ke waktu, dan Disney adalah salah satunya yang ikut berkontribusi dan paling diingat masyarakat sampai sekarang.
Cuplikan adegan Alice dengan kakaknya di atas sana adalah salah satu translasi adegan di film animasi bertajuk serupa pada tahun 1951 yang diproduksi oleh Disney.
Aslinya, kisah Alice ini cuma diawali dengan narasi singkat: Alice yang ikut kakaknya ke pinggir sungai, bosan enggak ngapa-ngapain; tiba-tiba lihat ada kelinci putih lari-lari pakai baju abad pertengahan sambil ngomong. Enggak ada dialog yang bikin mind blowing kayak si Disney punya.
Faktanya, sebelum Disney merilis versi kartun (1951) dan versi film (2010 & 2016), Paramount Pictures sudah lebih dulu memproduksi Alice in Wonderland ke layar lebar pada tahun 1933.
Of course, dengan kualitas hitam-putih dan pemain all-star tanpa ada CGI berlebih (atau bahkan enggak ada sama sekali).
.
.
²Kaidah Kepenulisan Pada Adegan Tersebut
Lain halnya dengan Indonesia, buku terbitan negeri di barat sana (yang kutekan di sini adalah Inggris) bukan menggunakan tanda petik dua (") buat dialognya, melainkan petik tunggal (').
Kenapa aku pakai petik tunggal di atas? Ya biar berasa aja Eropanya. '³')
Hitung-hitung jadi fun fact juga. '³')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top