- • Snow Drop • -
Tepat ketika pintu kamar tertutup, Ruviane melemaskan bahu. Agak tertatih mengambil langkah mundur sampai kakinya terantuk sesuatu. Merasa bukan benda yang kecil, dia menoleh, tatapannya turun.
Ranjang Esme.
"Oh, demi wortel." Tanpa ba-bi-bu lagi Ruviane serta-merta mengempaskan diri ke atas ranjang. Napasnya dihela keras-keras. Seakan-akan yang dia lakukan selama ini bukanlah hal yang menjadi kebiasaannya.
Nyatanya, bermulut manis sampai harus menyeringai agar karismanya menghipnotis setiap target adalah hal yang paling tidak Ruviane sukai.
Meski sekilas, insting prianya sempat memergoki reaksi jujur Esmephia Sonata beberapa kali; yang mana artinya dia berhasil. Bukan reaksi yang besar, tetapi cukup membuatnya yakin bahwa gadis itu tidak berbeda jauh dari gadis-gadis sebelumnya.
Alias sama-sama mudah tersihir dengan wajah tampan.
Ruviane menghela napas lagi. Ini akan sama seperti yang sebelum-sebelumnya. "Isabel."
"Ya, Tuan."
Dari luar jendela, seekor ngengat bulan terbang mendekat. Memang bukan habitat aslinya, tetapi orang-orang yang melihat dari jauh tidak akan menyangka bahwa serangga terbang bercahaya kehijauan di tengah musim dingin adalah seekor ngengat bulan.
Ada bunyi gemerincing ketika ngengat itu terbang. Pada saat dia berhenti mengepakkan sayap, barulah bunyi gemerincing itu hilang.
Tanpa berubah wujud menjadi sosok wanita tinggi berhelaikan kain-kain hijau selembut sutra, Isabel bertanya, "Ada sesuatu terjadi?"
"Aku ingin kau menyelidiki loteng rumah ini." Ruviane menekuri seprai yang licin di bawah tangannya. "Di bawah benda yang ditutupi kain, ada jalan lain di sana. Periksa ke mana ujungnya. Aku tidak sempat melakukannya karena beberapa hal."
"Karena Nona melarang Anda?"
Ruviane terdiam, kemudian menggaruk batok kepala sampai topi tingginya sedikit terdorong ke depan. Teringat lagi olehnya momen yang amat menjengkelkan hanya karena insting gadis itu terlalu tajam.
Entah memang begitu karakternya atau kebetulan Ruviane sedang bernasib buruk.
"Sudah kubilang untuk diam di atas, tapi bukan main bebalnya. Kalau sudah begitu mau tidak mau sihir di kalungnya itu bekerja, bukan? Dasar keras kepala. Sekarang dia lihat akibatnya—dihantui imajinasi aneh di usia muda." Ruviane mendengkus, menggerutu tanpa akhir.
Meski begitu, Isabel tak kunjung memberikan respons. Seolah memberikan waktu kepada tuannya untuk berpikir jernih sebelum menyebut nona baru mereka yang tidak-tidak lagi.
Yah, siapa pun tidak akan senang bila ekspedisinya dihalangi, pikir Isabel, agak maklum dengan kondisi tuannya.
"Ada lagi yang harus saya lakukan?"
"Jangan jauh-jauh dariku saat kita pergi nanti," Ruviane berucap pelan. Tanpa alasan jelas membiarkan tatapannya jatuh pada ujung sepatu yang mengilap di atas lantai. Nyaris tanpa suara dia bergumam, "Aku tidak ingin kelepasan seperti tadi."
Isabel diam sejenak, hanya untuk meresapi ucapan tuannya kemudian mengangguk paham.
Seperti tadi yang dimaksud tuannya sama sekali tidak diketahui Isabel yang mana persisnya.
Padahal yang dimaksud Ruviane adalah senyum anehnya yang kelepasan di depan Esme. Itu saja.
Isabel mungkin siap siaga di sekitar, tetapi bukan berarti menyaksikan seluruh kejadian yang dialami Ruviane karena itu sama saja dengan melanggar batas haknya. Selama pemuda itu tidak mengizinkannya melihat atau mendengarkan sesuatu, maka Isabel tidak akan melakukannya. Itulah sebabnya terkadang ada banyak keluhan Ruviane yang tidak dia pahami.
Ruviane pun sama. Meskipun Isabel telah menemaninya dari satu Alice ke Alice yang lain, dia tidak memiliki niat sekecil debu pun untuk sekadar sedikit berbagi ruang pribadinya.
Selama apa pun mereka bersama, akan tetap ada dinding pemisah yang tidak boleh dilewati. Dinding pemisah itu berfungsi sebagai pengingat bahwa hubungan mereka hanya sebatas Warden dan asistennya, tidak kurang dan tidak lebih.
Sama seperti hubungannya dengan Esme—Ruviane akan mempertahankan dinding pemisah itu sekuat yang dia bisa.
Hanya satu tahun. Ruviane hanya perlu bertemu gadis itu selama satu tahun, setiap hari, sampai urusannya dengan sosok manusia yang satu itu benar-benar berakhir. Setelah itu dia akan mengembalikan kehidupan monoton Esmephia Sonata dan pergi meninggalkannya untuk mencari Alice yang baru.
Dia akan terus seperti itu sampai waktunya habis.
Lalu sampai waktunya habis, Ruviane akan tetap menjaga hubungan profesionalnya sebagai Warden dari sang Alice.
Tidak kurang, tidak lebih.
"Tuan." Si ngengat bulan memperingatkan, bergemerincing lembut dan bersiap untuk pergi ketika terdengar suara langkah di luar pintu. "Nona datang."
Ruviane turut menatap daun pintu selama beberapa detik. Dalam diam dia sedang mempersiapkan diri untuk berperilaku seperti yang sudah-sudah; menyambut nonanya, menjadi pribadi yang memiliki limpahan karisma, intinya harus berlagak sampai nonanya kesulitan untuk bereaksi dan mulai memberikan sedikit-banyak kepercayaannya.
"Baiklah, ayo kita mulai lagi. Jangan lupakan tugasmu, Isabel."
"Baik, Tuan."
Pemuda itu bangkit, lantas mengusir asistennya dari bingkai jendela dengan gerakan tangan.
Tepat ketika Isabel terbang menjauh dan Ruviane merapikan pakaian serta posisi topi tingginya, pintu kamar terbuka perlahan.
Esmephia Sonata berdiri di sana. Terbungkus rapat oleh setelan musim dingin, lengkap dengan sepasang sepatu bot setinggi betis bersol tebal yang tampak elegan (bahkan baru dikeluarkan dari kotak hadiah). Hanya dilihat dari caranya berpakaian, orang-orang akan paham bahwa lingkungan hidup Esmephia Sonata memang bukan tempat yang sederhana.
Bila nanti dia bilang sepatu bot modis itu sederhana, berarti isi tabungan keluarga Sonata yang tidak waras.
"Ayo," gadis itu berkata pelan. Agak enggan menambahkan, "Aku tidak ingin Ibu melihatku."
Ruviane mengangkat alis. Tampaknya kondisi sosial nonanya yang satu ini memang agak rusak.
"Aku akan berubah wujud di luar, kalau begitu," ucap Ruviane. Dengan santai membuntuti Esme yang justru tampak berhati-hati ketika melewati sebuah kamar sebelum mencapai tangga. Sembari menyilangkan tangan di belakang punggung, Ruviane bertanya, "Apa ada sesuatu yang mengganggumu, Nona?"
"Ya, dan sesuatu itu ibuku," gumam Esme, berusaha untuk tetap waras selama bicara sendiri. "Sampai kita bebas dari lantai ini, jangan bica—"
"Esme?"
Gadis pirang di depannya mendadak terpaku di tempat. Bahasa tubuhnya mengatakan bahwa dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan menoleh dalam waktu dekat. Jadi, Ruviane menoleh ke belakang untuk menggantikan posisi nonanya itu.
Pemuda itu tertegun, agak terkejut begitu mata merah rubinya bersibobrok lurus dengan replika nonanya yang tampak lebih dewasa.
Harus Ruviane akui bahwa wanita itu cantik bukan main.
Bentuk mata birunya sama. Warnanya bahkan terbilang persis seperti milik sang nona. Hanya saja mata wanita yang satu itu tampak letih, redup, dan tidak seberkilau milik nonanya. Rambut pirangnya dipotong menungging; pendek di belakang dan panjang di depan. Bagian bawahnya tampak mengembang indah seolah dibuat menggunakan soda pengembang.
Ah. Ruviane melirik rambut emas Esme yang mengembang di bawah bahu. Begitu rupanya. Kekuatan genetik.
"Kau ...." Wanita cantik di sana mengerutkan kening. "Ingin ke mana?"
Ruviane menatap puncak kepala Esme yang hanya mencapai hidungnya. Diam-diam menanti jawaban, tetapi entah mengapa dia merasa gadis itu tidak akan segera menjawab.
[Bantu aku menjawab!]
Oh, ya, tentu saja kau akan bertelepati. Ruviane angkat bahu kalem. "Katakan saja yang sebenarnya selama lokasi itu benar-benar ada. Apa katamu semalam? Taman St. James?"
Bahu gadis itu merosot. "Taman St. James."
"Taman ... St. James?" Si wanita menyahut, tanpa tahu Ruviane mati-matian menahan tawa karena dialog mereka malah terdengar seperti opera sabun. "Kau serius? Di tengah musim seperti ini? Tidak ada apa-apa selain salju di sana."
Ruviane mengangkat alis. Apa isi pikiran juga kekuatan genetik?
"Seseorang memaksa," jawab Esme. Ada nada malas pada kalimatnya. "Aku tidak bisa menolak."
"Wah, itu—"
"Aku terlambat. Sampai nanti."
Esme berderap turun dengan tergesa-gesa. Tidak repot-repot menunggu berbagai kalimat selanjutnya dari si wanita berjubah tidur yang berdiri di ambang pintu.
Namun, Ruviane melihatnya. Ekspresi itu; bentuk kecewa dan pasrah seolah dia tidak bisa memaksakan kehendak darah dagingnya sendiri. Rasanya bukan yang pertama kali Ruviane melihat yang seperti itu, tetapi sensasi menusuk itu tetap ada.
Sudah berapa lama kau menyakitinya sampai dia tidak bisa menahanmu, Nona?
Ruviane membuang napas panjang. Baru menyadari bahwa isi kepalanya langsung ditujukan kepada Esme—yang sudah berderap ke pintu depan—tanpa melakukan penyaringan kata-kata.
Yah, bila memang pertanyaan sederhana itu menyinggung perasaan nonanya, berarti memang ada masalah di sana.
Begitu si wanita-di-ambang-pintu menundukkan kepala, Ruviane terdiam; antara terpana dan tertusuk melihat sorot mata safir itu begitu terluka. Kemudian visual itu lenyap ditelan pintu kamar yang berayun menutup.
- • -
Mode kelinci adalah mode yang paling tidak bisa Ruviane ubah sesuka hati. Baik itu warna bulunya, matanya, bentuk fisiknya, atau bahkan pita kupu-kupu dengan batu rubi pada bagian tengahnya yang melekat pada leher. Aksesoris yang satu itu adalah identitas bahwa dia berbeda dari kelinci biasa.
Namun, di mata penduduk Dunia Atas aksesoris itu adalah tanda kepemilikan.
Memang tidak ada salahnya melompat-lompat di atas tumpukan salju bersama "majikan", tetapi dia merasa asing dengan suasana ini.
Tidak seperti orang-orang "penting" di Negeri Ajaib yang membicarakan corak warna bulunya (ada beberapa bagian tubuhnya yang berbulu hitam meskipun dominan putih), bagi penduduk Dunia Atas memang wajar melihat kelinci yang memiliki banyak jenis dan warna. Justru semakin unik warna bulu seekor kelinci, orang-orang di sekitar mereka akan semakin gencar melemparkan pujian.
Misalnya seperti sekarang ini.
"Wah, lucu sekali!" Sepasang kekasih yang tidak Ruviane—bahkan Esme—kenali tiba-tiba berhenti dan menjulang tinggi di depan mata. "Ini kelincimu? Jenis himalaya?"
Kelinci Ruviane mendongak, melihat Esme tengah meringis seakan mencoba tersenyum ramah.
"Iya, begitulah," jawabnya.
"Wah!" Si wanita tertawa, hendak membungkuk untuk menyentuh kepala Kelinci Ruviane. Begitu berhasil menyentuhnya sedikit, Kelinci Ruviane segera merunduk dan melompat kabur dari tempatnya berdiam diri. "Oh, astaga! Lihat ekornya! Menggemaskan sekali!"
Oh, ya. Katakan itu pada bokongmu sendiri, Nona Tidak Sopan.
Ruviane hendak memuntahkan kalimat itu, tetapi menolak melihat Esme memelototinya dengan tajam. Alhasil yang dia lakukan hanyalah melompat menjauh, yang jauh, dan sejauh yang dia bisa.
Ketika menemukan sebuah bangku panjang penuh salju, Kelinci Ruviane berhenti melompat, bersembunyi di bawahnya, lalu mendengus.
Dia tidak begitu menyukai keramaian.
Baik dalam wujudnya yang berkaki empat ataupun berkaki dua.
Andai orang-orang di sekitar mereka memiliki mata jeli, mereka akan melihat sorot mata terganggu dari mata merahnya meskipun kelinci tidak diberkahi sepasang alis.
Setelah berhasil kabur ke bawah salah satu bangku taman yang kosong, Kelinci Ruviane menghela napas. Agak terkejut karena orang-orang Dunia Atas sekarang ini tampak lebih agresif dibanding zaman-zaman sebelumnya.
Dulu tidak ada yang sembarangan menyentuhnya dalam mode kelinci ketika berjalan-jalan di tengah keramaian. Sekarang? Jangankan berjalan-jalan, duduk menjeplak di sebelah kaki Esme saja sudah mencuri perhatian banyak orang.
Sayup-sayup dia dengar obrolan singkat nonanya dengan para orang asing di sana. Entah apa yang dibicarakan selama sosok penengah kabur ke bawah bangku. Toh, dia juga tidak begitu peduli.
Tidak lama kemudian, si gadis bermata safir berjalan cepat dengan langkah berdentum ke arahnya. Wajahnya semringah.
"Oh, astaga. Ini pertama kalinya ada yang memuji rambutku," lapornya dengan napas tak beraturan.
Mau tak mau Kelinci Ruviane mendongak, menatap kombinasi manis antara rambut pirang keemasan dan pita biru pucat di kepala Esme. Entah kenapa dia mendadak paham. Siapa pun yang melihat rambut Esme rasanya memang ingin memberikan pujian.
"Dan, Ruv."
Meski wajah juteknya menggemaskan dalam mode kelinci, Ruviane tetap cemberut. "Apa?"
"Aku sudah bilang setidaknya lepas pita kupu-kupu itu. Orang-orang tertarik padamu karena batu rubi itu tampak mencolok."
"Lalu kenapa?"
Esme mengerling dan Kelinci Ruviane tahu seberapa besar kejengkelan di sana.
"Asal kau tahu, Kelinci Tampan, tadi ada segerombolan orang aneh yang hampir merampokku. Tebak karena apa? Karena mereka pikir aku terlalu kaya sampai-sampai seekor kelinci pun kuberikan sebuah dasi kupu-kupu berhiaskan batu permata."
Kelinci Ruviane berdiri dengan kedua kaki belakang, menepuk-nepuk tanah salju dengan gusar sedangkan kaki depannya seolah bersedekap. Itu bukan salahnya. Lagipula, pemuda itu merasa dia tidak berhak disalahkan.
Pokoknya, itu bukan salahnya.
"Aku akan melakukannya sejak awal kalau aku bisa," sungutnya tanpa sadar diri bahwa sosok pendek kecilnya kini terlihat begitu menggemaskan.
Sayangnya, Esme tidak terhipnotis semudah itu. Gadis itu justru berdecak lidah seolah mulai kehabisan kesabaran.
"Oh, aku sudah menawarkan bantuan berkali-kali," katanya.
"Bahkan dengan bantuan orang yang lebih dewasa darimu, benda ini tidak akan terlepas." Kelinci Ruviane mendengus, hidungnya berkedut-kedut. "Percuma saja, Nona. Benda ini identitas. Tanpa benda yang kausebut norak ini, aku tidak ada bedanya dengan kelinci biasa."
"Dan kau ingin mengatakan apa? Bahwa kau kelinci luar biasa?" cibir Esme, tidak peduli ketika orang-orang yang lewat menatapnya dengan aneh.
"Orang tampan yang bisa berubah wujud sesuka hatinya memang luar biasa."
"Oh, omong kosong." Esme menghela napas kasar, bersedekap dengan kepala tertunduk. Mata birunya terpaku pada sosok pendek empuk yang hampir merata dengan salju. "Jadi, kau ingin tetap diam di sana atau bagaimana? Aku tidak ingin buang-buang waktu sampai berubah menjadi makanan beku di sini."
Kelinci Ruviane merengut. Berusaha bersedekap dengan kaki depannya yang pendek. "Aku tidak suka dipegang sembarangan."
"Kau seharusnya mengatakan itu sejak awal," tukas Esme agak melembut, lantaran tidak tega melihat gumpalan kapas hidup bercorak hitam bersungut-sungut setelah disalahkan. Pelan-pelan dia berjongkok, agak kesulitan menjaga keseimbangan karena tidak terbiasa. "Walaupun sekarang aku terlihat sinting karena berbicara dengan seekor kelinci berdasi kupu-kupu, aku ingin berguna. Lagipula, kau yang bilang sendiri kalau wujudmu yang ini bisa menghangatkanku, bukan?"
Kelinci Ruviane tertegun. Tanpa sadar mengalihkan pandangannya kepada sepasang tangan telanjang sang nona yang—sedari tadi dia perhatikan—tidak jauh-jauh dari lipatan sweter di balik jaket parka.
Itu menimbulkan satu pertanyaan baru.
"Sarung tanganmu ke mana?"
Lucunya, Esme malah melemparkan cengiran kuda yang Ruviane pikir tidak perlu. "Kupikir hari ini tidak sedingin akhir Desember, jadi tidak kupakai."
"Nona, akhir Desember dan awal Januari itu berdekatan."
"Oke. Akan kuingat untuk tahun depan."
Kelinci Ruviane mengernyit. Kesadaran baru tiba-tiba datang dan menampar wajahnya. Meskipun berlagak seperti tuan muda penuh pesona adalah hal yang tidak dia suka, paling tidak ....
"Seharusnya aku lebih peka, ya."
"Oh, ya, tentu saja. Kau peka dengan kondisimu sendiri saja aku sudah bersyukur." Sekali lagi Esme mencibir. "Kalau kau bilang padaku tidak suka dipegang sembarangan, aku akan membantumu sejak tadi. Mudah saja kubilang, 'Kelinciku sedang sakit kulit. Tolong jangan dipegang sembarangan, ya'."
Kelinci Ruviane menggerak-gerakkan hidung. Ada pergulatan baru di dalam hatinya. Walaupun sedikit tidak diterima disebut sedang sakit kulit, setidaknya gadis itu tulus—mungkin.
"Kau tahu penghangat terbaik selain sarung tangan?" Dia bertanya.
Esme mengangkat satu alis. "Apa?"
Kelinci Ruviane melompat-lompat mendekat. Kaki depan hitamnya yang pendek terangkat, berayun-ayun berusaha memberi kode kepada sang nona agar gadis itu memberikan tangan.
Esme entah dari mana mengerti arti gerakan itu. Dia lantas mengulurkan kedua tangannya, kemudian menangkap Kelinci Ruviane yang melompat naik ke dalam pelukan.
Gadis itu terkesiap. Terpukau dengan gumpalan kapas raksasa di pelukannya.
"Wah," desisnya. "Kau empuk sekali."
"Yah, semua orang bilang begitu."
"Kenapa bisa seorang tuan muda yang maskulin tiba-tiba berubah menjadi gumpalan daging berbulu lembut?"
"... Itu agak tidak sopan, ya." Kelinci Ruviane menggulirkan mata merahnya ke atas. Tersinggung.
Santai saja dia berputar-putar dengan langkah kecilnya guna mencari posisi nyaman dalam dekapan Esme. Setelah berhasil menemukan posisi nyaman, Kelinci Ruviane merunduk. Satu kaki depannya tak sengaja bersentuhan dengan kulit tangan putih sang nona, dan tampaknya dia tidak keberatan.
Hanya saja, Kelinci Ruviane tidak tahu bahwa gerakan sederhananya itu malah membuat Esme menjerit tanpa suara dan nyaris memeluk si kelinci erat-erat seperti bantal.
Kakinya! Kelinci Ruviane mendengar isi kepala gadis itu menjerit. Kakinya pendek!
"Maaf, ya, Nona. Kaki kelinci ini memang pendek."
Kelinci himalaya itu mendongak, menyaksikan Esme mengulum bibirnya dengan wajah canggung. Lalu tawanya meledak dan tombol komando di otaknya menyala; memerintahkan tangan untuk bergerak memeluk si kelinci hitam-putih.
Gadis itu bahkan mengangkat Kelinci Ruviane sampai sejajar dengan wajahnya, lalu melesakkan wajahnya yang kedinginan pada tubuh empuk si kelinci.
Mata merah Kelinci Ruviane melotot. Dia panik.
Benar-benar panik.
Dalam hitungan sepersekian detik, gerakannya mendadak kalap lantaran hendak melompat dan melarikan diri. Nahas, pelukan Esme bukan main eratnya.
Demi wortel! Apa-apaan tenaganya?!
"Fwah!" Esme mengangkat wajahnya dari benda empuk berbulu. Ada senyum lebar yang belum pernah Ruviane lihat sebelumnya di sana. "Astaga, kau hangat sekali! Jadi boneka tidurku malam ini, ya? Ya? Ya?"
Kelinci Ruviane berjengit. Waspada kalau-kalau diserang lagi. "Terima kasih banyak, tapi itu tidak perlu, Nona. Aku alergi kasur manusia."
Esme melempar cengiran lebar. Kini membiarkan kakinya yang dipeluk sepatu tinggi melangkah ringan di atas tumpukan salju. "Oke," katanya mendadak riang. "Ayo tunjukkan ke mana jalannya, Tuan Kelinci."
Maka dimulailah petualangan si gadis bermata biru dengan kelincinya yang bergelung dengan tenang di atas gendongan.
Taman St. James tidak bisa dikatakan sepi ataupun ramai pada musim dingin. Jumlah pengunjung yang datang memang tidak sebanyak saat musim-musim lain. Namun, untuk ukuran taman serba salju dengan suhu kurang bersahabat, taman itu masih diramaikan oleh banyak orang.
Entah mereka yang hanya sekadar menumpang lewat, jalan-jalan bergandengan dengan pasangan, atau mendadak jadi tempat sekumpulan anak melakukan aksi perang bola salju—taman itu tampaknya akan terus ramai.
Setidaknya sampai cuaca memburuk.
Ruviane dan nonanya saat ini adalah satu dari sekian banyak pengunjung yang tidak jelas tujuan kedatangannya di mata orang. Hanya berjalan-jalan, berhenti dari satu pohon ke pohon yang lain, begitu terus sampai napas Esme tersengal kelelahan.
Berdalih masih ada yang ingin dicari, Kelinci Ruviane akhirnya melompat turun dari dekapan Esme dan mulai melakukan ekspedisi pribadi sambil berusaha menjauh dari perhatian orang-orang.
Esme?
Nah, gadis itu lebih memilih ditinggal sendirian dengan jaminan tetap hidup, daripada ikut ke sana kemari dengan taruhan napasnya semakin pendek.
Di tengah keramaian yang tak seberapa, Esme melangkah santai dengan senandung kecil. Baru menyadari bahwa Ruviane sudah menuntunnya berjalan cukup jauh, bahkan sampai tiba di bagian yang belum pernah dia jamah sebelumnya. Merasa sudah cukup jauh berjalan, gadis itu berhenti di depan sebuah patung.
Patung monumen penjaga istana.
Sejauh yang Esme ingat, James tidak pernah bilang bahwa mereka sempat berjalan-jalan di taman kerajaan sebelum pindah ke Brooklyn. Namun, ada ingatan lain yang terbuka begitu berhenti di depan patung itu; abangnya dijitak oleh seseorang—barangkali itu James—akibat membiarkan adiknya nyaris hilang di tengah hujan salju.
Mungkin Ayah lupa karena terlalu banyak pekerjaan. Esme manggut-manggut, mafhum sendiri, dan mengambil satu langkah mundur guna melihat-lihat detail si patung penjaga dari jauh.
Itu sebelum dia menangkap sosok berpakaian serba hitam, agak jauh di belakang patung, tengah berjalan ke arahnya.
Setelan jas hitamnya rapi, ada jubah tanpa tudung yang bertengger di bahunya sampai di atas betis, dan—anehnya—tanpa topi tinggi. Mata mereka bertemu sekilas, dan Esme ragu warna manik di sana; hitam, merah, atau hitam yang tiba-tiba menjadi merah?
Peter pernah bilang bahwa sebenarnya otak manusia itu cemerlang. Tergantung bagaimana pemanfaatannya. Jadi sebelum Esme memutuskan untuk menyapa, gadis itu berniat untuk memastikan terlebih dahulu bahwa dia tidak salah orang.
Hei, Ruviane. Apa kau melepas topimu?
[Kelinci tidak menggunakan topi, Nonaku Sayang. Kaubilang dasi kupu-kupu saja sudah mencolok, apalagi topi?]
Esme mengernyit. Bersiap pergi menjauh dan memutuskan kontak mata dengan si orang aneh. Beritahu aku, barangkali aku lupa—apa tadi kau mengenakan jubah?
Terjadi keheningan panjang dadakan. Esme tidak bisa menahan diri untuk berdiri tegang sekarang.
[... di mana kau sekarang?]
Suara di kepalanya menjadi lebih serius. Gadis itu paham akan satu hal: ini bukan pertanda bagus.
Di sekitar patung penjaga yang paling mencolok. Esme berbalik, berusaha untuk tidak terlihat buru-buru di atas sepatu tingginya. Sesekali dia menunduk, mencoba melihat tempo langkahnya sendiri, tetapi juga tidak sengaja melihat cahaya merah menembus pakaiannya. Bergegas dia halau rembesan cahaya itu dengan kedua telapak tangannya. Liontinku begini lagi. Apa ini ulahmu?
[Ya.] Suara di kepala Esme mendadak serius. [Dan tolong menjauh dari sana.]
"Dan kuharap kau segera datang," gadis itu mendesis. Dia arahkan kaki menuju arah yang agak menyerong agar dapat mencuri pandang kepada sosok di belakang sana.
Orang itu berjalan ke arah yang sama. Langkahnya cepat, tetapi tenang. Pengunjung lain dilewatinya, tetapi tidak ada seorang pun yang menatapnya aneh karena dia tidak mengenakan pakaian hangat yang tebal. Yang lebih mengerikan: matanya tidak sedikit pun melirik ke arah lain.
Esme seratus persen paham bahwa dia dalam bahaya.
- • -
Angin mulai datang membawa butiran salju. Awalnya tidak terasa, tetapi lama-kelamaan saraf di wajah akan paham bahwa cuaca mulai memburuk.
Kelinci Ruviane melompat sejauh dan secepat yang dia bisa. Memang ada orang-orang menghalangi jalannya, tetapi dia berkelit dengan mudah bak likuid. Tidak ada yang benar-benar bisa menghalanginya di saat mendesak.
Sebelum ini dia bersantai seperti hewan-hewan liar pada umumnya. Tidak terlihat kelaparan ataupun mencoba menarik perhatian orang lain. Namun, ketika sedang sibuk memeriksa pohon-pohon besar di sekitar danau, mata merahnya tiba-tiba terasa seperti ditusuk dari dalam dan instingnya seperti disenggol kuat-kuat.
Sensasi yang sebelumnya dia rasakan ketika Esme tersandung di tangga, juga ketika Esme goyah dan nyaris terjun ke lubang rahasia temuan mereka.
Di saat itulah Ruviane sadar bahwa sesuatu yang buruk siap menimpa si gadis bermata safir.
"Jubah hitam tanpa topi. Jubah hitam tanpa topi."
Kelinci Ruviane terus melompat, merapal kata-kata itu berulang kali sampai sebuah ingatan muncul di kepalanya. Bila pemuda itu sedang dalam sosok manusianya sekarang, sudah dipastikan bahwa dia akan menggertakkan giginya sambil menggeram.
Nah, ya, itu karena tidak ada yang boleh mengganggu nonanya.
Agak jauh di depan, Esme tengah berjalan cepat dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Berusaha menyembunyikan cahaya kemerahan di dadanya sekaligus mencari kehangatan karena salju mulai datang berkeroyok bersama angin.
Beberapa langkah di belakang Esme, seseorang dengan deskripsi yang sesuai masih berjalan mendekat. Semakin cepat gadis itu melangkah, semakin cepat pula orang itu membuntuti.
Netra rubi itu menyipit. Dia kesulitan melihat wajah orang mencurigakan itu dengan jelas. Angin dan butiran salju semakin menggila.
Pemuda itu merutuk di dalam hati, Aku benci musim dingin.
"Ruviane!"
Tanpa pikir panjang, kelinci himalaya itu melompat tinggi ke arah rentangan tangan Esme. Gadis itu menangkapnya, dan begitu mereka bertatapan, Kelinci Ruviane bisa melihat sorot takut di mata safir itu.
Seolah belum cukup membuatnya menyesal karena telah meninggalkan nonanya sendiri, Kelinci Ruviane merasakan adanya gemetar halus pada tangan ramping yang menggendongnya. Lebih-lebih lagi sikap Esme yang lebih defensif—dan tidak memedulikan topi rajutnya yang melonggar di kepala—ketika memberikan pelukan.
Ruviane benar-benar merasa bersalah.
"Oke," bisik Esme lirih. "Aku tidak tahu siapa yang mengejarku, dan kebetulan aku tidak ingin orang itu di belakangku, selamanya. Jadi bisakah kau memeriksanya untukku?"
Ruviane mengangkat dagu kelincinya. Berusaha melihat sosok yang dimaksud sang nona, tetapi dia tidak menemukan siapa-siapa berkat jumlah salju yang turun semakin meningkat.
Dia lenyap. Mata merah Ruviane turun ke arah tumpukan salju. Bahkan jejak sepatunya tidak ada.
"Sudah pergi." Hanya itu yang bisa dia katakan, setidaknya merupakan kalimat yang paling normal untuk orang normal.
Esme menghela napas dan Ruviane bisa menebak betapa lega perasaannya. Tanpa ragu gadis itu melepas pelukannya dan membiarkan si kelinci duduk manis dalam gendongannya.
"Ini musim dingin paling gila seumur hidupku," desahnya seraya mengusap kening sampai pelipis, mengakibatkan topi rajutnya semakin melonggar. Namun, tampaknya Esme tidak begitu peduli soal itu dan lebih tertarik untuk bertanya, "Sudah menemukan apa yang kau cari?"
Kelinci putih dengan bercak hitam itu mengalihkan pandangan. "Belum. Aku kesulitan mengingat yang mana pohonnya," jawabnya.
Esme menghela napas. Tanpa suara berkomentar, Nah, 'kan? Kubilang juga apa.
Butiran salju manis itu tak bertahan lama. Semakin lama Esme dan si kelinci diam di tempat, semakin kuat angin membawa salju sampai Esme terpaksa mengerjap berulang kali. Hingga sampailah titik di mana hembusan angin bukan main kencangnya—mengempaskan topi rajut Esme dan menerbangkannya entah ke mana.
"Wow, anginnya—"
Si kelinci mendongak. Hidungnya yang semula berkedut pelan kini berkedut cepat. Mata merahnya terbuka lebar, perlahan-lahan. Ekspresi yang jujur mengatakan bahwa dia terpana dengan pemandangan di hadapannya.
Surai emas yang bergelantung di depan kening Esme berantakan. Kepangan yang Ruviane bantu buat tadi pagi melonggar. Beberapa helaian pirang keemasannya lolos dari pola dan menari-nari dengan lembut bersama hujan salju tipis. Pita biru pucatnya tidak melonggar, tetapi bentuk pita kupu-kupunya terlepas, menyisakan ikat mati dengan ekor yang panjang—barangkali bentuk kupu-kupunya rusak akibat terseret topi rajut.
Mereka menyatu, bersama-sama menari dengan angin. Sedangkan gadis itu sendiri tengah mengernyit sampai mata safirnya menyipit, berusaha menghalau butiran salju agar tidak menusuk mata.
Bila memang diizinkan untuk jujur, Ruviane akan berterima kasih pada sang angin karena telah membawakan ingatan lama yang pahit, sekaligus menciptakan ingatan baru yang manis.
"Oke, ini tidak bagus." Esme meringis seraya celingak-celinguk mencari topi rajutnya, lalu menunduk menatap kelinci himalaya di gendongannya. "Apa kau tidak keberatan kalau kita istirahat sebentar? Wajahku mulai beku."
Tidak ada jawaban. Kelinci Ruviane hanya terus mendongak dengan hidung berkedut, seakan terhipnotis sampai kesulitan mengalihkan pandangan.
"Ini bukan salahmu, Ruve. Jadi kumohon, jangan pernah berpikir untuk membencinya."
Dia baru menyadari beberapa hal dari nona barunya—suara itu semanis gula, semenenangkan kamomil, dan selembut bunyi lonceng pohon Natal. Merayap masuk ke dalam kepala, berseluncur ke hati, mengetuk sebuah emosi pahit tak bernama di sana sampai rasa sesak mulai datang.
Momen ini perlahan terasa familier di kepalanya.
"Jangan pernah—"
"Ruviane?"
"—membenci musim dingin." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top