- • One-on-One Talk • -

Tak terhitung jumlahnya Esme menunduk hanya untuk melihat sepatu orang yang mondar-mandir keluar-masuk kedai makanan. Hal ini dia lakukan berulang kali dalam rangka mencegah suntuk dalam melaksanakan tugas. Feodora yang mengajarkannya—bahwa sepatu-sepatu modis bisa menjadi sebuah media pembunuh rasa bosan.

Tugasnya kali ini cukup sederhana, yakni menunggu.

Walaupun bukan jenis kegiatan yang dia sukai, tetapi bila selama menunggu pun sudah disuguhi pemandangan sepatu yang indah di mana-mana maka gadis bermata safir itu akan mencoba untuk melaksanakan tugas "menunggu" ini sebaik-baiknya.

Pegal menunduk sampai pita biru pucatnya menjuntai, Esme mendongakkan kepala. Termangu dengan pemandangan kelabu yang Januari walaupun tidak separah awal musim dingin. Sekarang dia mungkin terlihat seperti seorang gadis yang kehilangan rombongan teman, atau malah lepas dari gandengan kekasih.

Entah seperti apa persisnya pandangan para pegawai kedai di dalam sana, yang jelas Ruviane bilang padanya untuk menunggu di luar.

Untuk beberapa alasan, Esme langsung menurut. Penyebabnya karena Ruviane dengan segera berubah wujud dari kelinci menjadi sosok pemuda tinggi bersetelan formal lagi. Wujud Ruviane yang seperti itu belum berani Esme lawan sering-sering. Lain lagi bila yang dihadapinya adalah sosok Kelinci Ruviane yang kecil, empuk, berbulu, dan mudah ditendang dengan satu kaki bila dia macam-macam.

Bukan hanya bentuk fisik, sikap Ruviane juga berubah menjadi sedikit lebih tidak menyenangkan setelah mereka kehilangan jejak orang aneh berjubah hitam tadi.

Barangkali suasana hatinya jadi jelek.

Esme memiliki banyak pertanyaan untuk dijawab, tetapi mata merah rubi Ruviane tampak berkilat sekaligus gelap, alisnya turun dan air wajahnya keruh. Itu bukan ekspresi yang baik, jadi Esme lebih memilih untuk menurut sambil memikirkan satu-dua kemungkinan jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Berpikir sebelum bertindak di hadapan orang yang lebih dominan daripada diri sendiri adalah salah satu kebiasaan yang Esme kira patut diapresiasi.

Mungkin ada kenalannya yang sesama makhluk ajaib di dalam sana, pikir gadis itu selama tatapannya terpaku pada ujung sepatu. Jangan kaget, jangan heran, jangan banyak tanya.

Untuk yang kesekian kalinya, pintu kedai terbuka. Suara sol sepatu menghantam lantai terdengar jelas di telinga Esme. Arahnya semakin mendekat, kemudian tiba-tiba berhenti.

"Yang ini gadis barumu?"

Esme menoleh. Agak kaget ketika bersitatap dengan seorang wanita kurus tinggi berpakaian kasual tengah menatapnya lurus-lurus. Ada apron hitam yang terkalung di lehernya, lengkap dengan logo kedai di sudut kanan atas apron. Rambutnya dikucir berantakan, menampakkan lehernya yang panjang. Ujung rambutnya lurus tanpa cela, sewarna arang dengan highlight ungu. Di atas segalanya, yang paling mencolok di mata Esme adalah eyeliner tajam di bawah matanya yang sehijau hutan—dan menatapnya dengan tajam pula.

Sama seperti kebanyakan pegawai kedai makanan, wanita itu sibuk mengunyah sesuatu di dalam mulutnya. Barangkali permen karet, untuk berjaga-jaga agar tidak cepat suntuk selama melayani pelanggan.

Tidak ada siapa pun di sekitarnya, tetapi Esme dapat merasakan hawa keberadaan Ruviane di dekatnya.

Di bawah pengamatan Esme, wanita kurus itu mengunyah permennya tiga kali sebelum bersuara. "Bagus juga."

Diam-diam Esme menggigit bibir dalam. Merasa tidak nyaman disebut bagus seolah tidak ada bedanya dia dengan barang.

"Kuperingatkan kau, mulutnya memang diam, tapi isi kepalanya berisik. Terkadang malah jahat," sahut Ruviane, tiba-tiba muncul di ambang pintu, tak jauh dari tempat si wanita kurus berdiri.

Sekarang Esme mendelik, agak tersinggung menatap sosok Ruviane yang tiba-tiba muncul di ambang pintu dan tidak jauh dari tempat si wanita kurus berdiri. Mata rubinya yang tidak segelap tadi kini menatap sang nona lurus-lurus seolah mengatakan, Jangan protes. Yang kukatakan itu fakta.

Esme balas menatapnya dengan makna, Kita baru bertemu dua hari, Bung. Jangan sok akrab.

Lalu dalam sekejap, Esme ditampar realita—dia baru sadar bahwa kemunculan Oliver sejak awal tahun baru sama saja dengan kemunculan Ruviane.

Esme menunjuk si wanita kurus dengan tatapan bertanya-tanya. Pasalnya, Ruviane pernah bilang orang-orang selain Esme tidak bisa melihatnya, bahkan Feodora yang satu rumah dengannya.

"Dia kenalanku," Ruviane menjawab tatapan bertanya nonanya. "Saljunya semakin lebat. Jadi aku meminta orang ini untuk memberikan tempat gratis di sudut ruangan."

"Tidak ada yang gratis." Si wanita menyayangkan. "Kau punya uang, Nona Cantik? Duduk di dalam sana selama lebih dari lima belas menit paling tidak membutuhkan lima pounds."

Bila diperbolehkan untuk percaya diri, Esme tidak ada masalah dengan uang atau apa pun. Dia juga tidak keberatan berjalan cepat melawan hujan salju. Meskipun "teman-teman" baiknya di Brooklyn mengecap Esme sebagai anak anggun bak boneka Barbie, gadis bermata safir itu masih tahu caranya melangkah super cepat tanpa drama tergelincir di atas salju.

Dulu, Clara pernah mengingatkannya satu hal: selama transportasi umum masih beroperasi, lebih baik segera pulang daripada berlama-lama dibungkus cuaca ekstrem.

Namun, begitu mengingat siapa yang akan menyambutnya di rumah langsung membuat Esme batal menyegerakan diri untuk pulang.

Peter memang tidak bilang akan pergi ke mana-mana, tetapi Esme paham betul bahwa laki-laki seusia Peter bisa pergi tiba-tiba semaunya. Feodora sedang ada janji dengan kenalan barunya hari ini (dia menyebutnya Kencan Buta di Siang Hari). Leonard barangkali membawa pasukan teman sekelasnya ke kamar atau mungkin justru dia yang diseret ke rumah teman. Bibinya, Elena, sudah dipastikan kembali mengurus butik di tengah-tengah kepadatan London. James pergi ke kantor sejak pagi tadi. Sedangkan Clara ....

Ah, memikirkan apa yang mungkin dilakukan ibunya saja Esme sudah enggan.

Akhirnya gadis itu menghela napas. Langsung bertekad kuat untuk bertahan lama di luar alih-alih langsung pulang menembus cuaca tak bersahabat. Lagipula, Oma Mandalyn tidak akan mencari anak-cucunya selama matahari belum terbenam.

"Aku punya sepuluh pounds. Lebih dari itu, malah," tukas Esme seraya menelengkan kepala. "Apa itu artinya aku bisa duduk di dalam sana selama tiga puluh menit ke atas?"

Si wanita berambut nyentrik di tengah putih kelabunya salju langsung berkedip cepat begitu mendengar sahutan Esme. Tak butuh waktu lama, tawanya meledak. Tulang sikunya yang terlihat berbalut kulit semata iseng menusuk-nusuk Ruviane tepat di pinggang.

"Aku suka gadismu yang ini!" Dia berseloroh heboh.

Esme meliriknya. Tidak bisa melakukan apa-apa ketika pemuda itu diam berkutik, seolah tengah menahan umpatan lantaran pinggangnya ditusuk dengan siku yang tajam.

Agak canggung, Esme menahan senyumnya ketika wanita itu masih asyik tertawa-tawa sambil bertepuk tangan. Ketika tawanya menyurut, barulah senyum ramahnya terbit seolah tatapan tajam yang di awal tadi tidak pernah terjadi.

"Tentu saja kau boleh duduk berjam-jam di kursi yang kosong, selama isi dompetmu bisa membuat pelanggan yang baru mengalah untuk makan di luar," tuturnya. "Panggil aku Carol, Nona Cantik. Aku barangkali adalah satu dari sekian banyak teman kelinci besar di belakang ini, tapi kujamin aku teman yang baik selama tidak ada perebutan wilayah. Dan kau?"

"Esme." Si gadis bermata safir diam sejenak. "Teman baru si kelinci, kurasa."

"Nona baruku, lebih tepatnya," ralat Ruviane dengan senang hati.

Carol terkesima, ber-oh panjang, kemudian mendadak antusias. "Senang bertemu denganmu, Esme. Aku akan amat sangat tertarik untuk mendengar kisah pertemuan pertama kalian. Biasanya mereka yang pertama kali bertemu pemuda tak tahu sopan santun di belakangku ini pasti memiliki kisah yang absurd. Tapi tak apa, cerita bisa menunggu. Sekarang ayo kita masuk. Anginnya semakin gila."

Esme mengangguk setuju (untuk angin yang semakin gila, dan pemuda tak tahu sopan santun). Bukan hanya jari-jari tangannya, sekarang kakinya yang dilapisi bot hangat tebal pun mulai merasa dingin.

Sembari berjalan di belakang wanita bernama Carol itu, Esme melirik ke kanan dan kiri. Membandingkan pakaian orang-orang dengan setelan jas yang dikenakan Ruviane walaupun sejatinya tidak ada yang menilai pakaian pemuda itu karena tidak ada yang melihatnya. Tanpa bisa ditahan, seketika gadis itu mengernyit lantaran melihat kesenjangan fesyen yang tumpang tindih.

Kalau sampai Elena melihat pakaian Ruviane saat ini, bisa jadi pemuda itu ditimpuk pakaian modis yang lebih pantas untuk musim dingin.

Begitu melihat pelanggan lain tidak terlihat terganggu oleh eksistensi pemuda berjas hitam rapi dan topi tinggi, Esme mulai berpikir bahwa mungkin Carol benar-benar memiliki identitas lain.

Kalau Ruviane bisa menjadi kelinci, pikir Esme, wanita ini bisa menjadi apa?

[Dia kucing.] Suara Ruviane masuk ke kepalanya. [Kau tahu Cheshire Cat? Dia sejenisnya.]

Esme menoleh ke belakang, beradu tatap dengan Ruviane. Maksudmu kucing belang-belang yang suka nyengir sambil melayang?

Ruviane mengangguk sekilas. [Tidak salah lagi.]

Wah. Kali ini Esme terperangah. Mimpi-mimpi lugunya saat kecil rasanya mulai menjadi nyata.

Belum jauh melangkah ke dalam kedai, Esme dibuat terdiam mematung berkat aroma bakon panas yang menguar di udara. Perutnya—yang semula baik-baik saja setelah diganjal dengan sarapan kecil—kini bergemuruh seolah-olah belum diisi makanan berhari-hari.

"Ada satu meja kosong di pojok. Tempat itu jarang dijamah, tapi aku berani bersumpah pemandangannya lebih memuaskan ketimbang di deretan pintu." Carol menjelaskan, lalu menatap sekilas pemuda tinggi di belakang Esme. "Kalian bisa berlama-lama di sana. Tapi kusarankan agar Nona Cantik berpura-pura sedang sibuk menulis atau apa. Terkadang ada pelanggan yang keberatan melihat pelanggan lain terlalu berlama-lama di sini."

Kertas dan pena ....

"Aku tidak membawa yang seperti itu bersamaku," gumam Esme.

"Akan kupinjamkan, kalau begitu." Carol berkedip dengan satu matanya. "Nah, apa ada yang ingin kau makan secara spesifik? Kami menyediakan menu sarapan dan makan siang."

Esme menatap pesanan orang lain di berbagai meja lamat-lamat. Daging, sup, kopi, dan ....

Oh, astaga. Benda mengerikan apa itu? Esme mengernyit jijik ketika tatapannya jatuh pada potongan oranye di atas piring salah seorang pelanggan. Bahkan dia spontan merapatkan mantel seolah-olah gerakan protektif itu bisa melindunginya dari keburukan.

Carol sepertinya menangkap ekspresi tidak menyenangkan itu. Makanya dia ikuti arah pandang Esme kemudian ber-oh panjang pertanda peka. "Ada sesuatu yang tidak kau suka?"

"Ya," jawab Esme cepat. "Sejujurnya, aku akan makan apa saja selain wortel."

Ruviane melotot (dan Carol mati-matian menahan diri untuk tidak terbahak-bahak lagi). Dari mata rubinya terpancar raut kekecewaan yang begitu dalam. "Demi wortel! Itu makanan terlezat yang pernah ada, dan kau bilang kau tidak menyukainya?"

Esme berdecak lidah. Ah, ya, tentu saja pencinta sayur itu akan berkata demikian. "Aku hanya bilang tidak suka, bukan menjelek-jelekkannya."

"Kau membuatku kecewa, Nona Sonata."

"Oh, tutup mulut."

"Baiklah, aku menyarankanmu roti lapis bakon kalau kau ingin terhindar dari wortel." Carol menyela sebelum rekan pelayannya menyerobot untuk melayani Esme lebih dulu. "Kau suka bakon, 'kan?"

"Tentu saja." Lalu dia melirik guna menatap pemuda jangkung yang menjulang di belakangnya. "Kau tidak memesan?"

Tanpa setitik ragu pun Ruviane menjawab, "Salad sayur."

"Memang kelinci tulen." Carol mengerling dramatis sampai Esme terdorong untuk terkikik pelan. "Pesananmu akan segera datang. Jadi tolong segera mengambil tempat duduk sebelum kalian terpaksa makan sambil berdiri." Wanita kurus nyentrik itu berkedip genit, lalu hengkang dari sana. "Akan kubawakan semangkuk susu untuk kelincimu yang manis."

Di belakang Esme, Ruviane merengut. Ekspresi yang mulai Esme kenali sebagai bentuk unjuk rasa ketidaksukaannya akan sesuatu.

Iseng-iseng gadis pirang itu bertanya, "Kau suka minum susu?"

"Tidak. Dia menebar fitnah."

"Oh, ayolah. Tidak usah malu-malu." Tadinya Esme murni bertanya karena penasaran, tetapi sepertinya si pemuda bertopi tinggi menganggapnya sebagai ejekan. "Kelinci tampan seperti dirimu pasti tumbuh sehat karena minum susu, bukan?"

"Asal kau tahu, Nona, kelinci tidak minum susu sapi. Mereka—maksudku adalah para kelinci—yang mendapat privilese akan diberikan susu khusus. Itu karena tubuh kelinci tidak toleran terhadap laktosa di susu sapi. Perut mereka sensitif," jawab Ruviane, mengambil tempat duduk kosong lebih dulu di bagian pojok. Membiarkan Esme duduk membelakangi keramaian dan menghadap ke tembok. "Dan sebagai informasi, aku bisa menikmati apa pun seperti orang-orang biasa selama aku tidak dalam wujud kelinci."

Esme melepas mantel, melipatnya sekilas kemudian menggantungnya pada sandaran kursi yang satunya lagi sebelum duduk. Posisinya betul-betul membelakangi pelanggan dan pelayan yang berlalu lalang. "Apa itu berarti kau bisa makan roti lapis bakon?"

Ruviane menatapnya ogah-ogahan. Boleh jadi tidak menyangka bahwa gadis yang satu ini rupanya hobi menanyakan hal yang tidak penting.

"Aku tidak begitu suka daging," jawabnya.

"Oh." Esme menjentikkan jari. "Vegetarian?"

"Tidak juga. Aku masih makan biskuit."

"... Katamu kelinci tidak toleran terhadap laktosa."

"Yah, selama aku bisa menjadi manusia agar toleran terhadap laktosa demi makan sekeping biskuit—kenapa tidak?"

Esme bertopang dagu. Tersenyum manis seperti yang Ruviane lakukan padanya kemarin. "Kau lucu juga, ya, kalau sering menyangkal," katanya.

"Kau yang lebih lucu, Nona Sonata." Ruviane mendengkus. "Tidakkah kau sadar orang-orang mulai menatapmu dengan aneh?"

Esme melirik ke balik bahunya dan benar saja; meskipun duduk di meja paling ujung—menghadap ke tembok pula—beberapa orang masih saja mencuri pandang ke arahnya lantaran memergoki Esme bertopang dagu sambil senyum-senyum sendiri.

Mengobrol dengan kelinci masih lebih waras dibandingkan dengan pemuda tampan tapi transparan, pikirnya.

Gadis itu tersenyum masam. Langsung pura-pura sibuk memintal pita biru pucatnya yang panjang. Sesekali dia menoleh ke belakang, tersenyum singkat kepada orang-orang yang menatapnya.

Si pemuda bertopi tinggi mengulum bibir dengan geli. Punggungnya bergerak mundur ketika Esme sok sibuk membersihkan meja bagiannya (sambil berusaha meninju ulu hatinya di balik setelan jas hitam). Dilihat dari sisi mana pun, dia tampak berusaha sekuat tenaga untuk tidak terkekeh jahat atau gadis itu akan kembali melancarkan serangan seperti di kamar mandi tadi pagi.

"Aku lebih suka kau yang berbentuk kelinci."

"Terima kasih atas pujiannya, tapi aku lebih suka berkaki dua."

Esme mengeluh. Ucapan Ruviane sama sekali tidak menghibur. Ogah-ogahan dia tarik keluar casing AirPods dari tas selempang kecil di pangkuan.

Setelah memastikan benda mungil itu menyumbat telinganya dengan benar, Esme kembali bertopang dagu sambil sedikit mengeraskan suara ketika berkata, "Halo, Ruv. Aku baru saja kehilangan topi rajutku. Maukah kau membantuku untuk mencarinya?"

Pemuda di seberangnya ikut-ikutan bertopang dagu. "Tidak yakin. Pasti sudah tertimbun salju."

Esme manyun. Mendadak merasa direndahkan ketika Ruviane malah terkekeh-kekeh melihat kemampuan aktingnya.

"Dasar orang sibuk," dengkus Esme. Masih pura-pura menelepon, tetapi kali ini dia menatap Ruviane lurus-lurus. "Omong-omong, pohon yang tadi katamu sedang kau cari itu sebenarnya pohon apa?"

"Apa pertanyaan itu untukku, atau untuk orang yang sedang meneleponmu?"

"Oh, percayalah. Mereka satu orang."

Dengan bibir terkulum, Ruviane bersandar seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Secara tidak langsung menunjukkan gestur penolakan. "Sebelum kau mendapatkan kertas dan pena, aku tidak akan menjelas—"

"Oh, bagus! Tampaknya kau suka duduk di sini." Suara riang Carol datang menginterupsi. "Terima kasih telah menunggu, Esme. Terima kasih juga karena telah bersabar, Kelinci Besar."

Mata safir Esme tak berhenti mengikuti gerakan luwes tangan Carol. "Apa kau sungguhan punya kertas? Dan pena?"

"Tentu saja," jawab Carol penuh percaya diri. "Tunggu sampai aku merapikan ini semua, ya, Nona Cantik."

Esme menyeringai menang. Ruviane cemberut di tempat.

Meskipun awalnya terlihat kurang ramah, nyatanya pelayanan Carol patut diapresiasi. Dia datang dengan tangan kanan menadahkan nampan berisi sepiring roti lapis bakon, semangkuk salad sayur tanpa saus, dan dua cangkir bening bertumpuk. Sedangkan tangan kirinya memegangi sebuah teko mungil bening berisi teh dan entah bunga jenis apa yang tenggelam di dalamnya. Untuk sesaat, Esme ragu bahwa itu termasuk ke dalam properti kedai.

"Aku tidak tahu kau biasa minum apa, jadi aku menyiapkan teh. Ini minuman kesukaan si Kelinci Besar dan biasanya orang-orang akan menyukai ini juga," celoteh Carol. "Sebagai informasi, itu seperangkat alat minumku. Jangan biarkan pelayan lain yang membersihkan meja kalian. Panggil saja aku bila kalian sudah selesai."

Esme mengernyit. "Kau membawanya dari rumah?" tanyanya sangsi.

Carol tergelak. "Oh, Esme. Ini rumahku. Tentu saja benda itu ada bersamaku."

Esme mengernyit bingung. Dia tatap Ruviane, tetapi pemuda itu bahkan tidak berinisiatif untuk menjelaskan apa-apa.

Tidak ingin membuat keributan serius di tengah kedai, Esme memutuskan untuk mengalah. Manik safirnya kini terarah pada Carol yang sibuk menata makanan dan minuman di atas meja.

Selesai menata semua pesanan, wanita itu merogoh saku apron lalu menarik selembar kertas dan sebuah pena dari sana.

"Ini alat tulismu, Nona Cantik." Sekali lagi dia berkedip genit sambil melambaikan tangan dan pergi berlalu dengan nampan di pelukan. "Selamat menikmati dan semoga rapatmu menyenangkan."

Esme mengulum senyum geli, balas melambaikan tangan ke arah Carol sampai wanita itu mengalihkan fokusnya pada pelanggan lain.

"Nah." Esme mencondongkan tubuh, menghirup aroma bakon hangat di depan matanya dalam-dalam. "Kau akan menjelaskannya padaku sekarang atau membiarkanku menyantap roti lapis bakon yang lezat ini terlebih dahulu?"

Ruviane menghela napas. Dia berhenti bersandar hanya untuk meraih teko bening.

"Cerita bisa menunggu," katanya. "Ingin teh, Nona?"

Esme menarik senyum sopan, kemudian menoleh ke balik bahunya sekilas guna memastikan tidak ada orang di sekeliling mereka. Dia jajarkan dua cangkir bersisian, kemudian membiarkan Ruviane mengangkat teko dan menuangkan teh panas dari sana. Air keemasan bak madu mengalir, menabrak dinding cangkir sampai uapnya mengepul dan menebarkan aroma menenangkan yang familier.

Sejenak Esme tertegun. Berusaha mengenali aroma itu.

"Kamomil?" Dia bergumam, teringat lagi pada malam di saat Ruviane hilang meninggalkannya untuk tidur dan di saat itu juga aroma kamomil menguar lembut di kamarnya. "Apa ini alasan kenapa sewaktu kau pergi ada wangi kamomil di kamarku?"

"Setiap Warden biasanya memiliki aroma sendiri, agar nona yang kami layani cepat mengenali kami dengan mudah. Sederhananya, aroma itu menandakan ke mana para nona harus pulang." Pemuda itu menelengkan kepala ketika mata safir Esme bersibobrok dengan matanya. "Kau paham, Nona?"

"Penjelasanmu membuat para nona itu terdengar seperti anak ayam." Esme melengos lalu kembali memakukan pandangannya pada cangkir. "Jadi, kau bisa minum teh dan minuman bersoda, tapi tidak bisa minum susu?"

"Kapan aku minum soda?"

"Maaf, salahku. Seharusnya kubilang Oliver, ya."

Pemuda itu mendengkus dan Esme langsung berkedip manis melihat reaksinya. Menanti balasan Ruviane yang mungkin bakal lebih pedas.

"Teh tidak mengandung laktosa," sangkalnya.

"Oh, begitu, ya? Wah, fakta yang amat menarik." Esme menyeringai, kemudian bersiap menyantap roti lapis bakonnya. Lama-lama merasa kasihan melihat pemuda yang dua hari ini terlihat keren mendadak kebingungan bak anak lugu. "Omong-omong, kau bisa menjelaskan tentang pohon itu selama aku makan. Feodora bilang aku ini pendengar yang baik."

Ruviane bisa saja membalasnya dengan ucapan yang lebih percaya diri lagi, tetapi dia tidak melakukannya. Baginya, menonton Esme menyantap roti lapis bakon seperti orang kelaparan lebih menyenangkan daripada meladeni ucapan yang membuat mulutnya gatal ingin membalas sampai mati kutu.

"Aku mulai, kalau begitu."

Esme mengangkat wajah. Masih mengunyah, dia tarik selembar kertas mendekat, juga dia genggam pena pinjaman Carol dengan kalem. Tanpa suara, dia tatap Ruviane seolah mengatakan, Oke. Aku siap.

Ruviane mencomot beberapa potong sayuran lagi dari mangkuk, lantas mengunyahnya dengan khidmat.

Di seberangnya—tempat di mana Esme duduk membelakangi keramaian—gadis bermata safir itu menahan diri untuk tidak melotot terang-terangan ketika melihat cara Ruviane mengunyah sayur seperti ... yah, kelinci.

Jangan-jangan jiwa aslinya memang kelinci? Esme menggeleng cepat. Sel kepalanya yang lain bergegas menendang gagasan dadakan tersebut jauh-jauh. Fokus, Esme. Fokus.

"Pohon yang kucari adalah jalan masuk ke Negeri Ajaib. Ya, Nona, kau tidak salah dengar. Jadi tolong berhenti melotot. Kedengarannya memang mudah; cukup mencari pohon dengan lubang lalu turun meluncur begitu saja. Tapi ...," Ruviane menekan penuturannya sebelum Esme melongo hebat (sampai lupa untuk pura-pura sedang duduk sendirian). "Tidak sembarang pohon bisa menjadi akses ke sana. Keliru satu pohon saja bisa membuatmu terjebak di bagian Negeri Ajaib yang tidak diinginkan."

Kening Esme berkerut. "Kenapa kau masih mencari pintu masuk ketika sudah berhasil datang ke sini?"

"Karena pintu yang biasa kupakai itu berbeda." Ruviane menghela napas. "Sederhananya, Carol yang membantuku kemari."

Esme—masih mencoba untuk tetap berpikir jernih—menggigit roti lapisnya lagi, kemudian sibuk mencoret-coret sudut kertas dengan bentuk abstrak sekumpulan daun di atas pohon. Diam menanti kelanjutan kisahnya.

"Pohon yang kucari akan membawa seseorang ke Lubang Kelinci, dan mungkin akan mempertemukannya dengan si Kelinci Putih yang cerewet. Ingat ketika aku membahas perkiraan latar tempat dongeng fenomenal itu diungkit? Nah, kupikir jawabannya ada di taman St. James, atau mungkin di seberang sungainya." Cangkir teh Ruviane geser perlahan. Gerakannya penuh pertimbangan. "Sayangnya, saat aku dalam perjalanan ke seberang sungai, kau tiba-tiba bilang ada yang membuntutimu. Mau tidak mau aku harus kembali kepadamu."

Masih mengunyah, bibir merah delima Esme mengerucut. "Kau terdengar kecewa."

Ruviane mengangkat bahu tanpa beban dan mengatakan, "Memang." Tanpa beban pula.

Kali ini Esme mengulum bibir. Dalam hati menepis perasaan bersalah karena kondisinya waktu itu memang gawat.

Tangannya yang ramping bergerak membuat konklusi dan coretan abstrak di atas kertas. Dia bahkan tidak tahu sudah menghabiskan waktu berapa lama hanya untuk menatap tulisan: Kelinci Putih.

"Kelinci Putih yang kau sebut ini ...," Esme bergumam panjang. Mencoba mengingat-ingat kembali visualisasi di buku dongeng Petualangan Alice di Negeri Ajaib. "Apa dia memakai monokel sambil membawa jam saku ke mana pun dia pergi?"

Ruviane menyeruput tehnya. "Sebenarnya tidak. Tapi karena sering digambarkan begitu akhirnya dia harus memakainya sungguhan. Kau tahu, tuntutan institut."

"Apa dia punya nama?" tanya Esme, mendadak antusias. Begitu Ruviane menatapnya dengan sorot mata aneh, gadis itu justru semakin antusias. "Ayolah, aku yakin dia punya. Biar kutebak satu—Rudolph?"

Kali ini Ruviane berdecak lidah sambil menatap cangkir teh di tangannya lamat-lamat. Barangkali rasa tehnya agak lain dari yang biasa dia minum. "Rudolph agak kuno, tapi nama yang bagus."

"Raymond?"

"Tidak cocok dengan karakternya."

"Ruslan?"

Ruviane mengernyit. "Kenapa kau terus menyarankan huruf R?"

"Karena terdengar tampan di telingaku." Esme menyesap tehnya, lalu duduk diam menyantap roti lapis bakonnya lagi—kali ini sedikit lebih anggun. "Bukankah kau setuju, Ruviane?"

Masih dalam agenda pura-pura bicara lewat sambungan telepon, kali ini Esme menyaksikan seorang pemuda yang hobi menebar karisma di depannya malah melamun setelah digoda. Lalu di detik berikutnya netra rubi itu tiba-tiba mengerjap dan si empunya mata spontan menggelengkan kepala.

Kesadaran tampaknya datang terlambat.

Ketika mata mereka bertemu, Esme spontan saja melebarkan senyum manis. Si pemuda praktis menyeringai setelah terkecoh.

"Daya tarik yang cukup mengerikan untuk ukuran seorang gadis manis baru genap 17 tahun." Ruviane turut mengangkat cangkirnya mendekat lalu menyesap isinya perlahan. "Nonaku memang luar biasa," imbuhnya. Entah pujian atau sindiran.

"Aku berharap bisa melakukannya lebih baik dari itu," kata Esme jujur, kembali menyantap roti lapis. Kali ini sampai tandas. "Reaksimu belum memuaskan. Aku akan belajar lebih banyak darimu mulai sekarang."

Ruviane mendengkus. Memilih untuk tidak membalas dan lebih berkenan untuk menghabiskan salad sayur di dalam mangkuk.

"Selanjutnya apa?"

Pemuda itu melirik seolah bertanya, Apa?

"Setelah menemukan akses jalan ke sana, kau akan melakukan apa?" Satu cangkir yang masih berisi banyak teh Esme tarik sedikit lebih mendekat, lalu dia tarik menjauh lagi. Begitu terus berulang kali. "Pulang ke Negeri Ajaib lalu datang lagi ke sini ketika bosan? Membawakanku oleh-oleh khas Negeri Ajaib? Atau apa?"

Dari sudut kedai, meja itu sejenak sunyi lantaran orang tidak lagi berlalu lalang sejak Esme menyumbat telinganya dengan AirPods. Pelanggan lain barangkali khawatir akan mengganggu obrolan Esme dengan seseorang di telepon—karena yang mereka lihat hanyalah potret seorang gadis, duduk sendirian, entah sedang menghubungi siapa.

Mereka tidak tahu ada seorang pemuda di seberangnya. Sedang menyantap salad sayur, ditemani secangkir teh yang sama.

Tidak ada yang tahu selain Esme bahwa pemuda ini adalah kelinci himalaya manis yang tadi menemaninya berjalan di taman.

Namun, Esme sendiri bahkan tidak tahu kapan pemuda bernetra rubi ini pergi menghilang—paling banter mungkin bolak-balik dari dunia nyata ke dunia khayalan di bawah tanah sesuka hatinya.

Itu artinya kau sama seperti orang-orang yang dulu bersamaku, bukan? Esme menekuri bibir cangkir. Enggan beradu tatap dengan mata semerah batu rubi di seberangnya. Tipikal seenaknya; muncul seenaknya, lalu pergi sendiri seenaknya pula.

"Siapa yang akan pergi sendiri?"

Esme mengangkat wajah. Agak malu begitu tersadar isi kepalanya didengar. "Maaf, apa?"

Ruviane mencondongkan tubuh, bertopang dagu tanpa menyeringai. Wajahnya serius. "Aku akan membawamu bersamaku—bukankah aku sudah mengatakannya kemarin? Atau kau pura-pura tidak mendengarnya?"

Di tengah keramaian kedai, Esme tertegun dengan kening berkerut. Dalam hitungan detik dia tenggelam ke dalam pikirannya yang mendadak sunyi. Ingatannya kembali berlabuh ketika pertama kali Ruviane muncul dan dengan ringannya mengatakan bahwa dia tidak akan membawa Esme dalam keadaan beku.

Kala itu, akal sehat Esme masih menolak apa yang dia lihat, tetapi kali ini masalahnya lain.

Sekarang dia sudah percaya dengan eksistensi Ruviane yang tidak bisa dilihat sembarang orang. Dia juga tidak menyangkal ketika topik tentang Negeri Ajaib dibahas terus-menerus. Padahal selama masih bersama Juan di Brooklyn, Esme selalu menganggap dongeng itu hal yang kekanakan.

Kalau memang perbedaan langkah Esme sudah sejauh itu ... bukankah itu berarti mudah baginya untuk mempercayai kata-kata Ruviane kali ini?

"Kenapa ...," Esme meneguk paksa salivanya. "Kenapa kau ingin membawaku?"

"Karena setiap musim di Negeri Ajaib membutuhkan seorang Alice, Nona Sonata," Ruviane menjawab pelan-pelan. "Dan di musim dingin kali ini, kami membutuhkanmu."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top