- • New Bond in Between • -
Putih.
Sejauh mata memandang, yang dapat Esme lihat hanya warna putih.
Tidak ada langit, tidak ada tanah, tidak ada pepohonan ataupun bangunan; semuanya benar-benar seputih kertas kosong. Sungguh pemandangan yang memabukkan, bila Esme boleh berkomentar. Sulit mengenali mana atas, bawah, depan, atau belakang.
Ingin seajaib apa pun ruang putih ini, Esme sudah lebih dulu tidak menyukainya. Karena itulah dia memejamkan mata dan mengharapkan dua hal.
Pertama, semoga ada yang menjelaskan latar belakang dan tujuan mengapa dia bisa berdiri di tempat aneh serba putih setelah dikepung angin bersalju. Kedua, semoga dia lekas bangun dan kembali menapak tanah sebelum anak-anak kelinci menangis berjamaah karena tamu mereka malah hilang ditelan badai.
Sebenarnya, setelah dipikir-pikir lagi, Esme lebih condong ke harapan pertama. Toh, dia tidak begitu ingin bermain dengan anak-anak kelinci karena peluang untuk menangnya sangat kecil.
"Halo?" Esme menyapa dengan lantang, berharap akan ada gaung dramatis yang kembali memantul kepadanya. Nahas, rupanya tidak begitu. Suaranya tidak bergaung sama sekali. Gadis itu spontan mengepalkan tangan, menguatkan diri untuk tidak muntah karena logikanya terus menjerit tentang mana yang alas dan mana yang atas?
"Halo." Sebuah suara datang meniru. Berat dan pemalas bak suara pria tua. "Sudah lama sekali, ya, akhirnya kita bertemu. Apa kau terkejut?"
Netra safir Esme menyapu sekitar. Masih putih, masih kosong, tetapi suara itu terdengar jelas.
"Orang waras mana yang tidak terkejut saat diculik ke antah berantah?" cibirnya, entah kepada siapa.
Belum lama Esme mulai bertanya-tanya siapa yang bicara kepadanya, seekor kupu-kupu datang menghampiri. Sayapnya sewarna langit musim semi yang biru. Terang, cerah, membawa ketidakhampaan pertama di dalam ruangan serba putih. Cukup mencolok, tetapi setidaknya membuat Esme lega karena ternyata dia tidak berdiri secara terbalik atau apa.
Kupu-kupu itu terbang mengitari Esme dari kaki sampai kepala. Tidak ada efek gemerincing dramatis yang terdengar, hanya ada bubuk kerlip indah yang jatuh dan lenyap di tengah udara setiap kali sayap biru itu mengepak. Itulah yang kupu-kupu lakukan untuk beberapa saat lamanya; terbang mengitari Esme sampai si gadis bermata safir mulai bosan melihatnya.
"Hm, kau cukup padat dari yang kuduga."
"Maaf?" Esme berjengit, serta-merta melotot dan berkacak pinggang. Tidak terpikir olehnya bahwa seekor kupu-kupu ringkih punya cukup keberanian untuk menyebutnya padat. "Kuharap kau menarikku ke sini bukan hanya untuk mengatakan itu, Tuan Kupu-kupu."
Si kupu-kupu berhenti terbang memutar tepat di depan wajah Esme. Tidak jelas apa alasannya, tetapi Esme merasa bahwa kupu-kupu itu sedang terkejut.
"Kau tahu kalau aku yang menarikmu ke sini?"
"Memangnya siapa lagi?" Pemilik surai pirang keemasan itu balik bertanya. "Suaramu mirip dengan gaung mistis yang menyebut-nyebut namaku sebelumnya. Sekarang coba katakan, dari mana kau tahu namaku?"
Ledakan tawa menggelegar. Si kupu-kupu mendadak terbang tak tentu arah seolah-olah memang dialah yang sedang terbahak-bahak.
Sekali lagi, Esme dibuat berjengit. Raut wajahnya terang-terangan menampilkan ekspresi khawatir akan ada yang meledak sungguhan akibat suara itu.
"Dasar gadis lugu. Semua orang tahu namamu." Kupu-kupu itu berkata dan kembali terbang dengan tenang. "Begitu musim dingin datang, seluruh penjuru negeri tahu namamu. Dan ketika aku memanggil namamu, itu tandanya tinggal hitungan waktu sebelum penduduk Negeri Ajaib memuja nama dan parasmu. Kedudukanmu hampir setara dengan ratu, atau bahkan di atasnya. Bukan tentang kekuasaan, maksudku, ini lebih kepada popularitas."
Kening mulus Esme perlahan-lahan berkerut. "Itu terdengar berat."
"Karena menjadi Alice Musim Dingin memang berat."
Si kupu-kupu terbang mengitari Esme lagi, lalu tiba-tiba pemandangan serba putih itu terbagi menjadi dua setelah dilewati si kupu-kupu. Rasanya bagaikan melihat selembar kertas yang dirobek dengan mata pisau.
Lalu dari lubang robekan yang tercipta, muncul sebuah pemandangan tak asing: sebuah batu berpahat aneh dengan salah satu simbol kartu remi pada permukaannya ....
Ah, ini sama seperti mimpi Esme semalam.
Satu-satunya hal yang membedakan adalah keberadaan seseorang di belakang batu. Meskipun sosok itu hampir sepenuhnya berupa siluet, Esme masih terus berusaha mengenali sosok tingginya yang tak asing.
Cahaya biru pada pahatan simbol di atas batu lagi-lagi beradu dengan cahaya merah. Cahaya menyilaukan berasal dari sana. Menyilaukan, hampir membutakan mata. Angin dingin pun berembus kencang sekali lagi. Kepingan salju mengaburkan pandangan; terasa sama bekunya dengan versi mimpi pertama.
Namun, kali ini Esme tidak menyipitkan mata. Dia harus tahu siapa yang berdiri di sana.
Pria itu berdiri tegap, bersetelan rapi dengan aksesori norak berbentuk hati, dengan topi menutupi separuh wajahnya ... Kemudian dia mengangkat tangannya yang bersarung, mengacungkan telunjuk ke depan bibir yang menyeringai lebar. Ketika mulutnya bergerak seolah-olah tengah mengatakan sesuatu, Esme tidak bisa mendengarnya.
Tepat setelah mulutnya berhenti bergerak, dia lenyap.
Badai salju menelan segalanya. Lubang robekan kembali tertutup rapat, meninggalkan Esme terpaku di tempat dengan kepala penuh.
"Seperti yang kaulihat, musim dingin kali ini agak berbeda." Si kupu-kupu berkata. "Selain harus menjaga Kartu Alice tetap aman agar Batu Musim dapat berfungsi, ada sedikit ancaman yang harus kau waspadai."
Esme mengernyit. Fokusnya agak lain. "Apa 'musim'?"
Kupu-kupu itu berhenti terbang ke sana kemari seolah-olah dia tengah menatap Esme tepat di mata.
"Penjagamu akan menjelaskannya nanti. Kalau ada sesuatu yang tidak kaupahami, salahkan penjagamu itu, bukan aku," katanya.
Mendengar si kupu-kupu berbicara apa adanya, Esme tertegun. Apa yang diucapkan Tuan Kupu-kupu memang tidak sepenuhnya salah. Bila Esme sudah terlibat masalah sampai sejauh ini, Ruviane tidak akan memiliki alasan lagi untuk menyembunyikan banyak hal.
Kecuali bila memang dia ingin nona barunya gagal total dan ditendang dari Negeri Ajaib.
"Kalau begitu, untuk sekarang sampai di sini saja dulu," kata si kupu-kupu seraya terbang mengitari Esme sekali lagi sebelum perlahan menjauh. Bubuk kerlip menyilaukan kembali berjatuhan, kali ini menghujani wajah Esme. "Jangan tidur terlalu lama, Esmephia Sonata. Cepatlah bangun. Semua orang menunggumu."
"Hei, Tuan Kupu-kupu," panggil Esme seraya mendongak dan memejamkan mata; merasakan sejuknya bubuk kerlip yang jatuh ke wajah. "Kalau aku boleh bertanya, siapa namamu?"
"Absolem, Nona Alice. Namaku Absolem."
- • -
Esme terbangun.
Kedua mata safirnya berkedip beberapa kali sebelum dapat benar-benar melihat dengan baik. Sejenak akal sehatnya mengira bahwa dia berada di rumah keluarga besar Sonata, di kamarnya yang baru, tergeletak lelah pasca membuka kado-kado natal dan ulang tahun. Nahasnya bukan. Kepalanya langsung mengingatkan bahwa natal dan hari ulang tahunnya sudah lewat beberapa hari yang lalu.
Kapan tepatnya? Dua hari yang lalu? Tiga? Seminggu lebih?
Esme mengernyit hingga kedua netranya menyipit. Langit-langit yang luas dan jauh dari tempatnya berada membentang di atas wajahnya. Denyut datang menusuk kepala. Entah karena memang datang tak diundang atau akibat alas kepala yang rasanya tidak seempuk bantal Esme tadi pagi.
Esme mengeluh di dalam hati. Ah, aku ingin memeluk bantal tadi pagi ....
"Ada yang sakit?"
Atensi Esme teralihkan. Pemandangan di atas sana tidak lagi menjadi fokus utamanya. Karena dibandingkan dengan langit-langit, sosok pemuda bertopi tinggi terlihat jauh lebih dekat.
Gadis itu kemudian tertegun lantaran mendapati Ruviane tiba-tiba berada amat dekat dari wajahnya. Punggung tangan yang dingin dan kokoh entah kenapa ada di keningnya. Tanpa melontarkan kalimat seperti apa yang sebenarnya terjadi, Esme langsung berkeinginan untuk merutuk karena dia langsung sadar telah mengalami hal yang sama dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam.
Berbagai macam skenario kasar segera terbentuk di dalam kepala Esme.
Kalian tahu? Alice Musim Dingin baru yang katanya cantik itu rupanya penyakitan, lho.
Iya? Wah, lemah sekali.
Coba jenguk, yuk. Sekalian saja kita tes apakah dia kebal racun atau tidak.
Ide yang bagus! Mungkin setelah itu kita akan kedatangan Alice yang lebih kuat.
Hohoho.
Hihihi.
Esme tersenyum masam. Hanya membayangkan wajah orang-orang yang mengatakan skenario tersebut saja sudah membuat tinjunya gatal ingin melayang.
"Begitu rupanya. Jiwamu sakit?"
Haha. Lucu. Esme mendesis. Tiba-tiba merasa dongkol.
Pemuda bermata semerah batu rubi di dekatnya itu bahkan tidak menunjukkan ekspresi khawatir, waspada, atau apa. Ekspresinya sedatar permukaan meja.
"Aku aman, sehat, dan bugar, Tuan," jawab Esme lirih. "Terima kasih sudah bertanya. Kau baik sekali ...."
"Suaramu mengatakan yang sebaliknya. Pelan-pelan saja. Tenggorokanmu mungkin terluka." Ruviane duduk bersila tanpa alas di lantai berkarpet hanya untuk bertopang dagu pada tepi ranjang yang Esme tempati. "Sebelumnya, ketika bermain dengan anak-anak, apa kau merasakan sesuatu yang aneh?"
Esme diam sejenak dan berkedip pelan-pelan karena, ya, dia memang mengalami sesuatu yang aneh, bukan hanya sekadar merasakan.
"Apakah hal mistis diterima di Negeri Ajaib?" Dia bertanya.
Ruviane mengedikkan kedua bahu. "Kupikir itu kenapa negeri ini disebut Negeri Ajaib."
Oh, benar juga, pikir Esme.
Maka dengan keyakinan bahwa penjelasannya sedang ditunggu, Esme mulai mencoba untuk mengingat-ingat kembali apa yang sebelumnya terjadi. Sejak anak-anak kelinci menjelaskan aturan permainan khas mereka, sampai tiba-tiba runtutan keanehan itu datang secara janggal.
"Ada seseorang ...," Esme mengernyit, "sebenarnya tidak juga. Maaf. Maksudku, ada sebuah suara yang memanggil namaku seperti merapalkan mantra. Ada kalimat lain yang terucap, tapi aku tidak yakin apa artinya. Kupikir pada awalnya itu lagu—"
"Atau puisi."
Tatapan Esme langsung fokus ke lawan bicaranya. Kedua alisnya bertaut. "Itu puisi?"
"Lebih tepatnya Panggilan Musim." Ruviane berkata seraya menyapukan helaian rambut Esme—yang sedikit menghalangi kening—dengan hati-hati. "Seharusnya seorang kandidat Alice mendapatkan Panggilan Musimnya sejak masih berada di Dunia Atas, sebelum musim yang dia pegang datang. Entah kenapa kasusmu ini agak berbeda. Terlambatnya bukan main-main, bahkan musim dingin tidak sampai dua bulan lagi. Panggilan Musim juga merupakan batu loncatan sebelum kau menjadi Alice. Kau senang?"
"Tidak juga." Esme bergumam, merengut-rengut lantaran merasa ada yang tidak beres dengan organ dalamnya tatkala Ruviane melakukan kontak fisik tanpa ragu. "Boleh jauhkan tanganmu sedikit? Kau membuatku berdebar."
Ah, itu dia. Senyuman nakal yang belakangan ini tidak terlihat lagi malah kembali tercetak di wajah Ruviane.
Alih-alih menjauhkan tangannya, dia justru semakin asyik memilin-milin rambut emas Esme yang bergelombang. Tidak peduli dengan si pemilik rambut yang sedang bergelut dengan perasaan abu-abu.
"Kukira kita sedang saling menjatuhkan?"
"Oh, tidak boleh seperti ini, Tuan. Tidak sekarang." Esme mendorong tangan si pemuda kelinci jadi-jadian menjauh. "Aku bisa saja balas menggodamu dengan sandiwara sekarat kedinginan sampai kau berkeinginan untuk menciumku, tapi gawat kalau hanya karena itu kau jatuh lebih dulu. Karena itu, tolong, jauhkan tanganmu dariku. Kita lakukan ini lain kali saat aku sudah siap—"
Bagaikan robot yang tombol kendalinya tiba-tiba ditekan, Esme mendadak terdiam. Rasa sakit datang menusuk tenggorokan. Agak kalap dia bangkit dari posisi terlentang ke posisi duduk, tak henti-henti memegangi lehernya sendiri.
Akh, tenggorokanku!
Lucunya (dalam artian sarkasme), Ruviane bangkit berdiri; beralih ke teko dan gelas di atas nakas sambil mendengkus. "Kalau setelah ini kau dipaksa meneguk obat, jangan keras kepala," katanya.
Esme merengut. Sekali lagi dia lihat ke sekeliling, berusaha mengenali perabotan yang sama sekali tidak familier. Cukup lama Esme menahan suaranya hanya untuk menyimak sesunyi apa ruangan itu.
"Hei, Ruv."
"Ya?"
"Di mana yang lain?"
"Makan siang. Remi bersikeras untuk menunggumu sampai siuman, tapi Dore berhasil menariknya ke dapur," jawab Ruviane seraya menyodorkan segelas air. "Kalau kau bertanya-tanya, sekarang kau berada di kamar lamaku. Kelihatannya memang tua dan agak dingin, tapi kujamin ini tempat paling nyaman."
Memang nyaman. Esme meneguk air hingga tenggorokannya terasa lega, lalu menunduk menatap ranjang yang dia tempati. Tangannya bergerak mengusap lembut permukaan kasur, menelusuri gurat halus kayu ranjang. Jelas sekali tampak tua, tetapi tidak kotor sama sekali.
"Tidak ada yang menempatinya? Mengingat kau tidur di istana, maksudku."
"Aku masih suka kembali kemari sesekali. Jadi kukatakan pada Momma Primrose untuk tetap memastikan kamar ini tidak terjamah anak-anak lain," katanya. "Silakan lihat-lihat sepuasmu. Satu-satunya aib di kamar ini hanyalah coretan permanen di belakang rak buku."
"Coretan?"
"Kebiasaan anak-anak."
"Anak-anak? Kau bahkan tidak mengizinkan satu pun dari mere—" Esme tertegun, kemudian spontan tersenyum miring semanis yang dia mampu. "Ruviane Kecil punya hobi menggambar, kurasa?"
Ruviane mendengkus. "Itu pengalih perhatian yang paling efektif."
"Kau lucu juga, ya."
"Itu sarkas?"
"Sayangnya bukan."
Seraya terkekeh, Ruviane melepas topi tingginya dan meletakkan benda itu di atas sebuah meja bundar berukuran kecil. Setelah itu, dia duduk pada satu-satunya sofa tunggal di dalam ruangan. Tepatnya di dekat sebuah rak buku tua lima susun serta empat laci berpintu di bagian bawah. Bukan sofa yang bagus, tetapi tampak cukup nyaman untuk membaca buku sampai jatuh tertidur.
Hanya dalam sekali lihat, Esme tahu bahwa sudut ruangan yang satu itu adalah zona nyaman Ruviane. Sama seperti loteng di rumah keluarga besar Sonata yang belum lama menjadi zona nyaman baru Esme.
Dan kutinggalkan mereka semua demi perjalanan konyol ke Negeri Ajaib.
Dengkus halus keluar dari hidung bangir Esme. Terdengar antara sesal dan miris.
"Saat aku sudah menjadi Alice," Esme berputar ke sisi ranjang, duduk bergelayut kaki, "apa yang sebenarnya harus kulakukan? Kupu-kupu di dalam mimpiku tadi bilang aku harus menjaga sesuatu ...?"
Ruviane meletakkan kedua sikunya di atas lengan sofa dan duduk bersilang kaki dengan nyaman. "Dia sudah banyak bicara, ya."
"Lumayan." Esme tidak berbohong soal itu. Setidaknya lebih baik daripada kau yang memendam terlalu banyak rahasia. "Sebelum kau menjawab pertanyaanku itu, aku ingin bertanya lagi: kenapa namanya Absolem? Seingatku Absolem itu ulat, bukan kupu-kupu. Dia juga berwibawa, tapi yang tadi itu sama sekali tidak."
Satu alis Ruviane terangkat tinggi. "Terjadi sesuatu?"
"Dia menyebutku padat."
Hening pun datang.
Hening yang benar-benar bising.
Dua orang di dalam ruangan masih beradu tatap, tetapi yang pemuda lebih dulu memutuskan kontak mata untuk berdeham dan mengalihkan suasana.
"Omong-omong, seiring berkembangnya Dunia Atas," Ruviane memulai—tak peduli dengan segala umpatan Esme yang mungkin masuk ke dalam kepalanya, "sudut pandang orang-orang terhadap dongeng mengalami banyak perubahan. Absolem adalah salah satunya. Kalau kau menanyakan sosok ulat biru tua penikmat cerutu, dia sudah lama tiada. Absolem yang kaulihat di mimpimu itu semacam ... karakter yang berbeda."
Netra safir Esme masih menatap pemuda di seberang ruangan lurus-lurus. "Apa kau ingin mengatakan bahwa Absolem yang kulihat berbeda dengan Absolem yang kutahu?"
"Sederhananya begini." Ruviane duduk membungkuk di sofa, menyilangkan jari-jari tangannya dengan kedua lengan bertumpu pada masing-masing lutut. "Aku Warden, namaku Ruviane de Anshumant. Kau Alice, namamu Esmephia Sonata. Wanita pemilik kedai yang rubuh tempo waktu itu Cheshire Cat, namanya Carol ...."
"Dan kupu-kupu di mimpiku tadi itu Absolem, namanya ... bukan Absolem." Esme termangu di atas ranjang. Agak terkejut bercampur kagum dan sedikit perasaan kecewa. "Apa itu berlaku kepada yang lainnya juga? Sampai ke ratu?"
"Secara kasar, ya, tapi tidak perlu cemberut begitu. Kujamin tabiat mereka mirip pendahulunya," ucap Ruviane seraya duduk bersandar; menyilangkan kaki-kakinya yang panjang. "Kembali ke pertanyaan pertamamu. Mungkin kau sudah mendengar istilah Kartu Alice dan Batu Musim, jadi akan kujelaskan secara kasar: tugas setiap Alice adalah menjaga kartunya untuk tetap berada di tempat yang seharusnya. Apabila kartu itu tercabut atau diambil sembarangan, kau akan kehilangan hakmu mengendalikan Batu Musim. Ketika Batu Musim tidak di bawah kendali siapa pun, iklim di Negeri Ajaib bisa menjadi sangat berantakan. Musim semi bisa menjadi musim penyakit, musim panas bisa sangat menyiksa, musim gugur bisa menimbulkan banyak bencana, dan musim dingin bisa membuat negeri ini beku tak bernyawa."
Esme menarik napas, mengembuskannya, kemudian berkedip pelan-pelan. Gelas dia letakkan kembali ke atas nakas dengan hati-hati.
"Itu tidak terdengar bagus," dia bergumam.
"Memang tidak."
"Lalu setelah aku menyelesaikan tugasku sebagai Alice Musim Dingin nanti, apa itu artinya aku bisa langsung kembali?"
"Tergantung padamu." Ruviane tersenyum tipis. "Keinginan terbesarmu yang akan memutuskan. Bisa jadi kau akan langsung kembali, bisa juga kau bertahan di sini seperti Anya McDough."
Sungguh, Esme tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. "Tapi kau bilang selalu ada pergantian Alice ...?"
"Memang, tapi aku tidak bilang per tahun," sangkalnya mudah saja. "Ada lagi pertanyaan yang menganggumu? Atau mungkin ada perkataan Absolem yang membuatmu bingung?"
Gadis di atas ranjang menundukkan kepala. Terpaku pada lantai. "Kupu-kupu itu bilang padaku tentang sebuah ancaman yang harus diwaspadai."
Di atas sofa tua, Ruviane menatap sang nona lurus-lurus. Sorot mata rubinya yang tiba-tiba fokus dan tajam membuat Esme merasa waswas seketika.
"Ancaman?"
"Dia bilang begitu."
Ruviane tidak lagi bersandar di sofa. "Apa lagi yang kaulihat di sana?"
Di saat itulah Esme terdiam. Pikirannya berkecamuk begitu teringat lagi dengan sosok yang dia lihat di dalam mimpinya: sosok pemuda yang postur tubuhnya tak jauh berbeda dengan Ruviane, setelannya yang tampak norak, sarung tangan kulit yang sehitam arang ....
Dia orangnya.
Yang menguntit Esme ketika berjalan santai di Taman St. James, yang dari jauh pun sudah ditatap tajam Ruviane, yang melayangkan kursi ke arahnya, yang membuat kedai Carol runtuh, serta yang menyebabkan Esme harus jatuh ke dalam lubang menuju Negeri Ajaib lebih cepat dari yang seharusnya.
"... Jack."
Si Warden termuda serta-merta bangkit berdiri. Kedua mata merah rubinya tampak berkilat. Entah apakah pertanda marah atau apa; Esme tidak bisa mengatakannya. Yang jelas, gadis itu dapat melihat berbagai kerutan tidak bersahabat pada kening Ruviane—yang bersih dari helaian rambut hitam-putihnya.
"Jack?"
"Yeah, Jack." Esme menekan pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. "Dari reaksimu, kutebak orang itu tidak seharusnya ada di sana."
"Memang tidak."
Begitu tersadar Ruviane membalasnya nyaris berupa desisan geram, Esme spontan mengaktifkan mode waspada. Tidak menyangka sama sekali bahwa si pemuda kelinci jadi-jadian akan menjadi seemosional itu. Fokusnya menjadi agak kabur lantaran membayangkan akan seperti apa jadinya bila Ruviane mengamuk sungguhan.
Diam berhari-hari atau memporak-porandakan barang di sekitarnya dalam sehari?
"... kukan?"
Esme tersentak. Oh, sial. Fokus, Esme. "Sori. Apa?"
Ruviane kembali mengempaskan punggungnya pada sofa tua. "Apa yang dia lakukan di sana?"
"Oh, ya, tidak banyak." Gadis itu mengalihkan pandangan ke jendela di sebelah ranjang, menatap jauh pemandangan hutan bagian luar yang sebelumnya hendak dijadikan lokasi bermain. Kamar tua ini pastilah terletak di bagian belakang rumah keluarga Anshumant. "Dia berdiri di belakang sebuah batu aneh yang memiliki pola, tersenyum miring sambil membawa telunjuknya ke depan bibir, dan wush! Penglihatan itu hilang. Dia tidak mengatakan apa-apa. Sama sekali. Hanya berdiri diam tanpa suara."
Keheningan kembali menyergap. Esme tidak lagi bicara dan Ruviane tidak memberikan respons apa-apa. Ditemani suara sayup-sayup keramaian meja makan di luar sana, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Mungkin artinya siaga satu, atau dua. Esme merenung; menekuri jari-jari tangannya yang pucat. Bila ditilik lagi dari ekspresi tak terbaca milik Ruviane, tampaknya memang ada masalah serius ketika ada seseorang yang muncul di dalam Panggilan Musim.
"Nona Sonata."
Esme menoleh. Menyaksikan Ruviane kembali berdiri dari duduknya.
"Apa kau bisa berjalan?" Pemuda itu bertanya.
Esme mengernyit, pelan-pelan turun dari ranjang. Tidak sulit baginya untuk bangkit berdiri dalam balutan rok dan kemeja. Korsetnya lenyap. Barangkali sengaja dilepaskan agar tidak sesak. Esme bahkan tidak mengalami gangguan ketika dia berjalan menjauhi ranjang dan berputar satu kali.
"Apa ini bisa menjadi jawaban?"
"Ya." Salah satu ujung bibir Ruviane terangkat seiring satu tangannya bertengger di pinggang. "Lalu mungkin ini agak lancang, tapi apa kau mengenakan liontin itu?"
Tanpa ditanya dua kali, Esme spontan meraba leher, mencari-cari tekstur tali perak liontin yang tipis dan—mungkin saja—dingin. Begitu menemukan tekstur yang dimaksud, tangannya langsung menarik liontin keluar dari kerah kemeja. Batu liontin yang tak berwarna bergelantungan dan berkilau ditimpa cahaya musim dingin. Mengingatkan Esme pada rumah dan pohon natal di ruang tamu.
Ah, andai Oma Mandalyn tahu bahwa hadiah pemberiannya telah menyelamatkan nyawa Esme dua kali ....
"Masih ada waktu sebelum jam makan siang berakhir." Sebuah jam saku keluar dari saku dalam jas. Berlapis emas dengan rantai berkilauan ditimpa cahaya. Cukup lama Ruviane menatap benda itu sampai kemudian dia memanggil, "Isabel."
Bunyi gemerincing halus menggema di sepenjuru kamar tua. Esme mendongak, fokus ke asal suara dan menemukan ngengat bulan yang cantik dan hijau. Sangat mencerminkan Isabel, bila Esme boleh berkomentar.
Terlebih lagi ketika melihat pendaratannya yang mulus dan transformasinya yang anggun ke dalam bentuk manusia; rasanya Esme ingin mengangkat papan skor bernilai sempurna setinggi mungkin.
"Ya, Tuan?"
Ruviane menyimpan kembali jam sakunya. "Buka portal ke pondok Cheshire. Lalu tunggulah di sini. Jangan biarkan satu anak pun memasuki kamarku."
Isabel tersentak. Ada percik keraguan di pantulan matanya yang indah.
"Tapi Anda tidak boleh pergi tanpa pengawalan," dia menyanggah lalu bergegas meralat, "Tidak ada satu pun Warden yang boleh. Itu peraturannya."
Kedua alis Esme terangkat sekilas. Refleks membawa pandangannya ke arah Ruviane, yang mendengkus dan menarik senyum miring di saat yang bersamaan.
"Tidak akan ada sesuatu yang terjadi," katanya.
"Tugas saya adalah menjaga Anda untuk jauh dari masalah, Tuan." Isabel berkata tegas, menunjukkan bahwa dia tidak ingin kalah sekaligus ingin tetap menghormati keputusan tuannya. "Ada alasan mengapa selama ini saya mengikuti ke mana pun Anda pergi: Warden tidak bisa menggunakan batu sihir seenaknya. Itulah kenapa kami ada."
"Kami"? Esme mengangkat alis; menahan diri untuk tidak menginterupsi. Lebih baik dia menunggu jawaban.
Nahas, sepertinya tidak akan ada jawaban.
Ruviane meraih jubah mantel hitam polosnya dari gantungan yang berdiri di dekat pintu. Mudah sekali dia mengenakannya. Sama sekali tidak terlihat sulit.
Setelah mengenakannya dengan cekatan, kali ini dia mengambil jubah mantel Esme yang juga tergantung di sana. Kemudian—mengabaikan tatapan horor Esme—pemuda bermata rubi itu membantu sang nona mengenakannya dengan benar.
Sambil dicekik Ruviane menggunakan jubah mantel, Esme melirik dua orang di depannya bergantian. Mulutnya terkunci rapat, tetapi tidak dengan pikirannya. Dia sibuk menerka-nerka apa yang sedang terjadi dan apa sebenarnya yang sedang mereka bahas.
Ruviane mungkin akan memergoki isi kepalanya, tetapi Esme tidak ambil pusing. Kalau memang Ruviane menangkap sinyal bingungnya dan bersedia untuk menjelaskan, maka bersyukurlah dia.
Namun, sang pemilik netra safir itu cepat tersadar, bahwa yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Ruviane. Memberikan penjelasan panjang tanpa diminta adalah sebuah hal yang hampir tidak mungkin pemuda itu lakukan. Ruviane mungkin akan terus mengulur waktu, sampai Esme bosan sendiri dan akhirnya tidak mempermasalahkan hal itu lagi.
Siang itu, suhu di dalam ruangan tua—yang dinyatakan sebagai kamar lama Ruviane—mendadak anjlok.
Esme berani bersumpah; dia sudah melihat sinar matahari di luar jendela, tetapi entah kenapa kamar tua ini justru menjadi semakin dingin.
"Aku yang menjamin keselamatan Nona Sonata."
"Dan saya yang menjamin keselamatan Anda, Tuan," balas Isabel tak mau kalah. "Selain itu, bukankah lebih baik Nona Sonata beristirahat sebelum jamuan makan malam?"
Esme mengerjap. Praktis tertarik begitu mendengar kata "jamuan" dan "makan".
Kedua tangan Ruviane yang masih berada di kerah mantelnya langsung dia genggam erat-erat. Tanpa mengatakan apa-apa, gadis itu menatap Ruviane lamat-lamat dengan mata safirnya yang berbinar. Murni dipenuhi rasa penasaran.
Oh, lihatlah itu. Si pemuda yang semula berwajah jengkel kini mati kutu begitu ditatap nonanya sendiri. Masih dengan tangan yang digenggam Esme, Ruviane akhirnya membuang wajah, mengalah.
"Silakan bertanya," katanya kemudian.
"Jamuan resmi sungguhan? Kau serius? Dalam rangka apa?" tanya Esme penuh semangat, sampai-sampai dia tak sadar wajahnya telah mendekat lantaran Ruviane turut menjauhkan wajahnya sendiri.
Si pemuda kelinci jadi-jadian itu akhirnya melepaskan pegangannya dari kerah mantel Esme. Dia menyerah.
"Aku melapor kedatanganmu kepada para petinggi tadi pagi," katanya. "Lalu berdasarkan prosedur yang ada, ratu akan mengadakan jamuan tertutup setelah laporan Warden diterima petinggi. Jamuannya sendiri akan dilakukan malam ini."
Binar-binar di mata Esme kini agak meredup. Dia mendadak khawatir.
Jangankan ratu negeri dongeng, ratu di dunianya sendiri pun Esme belum pernah melihatnya langsung!
"Hanya ... berdua? Aku dan ratu? Berhadapan?" Gadis itu bertanya berulang kali, berusaha memastikan bahwa dia tidak salah tangkap. "Kau yakin aku tidak akan asal bicara? Aku butuh jaminan untuk tetap hidup setelah makan enak."
Ruviane menyeringai. Tidak menjawab. Karena itulah Esme beralih kepada Isabel, yang sejak tadi diam menonton tanpa suara. Sorot mata Esme kembali berekspresi, kali ini menuntut jawaban.
Isabel lantas tersenyum dan berkata, "Jamuan tertutup menjelang peresmian Alice dihadiri oleh calon Alice, Warden yang menjaganya, petinggi yang bertanggung jawab di atas nama Warden pilihannya, dan ratu sendiri." Dalam sekejap, senyum manisnya berubah getir. "Tapi melihat kondisi Nona sebelumnya, saya khawatir Nona akan memaksakan diri bila tetap bersikukuh untuk pergi ke Pondok Cheshire."
Ruviane hendak menjawab, tetapi Isabel bertindak lebih cepat.
"Kalau memang Tuan tidak khawatir dengan kondisi Nona, tidak mungkin Tuan menyuruh saya untuk langsung membuka portal dari istana menuju ke sini," katanya sambil menatap tuannya lurus-lurus. "Apa saya perlu menjelaskan bagaimana ekspresi Anda persisnya saat mendengar kabar bahwa Nona Sonata tidak sadarkan diri?"
Wow? Apa ini? Esme melongo. Terkejut bukan main.
Agak dramatis gadis itu kembali menghadap Ruviane dengan tatapan jenaka yang berbinar-binar.
"Oh, Tuan Muda, apa kau mengkhawatirkanku?" Esme maju selangkah, bersiap melancarkan serangan balasan. "Apa kau takut aku akan mati beku? Atau jatuh tertidur dan tidak bangun lagi? Hm?"
Tanpa rasa belas kasihan, Ruviane menggunakan telapak tangannya untuk mendorong wajah Esme menjauh. Gadis itu tergelak. Sama sekali tidak melawan perbuatan Ruviane yang tidak mencerminkan karakter penjaga terhadap nonanya.
"Isabel, buka portal ke istana. Tinggalkan pesan untuk Momma di sini."
"Oh, Tuan Muda. Terima kasih karena telah khawatir—"
"Isabel!"
Isabel tersenyum lebar sampai cekikiknya terlepas. Mungkin—mungkin saja—dia tidak pernah mengira akan ada pemandangan hangat di tengah beku semacam itu di depan matanya.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top