- • Behind The Stage • -
"Kunci ruang pribadi Alice?"
Si pemuda bermata rubi mengetuk-ngetuk lantai dengan sepatu pantofel hitamnya yang mengilap. Suara ketukannya halus walau terdengar jelas. Meskipun temponya pelan, gerakan itu cukup menggambarkan kegelisahannya karena biasanya dia dikenal sebagai pribadi yang tenang.
Sebagai informasi, lorong Istana Putih sudah cukup dingin tanpa adanya perapian—dan kali ini tingkat dingin itu semakin menjadi ketika Mad Hatter mengernyit dengan tatapan menginterogasi.
Pembicaraan dengan Mad Hatter bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Andai bisa, kali ini pun dia tidak ingin melakukannya. Karena apabila kondisi hati Mad Hatter sedang bagus, seseorang akan kecewa. Lalu apabila kondisi hati Mad Hatter sedang buruk, seseorang akan habis di tempat.
Itulah mengapa hari ini Ruviane de Anshumant merasa berada di ambang kematian.
Secara filosofis, semoga saja.
Baginya, antara Mad Hatter ataupun Esmephia Sonata hampir tidak memiliki perbedaan signifikan. Keduanya sama-sama berhasil membuat Ruviane rajin menghela napas sampai paru-parunya terasa luar biasa sehat. Saking melelahkannya, pemuda itu sempat terpikir untuk banting setir saja menjadi pelayan ratu.
Namun, Ruviane juga tahu bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan ratu. Baik dalam hal kekuasaan maupun dalam hal "membuat seseorang rajin menghela napas".
"Permintaanmu agak gegabah, Tuan Muda." Mad Hatter tersenyum seraya menelengkan kepala. Topi tinggi usangnya yang berbalut pita koyak diam tak berkutik sekeras apa pun pria berbedak tebal itu bergerak. "Aku bahkan tidak tahu kalau Alice-mu sudah tiba."
Sang Warden mengangkat bahu. "Belum lama."
"Dan jangan bilang kalau rekanmu yang lain pun sudah tahu, tapi tidak ada yang memberitahuku?"
"Tidak semua, tapi—"
"Tidak semua, hm? Apa itu artinya kalian para anjing penjaga menginginkan hukuman berjamaah?"
Ruviane melengos. Sudah menduga kalimat serangan itu akan meluncur.
"Kami masuk lewat pintu taman samping istana. Hanya Melv dan Caleb yang baru melihatnya secara langsung. Tolong jangan hakimi mereka." Tatapan semerah batu rubi pemuda itu turun ke karpet yang melapisi lantai pualam selama menjelaskan. "Lagipula, aku tidak mencoba menyembunyikannya dari ratu ataupun darimu. Aku hanya mencoba menjauhkannya dari para petinggi."
Mad Hatter bersedekap. "Dan kenapa kau mencoba menjauhkannya dari petinggi?"
"Karena gadis itu belum sepenuhnya hadir." Ruviane mengangkat wajah, memberanikan diri untuk beradu tatap dengan Mad Hatter.
Masih tersenyum, Mad Hatter mengerutkan kening. Kedua alisnya yang lebat dan sewarna jahe saling bertaut. Matanya yang entah sebenarnya dominan kuning atau hijau terbuka lebar seolah tertantang.
Atau mungkin dia hanya tidak menyangka atas apa yang meluncur dari mulut Ruviane.
"Apa katamu?"
Oh, demi wortel.
"Tidak seperti Anya dan para Alice lainnya, Esmephia Sonata tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia dipanggil kemari. Tidak ada cerita tentang kejadian aneh, tidak ada gejala perubahan fisik berarti, dan hidupnya terlalu normal untuk diseret ke dalam masalah ini." Ujung sepatu Ruviane berhenti mengetuk lantai. Dia mulai serius. "Kalau sampai para petinggi mengetahui hal itu, pilihan yang ada hanyalah eksekusi."
Karena tidak ada jaminan dia akan bertahan hidup secara fisik maupun mental bila dikembalikan dalam waktu dekat, pikir Ruviane muram.
Hampir seluruh penduduk Negeri Ajaib paham bahwa tugas para Warden tidak seringan dan sesederhana yang dilihat. Meskipun konteksnya hanya "menjaga" para Alice, nyatanya hati tidak pernah memberikan efek menipu bila sudah berurusan dengan hidup berdampingan, bertatap muka setiap hari, selama—paling tidak—satu musim.
Masalah hati semacam itulah yang menjadikan tugas Warden tidak semudah yang didengar.
Terkadang mereka dikenal kejam karena hatinya kuat.
Terkadang mereka dianggap lemah karena terbawa perasaan.
Ruviane pernah mengalami sekelumit masalah hati dengan para Alice sebelumnya, tetapi dia belum pernah mendapat kasus seorang Alice datang ke Negeri Ajaib padahal tidak memintanya. Ini akan mempersulit proses peresmian, sekaligus mengancam keberhasilan untuk pulang ke Dunia Atas.
Nahas, tampaknya isi pikiran Mad Hatter tidak semuram itu karena dia masih bisa tersenyum lebar.
"Apa maksudmu? Tentu saja dia tidak menunjukkan pertanda," sangkalnya setenang danau. "Gadis itu datang ke sini bukan karena keinginannya. Kau tahu itu, bukan?"
Tentu Ruviane mengetahuinya.
Namun, fakta bahwa sebenarnya dia sedikit merasa cemas sama sekali tidak bisa dielak.
"Bukan berarti dia tidak ingin," pemuda itu bergumam.
"Yah, mungkin aku akan melihat pantulan keinginannya ketika kami berhadapan langsung."
"Keinginan itu tampak kecil sekali ...."
"Mungkin lebih kecil dari biji anggur, tapi akan tetap terlihat jelas." Mad Hatter manggut-manggut kepala. Dia berdiri tegap, berpindah tolakan kaki dari yang kiri ke kaki kanan, kemudian menggenggam tongkatnya lebih erat sebelum memberikan sedikit ayunan. "Kalau dia sendiri yang memberitahumu, maka kemungkinan benarnya lebih besar. Pikirkan itu baik-baik, Tuan Anshumant."
Setelah mengatakan itu, si pria badut bertopi usang balik kanan, meninggalkan Ruviane berdiri sendirian.
"Oh, dan tentang kunci." Mad Hatter menahan langkah dan balik kanan. "Tetap akan diberikan setelah gadis itu resmi menjadi Alice. Sampai kau siap mengumumkan kedatangannya ke depan ratu, gunakanlah kamar tamu atau berbagilah kamar denganmu."
Kerutan hebat timbul pada kening sang Warden. "Itu agak—"
"Aku yakin kalian berdua tidak mungkin tidur bersamaan." Kini senyum miring yang terbentuk pada bibir Mad Hatter. Matanya yang nyentrik kembali melemparkan tatapan penasaran. "Atau ternyata masalah tidurmu sudah berakhir?"
"Tidak. Belum," jawab Ruviane. "Jangan khawatir. Aku yang akan mengurus itu."
Masih dengan sorot mata penasaran, Mad Hatter mengangkat bahu acuh tak acuh, lalu setelahnya barulah dia sungguhan berlalu. Meninggalkan Ruviane menghela napas sendirian di lorong Istana Putih yang dingin.
- • -
Entah bagaimana, Ruviane tiba-tiba sampai di depan pintu dapur alih-alih pintu ruangannya sendiri. Jangankan orang lain, bahkan pemuda itu pun kebingungan sendiri. Butuh beberapa saat baginya untuk memikirkan alasan mengapa kakinya menuntun langkah ke dapur. Dia terus berdiri di depan pintu, sampai tiba-tiba nama Esmephia Sonata menyentil ingatannya.
Ah, aku kemari untuk mengurus makanan anak itu, ya.
Maka dia lepas topi tinggi dari kepalanya, demi keamanan dan keselamatan di dalam dapur.
Begitu pintu dapur didorong hingga terbuka, hawa panas dari kompor yang menyala segera menyerbu keluar. Aroma masakan tercium saling menimpa, dan suasana di dalam sini ramai bukan main.
Pegawai dapur Istana Putih adalah para peri yang menyamakan bentuk fisiknya dengan kebanyakan orang istana. Eksistensi mereka timbul sejak Negeri Ajaib kehilangan Alice yang asli dan pertama. Ditemukan di bagian tengah hutan pembatas antara wilayah Putih dan Merah, ketika Cheshire Cat tengah berpatroli menjaga wilayah perbatasan.
Jumlah mereka tak banyak dan kehidupan mereka terancam, jadi ratu meminta mereka untuk datang ke istana. Hitung-hitung mengamankan diri sekaligus mengabdi kepada Istana Putih.
Lalu di sinilah mereka, mengurus wilayah perdapuran serta kebersihan seluruh bagian istana.
Seolah tahu mereka kian sibuk seiring mendekati jam makan malam, Ruviane pelan-pelan mendekati salah satu pegawai yang tengah mengelap alat makan.
Dengan suara pelan dia bertanya, "Bisa kau siapkan satu porsi untuk dibawa ke ruanganku?"
Pegawai itu menoleh tanpa terkejut. Sejenak dia melirik rambut Ruviane—kalaupun dia terkejut dan penasaran, dia tidak menunjukkannya—kemudian mengangguk paham begitu yang mengajukan permintaan adalah sosok Warden yang dikenal jarang mengikuti jamuan makan. Meminta makanan dibawakan ke ruangan justru bukan hal yang aneh.
"Tentu, Tuan. Akan saya siapkan," sanggupnya. "Dengan wortel tambahan secara terpisah?"
Ruviane terdiam. Si pegawai dapur ikut terdiam.
Nah, ini baru aneh.
Pemuda itu bersedekap dengan satu tangan menggenggam topi. Diam tak menjawab.
Ekspresi kebingungannya tanpa sadar telah membuat si pegawai dapur lebih kebingungan lagi. Peri tersebut kini tertegun, memikirkan apa yang salah dari menawarkan sepiring wortel tambahan kepada Warden berwujud kelinci.
"Tuan?"
"Sebentar." Ruviane menghalangi mulut dengan kepalan tangan yang bebas, fokus berpikir.
Esmephia Sonata memang mengatakan secara terang-terangan bahwa dia tidak menyukai wortel, tetapi pemuda itu curiga bahwa nonanya itu hanya mengejek, bukannya tidak suka sungguhan.
Yah, mari kita bayangkan beberapa kemungkinan.
Bila gadis itu berbohong, dia akan memakan isi piringnya tanpa banyak tanya. Tidak akan ada wortel yang tersisa dan Ruviane harus mengendap ke dapur lagi saat tengah malam untuk mengambil jatahnya sendiri.
Namun, bila ternyata gadis itu sungguhan tidak menyukai wortel, dia akan bersungut-sungut tatkala melihat isi piringnya, menyumpah-serapahi Ruviane sambil memisahkan potongan wortel ke pinggir piring (atau mungkin meninggalkannya berendam di mangkuk karena bentuknya boleh jadi sup), dan secara tidak langsung gadis itu memberikan bagian wortelnya kepada Ruviane dengan senang hati.
Ruviane menelengkan kepala. "Kalau ... tidak ada wortel di dalam makanan dan berikan wortel itu secara terpisah, bagaimana?" tanyanya.
Pegawai itu mengernyit. Barangkali berpikir mengapa Warden yang satu ini tumben sekali mempusingkan makanan—apalagi ini wortel!—padahal bergabung di meja makan pun jarang sekali.
"Jadi ..., tidak ada wortel di dalam sup, tapi tetap dibawakan sebagai wortel tambahan?"
"Yeah."
"Baiklah," pegawai itu mengangguk pelan. "Akan saya siapkan segera."
"Terima kasih." Ruviane melipir ke tepi dapur agar pegawai lain dapat berlalu-lalang, kemudian berdiri diam mengedarkan pandangan.
Terkutuklah niatnya yang ingin langsung kembali ke ruangan. Omong kosong itu seketika batal terjadi ketika matanya menangkap sosok Anya McDough—yang poninya dijepit ke atas sampai keningnya terekspos semua—tengah memotong-motong sayuran di salah satu sudut dapur.
Ketika Ruviane mendekatinya, gadis itu langsung melotot dengan matanya yang agak sipit.
"Wow. Bung. Itu ...," Anya menurunkan pisau, dan dengan kalimat menggantung dia menunjuk bagian bawah matanya sendiri—tepat pada kantung matanya.
Mirip anak kecil dituntun sang ibu, Ruviane pelan-pelan meraba bawah matanya juga. Keningnya berkerut. Dalam beberapa detik yang singkat, dia tampak berpikir. Setelahnya dia ber-oh pelan lantaran berhasil menyadari sesuatu.
"Hanya 'oh'?"
"Orang-orang tertarik dengan rambutku, kau malah melihat kantung mataku."
"Itu artinya ada yang lebih parah daripada rambutmu," timpal Anya seraya menggenggam kembali pisaunya. "Masih ada waktu sebelum makan malam. Alangkah baiknya kalau kau memanfaatkan waktu itu untuk beristirahat, bukan untuk berkelana ke dapur."
Bibir Ruviane mengerucut sok manja. "Aku lebih senang di dapur," gumamnya.
Anya menelengkan kepala dengan ekspresi oh-coba-lihat-siapa-yang-bicara. Matanya yang agak sipit berkedip-kedip manis, bersamaan dengan satu tangannya yang bertengger ke pinggang. Dia tak ada bedanya dengan sosok ibu-ibu hendak menceramahi anaknya sekarang.
"Kau bisa menggoda Alice-Alice baru dengan gelagat itu, tapi tidak denganku yang setiap harinya melihat ke-playboy-anmu sampai nyaris tiga tahun." Gadis berambut pendek manis itu mengayunkan tangan; memberikan gestur mengusir. "Sana, hus. Kembalilah ke ruanganmu."
Perintah ada untuk dilanggar. Begitulah yang Ruviane yakini.
Maka dari itu, alih-alih angkat kaki dari sana, si pemuda bernetra rubi justru bersandar malas pada tepi meja di mana Anya sibuk mengeksekusi sayuran.
"Aku akan beristirahat ketika kau rela jadi teman main nonaku seharian."
"Kenapa?"
"Karena itulah masalahku."
Salah satu alis Anya terangkat cantik. "Insomniamu itu?"
Ruviane mengangkat bahu. Memang mudah sekali menghindari tatapan Anya, tetapi tidak mudah menghindari rasa penasarannya. "Rasanya akan ada yang hilang kalau aku tidur saat gelap. Jadi aku akan tidur saat siang, tapi kau harus membawanya menjauh dariku atau aku akan tewas adu mulut dengannya."
"Menurutku, itu namanya kau merasa waspada, khawatir berlebihan. Atau lebih parah: paranoid." Anya mengangkat kedua bahunya serempak ragu-ragu. "Menjadi waspada bukan berarti kau harus membuka mata sepanjang malam. Cal memastikanku tetap bernapas dan mewujud setiap hari, tapi dia tidak punya masalah tidur sepertimu."
Tatapan Ruviane jatuh pada kentang-kentang yang habis di bawah pisau Anya. Suaranya terdengar mengawang ketika dia membalas, "Itu karena kau tidak pernah menghilang."
Rentetan gerakan memotong-mengiris-mencincang yang Anya lakukan seketika berhenti. Lain dari warna matanya yang sekalem kopi susu, caranya melemparkan tatapan justru sama berbahayanya dengan silet—tajam dan tak kenal ampun. Seolah-olah yang barusan keluar dari mulut Ruviane adalah kalimat tak bermoral.
Seorang pegawai dapur sempat menghampiri mereka, hendak menanyakan satu-dua hal terkait menu makan malam atau mungkin perihal bahan camilan. Namun, dia bergegas balik kanan ketika tak sengaja melihat alis Anya menukik tajam. Lebih-lebih lagi ketika sadar bahwa tangan ramping Anya yang tampak kecil dan rapuh justru tengah menggenggam pisau baru diasah kuat-kuat.
Tepat ketika si peri malang menyingkir, rekan-rekannya yang lain segera menyadari perubahan atmosfer di sekeliling mereka.
Akhirnya, hanya dalam hitungan detik, suasana dapur terasa canggung—dan ngeri.
Masih menjadi tontonan-yang-semoga-saja-cepat-berakhir, Anya kembali memotong kentang. Pisau bertemu talenan; bunyi ketukannya keras dan mengancam. Ruviane seratus persen yakin emosi gadis itu tersalurkan dengan sangat baik lewat hantaman pisau.
Malang nian nasibmu. Ruviane menghela napas. Seketika merasa iba begitu melihat si kentang habis di tangan Anya.
"Aku tidak pernah menghilang karena aku tidak pernah melakukan hal yang tidak-tidak seperti milikmu," lemparnya ketus. "Kau boleh menganggapku sebagai gadis manis yang lugu, Ruviane. Tapi kau harus tahu bahwa aku bersikap manis padamu karena Caleb tidak ingin aku asal bicara sampai membuatmu mogok kerja."
Ruviane mendengkus. "Ya ...."
Mata sipit Anya kian menyipit. Tangannya meraba sekitar, mengambil sekumpulan wortel baru dibilas pasca dikupas. "Kenapa? Kau mogok sekarang?"
"Tidak. Tenang saja. Silakan potong wortelnya."
Mendengar itu, Anya McDough bersungut-sungut. Alas pisau kembali menghantam talenan. Kini wortel yang jadi korbannya.
"Aku akan mengajak Esme menyudutkanmu sampai mati kutu besok-besok," gerutunya.
Ruviane meringis membayangkan pisau itu membelah tangannya jadi tiga. "Itu ... mengerikan."
"Ya, kami para wanita memang mengerikan."
"Maksudku, caramu memotong wortel."
Sekarang gadis itu mendengkus, lalu cemberut hebat sampai rasanya matahari langsung tenggelam tanpa ba-bi-bu. Gelagat Ruviane membuatnya lelah, dan bakal terasa dua kali lipat lebih melelahkan karena diladeni sambil memasak.
"Kalau kau tidak punya urusan apa-apa lagi, lebih baik kau pergi dari sini. Aku tidak suka membuat makanan dengan suasana hati yang buruk."
"Baiklah. Selamat memasak, Nona McDough." Ruviane balik kanan, berlalu sambil melimbai. "Dan tolong perlakukan wortelnya dengan lebih lembut lagi, atau aku tidak akan mau mengambil seporsi sup malam ini."
Oh, andai Ruviane melihatnya: di belakang punggung, Anya sudah mengangkat pisau setinggi kepala, siap melemparnya kapan saja. Beruntung, para peri di sekitar sigap menahan tangannya.
Jangan sampai Tuan Dayton melihat ini! Begitu pikir mereka.
Kembali menyusuri lorong istana yang dingin dan sepi, kali ini Ruviane berpapasan dengan salah seorang petinggi, kemudian dengan segera bersopan santun mengundurkan diri. Menjadikan tumpukan buku di ruang kerjanya sebagai alasan alih-alih jujur bahwa dia khawatir nonanya mati beku di dalam sana.
Musim dingin di Negeri Ajaib tidak seindah dan sehebat yang orang-orang kira.
Perubahan cuaca ini terjadi sejak kepergian Alice Musim Dingin yang terakhir, sebelum Esmephia Sonata datang. Anginnya jauh lebih dingin dan bisa sampai mematikan bila seseorang jauh dari benda hangat satu jam saja. Salju pun nyaris tak pernah berhenti turun sepanjang malam.
Istana Putih hampir sepenuhnya tak terlihat mata telanjang andaikan taman-tamannya tidak dibereskan setiap hari. Namun, berkat sihir yang melapisi setiap inci dinding istana, temperatur di sana tidak sebeku wilayah penduduk. Ruviane bahkan masih bisa tahan untuk tidak mengenakan jubah mantel tebal setiap berjalan-jalan di wilayah pekarangan.
Para petinggi memang menyebalkan—harus Ruviane akui—tetapi mereka masih berbaik hati menyampaikan pesan kepada para penduduk untuk mengurangi kegiatan di luar rumah, atas perintah ratu. Penduduk yang berhibernasi diminta untuk menyamankan diri di bagian terdalam rumahnya, sedangkan penduduk yang aktif selayaknya manusia Dunia Atas diharapkan untuk mengenakan pakaian hangat setiap waktu.
Setiap tiga hari sekali gerbang Istana Putih akan dibuka. Penduduk diizinkan untuk berkunjung, meskipun hanya untuk menumpang menghangatkan kaki selama lima menit.
Pada saat-saat itulah Ruviane memutuskan untuk mendekam di ruangannya sejak matahari terbit sampai tenggelam. Sehingga penduduk nyaris lupa bahwa jumlah Warden yang sebenarnya ada lima orang, bukan hanya empat.
Atau kalaupun bosan mendekam, dia akan menyelinap keluar dengan jubah bertudung yang lain—bukan yang biasa dikenakan para Warden sebagai luaran resmi—sampai menutupi separuh wajah. Agar para penduduk tidak langsung mengenalinya hanya karena dia tidak sengaja menunjukkan sebagian rambutnya yang mencolok.
Biasanya di tengah momen itu, Ruviane akan berpapasan dengan salah satu rekannya yang paling rajin, paling menaati peraturan, dan paling sering dijadikan tolak ukur perbandingan oleh petinggi.
Sisi buruknya, dia adalah rekan yang paling tidak akur dengan Warden mana pun.
Lalu entah sedang sial atau apa, kali ini pun Ruviane berpapasan dengannya.
Berjalan bak pelayan yang patuh terhadap majikan, seorang pemuda bersetelan serupa berjalan di belakang seorang gadis berpakaian tebal. Selain postur yang sama tinggi dengan Ruviane, surai pemuda itu hitam legam (tanpa ada kecacatan seperti yang dimiliki Ruviane), sedangkan irisnya cokelat gelap. Sorot matanya tajam lagi mengintimidasi. Persis sama dengan burung gagak yang bertemu dengan musuh bebuyutan—atau mungkin santapan.
Inilah dia Rowell van Alluca. Warden kesayangan para petinggi, gagak favorit Mad Hatter, pemuda yang patuh merangkap tegas terhadap nonanya, serta—seperti yang dijelaskan di atas—dia tidak akur dengan Warden mana pun.
Ruviane tidak menyukai sifatnya, seratus persen, tak bisa diganggu gugat. Melv tidak menyukainya karena Ruviane tidak menyukainya (insting kucing, katanya). Caleb akan memilih untuk bersikap netral dan profesional. Sedangkan Saccan memang tidak berniat memihak siapa pun kecuali Aletta, Alice-nya sendiri.
Ruviane bahkan berani menebak dengan sangat yakin bahwa nama Warden yang tercoret dari barisan sekutu Rowell adalah Ruviane de Anshumant.
Sudah tentu. Ini terlihat dari keduanya yang hanya tersenyum sopan karena ada orang lain.
Hanya bertegur sapa untuk formalitas.
Hanya bertukar tatapan bila sudah direncanakan—yang mana hampir tidak pernah terjadi.
Semuanya demi menjaga nama baik Warden di mata para penduduk Negeri Ajaib.
Lalu ketika berada di balik panggung, mereka tidak akan ragu untuk saling melayangkan tatapan sinis ataupun melontarkan kalimat sarkastis.
"Halo." Ruviane menganggukkan kepalanya dengan sopan guna berbasa-basi. "Lama tak bertemu, Nona Voyage."
Lumina Voyage, Alice Musim Gugur yang baru selesai bertugas kemarin, hanya mengangguk sekilas sebagai balasan. Gadis cantik nan elegan ini dikenal dengan warna bibirnya yang semerah apel, juga identik dengan rambut sewarna bunga sakura pucatnya yang indah. Ujung rambutnya tergelung amat sangat rapi sampai-sampai nyaris tidak ada bedanya dengan bolu gulung.
Mirip dengan Warden-nya, Alice yang satu ini lebih sering menyampaikan isi hati dan pikirannya lewat tatapan. Bila satu kali dia angkat suara, yang tergelincir dari lidahnya adalah komentar-komentar pedas. Warna merah cerah yang menjadi ikonnya seolah menonjolkan sisi karakternya yang tidak ramah.
Tentu saja Ruviane tidak tahu seperti apa karakter Lumina Voyage yang sebenarnya. Sungguh, dia tidak peduli. Selama gadis itu tidak menimbulkan kerugian dalam pekerjaannya, Ruviane tidak berminat untuk ikut campur dalam urusan apa pun.
Begitu yakin tidak ada kata-kata lain yang keluar dari mulut rekan Warden-nya, gadis itu melirik Rowell sekilas sebelum kembali menghadap Ruviane untuk berkata, "Kami permisi."
Begitu bunyi kelotak sepatu gadis itu terdengar, Rowell maju selangkah hingga bersebelahan dengan Ruviane. Matanya memicing keji.
Dengan suara rendah dia mendesis, "Tolong cari gadis lain selain Nona Voyage untuk kau jadikan mainan, Tuan Kelinci."
Ketahuilah, bukan hanya Rowell yang bisa bersikap sinis dengan sorot mata tajam seolah hendak menerkam lawan. Ruviane juga dapat melakukannya. Walaupun memang akan tampak manis karena caranya sinis adalah dengan menarik sudut bibir beserta senyuman mata yang menawan.
Andai Esmephia Sonata di sini sekarang, gadis itu mungkin akan memaklumi dengan kalimat, Tidak heran kalau pesona mematikanmu terlihat anggun. Wujud hewanimu, kan, kelinci. Kalau wajahmu sangar, nah, itu patut dipertanyakan.
Tidak tahu saja si gagak jadi-jadian itu bahwa jantung Ruviane berdebar karena tak sabar untuk mempertemukan sang nona dengannya.
Bila hari itu tiba, Ruviane akan mendengarkan segala komentar tentang Warden-banyak-lagak-bernama-Rowell-van-Alluca dari sudut pandang nonanya. Pasti akan seru bila mereka sehati soal ketidaksukaan ini.
"Tenang saja, gagak besar," sahut Ruviane malas-malasan. "Aku tidak tertarik dengan gadis yang suka makan wortel."[]
NOTES:
Hai~! (ノ◕ヮ◕)ノ*.✧
Hehe.
HEHEHEHEHE.
HAI, HAI, HAI~! ADA INFO, NIH. (*˘︶˘*).。*♡
Mungkin ini sepele banget dan kayaknya jarang yang perhatiin, tapi mulai dari chapter ini sampai seterusnya, penulisan "Warden" dan segala jabatan berbahasa asing bakal kubuat tetap biasa, alias no miring-miring.
... Sebenernya dari penggunaan "Alice" di sini pun kelihatan ya astaga, maafkan saya. ༎ຶ‿༎ຶ
Singkat cerita, belakangan ini aku merenung tentang, "Kenapa Alice-nya enggak kubuat miring, ya? Kenapa cuma si Warden?" Awalnya kupikir karena [Warden] kelihatan kurang estetik kalo enggak miring, tapi lama-lama kepikiran jadi yang bener harusnya gimana?
LALU—akhirnya kubuka novel terjemahan yang mengandung banyak gelar berbahasa asing (bukan bahasa Inggrisnya, melainkan semacam bahasa dunia fiksinya) dan tERNYATA, PARA GELAR ITU NDAK MIRING. ✨
Lalu juga aku ubek-ubek internet, dan akhirnya menemukan harta karun, DAN kuputuskan buat berbagi juga dengan kalian.
Dua-duanya dari Pak (?) Ivan Lanin—enggak tahu dia siapa, tapi ya honorable mention aja—dan sekarang aku sangsi orang ini pasti punya karya di suatu tempat. Entahlah. Padahal aku kepo. //PLAK
Yang jelas terima kasih sudah memberi kami pencerahan, Pak (?). Akhirnya saya ndak tersesat lagi. (*'ω`*)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top