- • A Morning • -

— Untuk Filla, si istri jadi-jadian Harry Styles,
"Kamu keren. Kamu pemberani. Kamu pemenangnya. Love you 3000, Sayang. <3 Kembaliannya 2000, ya. Soalnya duitku goceng."

.

Ketika Esme terbangun, ada wanita super anggun nan jelita berdiri di dekatnya, dengan tangan penuh pakaian terlipat.

Begitu berhasil mengumpulkan kesadaran sepenuhnya, barulah gadis itu terpana dengan kecantikannya. Bila boleh, Esme akan mengatakan wanita itu amat hijau.

Pakaiannya, perhiasannya, aura yang terpancar darinya, semuanya sehijau dedaunan. Perilakunya sopan tanpa cela. Suaranya yang serenyah gesekan daun pada pohon mengingatkan Esme pada suara tak berwujud yang dia dengar sebelum jatuh ke dalam lubang aneh di kedai Carol.

Apalagi ketika dia menyebutkan nama Esme—rasanya bulu kuduk di tengkuk leher langsung buru-buru bangkit berdiri.

Namanya Isabel. Menurut pengakuannya, dia bekerja sebagai pelayan pribadi sang Warden, tangan kanannya, suruhannya—apa pun pekerjaannya, yang jelas dia berada di bawah nama Ruviane de Anshumant.

Tatkala Esme bertanya dari mana wanita itu mengetahui namanya, wanita itu tersenyum dan menjawab. "Percayalah, Nona. Tuan menyebut nama Anda lebih sering dari yang Anda kira."

Setelah perkenalan singkat dadakan itu, Isabel menawarkan Esme untuk membersihkan diri selagi kepala Ruviane masih terkulai ke belakang sandaran sofa dengan buku menutupi wajah.

Esme terang-terangan mengernyit lantaran meragukan lelapnya pemuda itu. Melihat kerutan di keningnya yang terpahat tidak santai, Isabel meminta gadis itu untuk mengabaikan Ruviane. Si wanita serba hijau juga berkata bahwa belakangan ini si Warden bermata merah memang kekurangan tidur.

Selesai membersihkan diri, Isabel membantunya mengeringkan rambut hanya dengan sekali tunjuk. Semilir angin menyentuh tiap helai rambut pirang Esme hingga kering total. Setelah itu, bermodalkan semilir angin lagi dan pita katun hitam polos, rambutnya dikucir tunggal.

Kekuatan sihir. Betapa praktisnya.

Esme menghela napas, merasa lega karena berhasil bersih-bersih. Di detik berikutnya, dia bingung harus melakukan apa setelah bersih dan wangi. Akhirnya—selama Isabel menghias rambutnya secara manual—dia biarkan pikirannya berkelana.

Oh, gadis itu bahkan tidak melarang otaknya berpikir tentang, Bagaimana caranya wanita ini bisa mengetahui ukuran pakaian dalamku?

Kedengarannya konyol, tetapi sungguh, Esme dibuat termenung selama lebih dari semenit.

"Selesai."

Isabel mundur selangkah, lalu memunculkan cermin besar dengan satu jentikan jari. Kepulan asap putih datang, cermin besar tiba di pelukan. Tingginya melebihi kepala Esme dan itu membuatnya dapat mematut diri dari kepala hingga kaki sepuasnya.

"Bagaimana?" Isabel menggenggam tangan di belakang punggung, tanpa sadar berpose manis lebih dari yang Esme bisa. "Anda menyukainya?"

Esme memulai sesi mematut diri; pelan-pelan dia berputar ke kanan dan ke kiri sampai rok barunya berayun manis. Kedua tangannya lalu menekan pipi, menuntun gerakan kecil menoleh kanan-kiri. Jemari lentiknya bergerak ke depan poni untuk menjawilnya dua kali. Setelah itu, senyumnya terbit.

"Aku suka."

Jelas Esme suka.

Pakaian barunya bagus, wangi, dan nyaman. Hatinya terasa digelitik ketika dia menyentuh renda yang tersampir dari bahu dan melintasi dada pada kemeja putih panjangnya. Perasaan yang serupa juga timbul-tenggelam ketika dia mengusap korset yang melilit perut dan pinggang. Jemari ramping Esme lanjut meraba keliman rok yang panjangnya jatuh sampai ke mata kaki, dengan warna yang mengingatkannya akan kayu bakar di perapian.

Oh, dan jangan lupa: sepatu bot barunya!

Meskipun desain motif dan modelnya tidak sebagus yang diberikan Feodora, bahan kulitnya terasa nyaman di kaki dan ketinggian tumitnya pas. Bak keberuntungan memiliki kaki ramping nan jenjang, panjang sepatu bot kulit yang mencapai betis justru membuat Esme merasa keren.

Ini adalah kombinasi pakaian impiannya sejak kecil.

Sederhana, tetapi elegan.

Tepat setelah Esme selesai berbenah diri dan Isabel keluar untuk mengambil makanan di dapur, Ruviane terbangun dengan kerutan samar-samar di kening. Wajahnya tampak letih sampai Esme curiga bahwa sebenarnya pemuda itu tidak benar-benar tidur.

"Kenapa aromamu malah tambah kuat?"

Tidak tahu harus duduk di mana lagi, akhirnya Esme memutuskan untuk duduk kembali di atas sofa yang sebelumnya dia jadikan tempat tidur. Dalam posisi duduk manis, gadis itu melicinkan bagian rok yang terlipat.

"Apakah itu pertanda buruk? Atau malah sebaliknya?" tanyanya tenang, mencoba untuk berperilaku bak aristokrat.

Nahas, Ruviane tidak tampak tertarik untuk meladeninya. Pemuda itu justru duduk bersilang kaki, mengusak rambut tidurnya, dan dengan tenang juga menjawab, "Sebaliknya."

Esme cemberut. Kecewa karena Ruviane menolak bergabung ke dalam permainan perannya. "Kau tidak seru," sungutnya, sebelum kemudian dia memintal senyum paling cemerlang pagi itu. "Yah, setidaknya sekarang kau tahu gadis mana yang harus pulang kepadamu. Bukankah begitu, Tuan?"

Mendengar itu, Ruviane diam tercenung. Mata merah rubinya mengarah kepada si gadis zaman modern yang kini telah kehilangan kemodernannya hanya karena setelan pakaian.

Itu kalimat sindiran. Jelas-jelas begitu. Ruviane masih mengingatnya—momen di mana dia mengatakan bahwa aroma Warden bagaikan petunjuk arah pulang untuk setiap Alice.

"Ingatanmu mengerikan, ya." Ruviane menyeringai, lalu menarik napas panjang. "Hm, gadis yang harus pulang padaku ternyata wangi cengkih. Betapa segarnya."

Senyum cemerlang Esme menyusut. Rasa penasaran dalam sekejap mengubah wajahnya menjadi masam. "Wangi cengkih?" tanyanya tidak percaya.

"Yeah. Menyegarkan, bukan?"

"Ruv." Gadis itu melotot. "Kau serius?"

"Nah, aku menyarankanmu untuk bertanya langsung pada Caleb, bila kalian bertemu. Dia yang mengatakannya, bahwa nonaku yang cantik jelita ini seharusnya sewangi bunga anyelir. Tolong jangan pelototi aku begitu, Nona. Itu faktanya," tanggap Ruviane. Kali ini tatapannya naik ke langit-langit ruangan, tampak menerawang. "Tapi entah kenapa ... kupikir aroma cengkih cocok denganmu."

Satu alis Esme terangkat tinggi. Sungguh dia berharap bahwa siapa pun yang melihat wajah anehnya sekarang dapat memaklumi. Maksudnya, yah, gadis mana yang tidak penasaran bila aroma tubuhnya disamakan dengan wangi rempah alih-alih bunga?

"Kenapa bisa cocok ...?"

"Dengan segala hormat, aku tidak ingin memberitahu alasannya, Nona. Aku tidak ingin kau besar kepala."

"Oh, ayolah." Esme bergeser mendekat. Kepalanya terteleng dengan manis. "Kau, kan, tahu aku ini gadis yang baik hati dan sombong."

"... Tidak salah bicara?"

"Seratus persen tidak salah."

"Ya, tentu saja. Kau senang besar kepala," Ruviane mencibir dengan nada serupa. Satu kakinya dia angkat dan disilangkan di atas kaki lainnya. "Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya, yang jelas cocok denganmu karena aromanya pedas, lembut, dan manis—walau sedikit."

Masih di tempat duduknya, diam menunggu Isabel datang dengan hidangan sarapan, Esme mengerucutkan bibir. Harga dirinya menolak untuk bersemu malu lantaran masih tidak rela disamakan dengan rempah.

"Cocok karena sifatku begitu?" Gadis itu menebak.

"Tidak," sangkal Ruviane secepat angin. "Sarkasmemu yang begitu."

Nah. Cengiran Esme lepas seketika. Balasan yang begitu baru seru!

Awalnya Esme mengira waktunya di Negeri Ajaib akan dihabiskan dengan menelan banyak kalimat kosong yang manis sampai mati malu—yang barangkali bakal tidak akan ada habisnya dari mulut Ruviane.

Namun, pagi ini takdir membuktikan bahwa dia memiliki kesempatan untuk bertahan hidup lebih lama dengan cara menelan ucapan tajam Ruviane. Siapa sangka bahwa caranya cukup mudah? Esme hanya perlu melontarkan gombalan yang lebih panas dari si pemuda bermata rubi. Dengan begitu, dia akan bertahan hidup dari ancaman mati pipi panas merah merona.

Bagus, sekarang tujuan bertahan hidupku bertambah satu, pikirnya dengan senyum mata ke arah Ruviane—yang kini tengah mengangkat satu alis. Yaitu menggodamu sampai mampus.

Ruviane cemberut. "Hentikan itu. Isi kepalamu terdengar jelas."

Esme tertawa semenyebalkan yang dia bisa. "Sungguh, aku sengaja," katanya. "Pasti seru kalau melihatmu melengos karena malu, 'kan?"

Ruviane meletakkan buku di atas meja sofa, lalu bertopang dagu pada lengan sofa. Tubuhnya yang hanya berlapis kemeja agak condong ke arah sang nona, yang tengah duduk manis bersandarkan bantal bekas tidur. "Kau yakin bisa? Lawanmu playboy tulen, lho."

"Hei." Esme melakukan hal serupa dengan menjadikan pahanya sebagai tumpuan. "Poin senjata para Pirang Bodoh itu ada di pesonanya."

"Oh, ya?" Kali ini sang Warden menyeringai. Kembali mundur ke tempatnya bersandar. "Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang jatuh lebih dulu."

Di saat itulah pintu ruangan diketuk, dan Isabel datang bersama troli makanan.

Dengan telaten dan cekatan dia menyajikan dua cangkir berisi minuman berbeda, serta beberapa piring berisi menu sarapan. Tawa gelinya lepas ketika melihat Esme terpaku pada menu sarapan dengan sorot mata berbinar-binar.

Setelah menyajikan, Isabel pamit undur diri. Seolah tidak ada sedikit pun rasa curiga ataupun waspada kalau-kalau tuannya melakukan hal biadab pada seorang gadis.

Ruviane tampaknya tidak terganggu dengan suasana sepi meski berada di satu ruangan yang sama dengan orang lain, jadi Esme memilih untuk fokus menyantap makanannya saja. Sesekali gadis itu bergumam, memuji rasanya, kemudian kembali sibuk menyuapkan makanan.

Bahkan sampai piring tandas pun mereka tak kunjung bertukar kata.

Selesai menyantap makanan, Esme kini duduk diam dengan sebuah cangkir di pangkuan. Lain dari milik Ruviane yang isinya sudah mutlak berupa teh, cangkir miliknya berisi susu hangat. Tadinya masih mengepulkan asap, tetapi lama-kelamaan asap itu memudar ketika dia sibuk termenung, memikirkan kembali apa yang sebenarnya terjadi padanya sejak pindah ke rumah besar Sonata.

Mari kita rangkum semuanya.

Semua berawal dari Esme berangkat bersama Peter ke London pada malam tahun baru, lalu bertemu dengan Feodora di depan pintu begitu sampai. Keesokannya, mereka merayakan tahun baru sekaligus ulang tahunnya dan Esme mendapatkan cukup banyak hadiah; sepatu dari Feodora, liontin dari Oma, dan lain sebagainya.

Esok harinya lagi, tiba-tiba Oliver—orang yang mengaku sebagai teman sekolah sepupunya—datang bermain ke rumah. Beberapa hari setelahnya, dia berubah menjadi sosok pemuda berpakaian formal yang lengkap dengan topi tinggi. Tidak ada lagi Oliver, dan tidak ada yang bisa melihat wujudnya selain Esme. Namanya pun berubah.

Malam itu, Esme berbincang dengannya. Soal magis dan dunia fantastis.

Pada pagi harinya, si pemuda aneh kembali muncul di kamar mandinya, mengobrol setengah kasual setengah formal dengannya, dan entah bagaimana Esme dengan santainya berangkat ke Taman St. James dengan pemuda aneh yang tidak bisa dilihat orang-orang wujudnya.

Di tengah perjalanan rekreasi dadakan, Esme dikuntit sampai merinding. Setelah itu mereka mengamankan diri dengan berteduh di kedai makanan dan bertemu dengan seorang wanita nyentrik yang sama anehnya dengan si pemuda aneh, minum teh, lalu memesan makanan. Mereka mengobrol, tidak logis topiknya, sampai terpaksa tak bisa pulang karena terjebak badai salju. Puncaknya adalah momen di mana satu orang aneh lagi datang tak diundang. Dia mengakibatkan kekacauan, kekacauan, dan kekacauan di mana-mana.

Deretan kejadian aneh itu resmi ditutup dengan lantai kedai yang terbelah dan menarik Esme jatuh ke lubang.

Lalu di sinilah dia.

Duduk bersandar pada bantal maha empuk, perut terisi, serta ditemani sosok pemuda—yang menjadi sumber utama masalahnya belakangan ini—di sofa sebelah.

"Ruv."

"Ya?"

"Hidup itu aneh, ya?"

Pemuda aneh sang pemilik ruangan—yang sebelumnya bernama Oliver dan kini berubah nama menjadi Ruviane—memberikan lirikan singkat.

"Aku senang kau ditampar realita, tapi apa kau benar-benar baru menyadarinya setelah diseret ke dunia dongeng yang realistis ini, Nona Sonata?"

Esme merengut. Lihatlah dirinya. Sebelumnya bersikeras untuk tetap rapi dan sopan bak pria sejati, sekarang lengan kemejanya malah tergulung sampai di bawah siku. Kerahnya tak dikancing, lengkap dengan rambut hitam-putih meluruh berantakan. Menyebalkan, tetapi bohong besar kalau Esme menyebutnya sebelas-dua belas dengan buruk rupa.

Lalu, siapa sangka bahwa melihat Ruviane duduk di sofa sebelahnya, membaca buku tanpa benar-benar membacanya, serta dengan efek sinar fajar menerobos kaca jendela di belakang punggung kokohnya adalah pemandangan yang menyegarkan?

Esme, rasionalitasnya menegur. Cukup lihat-lihatnya. Ayo kembali waras.

"Setelah ini apa?" Gadis itu bertanya, berupaya menghilangkan benih-benih terpesona di kepalanya.

Ruviane mengerjap-ngerjapkan mata, seolah dengan itu lamunannya dapat pergi jauh. Dia tutup buku di tangan dan bangkit menuju meja kerjanya. Sejenak dia terdiam, lalu akhirnya memakukan pandangan pada permukaan meja.

"Aku akan melaporkan kedatanganmu," jawabnya tenang seraya membuka laci meja dan mengeluarkan selembar kertas dari sana. "Kalau hasil laporannya bagus, kau harus bersiap-siap untuk dipanggil keluar nanti malam. Jangan khawatir soal pakaian. Isabel pasti datang."

Esme mengeluh karena mendengar jawaban Ruviane—dan dia bersumpah bukan mengeluhkan masalah pakaian. "Dan aku harus menunggu di sini? Entah sampai kapan?"

Ruviane diam membungkuk. Ada pena bulu di tangannya. Dengan tenang diguratkan olehnya kata demi kata. Tidak tampak terburu-buru untuk menjawab pertanyaan gusar nonanya.

Melihat gelagat sang Warden yang luar biasa tenang, perhatian Esme langsung terpaku pada gerakan tangan kokohnya yang luwes. Begitu gerakan pena bulu berhenti, mata biru Esme seketika berpindah ke wajah si pelaku. Tubuhnya tersentak ketika beradu tatap dengan Ruviane yang ternyata tengah menatapnya tepat di mata.

"Apa kau ingin aku meminta Anya untuk menemanimu?"

Kepala berlapis surai pirang itu menggeleng-geleng tanpa ragu. "Aku belum berminat mengelilingi istana. Salah-salah aku malah diusir karena dikira penyusup cantik yang sedang dalam perjalanan meracuni Warden."

Ruviane mendengkus, senyumnya tampak geli. Dia jentikkan jarinya dan kertas yang baru saja dia tuliskan sesuatu seketika hilang menjadi kepulan asap dengan bunyi POOF! lucu.

Setelah itu dia mengenakan dasi kupu-kupunya, menyelipkan tangan satu per satu ke dalam jas, dan akhirnya meraih topi tinggi di tiang gantungan yang berdiri di sudut ruangan.

"Nona, apa kau senang dengan anak-anak?"

Esme mengerutkan kening. Ragu sendiri dengan jawabannya. "Tergantung, kurasa?"

"Kalau aku menawarkanmu untuk berkunjung ke rumah anak-anak kelinci, apa kau akan menyukainya?"

"Ya?" Punggung Esme menegak. Keraguannya lenyap, antusiasmenya meningkat. "Di mana itu?"

Kali ini seringai Ruviane timbul, dan Esme merasa salah langkah.

Entah mengapa ... rasanya seperti diusir secara halus.

Tadinya Esme mengira pemuda itu akan mengantarkannya ke tempat yang dimaksud lalu meninggalkannya begitu saja, seperti orang tua yang menurunkan anaknya di tempat penitipan anak sebelum pergi bekerja. Namun, Isabel datang lagi dengan sebuah mantel jubah di tangan sebelum Ruviane meninggalkan ruangan.

Kesannya, Isabel menjadi pengasuh sementara Esme, menggantikan Ruviane yang—barangkali—hendak sibuk mencari nafkah.

Peter selalu bilang kalau Esme orang yang tidak peka, tetapi orang-orang di sekitar mereka mengatakan bahwa sebenarnya kedua Sonata Bersaudara sangatlah peka.

Bukan aku yang tidak peka, Peter. Tapi kau yang tidak waras. Kedua ujung bibir Esme berkedut, merekahkan sebuah senyuman tatkala bersitatap dengan Isabel.

"Apa kau akan pergi bersamaku?" tanyanya.

Senyuman Esme barangkali menular, karena Isabel berbuat serupa.

"Saya tidak bisa menolak kalau mata Anda sampai secerah itu," gelaknya, kemudian dia menyodorkan mantel jubah tersebut. "Sebelum itu, silakan pakai ini."

Dengan semangat tinggi, Esme mengangkat mantel jubahnya ke depan wajah, kemudian melebarkannya sampai setinggi kepala.

Warnanya lebih terang daripada rok yang Esme kenakan. Lain dari yang pernah dipakai Anya dan Aletta—sungguh, waktu itu jubah mereka tampak luar biasa mahal—tidak ada satu pun motif di mantel jubah ini. Benar-benar desain yang tepat untuk mengendap keluar dan berbaur dengan masyarakat tanpa dicurigai.

Dalam satu gerak cekatan, Esme berhasil memasang pengait mantel jubah dalam sekali coba.

Gadis itu kemudian mengulum bibir. Tiba-tiba merasa berdebar karena hendak terjun berkelana di negeri asing. Memikirkan nantinya dia akan bertemu dengan makhluk-makhluk magis Negeri Ajaib saja sudah membuat perutnya serasa dipenuhi kupu-kupu yang beterbangan.

Ruviane bersedekap di balik mejanya. Tersenyum miring melihat pancaran antusiasme nonanya.

"Lihat wajahmu," katanya geli. "Berani taruhan, matahari pun kalah saing."

Esme melebarkan cengiran. Diam-diam meremas kain mantelnya dengan semangat empat lima.

Sungguh, dia sudah tidak sabar.

- • -

Jauh dari wilayah istana; jauh dari kerumunan pasar; pun jauh dari rumah-rumah penduduk; pada satu halaman luas setelah melewati kumpulan tanaman dan bunga liar penuh salju, sebuah rumah dua lantai berdiri di tengah-tengah sana. Berdiri tegap meskipun warnanya tampak pudar dimakan usia.

Tidak ada gerbang ataupun pagar. Satu-satunya yang dapat meyakinkan Esme bahwa itu bukan rumah kosong adalah suara keramaian samar-samar yang terdengar.

Namun, yah, siapa yang bisa menjamin kalau itu memang suara orang?

"Ada yang ingin Anda tanyakan, Nona?" Isabel menolehkan kepala padanya dengan senyum geli. "Kening Anda tampak kusut."

Esme—masih menatap rumah itu dengan saksama—menggelengkan kepala pelan-pelan.

"Aku akan memperhatikan," tolaknya.

Setelah mengatakan itu, Esme mengalihkan pandangan dari bentuk rumah menuju halamannya yang luas dan bersalju. Meskipun ada sudut halaman yang tidak jelas akibat tertutup salju, mata safirnya masih menangkap wujud bunga-bunga pada beberapa bagian halaman. Di sekitar bunga-bunga itu, tampaklah beberapa tumpukan tanah bekas galian tak rata. Ukurannya tidak pasti, letaknya tidak beraturan.

Tidak salah lagi. Esme melipat kedua tangan ke balik mantel jubah. "Rumah kelinci?"

"Keluarga Anshumant. Benar." Isabel mengangguk kalem. Tidak menyadari pelototan kaget nonanya.

Penuh kehati-hatian Esme bertanya pelan, "Apa itu berarti ... di rumah ini berisi kerabat Ruviane sungguhan? Secara biologis?"

Agak mengejutkan sekaligus tidak mengherankan ketika Isabel menggelengkan kepala. Entah bagaimana, Esme sudah memprediksinya.

"Pasangan utama keluarga Anshumant sudah tiada sejak lama. Kini rumah mereka berdiri untuk menampung anak-anak kelinci yang terlantar, juga para kelinci yang memiliki potensi untuk menjadi anak buah kerajaan. Pengurusnya yang sekarang adalah anak bungsu pasangan utama dulunya," Isabel menuturkan. "Sejarah ini tidak hanya berlaku pada satu keluarga. Secara umum, kisah di balik nama belakang para Warden memang dikenal demikian: ladang adopsi cikal-bakal anak buah kerajaan ketika mereka sudah cukup usia."

Adopsi.

Betapa tidak menyenangkan kalimat itu di telinga.

"Bila Anda ingin mengetahui detail lebih, mungkin Tuan berkenan menjelaskannya menurut pandangan pribadi."

Dan itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Kepala Esme mendongak, menatap atap rumah lebar tersebut dengan berbagai gagasan baru. Tidak semudah itu membangun kepercayaan pada orang asing.

Gadis itu mengetahuinya dengan jelas, bahwa kisah di balik sebuah tampungan atau ladang adopsi biasanya tidak terdengar bagus.

Bila nanti Ruviane akan menceritakan kisah tentang bagaimana dia bisa sampai diadopsi ke sana dan diangkat menjadi Warden, Esme percaya bahwa itu berarti dia sudah tinggal selama satu abad di Negeri Ajaib.

Satu musim dingin tidak mungkin cukup untuk menciptakan relasi sedalam itu.

"Hoh, halo? Ada yang bisa kubantu?"

Terbangun dari lamunan, Esme spontan berdiri tegap dengan wajah mengarah ke depan, menanti sosok yang berbicara.

Tak lama, seorang wanita keluar dari sisi pekarangan yang lain dengan keranjang berisi sayur-mayur—barangkali hasil panen. Pakaian tebal yang melapisi tubuh gempalnya entah bagaimana membuatnya tampak mirip dengan adonan roti pasca diuleni. Rambut kelabunya—bukan karena sudah tua, Esme yakin—disanggul rendah dengan helaian ikal tipis membingkai sisi wajahnya. Hidungnya memerah karena dingin. Kepulan asap putih keluar dari mulutnya ketika dia membuang napas. Walaupun entah sudah berapa lama dia berkutat dengan cuaca dingin hari ini, aura yang terpancar darinya tetap terasa hangat.

Mengatasi rasa penasaran Esme, Isabel angkat suara lebih dulu. Disertai anggukan kecil dia menyapa, "Selamat pagi, Momma Primrose."

Netra cokelat si wanita gempal yang besar seketika tampak melebar begitu berhasil mengenali siapa yang menyapanya. Senyumannya merekah lebar.

"Hoh! Isabel!" serunya riang. "Sudah lama sekali!"

Senyum Isabel yang sudah terang benderang kini bertambah dua kali lipat. Esme bahkan butuh menyipit untuk menghalau cahaya imajiner itu.

"Belakangan ini istana sedang sibuk, jadi saya tidak sempat mampir kemari," katanya riang, ramah, dan tetap sopan. "Tuan belum berkesempatan untuk berkunjung kali ini. Ada beberapa hal yang harus beliau urus dengan segera. Jadi hari ini saya hanya membawa Nona bersama saya—atas perintah Tuan."

"Nona?" Tepat setelah berkata demikian, kepalanya terteleng ke satu sisi. Dia tatap Esme tepat di mata safirnya. "Hoh, maksudmu gadis manis ini ... nona baru Ruv-Ruv?"

Ruv-Ruv? Esme mengulum bibir perlahan. Mati-matian mempertahankan ekspresi sedatar papan kayu meskipun kepalanya kesulitan berhenti mengolok-olok nama itu. Hei, hei. Kau dengar ini, Ruv-Ruv? Suaraku sampai padamu? Namamu eksotis juga, ya. Mirip tiruan suara hewan—Ruv-Ruv. Guk, guk.

[Nona Sonata, tolong berhenti mengejek nama orang.]

Tak menyangka bahwa pemuda itu akan menjawab panggilan kepalanya, Esme sontak menahan semburan tawa mencemooh. Bergegas dia mengalihkan wajah untuk berdeham pelan. Berdalih membersihkan tenggorokan sebelum bicara.

"Selamat pagi, Nyonya. Namaku Esme," ucap si gadis Sonata kemudian. "Um, mengenai perihal panggilan, sebenarnya aku belum resmi menjadi sesuatu-yang-disebut-Alice itu. Jadi, tolong—bila tidak keberatan—tidak perlu memanggilku nona."

Kedua mata besar wanita itu mengerjap cepat, lalu disusul dengan gelak tawa. Masih memeluk keranjang sayuran, dia mendekat untuk meraih kedua tangan Esme yang dingin dan menggenggamnya dengan erat dan hangat.

"Belum pernah kudengar seorang Alice berani berkata dengan percaya diri begitu," katanya. "Mungkin kau akan terkena teguran bila mengatakannya di depan petinggi, tapi tidak berlaku denganku. Aku suka gadis yang berterus terang."

Pelan-pelan Esme tersenyum—meskipun di dalam hatinya dia kebingungan setengah mati apakah itu pujian atau kalimat ancaman.

"Primrose de Anshumant." Dia tersenyum setelah berucap. "Silakan panggil aku Momma Primrose, Sayang. Momma saja juga boleh. Jangan terlalu formal padaku. Wah, lihat tanganmu ini. Nyaris beku! Ayo masuk. Isabel juga. Ayo, ayo. Lebih cepat lebih baik. Aku baru saja akan membuat sup dan kalian harus mencobanya .... Hoh! Tentu saja wortelnya! Wortel di ladang keluarga Anshumant adalah wortel terbaik di negeri ini."

Esme menahan diri untuk tidak mengernyit sehalus apa pun itu. Senyumnya masih bertengger di bibir.

Hei, panggilnya lagi—tentu saja kepada sang Warden di istana sana. Apakah sopan kalau aku bilang aku tidak menyukai wortel? Maksudku, menolak sajian wortel dari keluarga kelinci; kau ingin aku jadi gadis sekurang ajar apa lagi?

Hening sejenak di kepala, sampai lima detik kemudian Ruviane kembali menjawab isi pikirannya.

[... Tadinya aku ingin memberitahunya lewat surat, tapi aku lupa.]

Oh, Ruv ....

[Isabel bisa mengatakannya untukmu, mintalah bantuan kepadanya. Nah, sekarang kalau kau berkenan, aku butuh ketenangan pikiran karena sedang berhadapan dengan para petinggi. Kebetulan, ini demi nama baikmu.]

Yang benar saja.

[Tahan dirimu untuk tidak memanggilku dulu, Nona Sonata.]

"Aku, kan, tidak memintamu melakukan itu." Esme menggerutu pelan, nyaris tidak terdengar. Dia tendang salju di atas tanah sebelum menoleh ke arah Isabel yang berjalan patuh di belakangnya.

"Ada masalah apa, Nona?"

Esme meringis. Dilema hanya karena perkara sayuran.

"Pertama-tama, bisakah kau berjalan di sampingku saja? Aku tidak nyaman kalau kau berjalan di belakang .... Nah, terima kasih. Lalu yang kedua," si gadis dengan netra sebiru batu safir melirik sekitar dengan sekilas sebelum berbisik, "apa kau bisa mengatakan padanya kalau aku tidak menyukai wortel?"

Isabel mengerjap. Barangkali baru mendengar kasus orang tidak suka wortel sampai usia nyaris dewasa.

"Apa Anda punya alergi?"

"Tidak." Kening Esme berkerut memikirkan alasan. "Yah, sebenarnya ini semacam ... trauma."

Isabel tertegun, berkedip dua kali, kemudian mengangguk paham. "Kalau begitu, akan saya sampaikan padanya nanti."

Esme menghela napas. "Terima kasih."

Dipimpin Momma Primrose—yang diam menanti mereka di ambang pintu—mereka bertiga berjalan memasuki rumah tingkat tersebut. Arsitekturnya sederhana. Sekilas terlihat tua, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa kelihatannya luar biasa. Seolah-olah memang ada nilai misterius tersendiri dari sana.

Meskipun tempat perapian belum tampak dari pintu depan, temperatur di dalam ruangan dapat terbilang cukup hangat. Suasananya tidak mencekam. Menandakan bahwa Momma Primrose memang tidak tinggal sendiri di tempat ini.

Setelah menanggalkan mantel jubah dan melangkah agak jauh dari pintu depan, Esme mendengar suara kasak-kusuk dari berbagai arah. Tidak keras, tetapi terdengar jelas. Secara berkala dia menoleh ke suatu arah, berusaha mencari di mana dan dari apa atau siapa suara itu berasal.

Sayangnya, ketika Esme terang-terangan menatap dinding atau mebel, suara kasak-kusuk itu menghilang.

Sambil terus melangkah, gadis itu memilih untuk angkat suara.

"Maaf sebelumnya, Momma," dia berkata. "Apa ini hanya perasaanku saja atau memang terdengar sesuatu?"

"Hoh, jangan khawatir. Itu hanya anak-anak." Momma Primrose menjawab tenang; mengarahkan kedua tamunya ke arah sofa sedangkan dirinya pamit undur diri sebentar untuk meletakkan keranjang sayur. Dengan kaki menuntun ke dapur, wanita itu berseru ke arah tangga. "Dore! Remi! Bantu Momma melayani tamu!"

Esme mendongak, menatap ke arah anak tangga, menantikan balasan atas panggilan Momma Primrose.

Begitu hanya keheningan yang menjawab seruannya, gadis itu spontan mengernyit tidak nyaman. Nyaris saja dia bangkit dari duduk untuk menawarkan bantuan di dapur—lantaran tidak enak hati—andaikata derap langkah kaki di lantai atas tidak terdengar olehnya.

Begitu kembali menyamankan posisi duduk, Esme menoleh ke arah tangga lagi.

Suara derap langkah terdengar kian jelas, menggedor-gedor lantai kayu sampai terdengar bunyi dug-dug-dug yang halus. Dalam hitungan ketiga di dalam hati, seorang anak laki-laki muncul, tengah menapaki anak tangga dengan lincah. Di belakangnya, seorang anak perempuan berhenti di bordes tangga, lalu melompat naik ke pegangan tangga dan meluncur turun dari sana. Membalap si anak laki-laki yang kini berhenti mendadak karena nyaris ditubruk dari belakang.

Begitu mereka berhasil mendarat ke lantai dasar, keduanya kompak berdiri tegap, lalu membungkuk anggun sambil mengatakan, "Halo."

Setelah itu, dalam sekejap mata, mereka sudah berlomba-lomba lagi menuju dapur.

Sedetik hening.

Sedetik kemudian berbagai macam seruan terdengar bersahutan.

"Aku menjerang ketel!"

"Tidak, ya. Aku yang menjerang, kau yang menyeduh."

"Oh, ayolah! Jelas-jelas aku duluan yang menyentuh wilayah dapur! Memangnya kau tidak lihat yang tadi?"

"Kau menang karena rokmu menghalangi jalanku. Sudah, sana."

Lalu tiba-tiba hening.

"AKU BENCI DORE!"

"Berhentilah bersikap kekanakan dan tolong seduh minumannya, Remi."

Satu sudut bibir Esme terangkat tinggi. Mendadak dia merasa familier dengan suasana ribut itu.

Dulu, sebelum dia pindah ke Brooklyn, Peter rajin mengajaknya adu mulut sampai berbuih. Dialog semacam "aku membencimu" dalam pertengkaran saudara tidak pernah absen sekalipun.

Walaupun Esme tahu, bahwa kedua anak itu tidak sungguhan saling membenci.

"Ibuku pernah bilang: kalau ada sepasang anak yang mengeluarkan teriakan semacam itu, berarti tandanya mereka saling sayang dan peduli. Itu bahasa cinta para saudara." Esme bergumam pelan, entah apakah Isabel mendengarnya atau tidak. "Hanya saja, mereka ditelan gengsi."

Dengkusan geli dari Isabel menyadarkan Esme bahwa mungkin ucapannya benar. "Saya baru dengar soal itu," tanggapnya.

"Benarkah? Kalau begitu lain kali akan kutunjukkan contohnya agar kau percaya." Esme menyengir, kemudian duduk bersandar menyamankan diri di sofa. "Jadi, siapa mereka?"

"Tidore dan Jeremiah. Si kembar yang tidak terikat hubungan darah sama sekali, tapi disebut begitu karena Momma Primrose menemukan mereka di tempat dan hari yang sama, dalam waktu yang berdekatan." Tiba-tiba Isabel bersuara dengan tenang agar tidak terdengar seperti penyebar gosip aristokrat. Rupanya, dia tengah menatap ke arah yang sama dengan Esme—yakni dapur. "Waktu itu mereka yang paling muda di keluarga ini, itulah mengapa hubungan mereka bisa sedekat itu."

Esme menelengkan kepala sampai kucir kuda pirangnya ikut-ikutan jatuh miring. Dia jelas penasaran dengan detail wajah dua anak itu akibat ucapan Isabel tentang "anak kembar".

"Kenapa disebut kembar?" tanyanya. "Apa mereka semirip it—"

Jeritan melengking, merobek keheningan di udara.

"DORE! TUMPAH! AIRNYA TUMPAH SAAT KUADUK!"

"Demi Tuhan, Remi! Berikan sendoknya padaku! Cepat basuh tanganmu! Nanti melepuh!"

Esme menoleh, berhadapan dengan Isabel, kemudian melebarkan cengiran lagi. "Nah, lihat? Yang barusan itu contohnya." Gelak tawanya lepas. "Sungguh, bahasa cinta di dunia persaudaraan memang rumit."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top