- • A Letter • -

Untukmu, Tuan Warden¹ yang sibuk.

Apa kabar di kantor sana? Kau makan teratur, bukan? Gizi seimbang? Semoga iya. Aku tahu kau amat menyukai wortel, tapi kuharap kau bisa beradaptasi dengan karbohidrat.

Tenanglah, ini masih surat jawaban atas pertanyaanmu tempo waktu. Bukan sekadar berbasa-basi. Amit-amit aku merindukanmu. Sibuk memikirkan nasibmu yang menyedihkan saja tidak sempat.

Omong-omong, gadis yang kau deskripsikan itu benar adanya. Ada yang seperti itu juga sekitar sepuluh tahun lalu menurut kalender penghuni Atas, tapi aku yakin yang kau sebutkan itu berbeda. Memang banyak gadis pirang, tapi sedikit yang mendapatkannya sejak lahir. Lebih-lebih lagi yang pirangnya nyaris emas.

Inilah kenapa dulu aku pernah bilang kalau gadis sepuluh tahun yang lalu itu langka. Boleh jadi yang sekarang pun sama langkanya. Kalau aku boleh menebak, dia pasti sedang berjuang melawan stereotip masyarakat.

Sama seperti kita, eh? Alih-alih warna solid, yang kita dapatkan malah tercampur antara hitam dan putih. Jadi sebenarnya kita ini apa? Jahat atau baik? Heh, bukankah itu lucu?

Stereotip orang-orang membuat kita berada di tengah-tengah keduanya; belum tentu baik dan belum tentu jahat.

Miris. Hanya dengan sebuah mulut, kita terpaku kepada ekspektasi.

Aku selalu bilang begini: jadilah dirimu, Bung. Ketika kau harus menjadi sosok baik, jadilah orang baik. Bila kondisi menjepitmu untuk menjadi jahat, maka lakukanlah. Jangan ragu. Jangan takut sendirian. Karena orang yang benar-benar mengenalmu tidak akan meninggalkanmu sendirian.

Stereotip tidak akan ada habisnya. Harus kita yang memulai duluan, bukan?

Heh, sudah cukup aku berkhotbah. Lama-lama aku terdengar seperti ibumu.

Sekian surat dariku. Kalau kau masih ingin protes menginginkan jawaban yang rinci, datanglah padaku. Oh, itu pun kalau kau dapat menemukanku di dunia yang katanya ajaib ini. Heh.

Sampai jumpa di ujung dunia.

Salam,
Temanmu

- • -

Ketukan pelan mendarat di daun pintu. Membangunkan si pemuda di atas kursi empuk dari lamunan akibat terus memandangi selembar kertas di tangan. Sepucuk surat berisi jawaban atas pertanyaannya tempo hari kini justru membuatnya merenung.

Penuh gamang ia raih cangkir teh di atas meja. Sudah tidak mengepul, terlalu lama didiamkan. Setelah menyesap tehnya di bibir cangkir, ia berkata kepada pintu, "Masuk."

Tiga suara bercampur menjadi satu: derak pintu, kelotak sepatu, dan senandungan tak menentu.

"Lihatlah," si tamu berucap, "usiamu mungkin belasan tahun, tapi tidak dengan gelagatmu."

Pemuda di atas kursi kehilangan fokus. Tidak lagi dia berkutat dengan kertas dan cangkir tehnya begitu melihat siapa tamu yang datang.

"Mad Hatter," sapanya seraya menurunkan kaki dari atas meja. "Apa yang membuatmu kemari? Nyaris di tengah malam?"

Si tamu bertopi tinggi dengan lilitan pita koyak menggaruk rambut keritingnya dengan tongkat berujung bulat. Dia terus bersenandung, melihat ke sekeliling ruangan, sambil pelan-pelan mendudukkan diri ke atas sofa tamu. Senyum di bibirnya tak kunjung pudar walau tidak dilayani dengan baik.

Kepalanya miring ke kanan begitu dia berkata, "Begitu caramu melayani tamu?"

Pemuda di sana mengangkat bahu. Tidak tampak berniat melapisi kemeja putihnya paling tidak dengan jas bertengger di bahu. "Setahuku, tidak ada yang namanya tamu di atas jam malam."

"Aku akan bicara tanpa adab bertamu, kalau begitu," katanya. Kemudian Mad Hatter duduk melipat kaki. Bersiap berceloteh walaupun pemuda bernetra rubi di depannya tidak terlihat senang. "Berapa lama waktuku?"

Si pemuda meraih jam saku emas di atas meja, diam menekurinya beberapa saat. "Tidak sampai dua menit sebelum tengah malam."

"Baiklah. Aku mulai." Mad Hatter bersandar, tak kunjung mengurangi senyum. "Ada gadis pirang di tengah kota dunia Atas. Dulu dia pikir ibunya adalah model ternama karena sering mengajarinya cara tampil modis dan menunjukkannya baju-baju manis. Akhirnya dia bermimpi untuk menjadi model yang cerdas. Sayang beribu sayang, ternyata ibu dari gadis itu hanya desainer baju di butik kecil-kecilan. Namun, walaupun sudah tahu bahwa ibunya hanyalah seorang desainer yang bayarannya pun tak cukup mahal, gadis itu tidak mengganti mimpinya untuk menjadi model. Bukankah itu manis?"

Suara detak jam terdengar jelas di tengah heningnya malam. Di antara dua orang yang mengisi luasnya ruangan, keheningan merayap seiring waktu berlalu. Siapapun bisa merasakan ada hawa ganjil perlahan mengawang.

Sang "tuan rumah" yang tengah duduk di belakang meja sana diam tak berkutik. Tanpa suara menanti kelanjutan cerita yang dibawakan Mad Hatter sambil mengira-ngira ke mana arah pembicaraan ini melaju.

Dengan gerakan lambat, dia ambil cangkir teh beserta piringnya di atas meja. Iris rubinya berkilat ditimpa cahaya lampu.

"Lalu?" responsnya.

Mad Hatter mengetuk lantai dengan ujung tongkat. Tampak puas bagaikan telah berhasil memancing ikan. "Nahas, ketika dia mengatakan apa mimpinya kepada teman-temannya di sekolah, yang dia dapatkan bukanlah pujian, melainkan cemooh dan cibiran. Kau tahu kenapa?"

Pemuda itu angkat bahu. Santai menyeruput secangkir tehnya. "Kalau aku tahu jawabannya, kau tidak perlu ke sini."

"Yah, ada benarnya. Kalau kupikir-pikir, nasibnya hampir sama denganmu. Ini semua karena warna rambutnya," ucap si pria berpakaian nyentrik dengan senyum lebar. "Kenapa kau menatapku begitu? Kau tertarik?"

"Apanya? Itu konyol."

"Nah, rambut pirang adalah rambut bodoh nan konyol bagi kebanyakan masyarakat Atas. Tidakkah kau tahu? Ini mirip denganmu—diskriminasi."

Kernyit halus timbul pada kening lawan bicara Mad Hatter. "Tidak terdengar sama denganku. Kaupikir aku bodoh hanya karena rambutku berbeda dari yang lain?"

"Begitu pun sama seperti si cantik yang kuceritakan," dengkus Mad Hatter. "Apa kaupikir gadis itu benar-benar bodoh seperti apa kata orang?"[]

NOTES:
¹Warden – war•den
/'wôrdn/

:: a person responsible for the supervision of a particular place or thing or for ensuring that regulations associated with it are obeyed ::

.

.

.


Intinya, sih, sinonim dari "penjaga".
'³')

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top