15. Bonus
1 November 2020
Sudah mulai memasuki musim dingin yang artinya suhu semakin turun dengan hawa yang mendingin.
Orang-orang sudah mulai mengenakan pakaian musim dingin mereka seperti sweater, penutup telinga, jaket tebal, kupluk dan juga syal rajut.
Salju di hari itu turun sedikit, sebuah kesenangan tersendiri bagi mereka yang ingin berjalan keluar untuk berbelanja kebutuhan.
Salah satunya adalah mereka berdua. Yaku Morisuke dan juga Kita Shinsuke. Pasangan emak-anak itu baru saja turun dari shinkansen yang mereka tumpangin untuk ke pusat perbelanjaan yang selalu menjadi tempat mereka berbelanja.
Beruntung belanjaan kali ini tak begitu banyak seperti bulan sebelumnya jadi mereka bisa santai.
"Kalau tau suhunya akan sedingin ini mungkin Yaku nolak ikut" Gerutu pemuda dengan surai brown puff seraya menggosok kedua tangannya.
Padahal dirinya sudah memakai semuanya dengan lengkap bahkan memakai sweater tebal di balik jaketnya namun entah mengapa suhu dingin masih tetap saja menyentuh pori-pori kulitnya.
"Udah diem jan banyak ngeluh" Lengan segera ditarik masuk ke dalam dan Yaku hanya bisa pasrah saja seraya mencoba menahan dinginnya udara yang ada.
Mereka berkeliling, mencari barang yang sekiranya mereka butuhkan dan juga kadang bertanya dengan anggota yang apakah ingin di belikan sesuatu.
"Oh iya Yaku ambilin daging lagi" Mereka ada di tempat sayuran, kebetulan hendak mengambil beberapa sayur saat pesan chat dari Bokuto yang ingin daging.
"Kembali ke sana?!" Sebuah anggukan di terima, Yaku memutar bola matanya mencoba sabar. Sebenarnya jika ia di suruh kembali untuk mengambil sesuatu tak masalah tapi ini daging yang artinya dia harus mengantri dan menunggu di tempat dengan AC yang menyala.
"Kenapa tadi nggak sekalian coba" Gerutunya dalam hati sambil berbalik arah menuju tempat daging. Mungkin dia akan mengacak-acak rambut burung hantu tersebut saat pulang nanti sebagai balasan harus membuatnya begini.
"Kenapa perasaanku tak enak?"
****
Keduanya melangkah keluar, akhirnya setelah 1 jam berbelanja mereka selesai juga. Yaku mengusulkan untuk beristirahat sejenak seraya meminuk coklat panas di cafe seberang dan untungnya Kita setuju saja.
Keduanya pun berjalan, dengan Yaku yang setia ada di belakang Kita seraya mengenggam ujung jaket pemuda tersebut. Saat sampai di penyebrangan jalan, Kita melepaskan genggaman Yaku pada ujung bajunya.
"Tungguin bentar, mau beli minum" Dirinya pamit dan pergi tanpa memperdulikan jawaban Yaku. Lawan bicaranya hanya diam, irisnya menatap bosan pemandangan di sekitarnya.
Kita pergi ke vanding machine yang ada di sebelah supermarket tadi dan mau tak mau Yaku harus menunggu.
Tak lama irisnya berkilat jenaka kala melihat sebuah toko video game yang ada di seberang jalan. Gejolak dorongan untuk kesana timbul, dengan tak sabaran pergi dari tempatnya tadi menuju seberang.
Orang-orang mulai berjalan begitu pula dirinya, namun karena terdorong beberapa orang dari arah yang berlawanan membuat dirinya terjungkal dan jatuh. Dirinya mengutuk dalam hati mengapa orang-orang tersebut seenaknya saja mentang-mentang tingginya kurang jadi mereka seenaknya.
Rombongan orang tadi mulai berkurang, Yaku dengan cepat-cepat berdiri karena dirinya masih ada di pinggir jalan. Tak ingin tertinggal dan harus menunggu lagi.
Sebuah mobil melaju ugal-ugalan, tak segan untuk menerobos lampu lalu lintas yang ada disana. Sang pengemudi seolah tak merasa bersalah karena melanggar aturan tersebut.
Yaku masih berlari, dirinya kini ada ditengah jalan yang sepi oleh kendaraan. Wajahnya berseri riang kala membayangkan bagaimana reaksi salah satu teman sekamarnya jika ia memperlihatkan video game terbaru tersebut.
Suara teriakan awas tak ia dengarkan, indera nya seolah tertutup oleh sesuatu yang membuatnya hanya fokus pada satu hal saja.
TINNNN
BRAAKKK
Botol minuman jatuh dari tangan Kita, iris cokelat miliknya bergetar kala tak sengaja melihat kejadian itu tepat di hadapannya.
Orang-orang berkerumun, beberapa ada yang memaki sang pengemudi karena melanggar aturan sementara yang lain berusaha menelpon polisi dan ambulans.
Kaki-kaki Kita bergemetar, berusaha berjalan mendekat ke tubuh yang sudah terbanjiri oleh darahnya sendiri.
Dengan sekuat tenaga mendorong orang lain yang memaksanya untuk tak mendekat, bersimpuh di hadapan Yaku yang terbaring tak sadarkan diri.
Suara sirine ambulans terdengar, para petugas medis dengan sigap segera membopong tubuh Yaku untuk di bawa ke rumah sakit terdekat. Kita dengan langkah berat menyusul, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Tangannya menggenggam erat tangan yang lebih kecil, sensasi dingin ia rasakan kala mengenggamnya. Bibir bawah tanpa sadar ia gigit menahan ketidakpercayaannya.
****
Suna berlarian di sepanjang koridor rumah sakit, di belakangnya ada Sakusa, Hanamaki, Bokuto dan juga Tsukishima yang turut berlari.
"Bagaimana?!" Suna bertanya dahulu kala ia menjumpai Kita dengan sebagian tubuh yang ternodai darah. Mata pemuda itu memerah, mungkin karena terlalu lama menangis disana sendirian.
"Keadaannya memburuk dan terpaksa di operasi" Lirih Kita, pemuda itu memalingkan wajahnya. Tak ingin yang lain melihat air matanya yang perlahan turun.
"Udah, sekarang kita tunggu gimana hasilnya nanti" Ujar Sakusa. Pemuda ikal itu memang terlihat tenang namun tak ada yang tahu jika batinnya juga ikut terpukul tentang berita sang kembaran.
Ponsel Tsukishima berbunyi, pemuda tinggi itu menjauh dan mengangkat panggilan tersebut.
'Kei.. '
Pegangannya pada ponsel bergetar, dia tahu betapa hancurnya seseorang yang kini menelfon dirinya.
'Gi-gimana?'
'Masih belum'
Dari seberang dirinya bisa mendengar suara Nishinoya yang mencoba menenangkan Natsu dan Tobio,
'Kei, tolong kabari lagi' suara Semi terdengar bergetar dan setelah itu panggilan terputus. Tsukishima menatap datar layar ponselnya yang kian meredup, pandangannya tertutupi oleh air mata.
"Ma... "
****
L
orong rumah sakit malam itu gelap, entah mengapa Kita masih tetap ada disana. Pandangannya menatap kosong selembar kertas yang ada bangkar di depannya.
Surat yang menjelaskan secara rinci operasi yang telah terjadi 4 jam yang lalu dia baca dengan enggan, manik cokelat susu miliknya tampak gelap seolah tak ada jiwa di dalamnya.
Pandangannya masih tertuju pada tubuh yang tertutupi kain di hadapannya, tangannya hendak membuka kain yang menutupi tubuh tersebut. Baru saja tangannya terulur tapi ia malah menarik kembali tangannya.
Perasaannya campur aduk untuk saat ini, dia ingin membuka kain tersebut tapi juga di satu sisi ia tak kuat untuk membuka kainnya.
Dia berdecih, air mata kembali berkumpul di pelupuknya. Dia tak bisa, tak kuat rasanya harus menyibak kain tersebut.
"Ini mendadak... Aku tahu itu" Nishinoya berbicara setelah sejak tadi dirinya diam di sofa.
Kita melirik nya sejenak lalu menghela nafas, "Ini salahku"
"Jangan salahin diri sendiri, Yaku pasti marah kalo tau" Kali ini Oikawa angkat bicara, sejak tadi dia ingin berbicara namun entah mengapa lidahnya seakan kelu untuk bergerak ataupun mengeluarkan sepatah kata.
"Yaku masih disini" Tepukan pelan kembali mendarat di pundak pemuda dengan surai ganda tersebut. Nishinoya tersenyum tipis, matanya melirik ke sebuah sudut.
"Ya kan.. Yak?"
****
Ketidak ikhlasan membuat rohnya tetap di bumi, raganya memang sudah terkubur di dalam tanah namun rohnya masih setia ada di bumi dan membuntuti mereka semua.
Menampakkan diri setiap saat seolah dirinya baik-baik saja dan tak pernah mati. Yaku sendiri tahu kalau dirinya tak akan kekal untuk terus berasa di bumi ada waktu dimana ia harus pergi dan meninggalkan mereka.
"Yaku"
Sore itu Semi memanggilnya, mengajak dirinya menuju gudang yang tak pernah di lalui siapapun.
"Kenapa Eita?"
Semi menyerahkan sebuah surat dan dengan segera Yaku membuka surat tersebut. Irisnya bergerak guna membaca setiap kalimat yang ada. Perlahan-lahan wajahnya kembali memucat, dia memandang tak percaya pada sosok yang ada di hadapannya.
"Mau? Gimana pun lu harus pergi" Ucapan Semi menusuk langsung ke Yaku, harusnya dia tahu akan hal itu. Dia memang ingin pergi namun-
"Yaku nolak, maaf" Surat kembali diberikan ke Semi dan setelah itu dirinya beranjak pergi.
"Yaku" Lengan di cekal, iris milik Semi menatap tepat ke iris milik Yaku yang sudah berbeda.
"Kalo lu nggak mau terpaksa kita yang turun tangan"
Baru saja Yaku hendak protes tapi mulutnya sudah terbekap oleh sebuah tangan lain.
"Yaku-san, maaf kami harus memanfaatkanmu"
Dan setelah itu pandangannya menggelap, dia tahu bahwa nyawa anggota yang lain akan terancam tapi dia kalah. Dia hanya roh tak bisa berbuat apapun, wujudnya memang bisa di sentuh tapi hanya penghuni Wisma yang bisa melihatnya.
****
P
isau yang berlumuran darah di genggam erat. Air matanya menetes begitu saja melihat jasad salah satu anggota Wisma terkapar begitu saja di hadapannya.
Dirinya takut, bimbang dan juga merasa bersalah karena sudah membunuh Tsukishima yang jelas-jelas tak tahu menahu tentang hal ini.
****
Jubah miliknya berkibar terkena angin, pandangannya menatap ke bawah di mana tubuh Miwa yang sudah berdarah ada di sana. Batu besar ia gulingkan sengaja hendak membuat gadis itu tak bernyawa.
"Maaf, maaf. Yaku benar-benar minta maaf. Ini bukan permintaan Yaku"
****
Semi mengusap wajahnya, di sebelahnya ada Akaashi yang sedang meminum air botolnya. Mereka saat ini sedang duduk di sebuah halte, hendak menunggu bus yang akan membawa mereka ke Wisma.
"Semoga Yaku tenang ya"
Pandangan Semi mengarah ke langit, dia tersenyum kecil membayangkan bahwa kini kawannya telah tenang.
Akaashi mengangguk, "Ya, aku juga berharap begitu"
-END-
SELAMAT TAHUN BARU!!!!
AKHIRNYA BUKU INI SELESAI DENGAN ENDING YANG BAGUS XD
Jadi disini bisa di simpulkan bahwa para penghuni Wisma sebenarnya tahu jika Yaku mati hanya mereka tak bisa ikhlas untuk membiarkan Yaku pergi dengan tenang. Jadinya roh Yaku masih tertahan di bumi dan menampakkan wujudnya pada mereka semua.
Etto.. Terima kasih sudah mau membaca dan sampai juga di buku lainnya!
Jaa!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top