13. Antara
Kaki-kaki nya berlari di sepanjang jalan yang terus menanjak. Pandangannya masih mengarah pada sosok yang ada di depannya.
Tak peduli kakinya yang lecet karena tergores bebatuan yang ada di sana. Dirinya tetap berlari berusaha untuk terus mengejar.
"Hah... Hah... Larianmu semakin cepat saja"
Tubuhnya berbaring di atas rerumputan taman yang kebetulan sepi, lawan bicaranya mengambil nafas di dekatnya.
"Benar.. Hah... Kah?"
Tak ada balasan, yang berbaring menutup matanya mencoba kembali rileks serta mengatur nafasnya. Sebuah handuk jatuh di atas wajahnya, di tolehkan kepalanya ke pemuda yang masih setia berdiri.
"Masih mau berlari?"
Pemuda itu menoleh, memberikan raut kesal pada lawan bicaranya, "Kita udah 3 kali keliling kompleks emang Rin nggak capek apa?"
Yang di komentari terkekeh kecil, handuk yang tadi ia gunakan kini tersampir di lehernya. Beranjak berdiri seraya membersihkan bagian belakang nya.
"Ya udah, yuk pulang" Bahu di rangkul dan kemudian keduanya berjalan bersama menuju Wisma mereka.
Jalanan di kompleks pagi itu masih tergolong sepi, hanya ada satu atau dua orang yang kadang lewat dan menyapa.
"Rin"
"Hm?"
"Rasanya mati gimana ya?" Pertanyaan bodoh itu membuat pemuda sipit terhenyak untuk sesaat. Dia kemudian melepas rangkulannya dan menjitak pelan surai tersebut.
Seruan kesakitan terdengar, si lawan berbicara memandang kesal ke arah dirinya yang masih memandang dengan wajah datar.
"Nggak baik ngomong hal kek gitu Yaku, masih syukur kamu di beri hidup kenapa malah mau mati?" Langkahnya kembali ia ambil, berjalan terlebih dahulu di depan Yaku.
"Bukan gitu maksudnya Rin" Serunya seraya berjalan menyusul Suna yang ada di depannya. Saat langkah kaki mereka sejajar ucapannya kembali terdengar.
"Ya kalau orang yang mati tapi tiba-tiba ada kan ya aneh gitu" Ocehnya dengan suara yang di pelankan di akhiran.
Suna melirik tanpa minat, nampak tak begitu tertarik dengan pembahasan yang satu ini.
"Baru ngeliat hantu? Atau gimana? Yang jelas hal kek gitu nggak ada di dunia ini. Kalo mereka udah mati ya udah mati nggak ada ceritanya mereka gentayangan tapi masih bisa di lihat orang lain" Jelasnya panjang lebar. Tangannya mendorong pelan pagar kayu yang mengelilingi Wisma mereka.
Yaku masuk dan setelah itu Suna menutup pagar, keduanya kembali berjalan mendekati pintu masuk.
"Kalau pun ada ya Yaku, kuharap nggak bakal kejadian di aku" Tambahnya setelah masuk ke dalam dan melepas sepatunya.
Yang di ajak bicara masih tetap diam, berdiri di sebelahnya dengan sepatu yang sudah terlepas. Pandangannya menatap datar sepasang sepatu miliknya dengan sebuah senyum kecil.
"Begitu.. "
"Hm sudah daripada memikirkan hal random seperti itu mending cepetan mandi sana" Suna berjalan melewati Yaku yang masih berdiam di undakan. Berjalan ke atas menuju kamarnya sendiri.
"Hah... Baiklah"
****
Lengan berhasil di cekal, nafas Suna tak teratur karena terus berlari mengejar sosok Yaku yang tiba-tiba saja berlari.
Keduanya sama-sama tersenggal karena pasokan udara yang menipis, terlebih tempat mereka semakin tinggi jadi agak susah untuk menghirup oksigen.
"Yaku.. "
"Lepas Rin"
Lengannya semakin di genggam erat oleh Suna, tanpa sadar membuat pemuda itu meringis kesakitan karena cengkeraman kuat Suna.
"Denger"
Badan dibalik dan mata keduanya pun bertemu, Suna sedikit menunduk untuk mensejajarkan penglihatannya dengan Yaku yang notabenenya lebih pendek darinya.
"Bubud mungkin cuma bercanda jangan masukin hati ucapannya. Kita pasti bisa ke puncak walau semua temen kita mati"
"Tapi Rin-"
"Sst, jangan terlalu memikirin hal kek gitu okay?"
Gelengan dari sosok di hadapannya membuat Suna tanpa sadar mengeraskan rahangnya. Dia ingin egois sekali ini.
"Rin, please-"
"Ini wish Yaku dua bulan yang lalu kan? Lihat sunrise bareng sama aku di puncak gunung dan nikmatin view yang ada kan? Kita pasti bisa kok ke puncak"
Air matanya menetes, kepalanya terus menggeleng tanda menolak. Tak ingin suara-suara itu kembali menerpa nya.
"Kita bisa okay? Kira-kira dua sampai tiga-"
"SUNA RINTAROU!"
Wajah yang tadi menunduk perlahan terangkat, wajah pucat pasi dengan darah yang mengucur dari pelipis serta dahinya membuat Suna bergemetar.
"Cukup, kita nggak bisa-"
"TAPI AKU INGIN! SEKALI SAJA AKU INGIN EGOIS!"
Tatapan nanar terlihat jelas dari iris cokelatnya, wajahnya berpaling tak ingin melihat sosok kekasihnya yang nampak sangat hancur di hadapannya.
"Rin, Yaku mohon... Ikhlasin ya?"
Bahu kembali di cengkram, kali ini langkah Suna maju membuat Yaku membulat kaget.
Dia melirik awas ke belakang dimana ada jurang dalam yang seolah menunggu mereka.
Wajah Suna menunduk, pandangannya menggelap dengan kilat penuh ancaman. Kakinya dia bawa maju satu langkah dan mau tak mau Yaku juga harus mundur satu langkah.
"Rin!"
Lengan yang ada di bahunya berusaha ia dorong mencoba untuk tetap berhati-hati walau keadaan mendesaknya. Dia tak mau ada korban lagi, dia hanya mau Suna tak melakukan hal bodoh.
"Rin, stop!"
Batu yang ada di pinggir jurang jatuh ke bawah, Yaku merinding jelas ini bukan Suna yang ia kenal. Suna yang ia kenal adalah sosok yang selalu berpikir dingin dan tak akan gegabah.
"Aku kasih kamu pilihan"
Langkahnya berhenti, wajah yang sejak tadi menunduk kini perlahan terangkat dan menampakkan iris miliknya yang nampak menyeramkan.
"Tetap ikut ke puncak atau kita akan mati sama-sama disini" Bisikan lembut penuh ancaman mengalun ke telinganya, Yaku memalingkan wajah antara takut dan juga frustasi karena pilihan tersebut.
"Rin, please ikhlasin jangan kayak gini terus kita nggak bakal bisa ke puncak" Lirihnya.
Ekspresi Suna mendatar, dia menatap lurus ke arah Yaku yang nampak ketakutan di hadapannya. Bahu di angkat acuh dan kemudian semakin mengeratkan cengkramannya.
"Kalau begitu kamu memilih kita akan mati bersama-sama disini? Baiklah kalau begitu" Cekikikan gila terdengar, rasa panik semakin menjadi-jadi saat langkah Suna semakin membawa mereka untuk terjun ke jurang.
"Rin! Sadar! Ini bakal sia-sia!! Rin!!" Lengan di dorong paksa walau hanya sebuah kesia-sian semata karena tenaga mereka yang tak sebanding.
Yaku bisa merasakan ujung kakinya sudah ada di ujung jurang serta angin dari jurang yang menerpa punggungnya membuat dirinya bergemetar takut.
"Yaku"
Wajah di hadapkan paksa, keduanya kembali berhadapan. Wajah Suna mendekat dengan sebuah seringai keji terpasang.
"Kita.akan.tetap.bersama"
Iris membulat kala pijakannya hilang, Yaku menatap pemuda itu terkejut antara tak percaya dan kecewa dengan hal yang dia lakukan.
"Sst- kau milikku, selamanya milikku" Tubuh di peluk erat seolah hendak melindungi namun yang terjadi malah sebaliknya. Dia menginginkan kematiannya atau lebih tepatnya kematian mereka berdua.
Mungkin dia sudah gila, ya anggapan beberapa orang pasti akan begitu. Namun dia tidak gila, dia hanya belum ikhlas saja menerima semua yang ada.
Tubuh terbalur genangan darahnya, tubuhnya diam tergeletak begitu saja setelah tadi terbentur batu lancip dan juga bebatuan besar lainnya.
Wajahnya perlahan memucat begitu pula kulitnya yang lain di karenakan pasokan darah yang keluar dari lukanya. Wajahnya menampakkan kebahagiaan, seolah rohnya sudah terbebas dan tenang.
Kisah cinta yang tragis memang.
****
"Na.. Rin"
"Hum?"
Keduanya ada di taman, memakan es krim setelah seharian berjalan-jalan. Mereka jarang memiliki waktu bersama, mungkin karena jadwal mereka yang saling bertolak belakang dan saat keduanya luang pasti mereka akan mencoba melakukan hal bersama.
Istilahnya mungkin quality time.
"Rin kan sering berpergian lalu tak jarang Rin juga naik ke gunung" Mulanya lantas kembali menjilat es krim miliknya.
Suna berdehem, "Lalu?"
"Penasaran aja, gimana rasanya naik ke puncak?"
Ponsel di simpan lalu kembali menyedot minuman miliknya, pandangan mendatar menahan kesal.
"Membosankan, belum lagi jika harus membangun tenda saat hujan dan juga itu melelahkan" Ungkap pemuda bermata sipit itu lantas bersender di senderan kursi.
Yaku beroh panjang, "Kalau semisal kita ke puncak bareng gimana? Seru nggak ya"
Pandangan mengahayal, berpikir jika semuanya ada di puncak gunung dan berfoto ria ataupun menikmati waktu kebersamaan mereka. Ah, mungkin akan menyenangkan.
Tanpa sadar dirinya terkekeh kala membayangkannya membuat Suna yang ada di sebelahnya menaikan satu alisnya.
"Kenapa?"
"Tidak, hanya membayangkan bagaimana kalau kita bersama ke puncak"
Dan selanjutnya tawa lepasnya terdengar, terlalu asyik membayangkan bagaimana itu sampai tak menyadari pemuda di sebelahnya mengambil satu buah fotonya saat tertawa.
Bah- kenapa nyerempet romance '-'
Maafkan saya~
Ide-nya terlalu banyak dan juga terus mengalir sampai saya tak sadar jika chapter kali ini menyerempet ke romance.
Dan juga kronologi Suna mati saya ubah sedikit, saya ingin jahil untuk sesekali haha!
Okay, tinggal sedikit lagi ini akan tamat huft semoga saat akhir tahun selesai!
Jaa~
Rabu
30 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top