11. Dua Pilihan

Hujan turun mengguyur di pagi hari, kabut putih masih setia menutupi area hutan kala itu. Suara rintiknya terdengar dimana-mana serta aroma khas hujan yang tercium.

Kondisi tanah yang lembab karena air dan juga licin membuat mereka harus ekstra hati-hati dalam berjalan. Jas hujan yang mereka pakai sudah basah sedari tadi karena guyuran hujan.

Tak ada satupun yang berani membuka percakapan sejak tadi. Kejadian malam tadi seolah mereka lupakan ataupun mereka paksa lupakan.

"Uhuk-uhuk"

"Natsu"

Kepulan uap dari mulut terlihat kala mereka bersuara, dingin menusuk dari angin serta hujan membuat beberapa tak nyaman terlebih ini masih pagi. Entah lah mungkin bisa di bilang shubuh?

Sang surya bahkan masih belum menampakkan dirinya dari ufuk timur sana.

"Di-dingin.. "

Tangan di usap-usap berusaha mendapatkan kehangatan dari sana, tubuh mungilnya bergetar hebat karena angin yang terus menerus menerpa.

"Tahan sebentar lagi ya? Mungkin kita bisa menemukan goa di sekitar sini" Tangan gadis itu di gandeng dan kemudian mereka kembali berjalan. Derasnya hujan serta angin yang berhembus kencang membuat mereka kesulitan berjalan.

"Disana"

Oikawa menunjuk suatu tempat, tak jauh mungkin hanya butuh 5 menit untuk mereka sampai di goa itu. Lima menit jika mereka masih bisa bertahan.

"Makki!"

Tubuh di depannya limbung, Sakusa yang kebetulan ada di belakang pemuda itu menahannya. Pemuda dengan surai merah jambu itu mengerjap pelan, wajahnya tertetesi air hujan dari atas.

"Dingin.. "

Lirih, ucapannya sangat lirih bahkan hampir tak terdengar. Sudah berapa lama pemuda itu menahannya? Kenapa dia tak ingin mengatakan sedari tadi jika dia juga kedinginan?

"Bertahan lah sebentar, kumohon" Bisikan lembut dari Sakusa hanya ia balas dengan anggukan, dengan tubuh lemas pemuda itu menegakkan kembali tubuhnya dan dengan sempoyongan berjalan.

"Di-dimana Akaashi?!" Pertanyaan itu membuat yang lain menoleh ke belakang, dimana Kita lah yang ada disana bersama dengan Yaku.

"A-Akaashi? Ta-tadi ada di belakang bukan?" Semi berujar kalut, bahkan dari nada suaranya saja ia terlihat ketakutan.

Semua diam untuk beberapa menit, sampai akhirnya Oikawa berceletuk.

"Kita bahas itu nanti saja, kita harus segera ke goa yang disana untuk beristirahat sejenak" Ungkapnya lalu kembali berjalan ke goa yang sudah mulai nampak. Yang lain mengikuti dalam diam, tak ada yang mau membuka suara barang sedikitpun.

"Uhuk-"

Tubuh gadis itu ambruk ke depan membuat Tobio yang ada di belakangnya terkejut, dia segera mendekat dan menggendong tubuh Natsu.

"Kak Oik, bisa lebih cepat?"

****

'Dingin?'

'Enggak juga, kan pake sweater'

Kaki mereka melangkah bersama, menyusuri trotoar kota yang ramai kala itu. Sesekali keduanya akan berhenti di depan sebuah toko dan melihat dari luar. Jika pun ingin membeli mereka langsung masuk.

Hari itu musim dingin pertama, dimana suhu saat itu sedang tak stabil kadang dingin kadang juga akan sangat dingin.

Dua pemuda berjalan-jalan, tangan yang lebih kecil mengenggam ujung baju yang ada disampingnya.

"Tungguin bentar, mau beli minum" Dirinya pamit dan pergi tanpa memperdulikan jawaban. Lawan bicaranya hanya diam, irisnya menatap bosan pemandangan di sekitarnya.

Tak lama irisnya berkilat jenaka kala melihat sebuah toko video game yang ada di seberang jalan. Gejolak dorongan untuk kesana timbul, dengan tak sabaran pergi dari tempatnya tadi menuju seberang.

Sebuah mobil melaju ugal-ugalan, tak segan untuk menerobos lampu lalu lintas yang ada disana. Sang pengemudi seolah tak merasa bersalah karena melanggar aturan tersebut.

Pemuda tadi berlari, dirinya kini ada ditengah jalan yang sepi oleh kendaraan. Wajahnya berseri riang kala membayangkan bagaimana reaksi salah satu teman sekamarnya jika ia memperlihatkan video game terbaru tersebut.

Suara teriakan awas tak ia dengarkan, indera nya seolah tertutup oleh sesuatu yang membuatnya hanya fokus pada satu hal saja.

TINNNN
BRAAKKK

****

Kelopak matanya terbuka sempurna, nafasnya keluar masuk dengan tak teratur. Pandangan manic cokelat susu milkknya menoleh ke sekitar, dirinya kemudian menghela nafas saat tahu bahwa dirinya sudah berada di dalam goa yang di lihat Oikawa tadi.

Jaket merah ia singkirkan dari atas badannya, dengan gerakan perlahan mengambil posisi duduk untuk melihat semua anggota yang masih hidup.

Ya.. Hidup.

Setidaknya itu yang ia pikirkan saat ini kala pandangannya tertuju pada seorang pemuda lain yang meringkuk di pojok.

H

ujan sepertinya sudah berhenti saat mereka tidur, dari dalam goa ia bisa melihat pemandangan hutan yang tersiram cahaya matahari. Dia tak tahu sekarang jam berapa, jam 10 atau 11 mungkin?

Dirinya memutuskan untuk beranjak dari tempatnya berjalan keluar dari goa dan melihat-lihat sekitar. Irisnya menyusuri seluruh tempat di hadapannya lalu berhenti di sebuah gundukan tanah.

'Pasti longsor lagi' batinnya menebak, dia mendekat melihat lebih jelas apakah longsoran itu akan kembali turun ke bawah.

Kakinya baru saja melangkah tapi dia seolah sedang menginjak sesuatu di bawahnya, kepalanya menunduk ke bawah dan berjongkok.

Tangannya meraba-raba di atas tanah apa yang ia injak tadi, keras tapi tak seperti batu maupun kayu.

"Ta-tangan?!" Matanya membola terkejut, dengan agak tergesa menggali tanah tersebut.

Sebuah tangan terlihat, Kita semakin terburu-buru menggali tempat tersebut, berusaha mencari tahu siapa yang tertimbun tanah tersebut.

Matanya menatap ngeri tentang apa yang ia lihat di hadapannya, surai cokelat, wajah pucat dan kotor serta hoodie putih toska yang sekarang sudah tak bersih.

Tak salah lagi itu adalah jasad Oikawa.

"O-Oik? O-Oi!" Tangannya menepuk-nepuk pelan sisian wajah Oikawa, masih tak percaya jika pemuda itu kini sudah tak bernyawa di depannya.

"Oi-kaw-a?" Tubuhnya berjengkit kecil lantas menoleh ke belakang. Nishinoya dengan tampilan acak-acakan menatap tak percaya di belakangnya.

Kita tercengang, dia pernah melihat kejadian seperti ini. Dia ingat, Nishinoya pernah sama berantakannya seperti sekarang. Lalu tak lama Sakusa dan Hanamaki datang, sama-sama menatap tak percaya dengan apa yang di hadapannya.

Entah mengapa dirinya merasakan hal ini seperti terulang namun bukan Oikawa yang seperti ini, bukan bukan Oikawa tapi yang lain, tapi siapa?

"Bud, ada ap-"

Pupilnya bergemetar, tepat seperti yang ia pikirkan tadi Sakusa dan Hanamaki datang tak lama setelah Nishinoya datang.

Lorong rumah sakit malam itu gelap, entah mengapa Kita masih tetap ada disana. Pandangannya menatap kosong selembar kertas yang ada bangkar di depannya.

Surat yang menjelaskan secara rinci operasi yang telah terjadi 4 jam yang lalu dia baca dengan enggan, manik cokelat susu miliknya tampak gelap seolah tak ada jiwa di dalamnya.

Pandangannya masih tertuju pada tubuh yang tertutupi kain di hadapannya, tangannya hendak membuka kain yang menutupi tubuh tersebut. Baru saja tangannya terulur tapi ia malah menarik kembali tangannya.

Perasaannya campur aduk untuk saat ini, dia ingin membuka kain tersebut tapi juga di satu sisi ia tak kuat untuk membuka kainnya.

Dia berdecih, air mata kembali berkumpul di pelupuknya. Dia tak bisa, tak kuat rasanya harus menyibak kain tersebut.

****

"Aku ingin bertanya serius" Suara Nishinoya memecah keheningan di antara mereka.

Tak ada yang menjawab yang berarti Nishinoya bisa melanjutkan ucapannya, "Apa tak sebaiknya kita turun saja? Aku punya firasat tak enak jika kita tetap naik"

"Tidak!"

Bantahan tegas dari Sakusa membuat mereka semua menoleh ke arah pemuda itu.

"Kita tetap naik!" Lanjutnya seraya menatap tajam ke arah Nishinoya.

Nishinoya tersentak, Sakusa tak pernah membentak nya seperti itu. Jikapun ia tak setuju dengan usulannya biasanya Sakusa hanya akan berbicara biasa.

"Omi.. Memang tak apa?" Hanamaki ikut berbicara, nampaknya dia juga terkejut dengan sikap Sakusa tadi.

"Tak apa tentu saja. Ini termasuk permintaan terakhir Yaku kan?!"

Ucapannya membuat yang disana terbelalak, diam untuk beberapa waktu. Mereka masih berusaha mencerna perkataan pemuda dengan surai arang tadi.

Hujan salju menyertai acara tersebut, beberapa orang terdekat meneteskan air matanya tak percaya jika dia akan pergi.

Kita Shinsuke adalah salah satunya, dia duduk di ujung. Pandangannya masih menggelap seperti saat ada di rumah sakit.

"Ma... "

Kepalanya terangkat kala suara lirih itu memasuki gendang telinga nya, di hadapannya sosok bersurai kuning puff berdiri dengan setelan hitam.

Dirinya menunduk, berbisik lirih tepat di sebelah telinga Kita.

"Ikhlaskan ya?"

Lirih tapi cukup untuk membuat perasaannya kembali berkabung. Tangisan tumpah saat itu juga, dirinya masih tak percaya hal itu akan terjadi. Dia masih ingin bersama sosok itu.

"Ini mimpi, mimpi MIMPI!"

Yang ada di hadapannya menunduk, mengeratkan genggamannya pada kedua lengannya sendiri.






Emh- baunya bad ending sih '-'

Ah iya ternyata saya salah memperkirakan jika buku ini hanya memiliki 10 chapter ternyata akan memiliki 15 chapter '-'

Jika saya ada niat mungkin tepat di tanggal 31 buku ini akan selesai jika tidak ada niat mungkin paling lama tanggal 2 akan tamat.

Doakan saja ide saya kembali mengalir untuk sekarang.

Jaa mata ne~

Selasa
29 Desember 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top