Meeting

Malam begitu dingin. Angin berhembus menggoyahkan api yang membakar tumpukan kayu di depan gubuk. Tampak beberapa orang mengelilinginya untuk menghangatkan diri.

Algasta duduk di samping kanan Lush, kapten yang memimpin perjalanan ini.

"Aku rasa, besok kita sudah bisa melanjutkan perjalanan." Lush mengangkat kedua tangan ke depan, membiarkan jari-jarinya mendapat kehangatan dari bara di depannya.

Algasta pun ikut, segera mengeluarkan kedua tangannya dari balik jubah, untuk menghangatkan telapaknya.

"Sekarang, apakah aku bisa mendapat jawaban dari pertanyaanku?" Algasta menagih, sambil memandangi api yang menjilat-jilat.

Lush tidak menanggapi. Ia dan yang lain di tempat itu terlena memandangi cahaya biru di tangan Algasta.

Algasta menoleh ke arah Lush dan segera menyadari apa yang sedang terjadi. Ia menarik kembali tangannya, dan menutupnya dengan jubah.

"Ah! Maaf. Kau merasa tidak nyaman, ya." Pandangan Lush buyar, begitu pula dengan Albert, Hans, dan Lee.

"Tidak papa. Mungkin aku hanya belum terbiasa," sahut Algasta.

"Penduduk asli Maya tidak banyak, kau tahu. Hanya kau dan para saudaramu yang kami ketahui." Lee menjelaskan. "Itulah mengapa, kau begitu menarik."

Algasta mulai kehilangan minat untuk berbicara.

"Hentikan," bisik Hans sambil menyenggol lengan Lee. "Kau membuatnya terdengar seperti objek, Lee!"

Pemuda kurus itu hanya berdehem lalu terdiam.

Keesokan harinya, rombongan itu kembali berjalan beberapa jam hingga mereka sampai di sebuah goa.

Lee mengeluarkan dua obor. Setelah dinyalakan, ia menyerahkan obor itu kepada Lush. Mereka pun mulai masuk ke goa itu.

"Itu dia!" Lush sumringah. Pendar cahaya keluar dari sebuah kristal di ujung gua. "Algasta, tolong ambil itu."

Dengan ragu, pemuda itu mendekat dan meraih benda itu.

Ting!

Cahaya dari batu kristal itu hilang.

"Biar kubawa." Lee meminta batu di tangan Algasta, dan menyimpannya dengan sihir ruang.

Mereka berenam keluar dari goa.

"Aaaaargh." Hans meregangkan ototnya. "Misi kedua di Maya, selesai."

Algasta bingung, "memangnya misi pertama kalian, apa?"

Lush memandang mata Hans, membuat lelaki itu terdiam. "Ehm."

Lee terkikik. Mengingat kejadian di api unggun semalam, sepertinya ia mendapat pembalasan dendam lewat kaptennya.

Kali ini, Lush mengenakan gelangnya lagi. Ia tampak terdiam menutup mata, sambil mengucap mantra tanpa suara. Setelah gelang itu mengeluarkan kilatan cahaya, Lush membuka matanya.

"Nah, anak baru, maaf. Aku harap kau tidak terlalu tersiksa, nantinya." Lush tersenyum.

"Apa?" Algasta tidak paham maksud dari perkataan kapten.

Tanpa sempat ia sadari, lima orang itu sudah membuat formasi melingkar.

"Berikan tanganmu," ucap Lily antusias. Albert juga mengulurkan tangannya ke arah Algasta. Mau tak mau, pemuda itu menurutinya.

Lush membuka suara. "Persiapkan diri kalian, kita akan keluar dari Maya!"

Algasta melongo. "Ap ...?"

***

"Huekk!"

Hans menepuk-nepuk punggung Algasta.

Saat ini, mereka ada di sebuah hutan. Hutan yang berbeda dari sebelumnya. Dan tentu saja, ini bukan di Maya.

"Ayolah ...." Hans memutar bola matanya.

"Kau pikir siapa yang membuatku seperti ini?" sahut Algasta sambil memegangi perut dan kepalanya.

"Bisakah kau menopangku seperti waktu itu?" pinta Algasta pada Hans. Hans mengangguk pengertian. Akhirnya, mereka meneruskan langkahnya.

"Kita sudah dekat. Aku bisa merasakannya." Dengan wajah sumringah, Lush membuka jalan dari semak belukar.

"Wow ... wow! Ini aku," ucap Lush tiba-tiba.

Dengan pandangan yang sedikit buram dan bergelombang, Algasta melihat Lush mengangkat kedua tangannya.

Algasta tak tahu jelas apa yang terjadi, karena ia masih mengumpulkan sisa kesadarannya. Pemuda itu memilih untuk menutup mata, membiarkan tubuhnya dibimbing oleh pria yang menopangnya.

"... ta?"

"Algasta?"

Algasta membuka matanya. Rupanya, Hans memanggilnya sejak tadi.

"Istirahatlah disini." Hans berjalan menjauh menuju segerombol orang.

Algasta mengangguk. Pemuda itu kini meringkuk di atas sebuah tikar. Energinya serasa habis terkuras bersama semua makanan yang keluar dari perutnya dengan paksa. Kepalanya terus berdenyut, membuatnya tidak mampu bahkan untuk duduk sekali pun. Di sampingnya, duduk anggota lain. Namun, Lush tidak ada.

"Pahlawan yang malang." Lee menggeleng-gelengkan kepalanya.

Albert beranjak dari samping Lee. "Sebaiknya aku membuatkannya obat, kasian dia."

Sementara itu, Lush dan Hans tampak berbincang dengan tiga orang.

"Roux, kau menyambutku dengan tidak layak." Lush memanyunkan bibirnya. Bagaimana tidak? Ia baru saja sampai di sini, langsung melihat sepasang remaja bersiap untuk menyerang dirinya dan tim.

Lush memandang dua orang di samping Roux yang tengah terkekeh. "Perkenalkan, aku Lush." Pemuda itu tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah dua remaja itu.

"Aku Theron." Anak lelaki itu menyambut jabatan tangan Lush. "Ini Olita," lanjutnya sambil menunjuk gadis di sampingnya.

Algasta yang sudah sedikit sadar, mengamati dari kejauhan. Ia pikir, mungkin nanti ia juga harus memperkenalkan diri pada mereka.

Tak lama, rombongan lain muncul dari portal. Mereka berjumlah tiga orang. Lush yang awalnya duduk segera berdiri dan menghampiri mereka. "Cadassi, aku sudah menunggumu sejak tadi!"

Algasta bergidik melihat Lush yang langsung memeluk pemuda yang baru datang itu. Ia berpikir. Di sana ada seorang gadis. Lebih normal rasanya, bila Lush memeluk gadis itu.

***

Hari mulai agak petang. Semua orang sudah mempersiapkan tempat untuk bermalam. Algasta pikir, sudah tidak akan ada lagi yang datang. Namun tiba-tiba, ada beberapa orang yang jatuh dari langit, ke tanah tepat di depan pemuda itu.

"Ouch!" Reflek Algasta memeluk tubuhnya sendiri, melihat dan mendengar suara seseorang yang jatuh menimpa tanah. Beruntung ada anggota dari kelompok lain yang langsung membantunya bangkit.

Semuanya agak sulit dipahami oleh Algasta. Lush bilang, mereka satu kelompok. Dan mereka memiliki tujuan besar di sini. Entahlah, ia lelah bertanya.

Algasta memandang sekeliling. Mereka semua berbincang ria, namun ada beberapa yang terlihat menyendiri seperti dirinya.

"Ada pengintai!" Tiba-tiba seseorang berteriak sambil menunjuk ke sebuah pohon. Algasta pun reflek memanggil Swordy ke tangannya, bersiap untuk segala kemungkinan.

Benar saja, terlihat siluet seseorang di atas pohon. Saat para petualang dalam posisi siap untuk bertarung, muncul orang asing lainnya.

"Siapa mereka?" Algasta bertanya pada diri sendiri.

906 kata
wga_academy
Nichole_A

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top