01 | BAD DAY

"Mengikhlaskan adalah jalan yang terbaik untuk menyembuhkan luka."

-Azura Renashilla R.-

***
Happy reading!🖤
If you don't like my story, you can leave peacefully, and thank you!🖤
***

Dengan senyum yang mengembang, Azura meyakinkan dirinya bahwa ia akan baik-baik saja. Pasalnya, setelah seminggu ibunya meninggal dunia. Neneknya bilang bahwa ia akan tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Dan kini, inilah hari pertama Azura masuk sekolah disekolah barunya. Kemarin malam ayahnya berkata bahwa ia disekolahkan oleh ayahnya di satu sekolah yang sama dengan kakak laki-lakinya. Ah, bahkan ia pun belum bertemu dengan kakak laki-lakinya itu. Baiklah, kebetulan sudah masuk waktu sarapan. Mungkin, ia dapat bertemu dengan kakak laki-lakinya itu dimeja makan. Tiba-tiba terdengar suara seseorang perempuan dari luar kamar Azura.

Tok! Tok! Tok!

"Non Azura, sarapan sudah siap non. Ditunggu ibu dan bapak dimeja makan."

Azura yang tersadar dari lamunannya pun menjawab, "Iya Bi. Sebentar lagi saya turun." Setelah itu Azura menyambar tasnya dan berlalu keluar kamar.

"Selamat pagi Azura." Begitulah sapaan ayahnya setelah Azura duduk pada kursi kosong dekat ayahnya dan berhadapan dengan ibu tirinya. Yang dia tahu, namanya adalah Tania Putri, hanya itu saja yang ia tahu. Lagipula, ia tak berminat tahu banyak tentang perempuan yang sudah merampas kebahagiaan keluarganya dan membuat ibunya memilih mengakhiri hidupnya.

"Hari ini kamu berangkat sekolah bersama kedua kakakmu ya, Ayah sudah berpesan pada Bagas untuk mengantarmu ke ruang guru dan menanyakan di mana kelasmu," kata Zean, sang ayah.

Azura diam, karena ia pun tak tahu yang mana Bagas dan yang mana Ari. Kedua kakaknya ini hanya diam saja. Tidak tahukah mereka bahwa Azura ingin sekali pergi dari sini secepatnya? Ia merasa bahwa ibu tirinya tidak suka terhadapnya, karena yang ia tahu bahwa ibu tiri itu jahat seperti yang ada dalam kisah Bawang Putih Dan Bawang Merah yang dulu sering bundanya bacakan ketika sebelum tidur. Namun Azura terkejut ketika ada yang menyenggol tangannya.

"Ntar lu bareng gue ke ruang guru, buat tanya kelas lu. Bagas. Itu kakak gue, Ari. Lu udah tau nama, kan?" kata laki-laki yang disebelahnya itu. Ternyata laki-laki inilah yang bernama Bagas. Ah, tidak terlalu buruk. Ternyata kakak nya baik, tidak seperti Bawang Merah yang jahat kepada Bawang Putih karena mereka saudara tiri.

"Iya, Hm..makasih. Tapi kapan kita berangkat? Ini sudah hampir pukul setengah tujuh?" jawab Azura dengan gugup. Entah mengapa ia begitu takut untuk berbicara banyak ditengah keluarga barunya ini.

"Bang, lu udah sarapannya?"tanya Bagas pada laki-laki dihadapnya. "Udah, yuk." Kemudian Ari pun berdiri dan salim kepada ibunda dan ayahnya. Disusul oleh Azura dan Bagas, kemudian mereka bergegas keluar dari sana.

"Bang, lu atau gue yang nyetir?" tanya Bagas kepada Ari. "Gue aja," katanya sambil mengambil kunci mobil yang ada pada Bagas. Kemudian Bagas menarik tangan Azura seraya berkata, "Azura, lo didepan aja ya sama Bang Ari. Biar gue yang dibelakang."

"Tap—tapi, Kak—"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Azura sudah dipaksa masuk dan duduk di kursi samping kemudi. Suasana hening menemani mereka bertiga ketika dalam perjalanan menuju sekolah, tak ada satupun diantara mereka yang berniat membuka suara guna memecahkan keheningan itu. Ari hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai disekolahnya.

Kini mereka bertiga telah sampai diparkiran sekolah. Ari melepas seatbelt nya dan kemudian keluar dari mobil disusul dengan kedua adiknya. SMA Global Islamic School, siapa yang tidak mengenal salah satu SMA itu? Sekolah yang memiliki gedung dengan 3 lantai itu merupakan salah satu sekolah terfavorit di Jakarta. Tak hanya itu saja, GIS ini ternyata bergabung dengan gedung SD dan SMP, hanya saja sedikit jauh dari gedung SMA.

"Azura, yuk sama gue ke ruang guru," ajak Bagas yang kemudian menarik tangan Azura. Azura yang melihat perlakuan kakaknya itu hanya bisa diam dan mengikuti kemana arah kakaknya itu. Lagi pula ayahnya sudah berpesan bukan bahwa Bagas akan mengantarkannya keruang guru.

Sepanjang perjalanan menelusuri koridor kelas azura hanya diam dan tidak berbicara sedikitpun, Bagas yang merasa ada yang salah dengan adik perempuannya itupun mengernyitkan keningnya. Apakah Azura ini sariawan? Atau dia takut dekat gue? Emang segitu menyeramkannya kah gue? Apakah gue ini monster? – Ah apa-apaan dia ini tidak mungkin. Mana mungkin Azura menganggapnya adalah monster? Karena, kesal dan lelah untuk menerawang pikiran Azura akhirnya ia pun membuka suara.

"Dek?" sapa Bagas kepada Azura. Azura yang terkejut dari lamunannya dan segera menoleh saat kakak laki-laki yang disampingnya ini memanggil. "Iya Kak, kenapa?".

"Kamu mikirin apa?" tanya Bagas.

"Hm..anu Kak...nggak ada hehe..Ini ruang gurunya masih jauh Kak?" Azura pun tak tahu mengapa ia tak bisa berbicara banyak kepada kakak laki-lakinya itu. Ia masih merasa malu, terkadang juga merasa sesak. Karena ia tahu bahwa sudah hampir 3 tahun ayahnya tak pulang dan kini ia bertemu ayahnya kembali dengan keluarga barunya. Sudahlah, tak perlu juga dia menyesali yang sudah terjadi. Untuk apa? Semua tak dapat kembali bukan? Bundanya tetap saja tidak bisa hidup kembalikan? Kini yang harus Azura lakukan adalah mengikhlaskan. Karena, mengikhlaskan adalah jalan terbaik untuk menyembuhkan luka.

"Nah, Azura nih ruang guru. Ntar lu bakal dianter sama Bu Farida ya, gue ke kelas dulu," kata Bagas sambil mengacak-acak rambut Azura. Tak lama kemudian dia tersadar, "Eh sorry jadi berantakan ya?" sambungnya lagi. Dia pun bingung mengapa bisa ia melakukan itu kepada Azura.

Azura yang kaget dengan gerakan tangan Bagas hanya bisa tersenyum. Sudah lama sekali ia tidak merasakan hal itu, dulu ayahnya sering sekali melakukannya sampai akhirnya bundanya pun berteriak untuk tidak merusak rambutnya yang sudah disisir oleh bundanya. Ah, mengingat kejadian itu membuat dada Azura kembali sesak. Nafasnya serasa sulit, sudahlah lebih baik sekarang Azura masuk dan menemui Bu Farida itu sebagaimana petunjuk kakanya tadi.

***

"Asaalamualaikum." Azura pun melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam ruang guru tersebut. "Permisi Bu, saya kesini mencari Bu Farida apakah beliau sudah datang?" tanyanya dengan sopan.

"Waalaikumsalam, oh kamu murid baru ya? Anak Pak Zean? Siapa nama kamu?" tanya perempuan paruh baya yang ada dihadapan Azura.

"Azura Renashilla Ramadhan Bu," jawab Azura seperlunya. "Baik Azura, mari ikut ibu. Akan Ibu tunjukan dimana ruang kelasmu," kata Bu Farida seraya beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruang guru kemudian disusul oleh Azura dibelakangnya.

Suasana ruang kelas X IPA 1 sangatlah ramai. Banyak para siswa-siswi yang sedang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang sedang tiduran, ada yang sedang bergosip, ada yang sedang memainkan game online dihapenya, adapula yang sedang bernyanyi-nyanyi riang dengan suara alunan gitar. Namun tiba-tiba suara Tomi berkumandang—dikiraadzan. "Woy , Bu Farida dateng. Duduk ditempatnya masing-masing." Seketika mereka langsung sibuk mencari tempat duduknya dan bersiap-siap untuk duduk karena takut mendengar ocehan yang maha dahsyat dari guru killer nya itu.

"Selamat pagi anak-anak." Suara bu Farida pun menggema sampai seluruh kelas menjadikan suasana kelas yang tadinya sangat berisik menjadi sunyi seperti tak berpenghuni. "Kita kedatangan murid baru. Baik Azura, silakan perkenalkan diri kamu," sambungnya.

"Hallo, teman-teman. Nama saya Azura Renashilla Ramadhan, bisa dipanggil Azura. Saya pindahan dari Bandung. Semoga kalian bisa menerima saya dengan baik."

"Oke, baik Azura, kamu boleh duduk samping Ale," kata Bu Farida.

Ale Firmansyah Firdaus,—cowok cool yang serba irit kalau ngomong, jago main basket, baik, tinggi. Namun kalau dia sudah bersama sahabatnya lain lagi kelakuannya. Bisa gitu ya? Hehe.—dia yang merasa tidak ingin siapapun duduk bersamanya pun mengeluarkan suaranya. "Kok sama saya bu?"

"Ale, kursi yang kosong, hanyalah kursi kamu. Lagipula kamu bisa membantu Azura untuk mengejar materi yang tertiggal. Ibu percaya kamu bisa membantunya," jawab Bu Farida. " Sudah, Azura, silakan kamu duduk ditempat yang sudah disediakan. Nah, baik anak-anak mari kita buka buku paket Matematikanya halaman 27."

Azura yang sudah duduk dibangkunya kemudian mengelurkan buku tulisnya. Sesekali ia melirik ke samping untuk melihat laki-laki yang tadi sepertinya tidak suka jika dia duduk bersamanya. "Apa?" kata Ale, satu kata itupun sukses membuat Azura kaget dan kemudian kembali menatap ke depan papan tulis.

Empat puluh lima menit sudah X IPA 1 tersebut merasakan pusing setengah mati akibat soal-soal angka yang begitu banyak sekali cara untuk memecahkan satu soal saja. Mengapa tidak mandiri saja si X dan Y itu mencari jawaban mereka, mengapa harus menggunakan rumus-rumus yang meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian bahkan pembagian. Ah, manja sekali mereka. Tapi, tak lama kemudian suara bel penyelamat pun berbunyi.

"Baiklah, anak-anak sudah bel istirahat. Sebelum kalian keluar kelas. Ibu akan membagikan kelompok belajar untuk presentasi minggu depan ya. Dengarkan dengan baik," kata Bu Farida. "Bima-Rina , Irma-Rian, Ale-Azura, Rizky-Rain, Raka-Raina, Romi-Tata, Tina-Tomi, Gilang-Dina, Gania-Aditya, Alfi-Aina, Rina-Rafli, Risma-Revan, Raya-Angkasa, Iris-Rangga, Lavina-Arsen. Apakah namanya ada yang belum disebutkan?"

"Tidak ada Bu." jawab sekelas secara kompak. "Baiklah, silakan istirahat. Ibu permisi. Selamat siang."

"Siang Bu," jawab sekelas secara kompak. Seketika mereka pun langsung membubarkan diri keluar kelas, ada yang kekantin, ada yang ke toilet, ada yang ke perpustakaan.

Azura yang kini sedang membereskan alat tulisnya kaget karena ada yang memanggil namanya dan menghampirinya. "Hey, Azura. gue Irma. Senang bisa kenalan sama lu," kata gadis yang kini ada dihadapannya seraya mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Azura tersenyum. "Hy, Azura. Senang bisa berkenalan denganmu," jawabnya seraya mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Irma.

"Eh iya. Ra ke kantin bareng yuk. Sekarang gue punya temen nih ke kantin, biasanya gue sendirian mulu," ajak Irma kepadanya. Azura tampak berpikir sejenak, akhirnya menganggukkan kepalanya. Apa salahnya ikut ke kantin untuk membeli air mineral karena, ia lupa membawa botol minumnya yang sempat diisikan oleh asisten rumah tangganya tadi.

Kemudian mereka keluar kelas dan menuju kantin. Kantin terletak di lantai satu dan lantai tiga, sementara kelas X IPA 1 ini berada dilantai dua. Entahlah bagaimana sistem penataan ruang kelas disini yang Azura dengar dari Irma bahwa kantin lantai satu adalah kantin untuk anak kelas XII karena kantin tersebut sangatlah lengkap dan menjadi kantin pusat di sekolah. Kalau kantin di lantai tiga hanyalah sebuah koperasi kecil yang dibuat oleh sekolah untuk belajar bagaimana cara simpan-pinjam yang tidak hanya dibahas di kelas saja namun, ada praktiknya.

"Kita kekantin lantai 1 aja ya, gue kangen siomay bang Mus," kata Irma seraya menarik tangan Azura menuju tangga untuk turun kelantai 1. "Nah, Ra lu mau beli siomay juga? Atau mau duduk sini aja?" tanyanya seraya menarik kursi untuknya dan Azura. Azura memperhatikan seluruh penjuru kantin. Tidak begitu buruk. "Aku tunggu sini aja," jawab Azura.

"Oke kalau gitu gue kesana dulu ya. Ada yang mau dititip?" tanya Irma kembali sebelum beranjak dari tempat duduknya.

"Air mineral aja ya, aku belum lapar." kata Azura. "Oke." Kemudian Irma berlalu. Azura kini mengambil ponselnya dan membukanya ternyata ada notifikasi dari salah satu cerita fiksi yang ia baca di salah satu aplikasi cerita online yang biasa disebut Dunia Orange atau Wattpad. Dia pun mulai membaca cerita tersebut, namun tiba-tiba ada seorang laki-laki yang mendekatinya dan mengambil ponselnya.

"Hey, cewek cantik. Wih, murid baru ya lo? Anak kelas X IPA 1? Boleh kenalan dong," kata laki-laki tersebut seraya menjauhkan ponselnya Azura.

"Please Kak, kembaliin ponsel saya," kata Azura seraya mencoba menggapai-gapai ponselnya. Namun percuma saja ia kalah tinggi dengan laki-laki yang ada dihadapannya ini. "Eiitss, kenalan dulu dong. Nama gue Gibran. Kelas XII IPS 1, boleh dong minta nomornya?" katanya sambil menyolek dagu Azura. Azura yang tampak risih dengan perlakuannya itu hanya bisa pasrah karena dia juga takut dengan laki-laki yang menurutnya ini adalah anak berandalan yang selalu berbuat ulah.

"Lu itu bisu ya? Nggak bisa jawab pertanyaan gua?!" bentak Gibran seraya menarik paksa dagu Azura agar menatapnya. "Oh, manis juga kalau kayak gini. Pengen gua cium rasanya," lanjutnya seraya menggenggam tangan Azura agar tidak bergerak sedikitpun.

Dalam hati azura merutuki dirinya yang tadi tidak memutuskan untuk ikut saja dengan irma, dan juga apakah para siswa-siswi disini tak mempunyai perasaan kasihan terhadap Azura yang sudah ketakutan setengah mati seperti ini? Kak Bagas, Bang Ari tolong Azura.

***

Ale yang merasa dirinya haus kini menuju lantai 1 untuk kekantin, setibanya dikantin ia melihat Azura yang sedang diganggu oleh Gibran. Iya, sudah jadi hal biasa jika ada siswi baru di GIS pasti selalu saja diganggu oleh biang onar ini. Ale yang tidak tega melihatnya mulai melangkahkan kakinya menghampiri Azura yang kini sudah merintih kesakitan.

"LEPASIN DIA!!" Suara lantang Ale membuat seluruh sudut kantin memfokuskan perhatian mereka hanya tertuju padanya. "Lepasin dia, lo nggak malu apa Bang? Udah tua juga masih aja gangguin bocah."

Gibran yang kini merasa marah terhadap adik lelakinya itu kemudian mendekat dan menghampirinya. "Apa lu bilang? Sumpah ya gua bosen harus baku hantam sama lu. Jadi, nggak usah sok jagoan." Azura yang kini sedang memegangi tangannya merintih kesakitan akibat cengkraman yang dilakukan oleh Gibran kepadanya itu membuat tangannya merah.

"Balikin ponselnya Azura, Bang. Dia anak baik-baik. Jangan lu gangguin dia," kata Ale kepada kakaknya itu namun tidak didengar oleh Gibran sedikitpun.

Hingga akhirnya datanglah Ari bersama Dimas dan Alfian. Mereka menghampiri kerumunan yang ada ditengah-tengah kantin tersebut. "Ada apaan nih?" kata Dimas mencoba menerobos kerumunan dan kemudian disusul Ari lalu Alfian. Ketika sudah melihat ada seorang gadis yang kembali ditarik paksa oleh Gibran dan Ale yang ingin membantu namun di pegangi oleh Aldi dan Ferdi. Ari membulatkan matanya, gadis yang ditarik oleh Gibran adalah Azura, adik perempuannya.

"Gibran!! Lepasin cewek itu!" kata Ari. Gibran dan Azura pun menoleh kesumber suara. Dalam hatinya azura mengucapkan kalimat syukur akhirnya Allah swt mengabulkan doanya untuk menyuruh salah satu dari kakaknya datang menolongnya. "Bang Ari?" kata Azura menoleh kesumber suara. "Bang Ari?" Gibran mengernyitkan keningnya. "Oh jadi cewek cantik ini adik lu?" tanyanya kepada Ari.

Ari pun mendekat dan mencoba melepaskan tangan Azura dan menariknya kedalam pelukannya. "Lu nggak apa-apa? Tangan lu sakit?" tanyanya khawatir. Azura yang kini masih shock hanya bisa diam ketakutan. "Apa yang lu mau dari Azura?" tanya Ari. "Oh namanya Azura, lucu juga. Nih, handphone-nya. Udah gua save juga nomornya. Semoga gua bisa hancurin lu lewat adik lu yang manis ini ya. Tunggu saja tanggal mainnya," kata Gibran yang berbisik kepada Ari kemudian berlalu meninggalkan kantin dan disusul oleh teman-temannya.

Ari yang memegang ponsel Azura pun langsung memberikannya kepada Azura, kemudian memeluk Azura supaya ia agak sedikit tenang.

"Hey, udah ya. Ada Abang disini. lu mau ke UKS? Tangan lu merah, kan? Ayo Abang anter," kata Ari lembut. Ia dapat merasakan bagaimana takutnya Azura saat tadi ditarik paksa oleh Gibran. Lihat saja nanti Gibran, semua akan terbalaskan.

"Nggak usah Bang, aku.. cu...ma s..ho..ck a..ja.." jawab Azura sambil gugup ia masih berusaha untuk menetralkan napasnya karena ia sangat takut tadi ditarik paksa begitu saja oleh laki-laki yang ia tak kenal. Ale pun menghampiri Ari, Azura, Dimas dan Alfian dan menanyakan bagaimana keadaan Azura, apakah perlu ia antarkan ke UKS atau tidak kemudian ia meminta maaf pada Ari dan juga Azura.

"Atas nama Bang Gibran gue minta maaf ya. Ra, Bang Ari," katanya sambil menundukkan kepala. "Iya Ale, nggak apa-apa kok. Cuma Azura kaget aja," jawab Azura. "Azura, pulang sekolah. Tunggu Bagas sama Abang ya. Jangan jauh-jauh dari Abang ataupun Bagas. Ok?" Begitulah petuah yang Bang Ari keluarkan.

"I..iya Bang," jawab Azura. "Yaudah, kamu kesini sama siapa?" Ari mengedarkan pandangannya mencari teman Azura tidak mungkin Azura pergi sendirian. "Sama Irma, cuma nggak tahu kenapa dia lama banget ya?" kata Azura.

Tak lama kemudian Irma datang lalu memberikan air mineral titipan Azura dan meminta maaf kepada Azura bahwa sudah lama ia meninggalkan Azura sendirian.

"Azura, nih..pesenan air.. eh, ada Kak Ari, Kak Dimas, Kak Alfian. Ada apaan nih rame-rame?" tanyanya ketika ia sadar bahwa ada para cowok ganteng se-GIS yang sedang mengelilingi Azura. "Irma, gue titip Azura ya, jangan ditinggalin sendirian. Lu harus bareng terus sama dia selama gue atau Bagas nggak ada didekat dia. Lu paham?" kata Ari yang to the point. "Eh iya Kak, siap. Paham," jawabnya meskipun ia sendiri bingung mengapa kakak kelasnya itu tahu Azura dan begitu sangat mengkhawatirkan Azura.

"Bagus, yaudah Azura cepat balik ke kelas. 10 menit lagi bel masuk. Abang ke kelas dulu," katanya kemudian mengacak-acak rambut Azura dan berlalu meninggalkannya bersama Irma dan Ale. "Eh Gilaaaaa, Azura. Lu siapanya kak Ari?" teriak Irma histeris membuat Azura dan Ale menutup dua telinga mereka dengan telapak tangannya.

"Dia kakak ku," jawab Azura seadanya. "Oke, bakal jadi kakak ipar lu ini. Hahaha. Apalagi kak Bagas ganteng banget, uhh..," kata Irma berkhayal semoga saja bisa mendapatkan hati salah satu dari mereka.

Azura yang mendengarkan khayalan temannya itu hanya mampu terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Seketika ia ingat dengan ancaman Gibran terhadap kakaknya tadi. Apa yang akan Gibran lakukan terhadapnya? Bagaimana jika ia tidak sedang bersama Irma atau Ale atau kedua kakaknya, Gibran akan menyakitinya? Semoga saja Gibran berubah pikiran.













-Revisi, 9 September 2019-
Vote and Comment!
Terimakasih atas waktunya telah membaca cerita ini.

Salam sayang,
BSA💐

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top