Alexandrio
"Kamu sudah melihat? Andrew dan Anggun sudah menikah. Kamu jadi satu-satunya orang yang ditinggalkan." Suara serak pria itu penuh dengan nada ejekan, sosoknya berdiri di dekat pintu kamar yang didorongnya terbuka. Pria itu berpangku tangan, menatap sosok kurus yang saat ini duduk di sisi tempat tidur. Menatap layar tv besar beberapa meter di depannya.
Acara tv saat ini menunjukkan sepasang kekasih yang memutuskan menikah. Pernikahannya sangat meriah, ditayangkan secara live di beberapa tv swasta mancanegara. Sosok Wanita itu tampak cantik dan lembut, dipasangkan dengan pria jangkung tegap di sisinya. Berciuman dan diberikan sorakan dan tepuk tangan.
Cantik dan tampan.
Sama-sama berasal dari keluarga terpandang.
Ada seorang anak yang berlari ke arah kaki mereka, menubruk kaki mempelai wanita lalu diangkat oleh mempelai pria. Keluarga tiga orang itu tampak sempurna dan bahagia. Semua orang memberikan berkat yang tulus agar pasangan itu selalu bersama sampai akhir hayat mereka.
"Andrew ini benar-benar penjahat." Edward menghampiri Maurin yang masih menatap tv. "Jelas dia sudah berjanji kamu akan menjadi satu-satunya, apa itu dulu disebutnya? Cinta sejati? Kamu jelas dibunuh oleh keluarganya, kamu harus dioperasi berkali-kali dari ujung kaki sampai kepala, tapi setelah bertahun-tahun akhirnya kamu sadar dari koma, dia yang kamu perjuangkan justru mengkhianati kamu dengan kejam."
Nadanya penuh ironi, tapi ekspresinya sangat puas dan bahagia. Ekspresi pria ini benar-benar minta ditampar.
Maurin tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia tahu dia sudah kalah. Berpikir, saat itu Maurin masih sangat muda, dia benar-benar impulsif. Jelas ayahnya Andrew menawarkan sejumlah uang agar Maurin meninggalkan putranya. Mirip dengan adegan drama-drama di tv.
Tapi Maurin sangat keras kepala, dia bukan hanya melepaskan cita-citanya, hampir kehilangan hidupnya, berakhir cacat dan lumpuh, dan saat ini ... dia masih menjadi pihak yang ditinggalkan.
Saat Maurin pertama kali tahu Andrew mengkhianatinya, dia sangat marah. Dia kesal dan kecewa. Berpikir ... dia sudah menyerahkan segalanya, bahkan anak di dalam perutnya menghilang dalam kecelakaan yang diciptakan keluarga Adrian.
Tapi saat ini, Maurin jauh lebih tenang. Dia mengerti ... cinta tidak bisa dipaksakan. Bahkan walau dia dan Andrew berakhir bersama, sudah ada Anggun di hati pria itu.
Andrew tidak lagi mencintainya.
Satu-satunya yang tersisa di benak pria itu hanya penyesalan dan tanggung jawab saja.
Maurin tidak pernah menjadi wanita manja. Dia tidak akan mengemis seseorang agar menerima dan mencintainya.
Karena mereka tidak bisa lagi bersama, walau Maurin kesakitan ... dia masih akan melepaskan. Harga dirinya terlalu tinggi untuk tetap bertahan saat disia-siakan.
"Maurin, saya turut berduka, oke? Jangan sedih, semua pria di dunia ini memang bajingan."
Maurin tidak peduli. Jelas Edward hanya bermaksud menyakitinya, ingin membuat Maurin sedih dan terluka. Tangisan Maurin menjadi hiburan untuknya, perilaku Edward masih menjadi bajingan hooligan.
Maurin mencoba meraih kursi roda di dekatnnya, saat dia mencondongkan tubuhnya ke depan untuk naik, Edward dengan tenang menarik kursi roda itu menjauh. Maurin kehilangan keseimbangan, dia jatuh dari tempat tidurnya, tersungkur di lantai.
Bibir Maurin terkatup rapat, dia mendongak dan menatap Edward dingin.
"Oh, maaf. Saya nggak sengaja." Edward berkata dengan nada acuh tak acuh. Bibirnya mengukir senyuman, tapi sepasang manik gelapnya menyorot wanita yang bersimpuh di bawahnya dengan hina. "Kamu butuh bantuan saya untuk naik?"
Maurin tidak mengatakan apa-apa. Dia duduk dan menggusur kedua kakinya yang lumpuh, mencoba mencapai kursi roda yang didorong Edward beberapa meter menjauh.
Edward melihat Maurin yang lebih memilih 'merangkak' dibanding meminta bantuan darinya. Benar-benar wanita yang membosankan.
Namun setelah beberapa meter, Maurin tidak bisa bergerak lagi, dia mengalihkan pandangan ke arah kakinya yang mati rasa, melihat Edward berjongkok dan memegangi kakinya.
"Edward, bisakah kamu berhenti kekanakan seperti ini?" Maurin akhirnya bersuara. Dia sedang dalam suasana hati yang buruk. Perilaku Edward benar-benar mengikis kesabarannya. "Kamu kesal? Kenapa? Karena gagal membunuh Anggun yang masih memiliki darah Alexandrio?"
Karena Edward bermaksud menyulitkannya, Maurin tidak keberatan menanggapinya.
Ayo kita saling menyakiti.
Benar saja, pupil Edward menggelap, dia terkekeh, "Jangan lupa, Maurin. Hidup Anggun itu ditukar Andrew dengan hidup kamu. Pria yang kamu cintai memilih meninggalkan kamu, bahkan menjual kamu demi keselamatan wanita lain."
"Jadi?" Maurin masih sangat tenang. Bibirnya mengukir senyuman mengejek, "Kamu kalah taruhan, kamu gagal membunuh Anggun sekarang, kamu bahkan harus menepati janji untuk nggak mengganggu hidup Anggun lagi."
"Apa artinya saya?" Maurin menggedik. "Saya mati sejak beberapa tahun lalu. Sebatangkara, nggak punya apa-apa. Awalnya kamu menyelamatkan saya hanya untuk jadi alat pertukaran dengan Andrew, kamu menghabiskan banyak usaha dan uang, sayangnya ... saya sama sekali nggak bernilai di mata Andrew. Kerja keras kamu sia-sia."
Maurin tidak menyadari betapa menyakitkan dan menyedihkan kalimatnya saat ini. Dia dibesarkan di panti asuhan. Bekerja keras demi mendapatkan beasiswa di sekolah-sekolah terbaik, melompat kelas satu per satu. Berharap dia bisa lulus dan mendapatkan pekerjaan yang baik, hidup sukses dan tidak kekurangan apa pun.
Sayangnya, dia justru tersandung di tengah jalan. Dengan bodohnya jatuh cinta pada seorang pria yang sama sekali tidak layak untuknya.
Maurin kehilangan segalanya. Bahkan tubuh wanitanya tidak lagi sempurna. Dalam kecelakaan itu, bukan hanya dia pernah mengalami lumpuh total, kegugurannya menyebabkan rahimnya juga mengalami kerusakan. Dia mungkin tidak akan bisa menjadi seorang 'ibu' seumur hidup. Demi kembali menggerakkan tubuhnya ... dia melalui terapi demi terapi yang menyakitkan, dengan harapan bisa bertemu kembali dengan pria yang dia perjuangkan.
Sayangnya, dia berakhir dikhianati. Orang yang pernah berjanji akan hidup dan mati bersamanya, saat ini bahkan sudah menikah dengan wanita lain.
Maurin ... tidak punya apa-apa lagi.
"Benar-benar sampah." Edward menyeringai. Kedua matanya yang gelap menyorot jijik. "Kamu nggak layak dihar-"
"Tante Mawin!"
"Ayo, naik. Hati-hati, jangan sampai jatuh lagi." Edward memeluk Maurin dan mengangkatnya, meletakkan wanita itu dengan lembut di kursi roda.
"Tante Mawin jatuh lagi?" anak kecil itu mendekat. Usianya baru sekitar tiga tahun. Rambutnya yang panjang dan kecokelatan tampak kusut. Jelas dia baru bangun tidur.
Shirly berlari, memeluk kaki Maurin, menatapnya kesusahan, "Tante Mawin, hati-hati, jangan jatuh lagi. Sakit, oke? Kalo Tante Mawin mau duduk atau pergi, panggil Papa aja. Ada banyak orang di rumah."
"Ya, Tante Maurin ceroboh." Edward tertawa kecil, mengusap kepala si kecil. "Untungnya Papa lihat pas Tante Maurin jatuh, jadi Papa bisa segera datang dan menolong."
"Papa Superhero!" Shirly bersorak.
"Ya!" Edward setuju tanpa tahu malu. "Papa yang paling kuat di dunia."
"Yey!"
Pria ini seorang bajingan dari luar ke dalam. Dia berperilaku arogan di depan siapa saja, memandang orang-orang di sekitarnya seperti sekelompok semut yang bisa diinjak kapan saja. Hanya di depan putrinya, Edward akan berperilaku seperti manusia.
"Kaki Tante Mawin luka, Shilly mau ambil dulu obat." Shirly berlari keluar lagi.
Edward membungkuk, menjepit dagu Maurin dan mengangkatnya. Mereka saling menatap. Edward berbisik, "Pelacur."
"Papa!"
"Oh, ada noda di bibir kamu. Biar saya bantu lapkan." Edward tersenyum lembut. Menoleh dan menatap putrinya, ekspresi wajahnya berubah lebih cepat daripada saat pria itu melepas celana dalamnya. Dia melepaskan Maurin. "Kenapa, Sayang?"
"Ayo kita bawa Tante Mawin ke dokter aja. Biar diperiksa, jangan sampai Tante Mawin lebih sakit." Shirly berkata dengan alis berkerut.
"Oke, ayo kita pergi ke rumah sakit. Sekarang Baby mandi dan ganti baju dulu. Baby juga belum sarapan."
Shirly menyeringai, "Shilly bangun siang."
"Hahahaha. Nggak pa pa. Sayangnya Papa masih kecil, jadi boleh bangun sesukanya aja."
"Oke, Shilly mandi dulu." Lalu Shirly berlari .
Edward bermaksud mengejek Maurin lagi, tapi saat dia berbalik, kursi roda Maurin sudah bergerak menjauh darinya, menuju kamar mandi.
"Maurin kamu-"
Maurin tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengacungkan jari tengahnya.
Bajingan!
***
Cerita ini diposting nanti setelah In The Cage tamat di Karya Karsa. Hahahahaha.
Promo di Wattpad juga, 3 chapter aja. Siapa tau ada readers yang mau ngikutin update-an berbayarnya. Uhuk.
Btw, buat yang udah baca novel Still For You, Andrew, Bittersweet Revenge, yess ... ini masuk spin off cerita mereka.
Cerita tentang Papa Edward dan Mama Maurin. #nyengir
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top