Part 2
Seperti janji mereka hari ini. Alena bertemu dengan Jihan untuk menemaninya cekup ke dokter. Alena sudah menunggu dirumah sakit. Menunggu Jihan untuk datang.
"Al," sapa Jihan ketika keluar dari mobil. Alena bersedakap menatap Jihan.
"Hampir setengah jam Ji." Gerutu Alena. Jihan hanya nyengir dan mendekati Alena.
"Maaf,tadi lagi ada kerjaan di kantor. Anak-anak ngajak makan siang. Tapi aku ngak bisa."
"Ya udah ayo masuk. Udah aku ambil nomor antrian."
"Terbaik memang deh temanku ini kalau udah perhatian."
"Ngak usah lebay. Kali ini masalahnya apa yang kambuh? Asma?"
"Bukan,lambungku kambuh. Dari kemarin udah nahan nyeri."
"Emang ngak makan?"
"Makan,tapi kan tahu sendiri.
"Stress kenapa si? Masalah sama suami?"
"Bukan,lagi galau mau dipindahkan tugas dari kantor."
"Oh jadi mutasi masal itu jadi?"
"Jadilah, Surat tugas udah turun semua. Aku galau ningalin anak-anak kalau sampai jauh penugasannya."
"Emang ngak bisa minta yang dekat? Susah bolak balik ya?"
"Lagi di usahin,iya susah bolak balik kalau jauh."
"Semoga kelar,kita udah sampai. Aku sengaja ambil janji sama dokter spesialis demi kamu."
"Baiknya,eh dokter Arman masih disini?."
"Masilah, kan tugas memang disini. Kenapa nanyain dia?"
"Alah, sok-sokan pakai nanya lagi. Jadi gimana dia sekarang?"
"Baik-baik aja,kan udah aku bilang dia punya pacar Ji."
"Si adiknya yang punya kosmetik itukan pacarnya?"
"Mungkin,ngak berani nanya juga. Tahu sendirikan aku malas ngurusin orang. Itu juga tahu pacar-pacar dia karena jadi closed friend di instagram. Aneh juga dimasukin ke close friend padahal ngak dekat-dekat banget."
"Ngak harus dekat jugakan untuk jadi close friend. Mungkin menurut dia kamu itu bisa menjaga rahasia orang-orang. Ngak ributin hidup orang dan sekedar tahu ya udah. Jadi itu mungkin yang buat dia jadi nyaman untuk membagi hal-hal yang mungkin privasi untuk dia."
"Bisa jadi begitu,aku cuma hanya sekedar tahu ya udah gitu aja. Setiap orang punya ranah privasi yang tidak perlu terlalu untuk dimasuki meski kita tahukan."
"Benar,itu namanya menghormati privasi orang." Saat Jihan dan Alena sedang asik mengobrol asisten dokter datang.
"Mbak Alena,bapak sudah menunggu didalam."
"Oh ya terima kasih. Ayo Ji."
Jihan dan Alena bertemu dokter untuk memeriksa keadaan Jihan. Alena tahu,tubuh Jihan tidak sesehat yang terlihat. Dia memiliki beberapa penyakit yang memang sudah lama ada dan sering kambuh karena beberapa hal. Asma dan penyakit lambung adalah dua hal yang sudah melekat lama di diri Jihan.
Alena ingat ketika sahabatnya itu kambuh Asma saat sedang menyetir mobil. Beruntung Alena ada disana,Jihan orang yang panik namun mampu mengontrol dirinya. Alena masih bersikap tenang ketika sahabatnya itu hampir kehilangan nafas. Perlahan mencari obat Jihan. Beruntung anak itu selalu membawa kemanapun obatnya.
Terkadang meski akan kambuh. Jihan masih bisa mengontrol dirinya. Dan Alena sangat suka pembawaan diri Jihan. Terkadang ketika dia akan panik. Alena menenangkan anak itu. Alena tahu,untuk menghadapi orang-orang yang mengalami serangan penyakit. Ketenangan orang sekitar adalah segala hal yang diperlukan. Meski,tidak bisa dipungkiri dirinya khawatir saat itu.
Pemeriksaan sudah dilakukan,sekarang mereka sedang mengambil obat di apotek. Jihan dan Alena menunggu resep dokter didepan loket Apotek sembari mengobrol.
"Makanya jangan banyak pikiran kambuhkan itu lambung."
"Iya nih,harus ngurangi stress."
"Soal dokter Arman." Alena tampak engan bercerita. Tapi,sepertinya dia harus memberitahu Jihan.
"Kenapa dia?"
"Semangat banget sih. Bahaya dekat-dekat sama dia."
"Kenapa?"
"Potensi bikin orang baper itu tinggi." Alena tertawa. Jihan pun ikut tertawa.
"Sudah aku duga. Dia ngapain?"
"Kamu tahukan Ji,aku lemah sama wangi-wangian."
"Jangan bilang dia wangi?"
"Rapi,wangi dan bersih. Ya wajar karena itu memang penampilan dokter. Masalahnya dia selalu mencari celah disetiap obrolan."
"Sudah ku katakan. Sebaiknya kau tangapi saja sejak awal."
"Ngak deh berat. Kamu tahukan dia itu dinas militer juga. Akan sulit jika berpindah tugas kemana-kemana."
"Pikiranmu memang selalu beda ya Al."
"Aku tidak mau hidup dalam ilusi Ji. Melihat kenyataan itu adalah hal yang pasti."
"Iya juga,hanya karena ilusi yang kita sebut cinta jadi tidak bisa melihat kenyataan."
"Tengelam dalam ilusi itu berbahaya meski itu menyenangkan. Tapi,kemudian kenyataan menampar dengan keras nantinya. Lebih baik sadar akan kenyataan lebih dahulu daripada ditampar nantinya."
"Pengalaman ya Al." Alena tertawa. Jihan tidak salah soal itu. Alena sudah sering kali ditampar oleh kenyataan. Untuk itu dia engan untuk hidup dalam mimpi dan ilusi,angan-angan semata.
"Begitulah,aku lebih melihat kenyataan daripada harus hidup dalam mimpi yang indah."
"Termasuk yang itu?"
"Yang itu mana?"
"Yang lagi buat sakit kepalamu." Alena menghela nafas. Menatap Jihan.
"Aku tidak ingin membahasnya. Itu mungkin jauh lebih berat."
"Sama Dani aja gimana?"
"Kata kamu juga sama berat. Lagian aku sedang tidak berminat untuk siapa-siapa saat ini Jihan."
"Susah ya kalau udah suka satu maunya itu aja gitu." Alena tertawa.
"Santai aja Ji,inilah hidup. Kalau lurus-lurus aja bukan hidup namanya."
"Benar,aku yang udah nikah aja ada aja masalah. Obatku udah selesai sepertinya. Kamu ngak ada pasien selesai ini?"
"Ada dong,udah dalam antrian semua."
"Ya udah selamat bekerja mbak Alena. Terimakasih loh ya waktunya karena udah nemanin."
"Anggap aja lagi nemanin pasien."
"Nemanin pasien mulu. Temanin suami kapan mbak?"
"Kapan-kapan. Udah pulang sana. Obatnya jangan lupa diminum." Alena tertawa dan mendorong Jihan.
"Bye nanti kita makan siang bareng." Jihan pergi keluar rumah sakit. Alena hanya mengangguk. Dia menatap mobil Jihan yang berlalu menjauh dari rumah sakit. Alena hanya mengeleng kepalanya. Berjalan masuk lagi. Tapi sebuah suara mengejutkannya.
"Alena." Alena menatap kepada sebuah suara yang memanggilnya. Alena terperangah tidak percaya melihat pemandangan didepannya.
"Rashid." Pria bernama Rashid itu berjalan menghampiri Alena. Alena tersenyum tipis. Pria itu benar-benar belum berubah dari hari sejak Alena mengenalnya.
"Aku menelpon tapi kamu tidak angkat telponnya."
"Oh ya? Ponselku ditas. Kamu kapan sampai di indonesia?"
"Pagi ini dan aku langsung kemari."
"Bapak menteri ini sibuk tapi masih sempat-sempatnya kemari." Rashid terkekeh. Kini mereka berdiri dilorong rumah sakit.
"Selagi aku disini,tidak salah mengunjungimu kan."
"Tentu saja,tapi aku harus bekerja hari ini."
"Tidak masalah,aku juga ada pertemuan setelah ini. Aku hanya ingin menyapa."
"Bagaimana kabar si kembar?"
"Mereka tumbuh dengan baik. Aku menjadi ayah untuk mereka."
"Memang itu yang harus dilakukan pak komandan."
"Semua pesan-pesanmu tidak akan aku lupakan Alena." Alena hanya tersenyum. Tidak ada yang mangira bahwa Alena dan Rashid adalah dua pasangan pada masanya. Rashid adalah mantan kekasih Alena yang kini sudah Alena anggap sebagai teman baik.
Pria yang menyentuh hati Alena setelah delapan tahun. Pertemuan yang tidak disengaja dulu benar-benar merubah hidup Alena. Bisa dikatakan Alena tidak hanya membantu pria itu untuk hidupnya. Tapi,Rashid juga membantunya melepas rasa takut akan masa lalunya dulu.
"Baiklah pak menteri sepertinya kita harus berpisah disini. Hubungi lagi nanti ketika kita sudah istirahat."
"Baik aku akan kembali besok. Jadi kupikir tidak banyak waktu disini."
"Nikmati waktumu dan selamat bekerja."
"Selamat bekerja Alena. Sampai jumpa nanti." Alena mengangguk tersenyum. Mobil Rashid meninggalkan halaman rumah sakit.
Alena tidak menyangka. Bahwa mantan kekasih yang dia antar ke pelaminan pernikahanya empat tahun lalu kini menjadi temannya. Rashid dulu adalah seluruh mimpi yang seperti menjadi kenyataan untuk Alena. Sebelum kenyataan benar-benar menamparnya. Kisah yang tidak berakhir manis. Tapi demi seorang Rashid,Alena tidak bisa membenci pria itu.
Entah hatinya yang terlalu baik atau Alena memang bukan orang yang bisa membenci orang lain seburuk apapu perlakuan mereka kepadanya. Satu-satunya hal yang ingin Alena ingat tentang mereka adalah kebaikan dan segala hal yang baik yang sudah mereka lewati bersama.
Alena tidak suka mengingat hal yang membuatnya patah dan sakit. Tapi,terkadang hal itu datang begitu saja. Meski dia berusaha untuk selalu melihat sisi baik dari segalanya. Alena memasuki ruangan kerjanya dan siap untuk memulai pekerjaan. Rasanya hidup kembali seperti semula. Tapi,entah kenapa Alena merasa ada yang hilang saat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top