ALEANDRA - 3

William memandang sebuah rumah yang terlihat elegan di depannya. Sudah beberapa menit yang lalu dia sampai di depan rumah tersebut, namun belum juga terlihat jika William akan keluar dari mobilnya dan mengetuk pintu rumah tersebut. Menurut informasi dari orang kepercayaannya-Daniel-rumah yang sekarang sedang diperhatikan adalah rumah orang tua dari gadis bernama Alea Sabrina Putri, gadis yang pernah menolong istri tercintanya.

Setelah berkutat dengan keputusan yang akan ia ambil, William memutuskan untuk mengetuk pintu rumah tersebut. Tak menunggu lama, sang nyonya rumah menyambut kedatangan William.

"Apa benar ini rumah bapak Adi Wiratama dan ibu Letisya Wiratama?" tanya William pada sang nyonya rumah.

Wanita itu mengerutkan keningnya sebentar sebelum mengangguk. "Ada perlu apa, ya, Bapak mencari saya dan suami saya?" tanya Letisya—sang nyonya rumah.

William tersenyum ramah. "Ada sesuatu yang harus saya sampaikan, bisa saya bertemu dengan suami Anda?" balas William.

Letisya mempersilakan William masuk dan duduk di ruang tamu sementara ia memanggil sang suami.

"Pa, ada yang cariin di bawah!" seru Letisya pada sang suami.

Adi yang sedang bersantai sambil menonton TV di kamar mengerutkan keningnya. "Siapa, Ma? Seingat Papa, enggak buat janji ketemu siapa-siapa hari ini," kata Adi sambil mengingat-ingat.

"Enggak tahu juga Mama, Pa. Coba ditemui dulu, biar Mama siapin cemilan," ucap Letisya sebelum meninggalkan sang suami dan beranjak ke dapur.

Adi berganti kostum dengan pakaian yang lebih kasual, mengganti kaus oblong rumahan dengan kemeja kasual. Celana pendek dengan celana panjang santai. Setelah itu barulah dia turun menemui tamunya. Adi berjalan ke ruang tamu dengan kepala masih memikirkan siapakah tamunya, karena dia tidak membuat janji dengan koleganya. Begitu sampai di ruang tamu, kerutan di kening Adi makin bertambah.

"Pak William! Maaf, apa kita ada janji temu hari ini?" tanya Adi.

William tersenyum ramah. "Tidak, Pak Adi. Saya ke sini murni karena keinginan saya sendiri, keperluan pribadi."

Letisya datang dengan nampan berisi minuman dan cemilan. "Diminum dulu, Pak!" kata Letiya setelah meletakkan secangkir teh.

"Tidak usah repot-repot, Bu Letisya dan Pak Adi!" seru William sungkan. "Langsung saja, kedatangan saya ke sini hanya ingin melamar putri anda untuk putra tunggal saya," lanjut William.

Adi dan Letisya terkejut mendengar perkataan William. "Maaf, Pak Wiliam, saya tidak mengerti maksud Anda apa," balas Adi.

"Saya ingin menyampaikan wasiat almarhumah istri saya, bahwa ketika putra saya berumur tujuh belas tahun, dia harus menikah dengan Alea yang sudah pernah menolong istri saya dulu," jelas William.

"Maaf, Pak Wiliam, saya rasa ini terlalu cepat, apalagi mereka tidak saling mengenal." Letisya ikut andil berbicara.

"Saya mengerti kekhawatiran Bu Letisya. Saya juga tidak memaksakan, saya hanya ingin menyampaikan wasiat almarhumah istri saya sebelum dia meninggal."

"Pak Wiliam, saya rasa hal ini perlu dibicarakan lebih dulu terhadap anak Bapak dan anak saya," komentar Adi.

"Baiklah Pak Adi dan Bu Letisya, saya harap Alea mau menerimanya karena mendiang istri saya pasti akan sangat senang sekali." Wiliam tersenyum sedih mengingat permintaan terakhir sang istri tercinta sebelum meninggal.

"Saya tidak bisa berbuat apa-apa Pak Wiliam, jika anak saya menolaknya. Karena menikah itu sakral dan seumur hidup. Sementara anak-anak kita masih muda, takutnya mereka akan merasa tertekan dan dipaksa."

Adi mengeluarkan pendapatnya sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Apalagi usia Alea dan anak Wiliam masih sangat muda sekali. Adi takut jika pernikahan mereka nantinya hanya sementara, mengingat mereka belum terlalu dewasa.

"Pak Adi dan Bu Letisya tenang saja, kita serahkan semuanya kepada anak-anak kita, toh, mereka yang akan menjalani," ungkap Wiliam.

"Saya harap, jika anak saya menolak, Pak Wiliam tidak akan memaksa anak saya untuk menikah dengan putra Anda!"

Adi mewanti-wanti agar Wiliam tidak berbuat nekat untuk menyatukan mereka berdua, mengingat Wiliam pebisnis yang terkenal ahli dalam bermain taktik dan menjatuhkan lawan.

"Baiklah, Pak Adi saya permisi, selamat siang!" Wiliam mengulurkan tangannya dan dibalas Adi serta Letisya menjabat uluran tangan Wiliam.

Letisya dan Adi mengantarkan Wiliam ke.depan pintu rumah mereka.

Aku akan melakukan apa pun asal permintaan terakhir Denia terlaksana, batin Wiliam.

***

Asap rokok yang diembuskan mengepul di udara. Setiap isapan, begitu berarti bagi seorang Andra yang selalu merasa sendirian ketika sang mama tercinta meninggalkannya. Merokok bagi Andra adalah hal yang dilakukannya saat merasa frustasi, rokok bagai candu tersendiri bagi Andra. Andra melampiaskan semua masalahnya dengan mengisap nikotin beracun atau minum-minuman beralkohol untuk melupakan masalahnya.

Langkah kaki terdengar menuju tempat Andra berada saat ini, balkon kamar. Andra menoleh dan mendapati sang papa berada tak jauh dari tempatnya.

"Ngapain Papa ke sini?" tanya Andra dengan nada dingin.

Hati Wiliam mencelus melihat sikap ketus anak semata wayangnya jauh dari kata baik. "Papa ingin bicara sama kamu sesuatu yang penting," terang Wiliam.

"To the point!" singkat Andra tak mau berbasa-basi.

"Papa ingin menjodohkan kamu dengan anak kolega bisnis Papa."

Andra menoleh dan mengembuskan asap rokoknya kasar. Andra menggeram kesal. Andra mengepalkan kedua tangannya dengan gigi gemeletuk menahan amarah. "Papa menjodohkan Andra dengan anak rekan bisnis Papa. Sementara, Andra enggak tahu siapa gadis yang Papa jodohkan sama Andra. Apa baiknya sama kayak Mama, Pa?"

"Dengar, Andra! Semua ini, Papa lakukan untuk kebaikan kamu."

"Kebaikan aku? Kebaikan apa, Pa? Selama ini, Papa bersikap semau Papa. Apa Papa pernah peduli dan perhatian sama Andra sejak mama udah enggak ada?" Andra menggenggam erat pinggiran balkon kamarnya, berusaha menahan emosinya.

Wiliam berdiri di samping Andra dengan menatap langit yang penuh bintang. "Papa menjodohkan kamu dengan anak rekan bisnis Papa karena permintaan terakhir Mama kamu Andra."

Andra menoleh melihat Wiliam dengan ekspresi wajah Wiliam yang terlihat sedih.

"Papa sangat mencintai kamu dan mama kamu. Kamu harus tahu, Papa lebih sedih lagi kehilangan mama kamu. Papa setuju menjodohkan kamu karena saat itu mama memohon pada Papa. Dia adalah gadis yang menolong mama kamu, saat hampir pingsan di taman dan mama kamu langsung menyukainya."

William menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Masalah Papa selama ini yang tidak peduli sama kamu, Papa minta maaf! Papa salah. Papa menyibukkan diri dengan pekerjaan kantor mengingat kita berdua harus ada yang bangkit menatap masa depan. Jika kita bersedih terus, kita tidak akan bisa sampai seperti ini Andra."

Wiliam berbicara panjang lebar membuat Andra bungkam. Andra bisa merasakan kesedihan Wiliam. Andra tidak tahu, jika papanya lebih merasa kehilangan dari pada dirinya.

"Maafkan Andra, Pa! Selama ini sikap Andra membuat Papa menyesal mempunyai anak seperti Andra."

Wiliam menghapus setitik air mata di sudut matanya dan menepuk pundak Andra pelan. "Papa juga Andra, selama ini Papa tidak pernah mempedulikan kamu."

Andra memeluk Wiliam erat.

Wiliam membalas pelukan Andra erat. Ia merasa bahagia sekali melihat Andra bersikap seperti ini padanya.

Andra mengurai pelukan mereka.

"Siapa gadis yang akan dijodohkan dengan Andra, Pa?"

"Dia anak kolega bisnis Papa, Ndra. Dia juga satu sekolah dengan kamu."

Kening Andra berkerut memikirkan siapa gadis yang dimaksud sang Papa.

"Apa Papa udah tahu seluk-beluk tentang keluarganya?" tanya Andra.

"Kamu tenang saja, Son, semua sudah Papa atur, tinggal menunggu persetujuan gadis itu," jawab William santai.

"Siapa, Pa? Andra makin penasaran," desak Andra.

Wiliam tersenyum melihat Andra akan terus mendesak sampai keingintahuannya terjawab.

"Namanya Alea Sabrina Putri."

Andra menegang dan hanya satu sosok yang Andra pikirkan saat ini, mungkinkah?

"Apa gadis yang Papa maksud itu orangnya cantik, tinggi, agak putih, rambutnya lurus dan suka memakai jepit rambut?" tanya Andra sambil mengingat ciri-ciri Alea.

"Papa tidak tahu Andra karena Papa belum pernah bertemu dengannya. Saat Papa ke rumah gadis itu, hanya ada papa dan mamanya," jawab William sedikit sedih.

"Sepertinya, kamu sudah memiliki pasangan Andra?" tebak Wiliam.

"Enggak, Pa, cuma teman aja kok," dalih Andra.

Andra menggaruk kepalanya yang tidak gatal membuat Wiliam terkekeh pelan.

"Semoga saja gadis yang kamu suka itu, gadis yang akan Papa jodohkan dengan kamu."

"Kalau gadis yang Andra suka, bukan gadis yang dijodohkan sama Andra gimana?" tanya Andra.

"Kita lihat saja nanti, Son, kamu berdoa agar gadis yang kamu suka itu gadis yang dijodohkan sama kamu."

Wiliam tersenyum kecil mengingat malam ini dirinya dan Andra berbicara berdua sehangat ini, tanpa ada perdebatan lagi.

"Papa bahagia malam ini Andra, akhirnya Papa bisa memeluk kamu lagi."

"Maafkan Andra, Pa karena sikap Andra yang egois sama Papa. Andra seharusnya mengerti, jika Papa yang lebih sedih atas kepergian Mama."

"Sudahlah, Son, jadikan yang sudah terjadi pengalaman untuk kita menjadi lebih baik."

"Terima kasih, Pa!"

"Sama-sama, pangeran kecil Papa."

Andra memeluk erat Wiliam lagi membuat Wiliam tersenyum lebar.

Sayang, terima kasih karena permintaan kamu menjadikan anak kita kembali hangat kepada ku, batin Wiliam tersenyum senang.

Ma, maafkan Andra atas semua sikap Andra selama ini sama papa. Seharusnya masih ada yang lebih bersedih atas kehilangan mama daripada Andra, yaitu papa. Semoga mama tenang di sana, ya, Andra akan mewujudkan permintaan terakhir mama, batin Andra tersenyum.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top