ALEANDRA - 1
Alea berlari secepat mungkin dengan napas yang tidak beraturan untuk bisa sampai ke kelasnya karena yang pertama kali mengajar di kelasnya adalah guru bahasa Indonesia yang terkenal killer, bu Ratna. Alea terus berlari tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya, hingga ia menabrak seseorang. Alea pun terjatuh dan meringis, memegang bokongnya yang sakit membentur lantai. Alea sangat kesal mendongak, melihat siapa yang ditabraknya.
"Ganteng banget, Ya Allah!" gumamnya tanpa sadar.
"Jalan enggak cuma pakai kaki, mata juga digunain!" ucap orang itu dengan nada dingin.
Alea yang masih diam pun tersentak dalam hati ia menarik kembali pujiannya atas ketampanan lelaki dingin, seperti balok es, di depannya.
"Gue udah pakai mata buat lihat tadi,"" gumam Alea sewot sembari berdiri menepuk debu di roknya.
Alea semakin kesal dengan lelaki yang ditabraknya karena bukannya mengulurkan bantuan kepada Alea yang jatuh malah berkomentar dingin.
Alea membulatkan matanya saat melihat lelaki yag ditabraknya mendekat. "L-lo mau apa?" Alea menutup matanya saat wajah lelaki itu berada dekat sekali dengan wajahnya.
Andra-lelaki yang ditabrak Alea-berbisik dengan dingin tepat di sebelah telinga Alea, "Lo berani sama gue?"
Alea meneguk ludah mendengar nada bicara lelaki di hadapannya. Tak tahan berlama-lama di posisi seperti sekarang, Alea mendorong dada Andra kuat, membuat Andra mundur satu langkah.
"Gu-gue harus pergi."
Alea melanjutkan larinya ke kelas begitu saja tanpa mempedulikan Andra yang tersenyum tipis, penuh makna, menatap ke arah Alea berlari.
***
Bel istirahat berbunyi setelah proses belajar mengajar selama dua jam berlangsung. Khanza merenggangkan kedua tangan, beranjak dari duduknya mengajak Alea pergi ke kantin.
Sesampainya di kantin Khanza segera memesan makanan, bakso dan es teh manis. Sementara, Alea bertugas mencari bangku kosong. Alea duduk di bangku sambil menunggu Khanza membawa pesanan mereka. Tak berapa lama, Khanza datang sambil membawa nampan berisi pesanan mereka.
"Zha, lo tahu enggak ada cowok ganteng di sekolah kita?" tanya Alea ketika Khanza duduk di hadapannya. Alea masih penasaran dengan lelaki yang ditabraknya tadi pagi.
Khanza diam, berpikir. "Gue tahu beberapa, kenapa lo nanya gitu, Al?" tanyanya penasaran.
"Siapa, Zha?" tanya Alea antusias.
"Andra and the gengs, mereka most wanted sekolah ini."
"Cowok yang agak tinggi, kulitnya putih, terus rambutnya acak-acakan gitu, ada?" tanya Alea sambil mengingat ciri-ciri lelaki yang dia tabrak tadi.
Khanza berpikir, lagi. "Ada! Yang ciri-cirinya kayak gitu sih, Andra."
"Jadi, tadi gue udah nabrak most wanted sekolah?" Alea berbicara sembari menyuap pentol bakso ke mulutnya.
"Apa, Al?! Coba lo ulangi lagi!" pinta Khanza karena ragu dengan apa yang ia dengar.
"Gue tadi pagi nabrak Andra, enggak sengaja sih,""ulang Alea.
"Lo enggak sengaja nabrak Andra? Beruntung banget lo," balas Khanza.
"Beruntung apa? Buntung, iya, bikin kesel, iya!" Alea menusuk bakso di mangkuknya dengan sadis mengingat kelakuan menyebalkan Andra tadi pagi. "Bukannya bantuin malah ngatain orang!"
Khanza terkekeh melihat ekspresi Alea yang terlihat kesal. Khanza meminum es tehnya. "Andra emang gitu, Al. Dia terkenal sama mulut pedasnya. Setiap omongannya nyakitin hati cewek-cewek yang deketin dia," jelas Khanza.
Alea mendengarkan perkataan Khanza baik-baik. "Lo mesti hati-hati aja sama Andra karena salah dikit, bisa keluar galaknya."
"Emang kenapa, Zha?" tanya Alea ingin tahu.
"Andra itu paling enggak suka kalau ketenangan dia diusik." jawab Khanza.
Alea menganggukkan kepala, pertanda ia akan mengingat perkataan Khanza tadi.
"Cepetan habisin bakso lo, Zha, keburu bel masuk bunyi!" seru Alea mengingatkan. Khanza mengunyah baksonya cepat sembari melihat sekitar dan menemukan Andra yang melihat ke arah mereka. Sontak, hal itu membuat Khanza tersedak.
"Pelan-pelan makannya, Zha,"Alea menyodorkan gelas berisi teh kepada Khanza, "nih, minum dulu!"
"Lo lihat arah jam tiga, Al!" kata Khanza setelah kesedakannya hilang.
Alea memutar kepalanya sesuai perkataan Khanza dan menemukan Andra menatapnya. Andra mengedipkan sebelah matanya, membuat Alea bergidik. Alea meluruskan lagi kepalanya, menatap Khanza.
"Zha, buruan! Gue ngeri lihat dia!"
***
Bangun saat matahari tinggi adalah rutinitas wajib Andra. Sama halnya seperti hari ini, lelaki itu bangun saat matahari sudah cukup tinggi. Teriakan si bibi dan ketukan pintu sudah seperti alarm pagi bagi Andra.
"Den Andra ... bangun, Den! Waktunya berangkat sekolah. Papa Den Andra juga ingin bicara."
Andra yang masih bergelung di dalam selimut mengerang. Tidur nyenyaknya selalu saja terganggu. Tetapi, ada yang lebih menganggu tidur Andra kali ini hingga membuat Andra mengernyit. Mengapa papanya belum berangkat ke kantor?
Tak memerlukan waktu lama, Andra turun ke meja makan, menemui papanya yang sudah menunggu sejak tadi.
"Bagaimana sekolah kamu, Ndra?" tanya William begitu Andra duduk di depannya.
Andra mengernyit mendengar pertanyaan papanya. "Baik," jawab Andra enggan.
Terdengar helaan napas keluar dari mulut Wiliam. Ia pun tahu, jika anaknya tak suka basa-basi, langsung ke point pentingnya.
"Andra, Papa sudah jengah mendengar laporan dari guru-guru kamu di sekolah tentang kelakuan kamu yang sering absen jam pelajaran. Mau kamu itu apa Andra?"
Wiliam menggeram, menahan emosinya sebisa mungkin. Wiliam sadar, jika ia sampai terbawa emosi, bukan menyelesaikan masalah malah memperkeruh masalah. Dan sudah pasti Andra akan makin menjauh darinya.
"Apa mau Papa?" tanya Andra.
Wiliam kecewa mendengar jawaban putra semata wayangnya.
"Andra, dengar! Mau sampai kapan kamu bersikap seperti ini? Apa kamu tidak ingat apa pesan almarhumah mama kamu?"
Andra terdiam mengingat pesan sang mama sebelum meninggal, jika dia harus menjadi anak yang baik dan patuh pada Wiliam. Kedua tangan Andra terkepal, seolah menahan emosi.
"Ini semua salah Papa, kalau aja Papa punya waktu buat Andra, pasti Andra enggak akan kayak gini!" kata Andra sambil menggeram.
"Papa kerja buat kamu Andra, untuk masa depan kamu, bukan untuk main-main!" balas William tak mau disalahkan. Terjadilah perdebatan antara Andra dan Wiliam yang sama-sama keras kepala.
Andra tertawa pelan mengingat sampai saat ini di usianya yang tujuh belas tahun, papanya tidak berubah, selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan kantor.
"Buat apa, Papa kerja banting tulang memperkaya harta kalau anak Papa sendiri butuh kasih sayang dan perhatian?" Andra menaikkan satu oktaf nada bicaranya.
Napas Wiliam tercekat. Wiliam sengaja menyibukkan diri dengan semua pekerjaan kantor hanya ingin melupakan kesedihan atas meninggalnya istri tercinta.
"Kamu tidak akan pernah mengerti, Andra."William merendahkan nada bicaranya. "Papa minta maaf, jika Papa egois selama ini. Satu yang Papa minta, jadilah Andra yang seperti dulu," mohon William.
Andra yang lelah dengan sikap Wiliam yang memilih pergi daripada masalah semakin besar. Terkesan seperti melarikan diri.
"Andra pergi!"
Wiliam kembali menghela napas, melihat nada bicara Andra yang selalu dingin padanya. Langkah kaki Wiliam pergi ke kamar sang istri tercinta-Denia. Pandangan Wiliam jatuh ke foto berbingkai persegi di atas nakas.
"Sayang, anak kita sudah berubah. Apa yang harus Mas lakukan agar anak kita menjadi Andra yang penurut dan baik seperti dulu?"
Wiliam mengelus foto Denia-istri yang sangat dicintainya-dengan sayang. Wiliam mengingat sekelebat memorinya sewaktu Denia masih hidup. Mereka sangat bahagia. Andra yang ceria, hangat, mudah tertawa hingga kejadian yang tak akan pernah terduga terjadi. Denia mengidap kanker otak stadium akhir yang dirahasiakan dari Wiliam.
Hingga pada saat itu, Andra menjerit histeris ketika mamanya meninggal. Sejak kepergian mamanya, Andra menjadi anak yang pendiam, susah diajak bicara dan sang papa pun mengalihkan kesedihannya dengan pekerjaan kantor hingga detik ini, Andra sudah beranjak remaja.
Wiliam meneteskan air matanya mengingat sekelebat memori itu, hingga dia teringat dengan pesan sang istri sebelum ajal menjemputnya.
"Mas, jika nanti aku tidak bisa lagi menemani Andra, Mas harus janji satu hal, Mas mau kan menuruti permintaan terakhir aku?" lirih Denia.
"Sayang, jangan bicara seperti itu! Kamu pasti sembuh," ucap Wiliam menggenggam tangan Denia.
"Mas, waktuku sudah tak banyak lagi, aku harap Mas mau mengabulkannya."
Wiliam pun terpaksa mengiyakan perkataan istrinya. "Baiklah, apa yang ingin kamu katakan, Sayang?" ucap Wiliam mengusap kedua tangan Denia.
Denia pun mulai bercerita tentang seorang gadis yang membantunya saat dia pingsan di taman. Gadis cantik yang sedang mengejar kupu-kupu sambil bernyanyi lirih, Alea Sabrina Putri, nama gadis itu. Wiliam pun terkejut mendengar cerita sang istri karena tak pernah menyangka istri tercintanya hampir pingsan di taman.
"Sayang, kok kamu enggak pernah cerita kalau kamu pernah pingsan?" tanya Wiliam khawatir.
"Aku enggak mau buat Mas khawatir, aku juga enggak kenapa-napa kok." Denia mengelus pelan tangan suaminya.
" Jadi, permintaan yang kamu bilang tadi itu, apa?" tanya Wiliam penasaran.
Denia terlihat ragu mengatakannya. "Mas, jangan marah, ya, aku hanya ingin yang terbaik buat kebaikan keluarga kita, terutama Andra," ucap Denia pelan.
"Apa, Sayang?"
"A-aku mau, Mas menjodohkan Andra dengan Alea."
Wiliam pun tak percaya dengan apa yang dikatakan istrinya. "Sayang, Andra kita masih kecil, dia baru berusia delapan tahun."
"Aku tahu Mas, aku ingin setelah Andra berumur tujuh belas tahun, dia menikah dengan Alea yang sudah aku ceritakan tadi Mas," kata Denia pelan.
Wiliam menghela napas pasrah. "Baiklah, jika itu keinginanmu, Mas akan lakukan jika itu membuatmu bahagia."Wiliam mengecup sayang kening Denia.
"Terima kasih, Mas!" Denia tersenyum lebar.
Wiliam pun menghapus air matanya mengingat permintaan terakhir sang istri. "Semoga Andra kita bisa berubah seperti dulu, Sayang," batin Wiliam sendu.
Wiliam segera mengambil ponsel dan menelepon orang suruhannya untuk mencari data gadis bernama Alea Sabrina Putri yang dulu pernah menolong Denia.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top