Bab V. Misteri di Candi Ratu Boko
Kaki Alea gemetar.
Napasnya mulai sesak tidak beraturan. Sesaat setelah ia menapakkan kakinya di halaman Candi Ratu Boko, ia mulai melihat penampakan-penampakan makhluk halus di sekelilingnya. Tak hanya itu, ia juga merasakan getaran energi yang sangat kuat.
Gadis itu tidak yakin dengan apa yang dirasakannya, namun ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan tempat ini.
Sebentar-sebentar langkah Alea terhenti. Gadis berambut ikal itu nampak menghindari sesuatu di permukaan tanah. Ia melompat ke kiri dan kanan sambil meringis ketakutan. "Ada apa?" tanya Profesor Watt penasaran dengan ulah Alea.
Gadis itu menggeleng, ia berusaha menyembunyikan kerisauannya.
Mana mungkin ia menjelaskan keberadaan lubang-lubang kecil berisi api menyala itu kepada Profesor Watt. "Ok, kalau begitu. Ayo kita masuk ke dalam" ajak Profesor Watt bersemangat.
Pria berjanggut putih tersebut mulai memerintahkan anggota timnya untuk mengobservasi morfologi dan desain Candi Ratu Boko.
Ia meminta setiap anggota tim untuk mencatat dengan detil semua temuan observasi tim di dalam bundel kertas laporan. Meskipun perasaannya kalut tapi Alea berusaha keras menjaga profesionalitasnya. Ia tetap berupaya menerjemahkan dan menjawab seluruh pertanyaan Profesor Watt dengan sebaik mungkin.
Gadis itu berulang kali melirik ke arah Praya yang sedang memandu anggota tim lainnya.
Ia kemudian mencari kesempatan untuk berbicara sebentar dengan pria clairsentient itu. "Praya... ayo kita jangan lama-lama disini" bisik Alea pelan.
"Alea.. kita harus memecahkan misteri artefak itu! Kita tidak boleh mundur!" balas Praya dengan mimik serius.
Alea menolak keinginan Praya. "Tidak, Praya. Ini terlalu berbahaya! Semakin jauh kita melangkah, aku bisa merasakan energi besar yang mengerikan. Aku takut!" bisik Alea setengah menangis.
Praya berupaya menenangkan Alea dengan berbagai rayuan. Namun gadis itu terus bersikeras ingin pulang.
"Aku bilang tidak apa-apa. Aku akan melindungimu!" ujar Praya sambil menepuk pundak Alea.
Tiba-tiba pria itu melihat sebuah kabut. Saat Praya mencoba melihat lebih detil, tubuhnya sudah terisap ke dalam kabut tersebut. Napas Praya langsung sesak, kabut putih itu membuatnya sulit untuk bernapas. Ia kemudian melihat wajah Alea di balik kabut putih tersebut. Lagi-lagi ia melihat gadis itu di dalam perahu layar. Di sampingnya, duduk seorang pria yang menggunakan mahkota emas dan membawa sebilah keris di tangannya.
"Praya!" panggil Alea yang membuat pria itu terbawa kembali ke dunia nyata.
Praya menatap Alea bak anak ayam yang kehilangan induknya. Ia tertegun untuk sekian lama. Pria itu berusaha mencerna makna dari penerawangannya barusan. Tidak biasanya ia mendapatkan penerawangan yang sama untuk kedua kalinya. "Siapa pria bermahkota emas itu? Dan mengapa Alea ada di samping pria itu?" gumam Praya gusar.
***
Menit demi menit berlalu. Profesor Watt dan tim masih sangat bersemangat untuk mengeksplorasi komplek Candi Ratu Boko tersebut.
Mereka tidak mengindahkan suasana langit yang semakin gelap dan dipenuhi guratan oranye kehitaman.
Di dalam hatinya, Praya tahu bahwa ada yang tidak lazim dengan penampakan langit hari ini. Seharusnya matahari sudah melewati meridian langit.
Namun hari ini, sang surya nampak semakin tenggelam dan terlihat enggan untuk memancarkan sinarnya. Praya pun teringat dengan apa yang tadi dilihatnya. Ia mencoba mencari benang merah dari seluruh kejadian yang mereka alami.
Pria itu pun semakin yakin bahwa Candi Ratu Boko ini menyimpan misteri yang terkait dengan artefak yang ditemukan oleh Profesor Watt. Praya sengaja tidak memberi tahu Alea mengenai isi penerawangannya.
Ia tidak ingin gadis itu membatalkan kegiatan observasi hari ini dan menyebabkan ia kehilangan kesempatan untuk memecahkan misteri artefak yang ditemukan di reruntuhan Universitas Kuno Nalanda tersebut.
Salah satu anggota tim yang bernama Ben memanggil Profesor Watt. Pria itu menemukan sebuah kepingan batu seperti batu bata yang berwarna jingga kemerahan di pinggir undakan tangga candi. Ia mengingatkan Profesor Watt akan warna dari reruntuhan bangunan di Komplek Universitas Nalanda. Ben yakin bahwa kepingan tersebut memiliki struktur batuan yang serupa dengan yang mereka temukan di reruntuhan Nalanda.
"Apakah ini bukan sekedar batu bata biasa? Mungkin seseorang menaruhnya di sini" bantah Profesor Watt. Namun Ben mencoba mempertahankan argumennya dengan sengit. Menurut pria bertubuh tinggi semampai tersebut, tidak mungkin ada seseorang yang iseng untuk menyelipkan kepingan batu ini di antara sisi luar tangga candi.
Ben pun mencoba mengais-ngais tanah di sekitar tempat penemuan kepingan tersebut.
Ia yakin bahwa kepingan yang ditemukannya bukan berasal dari batu bata modern. Sebagai seorang arkeolog yang sudah sepuluh tahun malang melintang di lokasi ekskavasi, ia tahu bahwa kepingan batu yang dipegangnya memiliki arti khusus.
Alea mencoba menghentikan Ben yang berusaha menggali tanah dengan kepingan batu yang dipegangnya. "Mister Ben, maaf tapi anda harus mendapatkan izin tambahan untuk melakukan penggalian" seru Alea mengingatkan.
Namun di luar dugaan Alea, Ben malah menatapnya dengan tajam. Pandangan matanya sangat tajam bak binatang buas yang kelaparan. Pria asing itu terus menggali tanah di pinggir candi dengan beringas.
Profesor Watt yang terkejut dengan perilaku sang asisten peneliti pun mencoba menghentikan pria itu. Sang profesor terus memberikan argumen mengenai kesamaan lapisan tanah liat dari kepingan batu tersebut dengan batu bata modern. Ia akhirnya membuka tas ranselnya dan mengeluarkan artefak cawan yang ditemukannya di Nalanda dengan sangat hati-hati.
"Lihat Ben, warna lapisannya jauh berbeda dengan cawan tanah liat yang kita temukan. Aku rasa kepingan batu yang kamu temukan itu hanya batu bata biasa" debat Profesor Watt.
Ben mengacuhkan Profesor Watt yang berdiri di sebelahnya. Bak orang kesurupan, Ben terus melakukan penggalian. Bahkan kini ia menggunakan kedua tangannya untuk menggali permukaan tanah di hadapannya. "Aku harus menemukannya... aku harus menemukannya...." suara Ben tiba-tiba berubah menjadi sangat berat.
Jantung Alea berdegup.
"Jangan-jangan?" gumamnya cemas. Lututnya Alea pun lemas, ia yakin bahwa ada yang tidak beres dengan perilaku asisten peneliti tersebut.
Ben terus menggali tanah sambil berteriak-teriak kencang. Ia juga mengeluarkan suara tangisan yang tidak biasa.
Tiba-tiba tanah yang mereka injak bergetar dengan hebat. Guncangannya sangat kencang hingga membuat Profesor Watt tidak kuasa menahan keseimbangannya. Artefak yang dipegang sang profesor pun terlepas dari pegangannya. Profesor Watt menjerit panik. Ia khawatir jika artefak tersebut pecah atau bahkan yang terburuk hilang.
Alea pun spontan menangkap artefak yang sempat terpelanting ke angkasa itu. Gadis itu menggunakan kedua tangannya untuk mengamankan artefak berharga tersebut. Saat cawan itu berada di dalam genggamannya, Alea pun melihat serentetan flashback yang mengejutkan.
Ia melihat sebuah kapal layar besar yang dipenuhi dengan pria-pria bertubuh besar dan berwajah mengerikan. Alea juga melihat peperangan sengit di antara kedua pria yang memperebutkan sebuah mahkota emas. Namun, entah mengapa ia merasa pernah melihat wajah dari pria yang memiliki kulit lebih kuning tersebut.
Tiba-tiba ia merasakan kesedihan yang luar biasa. Hatinya terasa perih dan air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Alea melihat serentetan kejadian yang membuatnya meringis ketakutan. Gadis itu menangis sesegukan. Artefak cawan itu menyimpan sebuah memori yang sangat menyedihkan.
Teriakan seorang kakek tua menyadarkan Alea yang tengah berdiri sambil menangis. "Kalian... apa yang kalian lakukan sehingga mengusik ketenangan para penunggu di sini!" hardik kakek tua tersebut marah.
Rupanya kakek itu adalah salah satu juru kunci di komplek Candi Ratu Boko. Praya pun langsung menghampiri kakek tua tersebut dan meminta bantuannya untuk menenangkan Ben yang kesurupan dan Alea yang tidak bisa berhenti menangis.
Sang kakek pun terkejut melihat cawan kecil yang digenggam oleh Alea. Ia nampak gusar dan meminta Praya untuk segera mengambil cawan itu dari genggaman gadis rambut ikal tersebut. "Gadis itu tidak boleh memegang cawan itu. Ia bisa mengulangi takdir yang seharusnya tidak pernah terjadi. Ayo cepat kalian harus bergegas pergi dari tempat ini!" tukas sang kakek panik. Ia segera menghampiri Ben yang masih berusaha menggali permukaan tanah.
Praya mencoba mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari sang juru kunci.
"Pokoknya saya bilang pulang kalian! Kembalikan cawan itu ke tempat dimana kalian menemukannya. Kalian harus segera keluar dari komplek candi ini! Kamu lihat matahari yang terbenam di pagi hari itu? Itu adalah tanda bahwa kedatangan kalian bisa mengulang sebuah tragedi yang seharusnya tidak pernah terjadi!" ujar sang kakek sambil memijit Ben yang rupanya telah dirasuki oleh sesosok makhluk halus.
Praya menganggukkan kepalanya.
Ia segera mengambil cawan itu dari genggaman Alea. Gadis itu terkulai lemas di pelukan Praya.
Sang kakek pun meminta Praya untuk mengantar rombongan peneliti itu keluar komplek candi.
"Tolong jangan kembali lagi! Jika kalian mau datang lagi, jangan bawa cawan maupun gadis itu ya!" ancamnya keras.
Praya menerjemahkan permintaan sang kakek ke Profesor Watt dan anggota tim lainnya.
Dengan wajah kecewa, mereka pun akhirnya menuruti permintaan sang juru kunci untuk meninggalkan tempat tersebut.
Praya pun berbohong kepada Profesor Watt. Pria muda itu berdalih bahwa cawan itu memiliki energi negatif yang harus disterilkan oleh sang juru kunci. Untuk keamanan anggota tim, ia sendirilah yang akan mengantarkan artefak tersebut ke sang juru kunci. Praya berjanji akan mengembalikan artefak cawan itu secepat mungkin.
Profesor Watt terpaksa mengalah.
Berhubung ia tidak mengerti dengan kondisi lokal, maka ia hanya bisa menggerutu sambil berharap bahwa penelitiannya bisa berjalan dengan lancar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top