Bab IV. Senja di pagi hari

"Pagi Alea!" sapa Praya ramah.

Alea membalas sapaan Praya dengan senyum tipis.

Wajah Alea terlihat pucat dan lesu. Matanya seperti panda karena dihiasi lingkaran hitam. Gadis itu memang tidak bisa tidur dari kemarin. Ia pun beberapa kali menguap dan mencoba menahan rasa kantuk yang menerjangnya.

"Nggak bisa tidur nyenyak ya?" goda Praya sambil mengunyah omelet jamur di mulutnya.

Alea tersenyum pelan.

"Ada penampakan di kamar? Besar? Cowo? Cewe? Tua? Muda? Berbentuk? Ga berbentuk?" tanya Praya sambil terkekeh kecil.

Gadis berambut ikal itu memandang Praya. Ia memanyunkan bibir.

"Ayo cerita dong, cerita...." pinta Praya manja.

Alea berusaha menghindari percakapan dengan pria itu. Tubuhnya terlalu letih untuk membahas hal yang tidak ingin ia ingat. Tanpa sengaja, tangan Alea menyentuh gelas minuman yang dibawa Praya ke atas meja. Dalam hitungan detik, Alea melihat sekelibatan memori yang tersimpan di dalam gelas tersebut. Puluhan wajah pria dan wanita muncul di hadapan matanya.

"Ah, sudahlah. Aku letih!" gerutunya dengan nada putus asa. Alea sangat menyesali ketidakmampuannya untuk menolak perjalanan dinas kali ini.

Kepekaan yang dimilikinya sebagai seorang clairsentient telah membuat Alea melihat beragam peristiwa dan sosok dari benda-benda yang disentuhnya. Lantai lobi hotel, kunci kamar, sampai ranjang hotel menyimpan ribuan memori masa lalu yang tidak ingin dilihat oleh gadis itu.

Walhasil, Alea tidak bisa tidur nyenyak. Akhirnya, ia terpaksa duduk semalaman di kursi kecil yang berada di bawah meja hias. Alea sama sekali tidak melihat flashback apapun saat mendudukinya. Nampaknya kursi hias tersebut jarang digunakan oleh para tamu sebelumnya.

Tepukan Praya membuyarkan lamunan Alea. "Ya udah kalau ga mau cerita. Tapi cepat abisin sarapannya karena bentar lagi kita harus pergi" ujar Praya mengingatkan.

Gadis itu melirik ke arah jam tangannya. Astaga sudah jam 8.20! Sepuluh menit lagi mereka semua harus berkumpul di lobi hotel. Ia segera menyumpal perutnya dengan sepotong roti dan segelas susu, lalu berlari terbirit-birit menuju lobi.

***

"Good morning, Professor! How was your sleep?" sapa Praya ramah.

Wajah Profesor Watt terlihat sedikit kesal. Pria berjanggut putih itu langsung menyerocos panjang lebar. Ia mengeluhkan keberadaan sejumlah anak-anak kecoa yang berlarian di kamar hotelnya. Pria tua itu sangat geram dengan staf hotel yang tidak merespon komplennya dengan cepat. Saat Profesor Watt tengah sibuk mengeluhkan kondisi kamarnya, tiba-tiba salah satu tamu hotel berteriak kencang.

"Mataharinya, mataharinya kembali lagi ke bawah!" teriak seorang perempuan bertubuh tambun sambil menunjuk ke arah langit.

Para tamu dan staf hotel pun langsung berhamburan ke luar gedung. Mereka nampak tercengang dengan warna langit yang tidak biasa.

Ada yang berteriak kagum dan ada juga yang berbisik-bisik ketakutan. Beberapa dari mereka pun sibuk mengabadikan fenomena aneh tersebut dengan kamera dan telepon pintarnya.

Alea dan Praya mengintip dari belakang kerumunan tamu. Mereka berdua terperanjat melihat kondisi langit yang berbeda dari biasanya.

Alih-alih menunjukkan keindahan, fenomena langit yang mereka lihat sangatlah mencekam. Sang matahari nampak terbenam di balik awan-awan yang berwarna hitam pekat. Jika dilihat dengan seksama, awan-awan hitam itu terlihat menyerupai beberapa kepala kuda yang sedang bertengkar. Perasaan Alea tidak enak. Ia merasakan ada sebuah kejanggalan yang tidak bisa dijelaskannya dengan kata-kata.

Semakin lama, warna langit pun semakin gelap.

Praya melirik ke arah jam tangannya. Pukul 8.30 pagi. Bukankah seharusnya matahari sudah naik dari atas kaki langit? pikirnya keheranan.

Alea pun segera menggenggam lengan Praya dengan erat. Tubuh gadis itu tiba-tiba gemetar. Sekujur bulu kuduknya berdiri. Ia yakin bahwa ada yang tidak beres dengan fenomena senja di pagi hari ini. "Praya... kemana tujuan kita hari ini?" tanya Alea dengan cemas.

Pria bertubuh tegap itu memandang Alea dengan raut gusar. "Candi Ratu Boko...." jawabnya pendek.

Gadis itu langsung menggelengkan kepala."Kita harus membatalkan acara kunjungan hari ini!" bisik Alea panik.

Praya mengelus pundak Alea.

Ia berusaha meyakinkan gadis itu bahwa tidak akan hal buruk yang terjadi pada mereka berdua. Namun, Alea bersikeras bahwa candi itu memiliki energi yang sangat kuat. Ia tidak ingin mengunjunginya. Alea yakin bahwa ia pasti akan melihat sesuatu di sana.

"Tapi bukankah kita ingin memecahkan misteri artefak Sriwijaya? Kamu ingat kan dengan misi kita?" seru Praya mengingatkan.

Gadis itu terus menggelengkan kepala. "Aku nggak siap... aku nggak siap Praya... Please, aku nggak siap" pintanya setengah menangis.

Praya terus meyakinkan Alea bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia berjanji akan terus berada di sisi Alea. "Jika kamu melihat sesuatu, aku bisa memberimu dukungan. Aku bisa melindungimu jika terjadi apa-apa" ujar pria itu lagi.

Gadis manis itu melirik ke arah matahari yang terus terbenam di ufuk langit. Ia yakin bahwa fenomena ini adalah sebuah tanda yang tidak baik.

Dengan air mata berlinang, ia terus memohon kepada Praya untuk membatalkan rencana penelitian hari ini. Pria itu tidak bergeming. Praya malah mendekati Profesor Watt dan anggota tim lainnya yang sudah berkumpul di lobi.

Ia mengajak mereka semua untuk naik ke bis mini yang telah disewa oleh Global Connection. Praya tidak mengindahkan permintaan Alea untuk membatalkan perjalanan hari ini. Ia segera menarik Alea ke dalam bis.

"Face your fears Alea. Kita harus memecahkan misteri ini!" bisik Praya sambil mengepalkan kedua tangannya. Alea hanya mampu menyeka air matanya.

Dengan terisak-isak, ia terpaksa mengikuti kemauan Praya yang mungkin bisa membawa mereka ke dalam situasi yang berbahaya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top