Bab XI: Dewan Adiksi
Amilatura menyaksikan dan mengamati dari jauh bagaimana satu per satu Alaritar memasuki ruang pertemuan akbar di Istana Astralis tanpa Ilaur mereka. Mundoroz sudah menginstruksikan agar mereka datang tanpa diwakilkan, dan tampaknya sejauh ini tidak ada yang berhalangan. Ia sempat tersenyum bodoh menilik beberapa Alaritar terhenti di dekat pintu ruang pertemuan, kesulitan mengecilkan wujud mereka agar muat di dalam istana makhluk fana. Kendati demikian, hatinya masih tidak dipenuhi oleh gelora kegembiraan dan semangat. Ia merindukan mereka, para sahabatnya, tetapi khawatir akan persepsi mereka terhadap tindakannya di masa lalu.
Maka dari itu, mengungkapkan dirinya pada khalayak sepertinya, adalah ide buruk. Mundoroz sudah merencanakan sesuatu untuk mereintroduksi dirinya pada para Alaritar. Fenabria dan Basta sudah pasti akan membantunya. Sebaiknya ia harus tetap yakin pada kemampuan sang adik. Lagipula, ketika dia mengurung para Eldrikh, tidak semua Alaritar senang dengan dirinya. Amilatura tidak punya masalah dengan saudara-saudaranya yang tidak setuju dengan dirinya, tetapi ia tidak ingin dirinya dan yang lain bermusuhan satu sama lain.
Contoh saja Taumiel—sang Ratu Kirmizi dari Danau Mangsi –yang termuda dari generasi pertama Alaritar. Ialah simbol pelindung darah dan kehidupan bagi makhluk hidup usai ditiupkannya Agni Amarta pada saat penciptaan pertama. Rupanya menyerupai ular besar berbulu hijau rumput dengan corak merah-kuning-biru pada sekujur tubuhnya dan merah-putih pada dua sayap indahnya. Wajahnya sangat mirip dengan gambaran seekor singa betina sejati. Mata merahnya menyala-nyala di bawah dua tanduk kokohnya, sedikit mengintimidasi para singa malang yang tidak sengaja menatap mereka. Terakhir kali ia mengecek, Taumiel tidak menyukai keputusan Amilatura perihal para Eldrikh dan memilih menyisih, tetapi dia masih punya hubungan baik dengan adiknya.
Ada lagi Keanurth dari Lembah Kambus, saudara terdekat kedua Amilatura setelah Mundoroz. Dia mewujud dalam bentuk kambing ibex jantan dengan tanduk melengkung ke depan dan janggut hitam di dagunya. Walau para Alaritar sering berganti-ganti wujud menyesuaikan zaman, biasanya mereka akan diasosiasikan dengan wujud yang paling sering digunakan untuk menampung energi dan kesadaran mereka. Bagi Keanurth, inilah wujud dominan tersebut.
Seratus tahun lalu, ia sempat melukai beberapa Alaritar tanpa sengaja karena mereka menghalangi konfrontasinya dengan Mundoroz. Keanurth termasuk dalam daftar pendeknya. Hasratnya untuk memeluk sang kambing berbulu halus dan memohon maaf melonjak-lonjak, apalagi, dialah pemimpin pertemuan Dewan Adiksi kali ini—majelis akbar yang anggotanya mencakup seluruh Alaritar.
Namun agaknya permintaan maaf itu mesti menunggu, sebab Taumiel yang mengibas-ngibaskan ekornya tampak tidak sabar. Ia menegakkan tubuhnya dan berdeham keras. Para Alaritar seketika menoleh padanya. Kini, siap atau tidak, ia harus melangkah, tanpa Basta yang menemani di sampingnya.
"Aku mengajukan supaya pertemuan ini dimulai secara formal. Kita sudah menunggu cukup lama," katanya serius dengan nada sedikit kesal.
"Aku pun demikian. Ada yang keberatan?" tanya Defranti, sang Merpati Candramawa. Rangkaian kristal berwarna azura mencuat dari sayap putih-hitamnya, netra kuningnya berkilat-kilat seakan hendak menyapu seluruh ruangan. Jika ingatan Amilatura masih pada tempatnya, Defranti bertakhta di salah satu wilayah selatan dekat Gunung Loklok dengan banyak populasi satu tingkat di bawah Astralis. Di sana ia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bersama makhluk-makhluk fana. Dia juga salah satu dari generasi pertama untuk menjawab panggilan dua bersaudara di Samudra Sangkala.
Karena tidak ada satu pun Alaritar yang menolak, maka Keanurth mulai angkat bicara.
"Baiklah. Topik pertama yang akan kita bahas adalah kembalinya sang Maharani ke Axis Mundi. Sebagaimana yang kita semua tahu, dia telah bangun dari peristirahatannya," ujar Keanurth lantang.
"Tapi ia tidak ada di ruangan ini," sergah Taumiel seraya menghentakkan ujung ekornya ke atas lantai.
"Itu benar," lontar Keanurth sembari berusaha menenangkan saudarinya," mungkin Mundoroz bisa memberi penjelasan lebih lanjut?"
Makhluk yang dimaksud pun menjelaskan, "Yang Mulia memang ada di sini. Kakak, masuklah!"
Jantung Amilatura rasanya langsung mencelus ke dalam jurang tanpa dasar. Sedari tadi sejak pertemuan dimulai, ia sudah bersiap-siap di samping pintu ruang pertemuan. Kini, mau tidak mau, ia harus menghadapi bah penghakiman pada dirinya, berharap seluruh aksinya seratus tahun lalu tidak terlalu membekas pada hati saudara-saudaranya. Tidak ada yang ia lebih inginkan selain penebusan.
Suara derit pintu bilik penghakiman mengaum lantang. Para singa penjaga di luar mempersilakannya masuk.
Serentak kepala-kepala menoleh pada seekor singa betina yang berjalan menuju lingkaran pertemuan, kecuali Mundoroz, Fenabria, dan Basta. Dua sayapnya dibalut selendang sutra putih berkilau, kepalanya dihiasi bumban zaitun sederhana—karangan bunga yang berbentuk mahkota dari ranting-ranting pohon zaitun. Ia merasa sedikit kesepian tanpa Basta di sampingnya.
Ia tak berani menoleh kanan-kiri. Langkahnya tetap lurus menuju tempat duduk di sebelah sang adik yang kosong. Bulu kuduknya kembali merinding begitu pintu ruang pertemuan ditutup kembali. Panas-dingin rasanya menghadapi tatapan-tatapan tajam dari para saudaranya, walau ia tidak melihatnya secara langsung. Suasanya begitu hening sampai-sampai ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri dengan jelas. Kini, ia bagai seekor kijang yang dikepung puluhan singa dari segala penjuru.
"Duduklah di sampingku, Kakak," pinta Mundoroz lembut, senyumnya begitu suam dan mengundang.
Dengan penuh kegelisahan, akhirnya ia naik dan berpijak pada batu pipih di samping adiknya. Dihelanya napas dalam-dalam sebelum membalikkan tubuh sembari duduk menghadap para Alaritar. Ia membanting pandangannya ke arah lantai.
Sang adik yang tahu perasaan Amilatura lalu memberi gestur kepada Keanurth dengan sayapnya. "Silakan dilanjutkan," ujarnya singkat.
Keanurth mereguk ludahnya dan melanjutkan, "Seperti yang kita semua tahu, saudari tua kita telah melakukan pengasingan pada Kaum Eldrikh seratus tahun lalu. Sebuah tindakan penuh pertentangan dan kecerobohan hingga merusak dunia makhluk fana. Banyak dari kalian yang merasa, tidak layak bagi satu Alaritar—apalagi sang pemimpin—untuk tidak menerima pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuatnya."
Kata-kata Keanurth tidak sedikit pun mampu mengentikan gejolak badai dalam batin Amilatura, malah sebaliknya. Ia berharap adiknya punya solusi terbaik untuk memutihkan namanya, walau harus pelan-pelan. Di ujung sudut pandangnya, ia melihat Mundoroz mengangkat salah satu cakarnya sebelum alaritar-alaritar lain sempat membuat kericuhan.
Sang Naga Agung berbicara lantang, "Yang kakakku lakukan memang ceroboh. Tidak semestinya salah satu dari kita bertindak di luar kesepakatan yang telah ternaktub sejak penciptaan pertama. Bagaimanapun juga, Kaum Eldrikh tetaplah makhluk hidup dan berhak mendapatkan perlindungan dari Agni Amarta." Mendengar dua kata terakhir itu saja, samudra emosi Amilatura sudah bergejolak.
"Tapi, aku ingin semua yang hadir di majelis ini mengetahui," lanjutnya dengan suara tegas, "bahwa aku, telah memaafkannya."
Riuh protes seketika menggemuruh di ruangan majelis agung para Alaritar.
"Gila, ini gila! Apa engkau menerima apa yang dia lakukan begitu saja, Muhn? Setelah dirinya meratakan pulau itu dan merusak ekosistem di sekitarnya?" tanya Innisti keras, kedua sayap biru kehijauannya menegang. Sosok burung camar ini, meskipun dia salah satu Alaritar termuda, tetapi karena dia juga sekaligus penguasa alam di wilayah pantai selatan Terra—daerah paling dekat dengan Pulau Aeternum Malum—maka pertanyaannya mesti dijawab dengan blakblakkan.
Mundoroz mengangkat salah satu sayap aurumnya dan menyela, "Ketauhilah, memaafkan bukan berarti aku mewajarkan atau menerimanya, Nis. Kakakku akan tetap menebus kesalahannya dengan cara-cara lain." Para Alaritar lain menggeliat dari tempat duduk mereka, tetap tidak puas dengan penjelasannya.
"Dan cara apa yang engkau akan usulkan? Tidakkah engkau berpikir bahwa mungkin engkau terkadang condong dalam berprasangka?" sahut seekor harimau kumbang berkulit hitam dengan bintik-bintik putih cemerlang. Amilatura mengenalnya sebagai Azhir, pelindung bagi para penyintas dan penjelajah fana di bawah naungan langit Terra. Meski ia merasa terpojok, apa yang dikatakan Azhir tidak ada salahnya.
Intiarma, yang berada dalam wujud ular naga bersisik dan bersurai hijau ikut angkat bicara. "Itu benar, semestinya usulan atau keputusannya mesti netral!" Lidah bercabang duanya mendesis, tatapan sedingin esnya tidak henti-henti disambarkan pada sang Ibunda Alaritar. Deretan bunga sandat di sanggulnya sempat bergetar dan nyaris jatuh.
"Bukan aku yang akan memutuskan!" Mundoroz meninggikan suaranya, raut wajah sang Naga Agung tampak berkedut dan penuh sambaran amarah. Seluruh keriuhan dalam majelis berangsur-angsur reda sementara, kemungkinan karena segan atau memang kesal sedari awal. "Inilah alasan mengapa kalian kuundang, sebab keputusan terakhir dari hasil majelis ini akan kuserahkan pada Keanurth," tambahnya.
Kambing ibex di ujung ruangan setengah terkesiap menyaksikan nyaris seluruh mata terpaku padanya, seakan-akan posisi kekuasaan telah berpindah sepenuhnya, seratus delapan puluh derajat dari titik awal. Sebagian dari mata tersebut dibanjiri oleh amarah, siap memangsa oposisi. Sebagian lain menilik dengan penuh ketidakpercayaan. Hanya sebagian kecil menatapnya dengan pengertian—perihal gunung-gunung pada dua pundaknya.
Sebelum ia sempat berbicara sepatah kata sekalipun, pintu bilik pertemuan Alaritar digedor keras-keras.
Ada sesuatu di luar sana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top