Bab X: Rasian
Di bawah pohon ceri yang gersang, terduduklah seekor singa betina bernama Amilatura. Hanya Amilatura, bukan Maharani Amilatura, atau Ibunda Alaritar. Julukan dan gelar itu telah lama ia tanggalkan dari sudut terkelam mindanya. Ia bahkan tak mampu mengingat kapan terakhir kali pohon ceri di sampingnya memekarkan bunga merah muda dengan putik seputih sutra.
Walaupun demikian, memori selama berlaksa abad terakhir tetap bersemayam dan tinggal di dalam tubuh sang singa betina. Terukir di wajahnya yang berkerut-kerut dan tercamkan di hatinya yang masih terombang-ambing. Umurnya sudah sangat uzur sekarang--baik dari standar usia Alaritar dan makhluk yang lain. Ia bisa merasakannya--sangat dekat--layaknya satu lilin di tengah mata badai. Surai azura cerahnya kini memudar menjadi seputih salju. Warnanya mengingatkan sang Maharani pada salju yang turun pertama kali pada musim dingin di Pegunungan Astranur.
Setiap beberapa jam sekali mata azura Amilatura akan terbuka, dan keduanya akan menyisir pesisir pantai raksasa di hadapannya. Kerling sang singa betina bakal tertambat pada baskara di angkasa yang membara dengan gejolak api merah tua.
Sepertiga dari dirgantara telah diselubungi oleh pemandangan tersebut, selagi ombak menghantam tebing tempat ia terduduk tanpa henti. Keempat kakinya tetap terbenam ke dalam pasir pantai, enggan untuk bergerak sedikit pun--seakan-akan dirinya membeku di tempat. Kadangkala, pandangannya akan tertembak pada bintik-bintik hitam yang merekah di permukaan baskara.
Selama bermenit-menit ia tenggelam dalam kontemplasi, menyaksikan deburan ombak menggerus habis tebing tempatnya terduduk. Entah kenapa, hanya pohon ceri gersang ini jua yang mampu menjadi telaga kejenjaman bagi kalbunya. Rasanya hampir seperti rumah yang tak pernah ada. Ia berharap dirinya bisa mati dengan tenang--baik dalam keadaan tidur atau terduduk--sampai keabadian berakhir.
Amilatura nyaris tertawa miris mengingat dulu tempat ini berada ratusan meter di bawah permukaan laut.
Aeternum Malum. Suaka Para Eldrikh. Gerbang ke Zulmat. Begitulah kira-kira nama yang diberikan pada pulau raksasa ini dahulu. Kini nama-nama tersebut hanyalah pengingat yang menyedihkan.
Gambaran suaka kegelapan itu masih tersekat di dalam mindanya: tentang puncak bukit kecil di tengah pulau yang menyangga satu menara hitam dengan sebuah bola kaca di atasnya. Bola tersebut berisikan substansi yang para Alaritar sekalipun tidak mengetahui asal-usulnya.
Ketika malam tiba, bola itu akan mengeluarkan emisi cahaya kehijauan yang menerangi seluruh penjuru pulau, tak terkecuali daerah pesisir pantai. Pendarannya menyingkap makhluk-makhluk asing bersayap empat dan bermata majemuk yang berkeliaran di sepanjang jalan menuju menara tersebut. Mereka bernaung dalam sarang-sarang berdindingkan lendir hijau yang mengeras seiring berjalannya masa. Sarang-sarang tersebut terhubung langsung ke menara di atas bukit kecil dan sarang raksasa di bawahnya.
Kini tempat itu tak lebih dari relik usang yang tak ada harganya. Amilatura sendiri enggan membalikkan badannya ke belakang kecuali jika ia benar-benar gelisah atau bosan. Tiap kali pandangannya menghantam sisi lain dari pulau itu, maka berlaksa tulang-belulang para Eldrikh akan menyambutnya. Pun aroma anyir yang menguar dari tiap-tiap kilas balik dalam ingatannya. Pertempuran akbar pernah terjadi di sini. Pertempuran yang merenggut banyak korban. Pertempuran yang dimulai oleh saudaranya sendiri.
Amilatura menghela napasnya sepelan mungkin begitu mendengar gema langkah kaki di belakangnya. Ia bahkan enggan membalikkan wajahnya ketika dua sayap reptilian keemasan muncul di ujung matanya. Entah kenapa, ia merasa biasa saja saat langkah kaki tersebut semakin dekat.
"Salam, Maharani," ucapnya tenang, "lama tak berjumpa."
Apapun yang berada di sampingnya sekarang benar-benar terdengar dan terlihat seperti adiknya. Itu mestinya mirip sekali dengan Mundoroz--dengan sisik kirmizi keemasan, sepasang sayap besar, dan empat tanduk melintang, hanya dua kali lebih besar—ia yakin sekali. Tunggu, kenapa adiknya mengatakan tiga kata terakhir itu? Bukannya tadi mereka baru saja bertemu?
"Salam, Mundoroz," sambut kakaknya yang tersenyum pahit, "sudah lama sekali ada yang mengunjungiku. Apa yang membuatmu datang kemari?"
Mundoroz, sang Naga Agung, mencuat dari ujung penglihatannya dan berujar, "Mestikah aku punya alasan untuk mengunjungimu, kakak? Aku hanya ingin berada di sisimu lebih lama lagi."
Amilatura tertawa getir, "Ah, maafkan aku yang terlalu formal. Waktu tidak sebegitu lembut pada ingatanku."
Gema itu mendengus sesaat, "Permintaan maaf diterima."
Sunyi bertakhta di antara mereka berdua sebelum Mundoroz kembali angkat bicara.
"Aku sangat bahagia bisa bersamamu lagi, kakak," lanjutnya melayangkan senyum.
Amilatura tidak menjawab. Mungkin karena ia tidak punya tenaga untuk menjawab, atau mungkin ia sudah tahu apa reaksinya, atau ia sudah bosan? Sejujurnya, ia tidak tahu. Ia tidak punya apa-apa lagi untuk dijawab.
"Apa kau merindukanku, kakak?" tanyanya dengan pupil mata yang berdilatasi.
Amilatura melirik baskara dan mendesah, "Berlaksa gemintang sudah terbit dan terbenam miliaran kali di antara kita, Muhn. Aku sudah merelakan kepergianmu sejak lama. Kautahu aku tak bisa meratapi kepergianmu selamanya."
Mundoroz menyengir, "Jadi, kau hendak melupakanku begitu saja?"
Singa betina itu mengangkat sayapnya sedikit dan membalas, "Semuanya berubah, Muhn. Tidak ada yang bertahan untuk selamanya. Untuk hidup dalam penjara ini dan mengulangnya berkali-kali ... semuanya tak lagi sama bagiku." Amilatura merasakan ada sesuatu yang aneh, entah dari dirinya, atau adiknya. Kalimat-kalimat tersebut seakan mengalir deras, tak terbendung dari mulutnya.
"Aku mengerti," tanggap gema itu dengan nada kecewa.
"Jangan salah paham. Di dalam kalbuku, aku yakin masih ada kasih sayang yang kusimpan untuk dirimu," kata Amilatura yang berusaha tetap tegar.
"Tidak, maksudku aku benar-benar paham." ujar Mundoroz menginterupsi.
Amilatura melirik tajam ke ujung mata kirinya seraya meninggikan nada suaranya, "Apa yang kaupahami?"
"Kak, coba tatap aku."
Amilatura merasa enggan mulanya untuk menatap sang adik. Tubuhnya serasa kaku dan susah untuk digerakkan. Namun setelah beberapa detik lamanya, ia akhirnya memaksakan diri untuk menoleh ke kiri.
Kosong. Tidak ada apa-apa. Hanya ada garis pantai dan gulungan ombak sejauh mata memandang.
Tunggu. Ada sesuatu berwarna putih di bawah tempat Mundoroz semestinya berpijak, di atas pasir.
Sang Ibunda Alaritar memukulkan pandangannya ke bawah dan menyaksikan seonggok tulang belulang yang tergeletak.
Amilatura seketika langsung terjaga dan membuka matanya. Ia menyisir sekelilingnya dengan cepat, dan menemukan bahwa ia masih berada di dalam suatu bilik Istana Gemintang. Paru-parunya kembang-kempis, sekujur dahinya dibasahi keringat dingin, rangkaian bulu kuduk di tengkuknya berdiri. Dinding-dinding coklat kemerahan di sekelilingnya tampak berpendar, menyerap dan membaurkan cahaya oranye dari swastamita. Batu pipih tempat ia terlelap masih kokoh pada tempatnya. Begitu pula dengan kicauan burung-burung surgawi dan embusan angin senja di luar sana.
Ingatan berangsur-angsur kembali memeluk minda sang singa betina. Ia teringat percakapannya dengan Mundoroz saat jarak baskara dari cakrawala kurang lebih masih setombak, begitu pula saat ia meminta Fenabria dan Basta untuk beristirahat lebih dulu dan masuk dalam bilik-bilik terpisah. Ia mengingat saat dirinya berusaha memahami situasi genting yang dialami adiknya selama beberapa puluh tahun terakhir. Ia ingat benar masuk ke dalam ruangan ini dan terduduk di atas sebuah batu pipih.
Kenapa? Kenapa sekarang? batin Amilatura.
Ia benar-benar tersesat dalam samudra mindanya. Lisannya seolah-olah kehilangan kemampuan untuk berbicara. Seraya beranjak dari tempat tidurnya, ia berpikir keras.
Semenjak ia menerungku dirinya sendiri dalam wujud makhluk fana, bisa dipastikan kemampuannya akan terbatasi dengan sendirinya. Wujud ini bagaikan wadah penampung bagi energi mentahnya, esensinya, sekaligus mindanya. Jika ia menggunakan tenaganya dengan cara sama seperti seabad silam, bejana ini akan hancur mumur.
Namun, perihal mimpi, lain lagi. Yang demikian adalah pengalaman baru baginya. Kata beberapa makhluk fana, bunga tidur adalah kumpulan dari pengalaman kita, dipindah dari ingatan jangka pendek menjadi jangka panjang. Sebagian lagi berpendapat jika bunga tidur merupakan jendela menuju apa yang sudah, apa yang kini, dan apa yang mungkin. Bahkan ada pula kepercayaan bahwa mimpi adalah berkah dari para Alaritar bagi makhluk fana untuk menyaksikan kilasan-kilasan yang belum terjadi.
Ketiganya adalah prasangka dan asumsi wajar, sebagaimana sifat alamiah makhluk fana—mencoba mengubah hitam di atas putih dengan satu tangan sembari mengenggam pelita di tangan satunya lagi.
Kendati demikian, masih ada satu tanda tanya yang di benak sang singa betina.
Apa sebenarnya makna dari mimpi tadi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top