Bab V: Hutan Talji

Kedua netra Amilatura seperti diterjang dengan guyuran air es. Ia mencoba menggerakkan kaki dan sayapnya yang masih nyeri perlahan-lahan. Sepertinya ia memang jatuh dalam posisi yang tidak menguntungkan. Moncong hidungnya menjerat aroma khas dedaunan rasberi merah dari tepi Sungai Serathin—sesuatu yang belum pernah ia dapatkan semenjak seratus tahun berlalu. Singa betina itu perlahan-lahan membuka matanya.

Ada puluhan bola bercahaya biru yang mengelilinginya.

Tidak, bukan bola. Netra.

Bulu kuduk dan ekornya langsung berdiri tegak seketika. Kakinya memberontak dan berusaha menendang tanah, tetapi usahanya sia-sia sebab sebagian besar tubuhnya terbelit sulur-sulur tumbuhan. Sang Ibunda Alaritar hendak terbang dari sana secepat mungkin, menjauh dari barisan makhluk hutan yang menatapnya. Ia tidak punya waktu untuk berhadapan dengan mereka, terlebih lagi ketika ia tidak tahu apakah mereka buas atau tidak. Ia harus membawa Basta segera—tunggu, di mana Ilarinya?

"Mila? Yang Mulia? Apakah itu benar-benar engkau?"

Singa betina itu membeku di tempat. Pandangannya teralihkan pada sesosok rusa sambar yang keluar dari bayang-bayang sebuah kanopi pohon pinus. Ukurannya kira-kira tiga kali lebih besar daripada kijang dewasa, tanduknya yang panjang dan meliuk-liuk ditumbuhi oleh dedaunan berwarna zamrud dan hijau dingin. Netranya kuning menyala, dengan energi alamiah mengepul dari ujung kelopaknya. Makhluk-makhluk penghuni hutan yang mengelilingi Amilatura seketika memberi jalan untuknya—beberapa ada yang menundukkan kepala. Tidak salah lagi.

"Fen? Fenabria?" sembur Amilatura terkejut. Ia tidak menyangka saudara perempuannya masih berkeliaran di sekitar suaka ini, bahkan setelah seratus tahun lamanya.

Langkah sang rusa semakin cepat mendekati Amilatura. Singa betina itu bisa menyaksikan air muka dan matanya yang berkaca-kaca. Kedua tanduknya memancarkan cahaya hijau keemasan. Seketika saja belitan di sekitar perut Amilatura menjadi lebih longgar, ia lebih leluasa bergerak karenanya. Akar-akar tersebut berangsur-angsur lepas dari tubuhnya dan kembali ke dalam tanah. Begitu pula jeratan yang ada di tubuh Ilarinya.

Tatkala Amilatura baru saja hendak bangkit dari posisinya, ia merasakan ada sesuatu yang melingkar dari lehernya. Kali ini, rasanya begitu hangat alih-alih mencekik. Begitu menelengkan kepalanya, ia bisa melihat sebuah kuku rusa berwarna kehitaman, dan sepasang tanduk yang menyentuh daun telinganya. Ia bersumpah bisa merasakan tetesan air di antara bulu lehernya.

"Kami menunggumu lama sekali." Amilatura sedikit membelalak mendengar suaranya yang gemetar.

Fenabria melanjutkan, "Hampir-hampir saja kami kira engkau tidak akan bangkit sampai dunia berakhir. Engkau meninggalkan kami begitu saja, nyaris tanpa tuntunan."

Fenabria melepaskan peluknya dan menatap Amilatura dengan tatapan tajam.

"Apa-apaan yang kau pikirkan, Mil?!"

Hati Amilatura seketika bagai tercelus ke dalam air keruh. Ia tidak berpikir saudarinya bisa segeram ini. Apa memang banyak hal buruk yang terjadi selama seratus tahun terakhir? Ataukah selama ini Terra yang mereka rawat telah terbenam dalam nelangsa dan kekacauan? Betapa bodohnya ia tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan ini.

"A—aku, aku ... minta maaf."

Seakan tidak mendengar permohonan maafnya, Fenabria kembali menyela, "Untung saja Mundoroz tidak sampai hibernasi seperti dirimu! Tindakanmu menyegel para Eldrikh di Rembulan sungguh sangat sembrono!"

Tunggu, Mundoroz tidak berhibernasi seperti dirinya? Seingat Amilatura, pertarungan seratus tahun lalu memakan tiga per empat dari energi arkana yang ia miliki. Ia masih mengingat bagaimana Pulau Malum meretak dan pecah, kemudian ia angkat ke angkasa, menyegel para Eldrikh di dalam sebuah bola pejal raksasa. Bola tersebut ia angkat ke luar atmosfer Terra, mengiringi perginya matahari. Ia menjulukinya Candra, yang lain menamainya Rembulan.

Menundukkan kepalanya, Amilatura berujar, "Iya, aku mengaku itu tindakan yang gegabah. Tapi Fen, kau sendiri tahu aku tidak akan melakukannya jika tidak ada pilihan lain."

Fenabria menghela napasnya dalam-dalam. Matanya terpejam sejenak. "Kau tahu, yang penting engkau sudah ada di sini sekarang. Kita bisa bahas ini lain waktu."

Sang rusa betina mengangkat kukunya dan membersihkan sisa-sisa ranting dan dedaunan dari sayap putih Amilatura, yang sebenarnya tidak enak hati berada dalam posisi memalukan seperti ini. Ia hanya bisa mendengus dan membendung air yang hendak keluar dari pelupuk matanya. Namun, di saat yang bersamaan, ia juga lega sebab sang saudari masih peduli dengannya. Kakinya bergetar membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Dari tanduk sang penjaga hutan, merebaklah sulur-sulur translusen hijau suam. Dengan lembut, sulur-sulur magis tersebut memeluk dan mengangkat tubuh Basta yang sedari tadi tergeletak di samping Amilatura, kemudian mendaratkan sang Ilari di atas punggung berbulu coklatnya. Amilatura bisa menilik kembang-kempis dadanya yang kembali normal.

Fenabria menarik kukunya kembali seraya menambahkan, "Mari, ikuti aku ke telaga. Aku ingin bicara denganmu."

===

Hutan Talji memang tak pernah kehilangan aura mistisnya.

Jauh sebelum perang seratus tahun lalu dimulai, Fenabria--salah satu dari delapan entitas pertama yang menamai diri mereka sendiri—pernah meniup seruling sakralnya di sini. Di tepi bekas patahan lempeng, ia terduduk dan menyenandungkan untaian melodinya. Lantas, turunlah hujan lebat yang membanjiri dan mengisi ceruk tersebut, maka terbentuklah Sungai Serathin. Di sekitarnya, rumput mutiara mulai merebak perlahan-lahan.

Selama bertahun-tahun, ia merawat daerah sekitar ceruk itu dan menanaminya dengan bibit-bibit pinus. Mulailah datang berbagai macam binatang yang mencari kedamaian di dalam suaka dan telaganya. Maka untuk membaur dengan mereka, ia mengambil wujud seekor rusa betina.

Kini, rusa yang sama tengah menuntun dirinya untuk berendam di dalam sebuah telaga.

Dibandingkan saudari-saudarinya yang lain, Fenabria lebih tertutup dan senang menyendiri. Untuk mencari kedamaian, katanya. Ia sempat menolak untuk diberi istana, kota, keraton, dan lain sebagainya. Ia lebih lincah memanjat dan bertengger di ranting pohon hyperion daripada berjalan menyusuri jalanan Kota Astralis. Ingar-bingar di wilayah perkotaan membuat kedua kakinya seperti sulur-sulur pohon yang diterpa angin kencang.

"Engkau kurang lebih masih sama seperti apa yang kubayangkan dulu, Mila," katanya tersenyum sembari mengguyur sayap putih sang singa betina dengan air telaga.

Amilatura tergerak untuk menanyakan sesuatu. "Selama aku pergi, apakah Mundoroz—"

"Adikmu baik-baik saja, dia berhasil menyatukan kami kembali. Nanti jika engkau bertemu dengannya, engkau wajib berterima kasih. Dia sudah berkontribusi banyak meskipun kekuatannya belum benar-benar pulih."

Mendengar hal itu Amilatura lambat laun tersenyum simpul—seakan-akan telah diringankan beban yang bertengger di dua belah pundaknya. Perang seratus tahun adalah hitam di atas putih yang hendak ia hapus. Namun sebanyak apapun ia berusaha mencucinya, noda tersebut masih bersemayam di sana, layaknya gajah di pelupuk mata. Berita bahwa adiknya baik-baik saja membuat pening di kepalanya sedikit berkurang, setidaknya untuk sekarang.

"Fena ... aku tahu apa yang kulakukan mungkin tidak akan pernah dimaafkan oleh kaum kita. Aku tahu itu. Tapi," jawab Amilatura dengan suara penuh keyakinan, "aku ingin agar kalian bisa mempercayaiku lagi. Sebab yang kusaksikan di Karkosir bisa jadi adalah awal dari sesuatu yang mengerikan."

Kuku Fenabria berhenti menggosok sayap putih Amilatura. "Maksudmu?"

"Aku tidak tahu pasti. Ini hanya firasatku. Namun aku tahu, engkau pasti merasakan gempa itu juga, bukan begitu?" Kepala sang singa betina menoleh ke hadirat saudaranya.

Fenabria terdiam. Mindanya memutar balik kejadian beberapa hari lalu. Jika diumpamakan, Terra adalah sebuah bola raksasa yang diselimuti oleh pembulu darah yang bercabang dan meliuk-liuk. Terkadang saluran-saluran tersebut sangat kecil sehingga tidak terdeteksi dengan mudah di atas tanah lapang. Di lain sisi, terkadang saluran-saluran tersebut juga bertemu di satu titik membentuk persimpangan dengan aura magis nan kuat. Titik-titik ini tersebar di seluruh penjuru dunia, mulai dari Karkosir, Astralis, Arborvitae, Istana Dracomirator, dan Gunung Loklok. Salah satu pusat persimpangan itu adalah jantung Hutan Talji. Tempat mereka berendam sekarang.

"Aku malah mengira gempa itu dipicu oleh kebangkitanmu. Maka dari itu aku sempat ragu untuk meninggalkan hutan ini," tuturnya setengah terheran-heran.

Amilatura menyangkal, "Tidak, itu mustahil. Kalaupun hal itu benar, semestinya getaran hanya akan terjadi sekali dan dalam lingkup kecil. Ini beda kasus. Seakan-akan yang berbangkit lebih dari satu makhluk."

Salah satu alis netra Fenabria terangkat. "Tunggu. Lebih dari satu?"

Sang Ibunda Alaritar pun menjelaskan, "Ini asumsi terbaikku saat ini. Gejolak medan energi dengan interval pendek antar satu sama lain dan di area luas—dari Karkosir hingga Arborvitae—mustahil disebabkan satu faktor saja. Tunggu, jangan bilang engkau ...."

Pandangan Fenabria menyapu sisi utara Hutan Talji. Raut mukanya mengerut. Dia tampak sedikit terganggu. Pikirannya seperti tengah merangkai benang merah dari satu titik ke titik lain.

"Fen, katakan yang sebenarnya. Apa yang terjadi di sini selama aku pergi?" desak Amilatura.

Amilatura menatap air muka saudarinya dalam-dalam dan merasakan kegelisahan yang hebat.

"Sepertinya ada pemberontak di antara Ilari kita."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top