Bab III: Karkosir

Ia terbangun.

Refleks, mata azuranya langsung menatap bongkahan-bongkahan es di dekatnya, lalu menyisir cahaya yang keluar dari terowongan di hadapannya. Angin dingin berembus kencang menabrak wajahnya.

Ada hal yang salah di sini. Ia tak semestinya terbangun. Tidak sekarang. Kecuali sudah saatnya, pintu itu tak seharusnya terbuka.

Namun faktanya ia masih hidup dan mengeluarkan uap air dari moncong hidungnya. Tunggu, moncong?

Dirabanya ujung hidung yang masih tertutup butir-butir salju dengan tangannya. Atau, apa yang dulunya menjadi tangannya.

Jadi seperti ini rasanya di dalam tubuh makhluk fana, pikirnya keheranan selagi netranya menelanjangi seluruh bagian tubuhnya yang baru—mulai dari kulit seputih satinnya hingga ujung ekornya yang tajam. Setelah beberapa saat, ia baru menyadari presensi surai perak keemasan yang menjulur hingga ke bahunya dan sepasang sayap yang berkilau laiknya untaian mutiara putih.

Meregangkan dan melemaskan otot-otot alat geraknya, ia menarik napas dalam-dalam sebelum menilik bongkahan es yang bercahaya di belakangnya. Meskipun cahayanya redup, ia masih bisa melihat apa yang ada di balik dinding es itu. Walaupun memorinya masih sedikit kabur, hanya dengan melihat hal itu saja sudah menyebabkannya mendesah lega—karena siapapun yang telah membangunkannya, dia atau mereka melakukannya dengan setengah-setengah. Kalau dipikir-pikir, ia juga penasaran siapa yang berani membangunkannya di tengah-tengah badai salju seperti ini.

Ah, ya, badai salju.

Singa betina itu mengepakkan sayapnya perlahan-lahan sembari menghadap ujung terowongan. Menutup kedua matanya, ia berkonsentrasi dan menghela napas sedalam mungkin. Dari ujung netranya mulai memancar kabut kebiruan yang bercahaya. Ia bisa merasakan garis-garis energi murni yang berkumpul di satu titik—tepat di tempatnya berada. Dibengkokannya aliran tersebut langsung ke tempat ia berdiri sebagai neksus sementara. Mindanya terfokus pada proses konversi energi yang ia alihkan keluar gua. Sesaat kemudian singa betina itu kembali mengepakkan sayapnya dengan lebih keras. Alih-alih masuk ke gua, arah embusan angin malah berubah ke arah sebaliknya.

Ketika ia membuka matanya yang bercahaya, serangkaian gelombang kejut dari atas gua menyapu habis badai salju yang mengamuk di luar sana dalam hitungan detik. Kini keadaan di luar jadi jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Kabut kebiruan tak lagi bocor dari binar netranya yang meredup. Ia melangkah keluar dari mulut gua nyaris tersendeng-sendeng, berusaha menyesuaikan matanya dengan intensitas cahaya yang terpancar dari dua benda di dirgantara.

Singa betina itu menyapu permukaan bulan yang meretak dengan mata azuranya. Hawa dingin dari utara Karkosir menusuk-nusuk sisi kanan tubuhnya, 'tapi ia tidak menggeletar sedikitpun. Moncongnya nyaris tak mampu merasakan apapun setelah terterungku di dalam Terungku Es dalam waktu yang tidak diketahui. Netranya harus berkedip beberapa kali untuk bisa beradaptasi dengan cahaya dari matahari di sebelah kanan bulan yang semakin redup. Masih, anggota tubuhnya—terutama selimut bulu azuranya—kesulitan untuk lepas dari kebekuan tersebut.

Sejauh netra memandang, yang ia dapat hanya padang es dengan salju yang berlapis-lapis. Kendati demikian, jantungnya berdesir hebat menilik pemandangan yang tersaji di depannya. Di bawah lembah yang ia pandang, tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Hanya salju. Seingatnya, dahulu ada sebuah desa di sini. Kecil, hangat, dan penuh suka cita yang ditandai dengan adanya festival musim dingin tiap tahunnya—Nadzieja, desa yang menyambutnya seribu tahun lalu. Ke mana perginya desa itu?

Setelah sepuluh, atau mungkin seratus tahun, akhirnya ia berhasil keluar dari Terungku Es, tetapi tidak tahu-menahu di mana keberadaan orang-orang yang dulu bermukim di sini. Berpikir keras, ia berusaha merememorisasi ingatan terakhir dari tempat ini. Ada sesuatu yang naik ke permukaan memori. Ia tidak mungkin sendirian di sini. Mestinya ada rencana yang ia persiapkan dengan matang sebelum ia diterungku. Jika bukan karena Basta—Ilari sialan itu—mungkin ia masih bisa mengingat dengan baik. Tunggu—Basta!

Tanpa aba-aba, cakarnya mencengkeram salju dan ia bergegas menuju sebelah barat bukit Terungku Es. Jantungnya berdegup kencang usai mindanya mendeteksi presensi entitas yang juga terterungku di bukit ini. Tidak salah lagi. Ikatannya yang kuat menyebabkannya mampu memperbarui tautan antara dirinya dan Ilarinya yang telah lama rusak. Ia berharap kerusakan pada kulit luar kucing itu tidak terlalu parah.

Selagi matahari menurun ke arah barat dalam pandangannya, singa betina itu terengah-engah dan berusaha mengatur napas sebelum ia sampai pada 'kober' Basta. Tubuhnya masih berusaha beradaptasi dan mengumpulkan kalor setelah sekian lama terterungku.

Jika memorinya tidak lagi bermasalah, semestinya ia bisa menemukan tubuh Basta—Ilari dan sahabat setianya dari seratus tahun terakhir—terterungku di sebelah barat Terungku Es, tepat di dekat sebuah batu basal besar yang menjadi penanda 'makamnya'. Atau, lebih tepatnya, di dalam batu. Mila memandang ke tempat yang semestinya menjadi tempat Basta terterungku. Bukan salahnya jika Basta ikut terterungku bersamanya. Lagipula, Basta sudah berulang kali bersikeras untuk menempatkan loyalitas di atas segala-galanya.

Seperti dugaannya, batu basal besar yang menandai Ilaur favoritnya itu masih kukuh berdiri, hanya saja tertimbun salju di tiga per empat bagiannya. Begitu berada beberapa langkah dari batu tersebut, Mila berusaha mengingat-ingat memorinya yang masih kalang kabut setelah terbangun kembali. Puluhan probabilitas dan pertanyaan melompat-lompat dalam mindanya. Apa benar ia tidak menghancurkan batu yang salah? Bagaimana jika ia berada di lokasi yang berbeda? Apakah Basta masih dalam satu bagian yang utuh? Bagaimana dengan—

Tenangkan dirimu. Tarik ... lalu keluarkan, ujar Mila dalam hati.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Hal itu dilakukannya sampai tiga kali. Dari pelupuk matanya ia bisa melihat betapa banyak uap air yang mengepul dari moncong dan mulutnya di tiap detiknya. Singa betina bersayap itu mestinya sudah digerogoti oleh hipotermia jika bukan karena daya tahannya yang melebihi makhluk rata-rata. Singa selain dirinya mungkin sudah mati kedinginan dan membeku jika terpapar temperatur yang begitu dingin.

Berhenti sejenak, ia memejamkan kedua bola matanya yang menggeletis. Fokusnya hanya satu saat ini: resurgensi Basta. Aliran kesadaran mengalir dari mindanya, mewujud apa yang dikenalnya sebagai sihir arkana. Beberapa makhluk awam mungkin menyebutnya begitu. Apa yang mereka lihat sejatinya hanya manifestasi murni dari kehendak yang telah mengalami transendensi menuju tingkat yang lebih tinggi.

Dari ujung cakar-cakarnya, sulur-sulur arkana menjalar menuju batu basal tersebut selagi energi buangan berupa asap putih murni perlahan keluar dari kedua ujung matanya. Sekilas, sulur-sulur translusen itu nyaris sama persis dengan probosis bercabang yang dimiliki oleh cacing-cacing tertentu di selatan Panthalassa. Lembut, kebiru-biruan dan cepat—sulur-sulur tersebut perlahan mencengkeram batu basal tersebut, kemudian meretakannya dari bawah. Fraktur yang dihasilkannya bercabang, memakan seluruh bagian batu hingga akhirnya pecah menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil. Menandai terpecahnya bongkahan batu tersebut, sepasang pendar netra keemasan yang lembut berkedip di baliknya.

Nyaris sama seperti terakhir kali ia melihatnya, ia bisa melihat bentuk seekor kucing yang mulai menggeliat dari pecahan batu tersebut. Sedikit demi sedikit, ia bisa melihat kulit hitamnya yang sensitif mulai merespon pada keadaan sekitar. Ketika ia mendekati batu tersebut, suara yang sangat dikenalnya tiba-tiba berkumandang. "Siapa yang berani membangunkanku?" tanya kucing itu.

Singa betina bersayap itu mengambil beberapa langkah ke depan, tampak tidak yakin untuk mengusik proses resurgensi Ilaurnya. Sejak keluar dari Terungku Es, lidahnya masih belum bergerak sedikitpun. Sengaja ia melakukan itu untuk menghemat energinya. Selembut salju, pita suaranya mulai bergetar untuk pertama kalinya sejak seratus tahun terakhir.

"Tidakkah kau mengenali suara puanmu sendiri, Basta?" jawabnya seraya mendekati sahabat lamanya.

Kucing obsidian itu tersentak sejenak. Kepalanya perlahan ditelengkan ke arah sumber suara. Netranya berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang dilihat dan didengarnya benar-benar nyata. Suaranya kembali menggema, kali ini dengan nada ketakutan yang terdeteksi dari gerak-geriknya, "Yang Mulia? Puan Amilatura?"

Dibandingkan dengan suara Amilatura yang menyerupai aliran air es jernih yang langsung turun dari Gunung Loklok, suaranya parau dan basah, tetapi untungnya masih bisa dikenali. Seakan-akan baru saja terbangun dari mimpi buruk yang mempermainkan perasaan dan pikirannya. Memberi jeda beberapa detik baginya untuk menyesuaikan suaranya, Amilatura menghela napas sejenak.

"Memangnya siapa yang kaupikir? Sekarang," kata Amilatura selagi kucing itu tak berani bergerak, "bisakah kauabaikan formalitasnya? Rasanya baru kemarin aku diterungku di sini. Sekarang aku butuh konfirmasi. Sudah berapa lama aku pergi?"

Kucing hitam legam dengan netra kuning keemasan itu tampak membenarkan posisinya yang semula telungkup di atas fragmen-fragmen bebatuan dan menatap Mila dengan nanar. Butuh waktu beberapa detik agar Basta bisa menegakkan diri di atas bebatuan dan menangkap pertanyaan Mila. Sembari mengakses memorinya yang usang, kucing itu berkata, "Jika kalkulasiku benar, maka kita sudah terterungku selama ...."

Suaranya mengekor, kucing itu nyaris kehilangan kata-kata ketika ia berusaha mengalibrasi ulang waktu dan melakukan kalkulasi. Suaranya sedikt bergetar. "... seratus tahun, kurang lebih," ungkapnya.

Waktu seakan tiba-tiba berhenti di hadapan Amilatura, begitu pula dengan angin dan halimun dingin yang menyelimuti Terungku Es. Mulutnya hampir ternganga, tubuhnya berhenti bergerak, dan bibirnya bergetar hebat. Ia sampai pada tahap di mana ia bahkan bisa mendengar suara detak jantungnya yang samar-samar. Seakan-akan sekepal es telah disumpalkan ke dalam mulutnya. Kepalanya perlahan berpaling ke arah barat--di mana matahari hampir tenggelam sepenuhnya di ujung cakrawala. Jika bukan karena cengkeramannya yang kuat, ia pasti sudah limbung.

"Yang Mulia Amilatura?"

Mindanya beralih fokus ke seberang Karkosir, lalu ke reruntuhan Nadzieja, kemudian kembali lagi ke Terungku Es. Menghela napas berat-berat, cengkeramannya pada tanah bersalju semakin kuat. Untuk membayangkan segala probabilitas yang terjadi selama ia diterungku adalah mimpi buruk, dan itu sudah pasti. Tidak, jika perkiraanya benar, maka ini lebih parah dari mimpi buruk.

"Amilatura!"

Terperanjat, Amilatura menelengkan kepalanya ke arah Ilaur yang mendekatinya. Kelincahan dan pergerakan kucing hitam itu tampak memudar, jauh berbeda dari terakhir kali ia bertemu dengannya. Telinga kucing tersebut berdiri tegak, dengan mata yang memperhatika gerak-gerik puannya. Ia berusaha menegakkan ekornya yang sedari tadi terjepit di antara bebatuan, seraya mengibas-ngibaskan bulu obsidiannya. "Kau tidak apa-apa, Yang Mulia?" tanyanya menatap singa betina itu tegang.

Mila hanya bisa tersenyum pahit dan membalas, "Aku tidak apa-apa."

"Bahkan setelah seratus tahun, kau keahlianmu untuk menyembunyikan ekspresi masih melekat erat. Apa karena tanggung jawabmu masih belum terlepas?" cebik Basta di belakangnya.

Amilatura mendengus, "Jika yang kau maksud adalah penghuni Ad Astralis, maka jawabannya sudah jelas. Mau tidak mau. Kenapa kau bertanya seperti itu?"

Kucing obsidian itu lambat laun mengikuti langkah puannya yang berjalan dari bayangan besar Terungku Es. "Mengingat kondisimu sekarang, mungkin sebaiknya kaupertimbangkan lagi keputusanmu. Cepat atau lambat, nubuat itu harus dipenuhi, dan Astralis tak mungkin dicapai dalam satu hari."

Amilatura berhenti sejenak. Otot-otot netranya mengerut, sembari sekilas memandang ke belakang. Oh, ayolah, yang benar saja. Seratus tahun yang lalu dia setuju untuk melindungi apa yang Mila cintai apa pun konsekuensinya, dan sekarang ia malah meragukan keputusannya sendiri. Ia sedikit benci jika mesti kembali ke titik ini lagi.

"Kaulupa pasal sayapku," kata Amilatura terang-terangan.

Ilaurnya kembali mendengus, "Sekalipun begitu, kau tidak akan tahu bahaya apa yang menunggumu di sana." Dan kali ini ia benar.

Sebuah ironi tersendiri baginya—sebuah spirit yang dianggap memiliki kekuatan terbesar dan paling kompeten di antara Para Alaritar—untuk termangu dalam ketidakberdayaannya sejak seratus tahun terakhir. Udara di musim dingin adalah domainnya yang paling dominan. Membuat badai salju atau mengirim hujan es? Cuma butuh satu kepakan sayap. Menyatu dengan angin? Baginya itu hanya mainan anak kecil. Namun di sini ia hanyalah relik tua yang nyaris tidak ada harganya—cangkang lunak dari dirinya yang dulu. Sebagian besar energinya telah tertaut dan mengakar di kaki bukit ini secara permanen dan sebagiannya lagi terperangkap dalam tubuh fana ini. Jika ia menggunakan seluruh energi yang ada di tubuhnya secara bersamaan, kemungkinan besar seluruh organ tubuhnya bisa saja meledak.

Basta mendesau sejenak melihat puannya berada dalam dilema. "Resolusimu masih saja bertahan, ternyata. Semua makhluk-makhluk fana yang kaukasihi dan para Ilaurmu itu—yang mana lagi yang mereka dustakan? Aku tidak akan terkejut jika sekarang Ad Astralis hanya tinggal abunya saja. Yang demikian itu adalah sifat alamiah mereka—sangat mudah tergoda oleh kekuatan dan kekuasaan. Tidak ada dan tidak akan pernah ada perubahan dalam diri mereka."

Kerlipan mata Amilatura tertancap pada bagian selatan Karkosir yang kini ditimpa cahaya keperakan rembulan. Jelas-jelas pikirannya tengah mengembara entah di mana. Basta sekalipun tidak bisa memprediksi aliran kesadarannya, meski ia paham makna di balik wajahnya yang semakin mengerut. "Tidak. Merekalah yang semestinya bisa berubah dengan jalan yang kita tunjukkan, dan sejatinya kitalah satu-satunya yang tidak akan pernah," ucapnya dengan suara semanis madunya yang penuh kasih sayang.

Andaikata Basta punya sepasang alis mata tebal, ia pasti sudah mengangkat kedua-duanya sedari tadi. Namun ia hanya membiarkan moncongnya untuk mengeluarkan dengkusan kecil sebagai respons. "Kau tidak serius mengatakan itu setelah apa yang mereka perbuat, 'kan?"

Sembari melangkah terus mendekati reruntuhan Desa Nadzieja, puannya kembali membalas pertanyaannya, "Terus terang, aku tidak membela mereka karena mereka merupakan keturunan dari pemikiran-pemikiranku. Bukan pula karena mereka mendekati wujud paling sempurna yang bisa kubayangkan, atau karena para Ilaurku sudah mendapatkan ampunan seabad lalu."

Memberanikan diri Basta melayangkan satir, "Oke, aku duga kau juga akan memberi pengampunan pada semua Ilaur yang ikut ambil bagian di Pulau Malum? Termasuk pengkhianat itu?"

Ada jeda beberapa detik sebelum Amilatura melanjutkan perkataanya. "Pengkhianatan seratus tahun terakhir boleh saja meninggalkan bekas luka bagimu," cebik Amilatura tajam," tetapi kau juga lupa bahwa memukul rata seluruh spesies akan menunjukkan ketidaktahuan yang memalukan bagi seorang Ilaur sepertimu. Dan satu hal."

"Adikku. Bukan. Pengkhianat."

Di sana. Tubuhnya nyaris mati rasa mendengar nadanya yang begitu tajam. Untuk sejenak, kakinya berhenti melangkah dan kedua pipinya memerah. Sadar akan apa yang baru saja ia katakan, Basta segera mempercepat langkahnya menuju Amilatura, berharap yang ia lakukan bukan kesalahan fatal.

"Ampun, puanku! Yang kukatakan itu benar-benar bodoh sekali, dan untuk itu aku mohon ampun," kata Basta yang bergetar hebat.

Ketika Amilatura menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, Basta sudah mengambil ancang-ancang jikalau pantat teposnya akan didepak menuju gletser-gletser tajam di Terungku Es sana, atau lebih parahnya lagi, jika wujudnya dirubah menjadi permadani terbang. Mungkin yang terakhir itu akan lebih banyak membantu.

Alih-alih berjalan sesuai yang dibayangkan, Amilatura hanya membalikkan wajahnya dan tersenyum pada Basta. Diangkatnya cakar-cakar azuranya, kemudian dielusnya dahi Basta sehalus mungkin. Untuk ketiga kalinya, ketakutan kembali menyelimutinya. Bukan karena konsekuensi dari kelancangannya, 'tapi karena kelakuan singa betina ini tidak bisa diprediksi dengan akal satu Ilaur sekalipun.

Amilatura berpaling menatap lembah di bawahnya. "Kuharap kau mendapatkan pelajaran dari hal ini, Basta. Masih banyak kesalahan lain yang belum kaucoba, dan aku tidak akan selalu di sini untuk memperingatkanmu terus-menerus."

Kucing itu hanya bisa terdiam menahan malu yang tak terkira. Dia tahu hal-hal yang lebih baik daripada menghabiskan kesabaran puannya, dan dia tidak ingin mengecewakanya. Setelah menilik ekspresi puannya yang berubah, ia mengembuskan napas lega sejenak sebelum Amilatura berkata kembali, "Kita akan lewat Astranur sebentar. Intuisiku mengatakan ada sesuatu yang bisa membantu kita di sana."

Basta hanya bisa menganggukkan kepalanya perlahan sembari mengikuti langkah puannya mendekati Astranur. Atau, apa-apa yang tersisa dari Astranur—desa yang kini tenggelam di bawah badai salju. Dari atas lembah bersalju, rumah-rumah penduduk beratapkan kayu dan jerami tampak terkubur di bawah lapisan salju sedalam kurang lebih tiga sampai lima meter. Nyaris tidak ada tanda-tanda makhluk hidup kecuali sisa-sisa dari bunga-bunga pohon plum yang layu terselimuti bunga es. Mendekati jalan utama, bau bawang beku semakin kentara di sini, seakan desa ini baru saja ditinggalkan.

Mata Amilatura menyisir lanskap desa kecil itu. Sepuluh rumah ke kanan dan sepuluh rumah ke kiri dengan sebuah balairung desa yang berdiri di ujung jalannya. Ada pula beberapa bekas pondok kecil yang dulunya digunakan sebagai tempat beristirahat. Keadaannya nyaris sama seperti saat ia terakhir kemari, hanya pagar kayu runcing yang mengelilingi desa ini sudah terkubur dalam-dalam di bawah salju. Lentera-lentera kosong berbaris di tepi jalan utama yang dilapisi batu-batu basal.

Memori Amilatura merangkak ke permukaan selagi ia mengingat-ingat aroma kue kering yang sedang dimasak dan kejenjaman yang didapatnya di dekat perapian. Sejak ia menjadi makhluk fana, lidahnya merindukan manisnya lelehan coklat dan serutan badam dalam roti bulan sabit dan seduhan dari sari buah plum yang merasuki tenggorokannya.

Singa betina itu menatap balairung desa lekat-lekat. Tiupan angin dingin menggemuruh di gendang telinganya. Dari semua bangunan di Nadzieja, bagi Amilatura balairung itulah yang paling berkesan. Bukan karena kesimetrisan bentuk dan pilar-pilarnya yang dipelitur, tetapi karena di sanalah ia pertama kali bertemu satu makhluk yang mengubah hidupnya. Terakhir kali ia berkunjung ke desa ini adalah hari yang sama sebelum ia menyeberang ke selatan Pangea untuk menemui adiknya. Pandangannya sempat tertaut pada satu pegasus jantan yang diam-diam selalu menguntitnya dari belakang setiap kali ia keluar dari balairung, dan itu sudah terjadi sejak hari pertama kedatangannya. Sudah bisa dipastikan dia tipikal makhluk yang pemalu, atau barangkali tidak terlalu banyak bicara. Lagipula, usianya masih tergolong muda saat itu—sekitar lima belas tahunan—berbeda jauh dengan Amilatura.

Kepingan salju dan pohon plum—memori yang benar-benar ia hargai setelah seabad terakhir. Di mana para trubadur dan pemusik dari segala spesies datang berkunjung ke tempat ini untuk menyelenggarakan Festival Musim Dingin yang dikhususkan untuknya. Biasanya festival itu akan dimulai di awal bulan Desember dengan penaburan keping-keping salju yang jumlahnya tak terhingga dari atas Nadzieja oleh Amilatura sendiri, kemudian dilanjutkan dengan diberkatinya bunga-bunga pohon plum muda yang nantinya akan mekar di musim semi. Obor-obor dan lentera dinyalakan sepanjang malam, menerangi tiap sudut desa dengan cahaya azura. Maka makhluk-makhluk ciptaannya bersama-sama berpesta dan mengadakan jamuan makan dari larut malam hingga fajar tiba di tanggal-tanggal ganjil. Petani, tukang roti, kuli bangunan, penjahit, petinggi desa, bahkan para penjaga yang berpatroli pun ikut ambil bagian dalam festival akbar ini.

Tidak peduli apa pun kejadiannya, selalu ada bayangan tentang pegasus itu yang menatapnya dengan takjub dan terpesona. Namun bayangan itu seakan mengabur saat minda Amilatura berusaha menariknya kembali ke permukaan. Sungguh, jika bukan karena efek samping dari kejadian seratus tahun lalu, ia pasti sudah bisa menebak siapa namanya. Makhluk yang dulunya ia kenal baik.

Suatu substansi hangat yang mengalir dari pipinya cukup untuk membuat mindanya terbanting dari kotak-kotak memori yang sudah lama tak ia buka. Tak ingin dilihat oleh Basta, cepat-cepat digosoknya bagian atas pipinya yang agak tambun dan kemerahan. Ia menghela napas sekali lagi dan mengalihkan pandangannya ke arah selatan. Basta tak lagi memerlukan eksposisi panjang lebar darinya tentang tempat ini. Dia sudah tahu dan mungkin tak akan perduli.

Di selatan desa itu ada jalan menuju terowongan besar yang terletak di bawah barisan pegunungan bersalju. Masih tampak bekas-bekas rel kereta yang menghubungkan Nadzieja dengan Astralis, beberapanya ada yang bengkok dan rusak dimakan waktu. Tepat di seberang perhentian kereta banyak karavan-karavan reyot tanpa pemilik yang ditinggalkan begitu saja di bawah lapisan salju. Tidak ada satu pun dari mereka yang tampaknya masih berfungsi. Benar-benar menyedihkan.

Ketika semakin dekat, Amilatura bisa melihat stalaktit-stalaktit kristal yang menggantung rendah di mulut terowongan bersama tumpukan salju yang menumpuk di atasnya. Namun ketika ia mengalihkan pandangannya menuju kegelapan di dalamnnya, matanya nyaris tak menemukan apa-apa kecuali beberapa kelelawar yang tengah beristirahat di atas terowongan.

Tidak, tidak. Sekarang nyaris semua kelelawar itu terjaga dengan mata menghadap ke arah mulut terowongan. Namun jarak sekitar tiga meter dari gua tidak mungkin membangunkan mereka begitu saja. Kecuali makhluk-makhluk ini ciptaan saudara-saudaranya sendiri, tidak mungkin presensinya sangat mudah terdeteksi. Tunggu, makhluk-makhluk ini ciptaan para Alaritar? Ugh, Amilatura begitu membenci memorinya yang kabur.

"Yang Mulia?"

Amilatura menoleh ke sampingnya dan menemukan Basta yang meringis. Pandangan Ilaur itu kosong, 'tapi matanya terfokus pada terowongan. Adrenalin tumpah tepat di jantungnya—menggedor-gedor pintu hatinya—berteriak padanya agar segera lari, 'tapi cakarnya tetap terhunjam di tanah. Mindanya langsung menyelam ke dalam benang-benang energi murni yang mengalir di bawah permukaan tanah. Secepat kilat, tatapannya yang biasanya lembut dan ramah, berangsur-angsur memudar menjadi kekhawatiran. Seakan-akan ada minyak yang melumuri seluruh badannya dari bawah tanah. Seolah-olah ada gejolak aliran arkana yang datang dari arah yang berlawanan. Seolah-olah ada

"Kau merasakan—"

Kata-katanya dipotong oleh gerakan kaki Amilatura yang dengan cekatan segera menangkapnya dan membawanya terbang menjauh dari terowongan. Jujur, Amilatura merasakan sengat nyeri ketika pertama kali menggunakan sayapnya setelah bertahun-tahun berada dalam Terungku Es, dan kini, ia merasakan sengatan itu lagi. Sebelum Basta mengetahui apa yang sebenarnya terjadinya, Amilatura mengepakkan sayapnya lebih tinggi ke atas untuk mendapat pandangan yang lebih bagus—hanay untuk mendapati tumpukan salju di atas terowongan tadi bergetar hebat dan seluruh medan energi yang ada di bawahnya berubah drastis.

Seluruh Karkosir bergetar. Gersik yang nyaring terpancar dari dalam Terra, mengirim rangkaian jaring-jaring retakan di atas permukaan tanah. Basta melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kelelawar-kelelawar di dalam terowongan itu melarikan diri dari kolapsnya atap terowongan. Ada satu atau dua kelelawar tak beruntung yang tertusuk fragmen stalaktit dan terempas ke tanah. Dalam sekejap, seluruh mulut gua tertimbun longsoran es dan salju dari atas pegunungan. Retakan besar terbuka di sekitar jalan utama—menelan sisa-sisa karavan dan pohon plum di dekat perhentian.

Di dalam genggamannya, seluruh bulu kuduk Basta tiba-tiba meremang tanpa peringatan. Pupil matanya terdilatasi menengok ke bawah jurang yang baru saja terbentuk. Seluruh isi lambungnya serasa terguncang dan kepalanya berkunang-kunang. Dalam kepanikannya, ia masih sempat saja berbisik pada Amilatura, "Terima kasih, Puanku."

Amilatura tidak menjawab. Mindanya berkonsentrasi penuh untuk mencari sesuatu. Bukan episentrum dari guncangan ini—karena ia tahu tidak mungkin medan energi berubah drastis tanpa suatu pemicu. Ya, pemicu. Itu kata kuncinya. Gempa boleh terjadi setiap waktu dan setiap saat di Terra, 'tapi tidak dengan medan energi. Gempa alami hanya akan menggeser garis-garis energi dari posisi aslinya, tidak mengubah arus dan arahnya. Jika ia mengumpamakannya dalam bentuk-bentuk kuadran, guncangan biasa hanya akan menggeser garis-garis yang ada dalam sebuah kuadran, akan tetapi tidak pernah keluar dari kuadran aslinya. Setidak-tidaknya tidak sampai separah ini. Siapapun atau apapun yang menyebabkannya tidak mungkin melakukan ini dengan tidak sengaja. Apalagi sampai menempatkan Karkosir sebagai episentrumnya.

Berbicara tentang Karkosir, singa betina itu bisa merasakan pergolakan di medan energinya hampir berakhir. Cepat-cepat ia melacak arah aliran gejolak energi itu yang terurai di bawah permukaan tanah. Dimulai dari tempatnya berdiri, melintasi pegunungan bersalju di atas terowongan, dan melewati perbatasan Karkosir. Amilatura mengernyit kesulitan ketika mindanya berkejar-kejaran dengan uraian energi yang semakin memudar. 'Mata' kesadarannya terbang bersama gegana dan angin, mengikuti pola energi itu sebelum akhirnya ia kalah cepat dengan pergerakan polanya.

Oh, tidak, gumamnya dalam hati.

Pencariannya berhenti tepat di depan apa yang semestinya menjadi kenangannya seratus abad lalu. Sebuah monumen yang sangat berharga baginya yang berdiri tepat di depan pintu gerbang menuju Kota Astralis. Mahkota Mayapada.

Axis Mundi.

===

Illustration source: Pinterest
Music: E. S. Posthumus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top